Tuesday, September 8, 2015

Saatnya Hindu Jawa Tampil dengan Gayanya sendiri





Untuk mengawalai tulisan ini, ada penulis ingin menyodorkan pertanyaan ini. “Benarkah orang Jawa telah meninggalkan Hindu?”, “Benarkah sembilan puluh prosen penduduk Jawa telah memeluk agama non Hindu?”
Jawabannya sudah bisa dipastikan relatif, tergantung dari siapa yang menjawab, serta dalam sudut pandang mana. Tetapi menurut penulis, jawabannya sudah pasti “tidak benar”. Orang Jawa sejak masuknya agama baru – menurut sejarah dan menurut serat dharma gandul – orang Jawa sejatinya tidak banyak berubah dalam hal keyakinan dari gempuran keyakinan baru. Aura tanah Jawa tak bisa diubah begitu saja lewat keyakinan yang tak pernah mau memelihara tatanan masyarakat adat dan keyakinan budaya leluhur. Pengasuh tanah Jawa tak sudi kalau tatanan adat dan budaya Jawa ditinggalkan begitu saja. Hati nurani manusia Jawa tak sepenuhnya dapat menerima dan  memahami keyakinan yang diimport dari tanah seberang. Jawa akan menjadi Jawa selamanya. Keyakinan tanah Jawa adalah keyakinan abadi. Nurani tanah Jawa tak akan kemana-mana, sulit untuk digoyang. Ada kalanya ia diam tak melawan, bukan berarti mereka semuanya mati. Namun mereka menunggu sampai saatnya tiba dengan tepat untuk muncul ke permukaan, tanpa harus membuat kegaduhan. Namun kemunculannya akan selalu menarik perhatian, akan selalu menggoda, selalu menyejukkan. Karena semuanya akan muncul dalam bentuk budi pekerti luhur warisan leluhur tanah Jawa terdahulu.
Sejak jaman dahulu sampai sekarang, manusia Jawa sejatinya tak meninggalkan Hindu dan budaya leluhurnya. Cuman karena klaim dan propokasi serta propaganda dari kelompok tertentu, mengesankan bahwa manusia Jawa telah meninggalkan Hindu sebagai roh dari Budaya Leluhurnya. Sejatinya Hindu Jawa bagaikan sebuah balon lampu yang diselimuti debu, ia tampak seperti apa yang dipropagandakan sekelompok orang, namun sejatinya ia adalah masih seperti yang dulu, tak berubah. Perilaku manusia Jawa saat ini tak ubahnya dengan perilaku manusia Jawa ketika memeluk Hindu terdahulu. Itu artinya bahwa manusia Jawa sejatinya melakoni keyakinan Hindu, walaupun dalam administrasi kependudukan mereka masuk dalam kelompok keyakinan tertentu. Apalah artinya sebatas label, daripada kesejatian.
Dalam hal ini, ada gejolak bhatin di kalangan manusia Jawa mengenai kesejatian keyakinannya. Mereka selalu melakoni hal-hal yang bersifat tradisi yang sejatinyanya laku Hindu. Di kalangan manusia Jawa kini berpikir, aku ini orang Hindu atau non Hindu? Kalau seandainya aku orang non Hindu kenapa keseharianku aku melakukan hal-hal yang menjadi laku dari leluhur yang memeluk Hindu. Terus kalau aku kembali ke keyakinan leluhur, aku mulai darimana? Sebab ketika mereka larut dalam keyakinan import dengan segala doktrin kuatnya, manusia Jawa justru merasa kering dan merasa jauh dari budaya, jauh dari tanah leluhur, serta jauh dari nilai-nilai ke-Jawa-annya.
Inilah pergolakan bhatin yang terjadi di kalangan manusia Jawa saat ini. Artinya pula bahwa apa yang dicari dengan beraslaskan keyakinan saat ini, yang menjadi tujuan hidup dan kehidupan malah semakin jauh dicapai. Artinya manusia Jawa dalam hal keyakinan saat ini ada di persimpangan jalan. Atau ada suatu perasaan gengsi atau perasaan eman-eman jika beralih ke agama leluhur. Atau bisa jadi akan mendapatkan tekanan-tekanan mental maupun fisik bila ada keinginan-keinginan untuk kembali ke agama leluhur. Walaupun sebagian kecil dari manusia Jawa yang ada di pelosok pedesaan atau pegunungan, mungkin beberapa bagian diperkotaan sudah berani secara terbuka mengatakan diri Hindu, walau dengan berbagai macam resiko sosial yang mungkin mereka terima. Dan fenomena itu semakin menjadi-jadi dan semakin menarik kalau kita amati semakin tahun.
Seolah-olah kembangkitan dari Hindu Jawa semakin kelihatan dalam satu dekade belakangan ini. Walaupun pada awalnya mereka dimotivasi dan difasilitasi oleh rekan-rekan dari Bali. Mereka tergerak hatinya untuk bangkit, dan terdorong untuk muncul ke permukaan kembali ke keyakinaan leluhur tanah Jawa.
Dalam tidurnya yang panjang, Hindu Jawa sudah lama terdiam terpendam. Dan ketika terbangun, banyak hal yang sudah terlupakan, dan banyak hal yang terlewatkan. Mereka banyak kehilangan kitab, mereka banyak kehilangan ritual serta mereka banyak kelewatan momen, informasi dan filosofi. Sebenarnya semua itu tak hilang, namun tercerai berai karena tidur yang terlalu panjang. Sedangkan di tanah Bali, Hindu berkembang dengan subur dalam kurun waktu seribu tahun, dengan gayanya yang sangat megah dan eksentrik.
Akibat banyak kehilangan tersebut, maka banyak hal yang kemudian diisi dari filosofi, ritual, serta tradisi Hindu Bali. Namun setelah sekian lama digembleng dengan tradisi Hindu Bali, para rohanian Hindu Jawa mulai menemukan suatu hal beda dengan Hindu Bali. Hindu Jawa mulai mengkaji diri, berpikir ulang, apakah akan terus dicekoki dari Bali dengan segala gemerlap upacaranya, ataukah menjalankan tradisi Hindu serta filosofi Hindu Jawa. Pemikiran ini mulai berkembang di kalangan para tokoh Hindu Jawa.
Bagi kalangan Hindu Bali, hal tersebut sebenarnya tak masalah dan malahan hal itu bagus. Artinya pada awalnya Hindu Bali telah mendampingi dan menuntun Hindu Jawa untuk bisa duduk berdiri tegak di tanahnya sendiri, walaupun melalui asupan energi filosofi Bali. Kini ketika telah terbangun dan tersadarkan, lalu bisa berdiri sendiri, maka akan lebih mapan untuk menatap jati diri dari Hindu Jawa itu sendiri.
Manusia Hindu Bali sejatinya tak ada maksud untuk mem-balinisasi-kan Hindu Jawa. Yang ada adalah mengisi sementara dalam proses pembangkitan, dalam proses pengaktifan dari tradisi Hindu Jawa yang telah tertidur sekian lama. Bahkan akan lebih baik Hindu Jawa tumbuh dengan sendiri dengan tradisinya, dengan ritualnya sendiri. Yang tak boleh beda adalah dasar dari Hindu sendiri yakni Panca Srada yakni lima dasar keyakinan manusia Hindu yang tak dimiliki oleh keyakinan lain selian Buda dan Konghucu.
Artinya, biarkan Hindu Jawa tumbuh berkembang dengan sendirinya. Hindu Bali saat ini mesti mengambil peran memotivasi, mendorong, mendampingi dan mengawal perkembangan Hindu Jawa yang sudah mulai tumbuh rasa percaya dirinya setelah sekian lama dalam tekanan dan trauma kejiwaaan. Biarkan tokoh Hindu Jawa membentuk Parisada Hindu Jawa tampil dengan gayanya sendiri, seperti Hindu yang ada di India, Malaysia, Bali, Amerika, Afrika, dll. Biarkan Hindu mencari bentuknya sendiri dalam wadah ruang lingkup yang dimasuki. Hindu adalah agama tirta, Hindu adalah agama air, artinya sesuai dengan sifat air, bahwa Hindu akan mengalir terus tanpa henti, serta mengambil bentuk sesuai  dengan dimana mereka berada. Air berada dalam gelas akan berbentuk gelas, air dalam botol akan berbetuk botol, air dalam ember akan berbentuk ember. Namun pada hakekatnya semuanya adalah Hindu.
            Mari kita dorong kebangkitan Hindu Jawa. Mari kita kawal Hindu Jawa untuk mencari jati dirinya. Mari kita damping Hindu Jawa dalam rekonstruksi kembali kejayaannya. Jaya Jaya Jaya … rahayu… rahayu… rahayu.. (Kand).

No comments:

Post a Comment