Friday, September 18, 2015

Pastu, Para Pedagang Mengutuk Diri-sendiri





Pernah mendengar kisah Ki Dukuh Sakti Pahang yang diremehkan oleh menantunya yakni I Gusti Ngurah Agung Pinatih di Kertalangu? Ceritanya begini: Diceritakan di Kertalangu (Badung) ada seorang pendeta yang bergelar Dukuh Sakti Pahang, keturunan dari Pasek Padang Subadra, memiliki kesucian bhatin yang tinggi sehingga disebut Dukuh Sakti Pahang. Ki Dukuh adalah mertua dari penguasa Kertalangu saat itu yakni I Gusti Ngurah Pinatih keturunan Arya Wang Bang Pinatih. Pada suatu hari, Ki Dukuh mempermaklumkan kepada menantunya yakni I Gusti Ngurah Pinatih bahwa beliau sudah waktunya untuk meninggalkan dunii fana ini. Beliau akan menjalankan aji kamoksan atau kelepasan.  Mendengarkan laporan sang mertua, I Gusti Agung Pinatih menjadi tertawa dan menyangsikan perkataan mertuanya, dengan ucapan sedikit meremehkan “kalau memang benar moksah, maka saya akan pergi meninggalkan Kertalangu”.
Merasa diremehkan oleh sang menantu, maka Ki Dukuh mengucapkan pastu kepada menantunya, bahwa I Gusti Penatih akan dikerubuti semut, sehingga akan meninggalkan Desa Kertalangu”. Setelah mengeluarkan kutukan tersbeut, Ki Dujkuh sakti menuju ke tempat dimana beliau hendak meninggalkan dunia ini (moksa). Sedangkan I Gusti Ngurah Pinatih mengirim utusan untuk menyaksikan kebenaran dari ucapan mertuanya. Singkat cerita, apa yang dikatakan oleh Ki Dikuh memang benar terjadi. Lalu hal itu dilaporkan oleh utusan kepada I Gusti Ngurah Pintah. Singkat cerita, apa yang menjadi kutukan dari Ki Dukuh segera terjadi. Entah darimana datangnya semut yang tak terkira jumlahnya mengerubuti tempat tinggal I Gusti Ngurah Pinatih. Tak kuasa dengan semut yang semakin banyak, maka I Gusti Ngurah Pinatih meninggalkan Kertalangu menuju daerah lainnya. Di tempat itu juga dikerubuti semut, sampai akhirnya sampai di Desa Sulang. Di sana beliau tidak mendapatkan ketentraman.
           
Dalam kehidupan manusia Hindu Bali yang mengenal pola pemujaan leluhur juga terdapat banyak bhisama yang berkaitan dengan berkah dan kutukan. Contohnya adapah bhisama Sang Abra Sinuhun sebagai berikut: "Kamung Pasek mwang Bandesa, aywa lupa ring, kahyangan makadi ring Lempuyang, ring Besakih, ring Silayukti, mwang Gelgel Dasar Bhuwana. Yan kita, lupa ring kahyanganta, wastu kita tan anut ring apasanakan, tanwus amangguh rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, tan wus amangguh rundah, tan mari acengilan ring apasanakan, sugih gawe kurang pangan, mangkana, piteketku ring parati santana, kapratisteng prasasti, sinuhun de kita prasama, kita tan wenang piwal ring piteketku, ila-ila dahat, aywa lupa, aywa lali, mwah yan kita pageh ring piteketku, moga tan wus kita amanggihana dirgayusa, amanggih wirya gunamanta, sidhi ngucap, jannanuraga asihhing Hyang, dibya guna, susila weruhing naya, mangkana cihanyeng lepihan"
Artinya: "Kamu Pasek dan Bandesa, jangan melupakan kayangan yakni di Lempuyang (Lempuyang Madya), di Besakih (pura Ratu Pasek), di Silayukti, dan di Gelgel Dasar Bhuwana. Bilamana kamu melupakan kayanganmu, agar kamu tidak cocok di keluarga, tidak henti-hentinya merasa gundah, selalu cekcok dalam keluarga, giat bekerja namun kekurangan makan. Demikian peringatanku kepada keturunan tercantun di dalam prasasti, harus dipuja olehmu sekalian. Kamu tidak boleh melanggar pemberitahuanku, sangat berbahaya, jangan lupa, jangan lalai, dan apabila kamu taat dengan pemberitahuanku, mudah-mudahan kamu selalu panjang umur, memperoleh kekuatan dan kepandaian sempurna, ucapanmu, tersohor di dunia, dikasihi Hyang Widhi, memiliki sifat -sifat yang mulia, berkelakuan baik dan menguasai sifat-sifat kepemimpinan, demikian tanda-tandanya harus disebarluaskan".
Kalau dicermati dari bhisama di atas adalah sebuah nasehat kebaikan dari para leluhur yang sisampaikan secar turun temurun dengan segala berkahnya. Namun dibalik itu terdapat semacam pastu sebagai akibat dari apabila tidak mengindahkan bhisama tersebut.       

Sebagai contoh lagi, yang terkenal adalah pastu dari Brahmana Keling ketika beliau diusir dari Besakih saat menemui saudaranya yakni Dalem Waturenggong dan Danghyang Nirartha. Dimana diceritakan ketika beliau dari Jawa kemudian sampai di Gelgel, beliau mendapatkan situasi sedang sepi. Dalem dan sebagian rakyat sedang berada di Pura besakih melaksanakan Karya Eka Dasa Rudra. Kemudian Brahmana Keling segera datang ke Besakih. Brahmana Keling yang kelihatan lelah, lusuh, dan kotor, langsung menuju ke tempat upacara. Secara tidak sengaja beliau istirahat di tempat upacara berlangsung. Keberadaan beliau dilihat oleh Dalem, kemudian menyakan orang yang dianggap asing tersebut. Brahmana kotor tersebut mengatakan bahwa dirinya masih saudara Dalem dan Danghyang Nirartha. Tidak ada yang percaya dengan perkataan orang tersebut. “Jangan-jangan orang tersebut adalah orang yang tidak waras“. Demikian pikiran orang-orang saat itu. Orang yang mencemooh Brahmana Keling di Besakih. Brahmana Keling tersebut diusir dari Besakih, karena dianggap mencemari karya.
Dengan tidak bergeming, Brahmana Keling beranjak dari Besakih menuju ke arah barat daya, sambil mengucapkan kutukan. “wastu tata astu, karya yang dilaksanakan di Pura Besakih tan sidakarya. Bumi kekeringan, manusia kageringan, sarwa gumatat gumitit ngrubeda di seluruh jagat Bali“. Kutukan Brahmana Keling sangatlah manjur. Semua tanaman seketika layu dan mati. Tanaman yang sudah berbuah, tiba-tiba buahnya jatuh dan berguguran, busuk dimakan ulat. Di persawahan, tanaman padi dan palawija yang sudah siap panen tiba-tiba diserang hama tikus dan balang sangit. Penyakit merajalela menyerang manusia dan binatang-binatang peliharaan. Suasana menjadi mencekam, semua menderita, baik manusia, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan. Dalem Waturenggong menjadi bersedih karena keadaan tersebut. Tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut. Yadnya urung dilakukan karena situasi yang tidak memungkinkan.
Menghadapi situasi demikian, maka Purohito kerajaan yakni Danghyang Nirartha dan Dalem Waturenggong melakukan yoga semadi di Besakih. Dari yoga semadi tersebut beliau mendapatkan pewisik, bahwa penyebab semua ini adalah kutukan yang dikeluarkan oleh orang yang mengaku Brahmana Keling dan mengaku saudara Dalem. Hanya beliaulah yang mampu mengembalikan keadaan seperti sediakala. Maka dari itu, segera Dalem memerintahkan patih dan rakyat untuk menjemput orang tersebut sampai ketemu. Setelah beberapa lama dicari, didapat kabar bahwa Brahmana Keling telah sampai di Bandana Negara atau Badung pesisir selatan. Beliau tinggal dan membuat pesraman di sana. Di sana beliau dihadap oleh para patih dan beberapa rakyat sebagai utusan untuk menjemput Brahmana Keling untuk diajak ke Gelgel dan langsung ke Besakih.
Atas kesucian bathin beliau, Brahmana Keling bersedia datang kembali ke Besakih. Setelah sampai di Besakih beliau disambut dengan kehormatan. Dalem berkata bahwa Brahmana Keling dimohon untuk menarik kutukannya. Jika situasi kemudian dapat kembali seperti semula, maka Dalem akan mengakuinya saudara Dalem. Brahmana Keling melakukan hening sejenak sambil mengucap mantra sakti, tanpa sarana apapun. Seperti tidak diduga sebelumnya, keadaan berangsur-angsur berubah menjadi baik. Tanam-tanaman menjadi segar tumbuh subur kembali dan berbuah. Hama tikus, balang sangit dan segala jenis hama tiba-tiga menghilang dari persawahan. Rakyat yang tadinya menderita penyakit, menjadi sembuh seperti sediakala. Paceklik berubah menjadi hujan, bahkan keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Karena kesucian batin dan kesaktian dari Brahmana Keling, dan diakui sebagai saudara Dalem Waturenggong. Brahmana Keling kemudian dianugrahkan gelar Dalem. Karena berkat kesucian dan kesaktian beliau, sehingga keadaan menjadi lebih baik, dan karya yadnya dapat dilakukan dengan sukses sesuai maksud dan tujuannya, maka Brahmana Keling diberi julukan Brahmana Sidakarya. Gelar beliau menjadi Dalem Sidakarya.

Pada masa sekarang ini, mungkin pembaca sudah pernah mendengar kisah penemuan situs  Gumuk Gadung, yang sekarang dibangun Candi Purwo. Tempat itu pada awalnya dikutuk dipastu oleh Sabdapalon pada masa akhir kerajaan Majapahit. Tempat itu dilindungi oleh pastu dalam jangka waktu lima ratus tahun dengan bunyi “Jalmo Moro Jalmo Mati”. Siapa yang memasuki wilayah tersebut, maka akan tak kembali alias mati. Maksud dari pastu ini terkuak beberapa tahun yang lalu yakni menjelang tahun dua ribuan. Dimana tempat tersebut merupakan tempat pertemuan terakhir dari raja Majapahit terakhir yakni Prabu Brawijaya dengan pengasuh tanah Jawa yakni Sabdapalon Nayagenggong. Mereka berjanji akan kembali lagi untuk berkumpul di tempat ini setelah lima ratus tahun kemudian. Nah untuk melindungi tempat itu dari usikan manusia, maka tempat tersebut dipastu oleh Sabdapalon. Setelah lima ratus tahun kemudian barulah akan ada seseorang yang mendapatkan mandat untuk membuka kutukan dengan sarana Tirtha Sapta Gangga yang diperoleh melalui perjalanan spiritual yang panjang, serta godaan yang berat. Di tempat tersebut sekarang sudah dibangun sebuah candi yang bernama Candi Purwo sebagai amanat dari pengemban nusantara ini yakni Sabdapalon dan Prabu Brawijaya.

Terkait dengan urusan pastu, pembaca yang budiman mungkin sering menyaksikan di kalangan masayarat Hindu Bali tak dijinkan sembarangan membaca lontar. Hal ini memang benar adanya. Sebab dari sekian banyak lontar yang ditulis oleh para penulisnya, terdapat beberapa lontar yang dilindungi oleh penulisnya dengan memberikan pastu. Pastu itu adalah semacam peringatan keras dari penulis terhadap hasil karya. Apabila peringatan tersebut dilangar, maka akan terjadi sesuatu pada diri yang membaca lontar tersebut, atau yang mempelajari ilmu yang tersurat di dalm lontar tersebut. Nah inilah yang menyebabkan banyak orang takut membaca lontar. Lantaran takut terkena pastu dari lontar itu.
Memang tak semua lontar dilindungi dengan pastu. Tetapi banyak pula orang yang terkena pastu sebuah lontar. Seperti misalnya banyak orang yang menjadi gila karena membaca lontar tertentu. Ada pula yang kehilangan sebagian ingatannya, sehingga ia sering lupa-lupaan. Itu adalah gejala dari terkena pastu sebuah naskah kuno dan rahasia. Oleh sebab itu, orang yang mengetahui akan hal tersebut, maka ia akan mendahului pembacaan dengan mengucapkan puja puji kehadapan Betara Betari, agar tak terkena pastu, tak kena kutuk  dan tak terkena cakarabawa rajapinulah, sehingga terbebas dari pastu yang terdapat dalam lontar tersebut.

Pastu ini adalah kekuatan alam yang tak bisa dihalangi oleh siapapun, bahkan para dewa di kayangan. Banyak mitologi mengenai para dewa dikayangan yang dikenai pastu. Seperti kisah Dewa Siwa dan Parwati. Secara singkat disebutkan bahwa Dewi Parwati yang diutus untuk mencari susu lembu, ketahuan menjalin hubugan dengan seorang pengmbala lembu. Maka Dewi Parwati dikutuk serta harus menjalani hukuman menjadi Dewi Durga Bhairawa yang menjalani hidup di Setra Gandamayu sebagai Dewa sesembahan dari para bhuta kala dan penekun dari dunia kegelapan. Sampai akhirnya Dewa Siwa mengakhirinya dengan percengkramaan antara Rangda (Dewi Durga) dan Barong Ket (Dewa Siwa). Demikian dikisahkan.
Bahkan kelahiran dari Sang Panca Pandawa pun sejatinya dalam mitolofgi adalah akibat  kutukan di kayangan. Dalam Purana disebutkan bahwa Dewa Indra yang kawatir dengan tapa dari Asura Tri Sirah yang bertapa kehadapan Dewa Brhama, ingin mendapatkan kekuatan untuk menguasai kayangan. Ketika Asura Tri Sirah sedang bertapa, maka Dewa Indra lalu memenggal kepala sang asura tersebut. Karena melanggar dari sesana, maka Dewa Indra terkena kutukasn Dewa Brahma yakni Dewa Indra akan kehilangan sebagian kekuatannya. Kekuatannya akan menuju ke Dewa Dharma menjelma menjadi Sang Dharmawangsa, sebagian lagi menuju ke Dewa Bayu yang nantinya akan menjelma menjadi Sang Bima, kekuatan Dewa Indra yang masih tersisa secara langsung akan menjelma menjadi Sang Arjuna, dan sebagian lagi menuju ke dewa kembar yang akan menjelma menjadi Nakula dan Sahadewa.

Masalah pastu, mungkin pembaca masih ingat dengan kejadian Bom Bali di Kuta. Masyarakat Bali mengutuk pelaku dengan melakukan doa bersama dan upacara Karipubaya, yang akhirnya semua pelaku dan jaringannya habis tuntas terungkap.  Dan masih banyak lagi contoh mengenai pastu di dalam kehidupan masyarakat sejak jaman dahulu sampai jaman sekarang. Dalam cerita rakyat di daerah lainnya, kutukan atau pastu banyak diceritakan, seperti seseorang dikutuk menjadi batu, menajadi kayu, menjadi binatang, menjadi manusia jelek, dll. Ini membuktikan bahwa kutukan itu memang benar-benar terjadi dan nyata.

Bagaimana kutukan itu bekerja dan mengenai orang yang dikutuk. Apakah setiap orang yang dikutuk itu bisa terkena. Jelas tidak akan ada jawaban pasti, sebab akibat kutukan itu pastilah disingkronkan dengan karma yang bersangkutan serta sejauhmana derajat kesalahan dari mereka yang mengutuk, serta sejauhmana si pengucap pastu itu mendapatkan dampak kerugian dan seberapa tulus orang mengutuknya.
Dari pengamatan mengenai kutukan, mengindikasikan bahwa orang yang teraniaya, orang yang tersakiti, kutukannya manjur. Karena kutukannya dilandasi atas kebenaran dan rasa prihatin yang mendalam. Artinya si pengutuk memohon kehadapan Tuhan agar proses karma dari perbuatannya tersebut dipercepat.

Dan bicara mengenai kutukan, yang aneh lagi adalah para pedagang yang sering mengutuk dirinya sendiri untuk meyakinkan pembeli agar dapatkan untung yang besar. Sebagai contoh, dalam proses tawar menawar seringkali si penjual berucap apang sing selamet (agar tak selamat), pang lilig montor (agar dilindas sepeda motor), bani kiting / jengker (berani stroke), pang salahang betara (agar disalahkan oleh para dewa), pang mati (biar mati), dll.
Ucapan yang mengerikan itu setiap hari terucap di pasar dalam proses tawar menawar. Kenakah mereka akibat dari kutukan mereka sendiri? Rupanya hal ini hanyalah didasari atas motivasi untuk mendapatkan untung. Ini adalah sebuah ucapan sampah, sumpah serapah yang tak tulus dan tak ada sebab akibat.  Hanya berlangsung begitu saja tanpa ada yang teraniaya, tersakiti, sehingga tak berdampak bagi si pengucap. (KI Buyut/ Kanduk).

No comments:

Post a Comment