Thursday, September 3, 2015

Nyama Selam Ngejot Be Kambing





Ada hal yang mulai mencuri perhatian setiap tahunnya ketika hari raya kurban atau Idul Adha bagi umat Islam. Hari suci yang juga disebut dengan Lebaran Haji di Indonesia ini semakin tahun  menjadi semakin marak. Konon hari ini adalah hari ujian kesetiaan, ujian ketulusan, serta ujian bagi semua umat muslim di dunia dituntut keiklasannya dalam menjalankan kehidupan dengan melakukan penyembelihan. Hari lebaran haji ini semakin menjadi ingatan bagi umat lainnya terutama di daerah Bali khususnya di Denpasar yang tingkat kemajemukannya sangat tinggi. Apa yang menjadi menarik perhatian?
Pasalnya pada setiap hari Idul Adha, umat muslim merayakan dengan melakukan persembahyangan dan memotong hewan kurban yakni sapi atau kambing. Pada awalnya dahulu, kambing yang disembelih itu hanya diperuntukkan bagi mereka warga muslim yang terkumpul dalam satu mesjid saja. Namun dalam perkembangan berikutnya, mengingat semakin majemuknya kehidupan di Denpasar, maka daging-daging kambing tersebut mulai sedikit demi sedikit diberikan kepada warga-warga tetangga yang lain agama, apakah Hindu atau Kristen. Warga Hindu dan Kristen pun tak menolak dan menerima dengan tulus iklas, sebab daging kambing memang lezat dan menyehatkan. Umat Hidnu Bali dan mungkin warga Kristen tak begitu fanatik dengan makanan, hal ini suatu hal yang wajar dan tak masalah. Dan memang sedikit berbeda dengan warga muslim yang kerapkali sangat memperhatikan asal usul makanan dalam label halal. Termasuk cara sembelih binatang yang mesti mengikuti kaidah tertentu dalam islam. Sehingga kerapkali warga muslim kesulitan mencari makanan di tanah Bali ini, demikian juga kerapkali tak bisa mengkonsumsi makanan yang diproduksi oleh warga non muslim (hal ini hanya terjadi bagi mereka yang fanatik atau “sok fanatik”). Sebab sebagian besar umat muslim di Bali tak mempermasalahkan makanan Bali, kecuali babi. Dan memang mestinya begitu. Sebab dimana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Sedangkan masyarakat Bali Hindu atau Kristen, tak banyak masalah dengan daging. Kecuali bagi kaum rohaniawan Hindu Bali yang telah melakukan upacara inisiasi dan penyucian yang disebut dengan mewinten, maka ada brata atau pantangan untuk tak memakan daging sapi, karena sapi dianggap sebagai binatang yang disucikan, bukan binatang yang diharamkan.
Nah kembali ke tradisi ngejot be kambing, semakin tahun semakin meningkat dan semakin menjadi ingatan bagi krama di luar muslim, sehingga kegiatan potong kurban menjadi semakin meningkat, mengingat semakin banyak warga dan tetangga yang mesti dikirimi daging kambing. Umat muslim makin berlomba-lomba untuk memberikan kiriman kepada umat non muslim pada hari Idul Adha.
Dalam konteks hidup kebersamaan, hal ini adalah suatu hal yang positif karena daging kambing dipakai sebagai sarana untuk menjalin hubungan baik atau tali silaturahmi antara warga muslim dan non muslim di Denpasar. Demikian juga dalam konteks pemaknaan dari hari kurban tersebut, bahwa daging kambing dipakai sebagai simbol keiklaasan sebagai manusia dalam menjalani kehidupan. Demikian juga keilaksan untuk hidup bersama dalam kebinekaan di tanah nusantara ini. Daging kambing sebagai simbol tali pengikat hidup dalam keberagaman, sebagai simbol kebersamaan, simbol persatuan.
Namun di luar konteks pemaknaan tersebut, memang ada beberapa warga masyarakat Hindu Bali yang menilai bahwa daging kambing tersebut kalau diterjehamkan ke dalam filosofi Hindu, bahwa daging kambing itu adalah daging persembahan yang dalam Hindu disebut dengan daging caru. Akibat dari pemahaman tersebut, maka ada beberapa masyarakat yang menganggap bahwa daging tersebut tak layak dikonsumsi, karena sudah dipersembahkan kepada para bhuta kala. Dan itu bukan ditujukan untuk manusia.
Terlepas dari pemaknaan segelintir orang mengenai be kambing tersebut di atas sebagai daging caru. Ngejot be kambing mesti dimaknai secara positif dalam jaman kekinian yakni sebagai simbol keiklasan. Artinya pula bahwa ada nilai keiklasan timbal balik antara manusia Hindu Bali dengan warga Muslim di tanah Denpasar. Artinya bahwa umat Hindu Bali dapat menerima jotan daging kambing kaum muslim dengan iklas, maka kaum muslim mesti dapat menerima dengan iklas jotan orang Bali Hindu berupa makanan Bali (yang sudah tentunya tanpa unsur babi). Sehingga akan muncul keiklasan antara si pemberi dan penerima. Kalau hal ini bisa dilaksanakan, maka saling ngejot antar umat di hari raya sangat berarti bagi kehidupan kekinian di tanah Bali dan di tanah nusantara ini. Namun sayang, kerapkali makanan yang diberikan kaum Hindu kepada umat muslim kurang bisa diterima karena menurut mereka tata cara penyembelihan tak sesuai dengan tata cara mereka. Sehingga seringkali umat muslim menganggap makanan yang diolah oleh orang Bali Hindu tak layak disantap oleh kaumnya. Lalu saudara muslim selalu memasang spanduk di warungnya berlabel “Warung Muslim”. Lalu bagaimana dengan tanah Bali yang dipijak, air Bali yang diminum, serta udara Bali yang telah dihirup, serta langit Bali yang dijunjung? Layakkah bagi mereka?. Semoga saudara-saudara muslim di Bali bisa memahami keberagaman ini dan tak terjebak dalam situasi dimana kita mesti saling memahami dan saling menghormati. Kita salut dengan sebagian saudara muslim yang tak pernah mempermasalahkan makanan krama Bali (kecuali babi). Label halal, haram, warung muslim, sukla, dll, hanya akan menyulitkan diri sendiri. (Kanduk).  



No comments:

Post a Comment