Wednesday, July 13, 2016

Seniman Bali Mesti Kembalikan Pakem





Hentikan merombak pakem ! Hentikan membelokkan pakem! Hentikan bereksperimen atas nama pakem ! Hentikan pembangkangan terhadap pakem seni Bali ! Seniman Bali telah jauh dari pakem ! Seniman Bali Mesti Kembali Ke Pakem !

            Seni adalah kesabaran, seni adalah ketulusan, seni adalah persembahan, seni adalah tapa brata dan yoga. Taksu seni ada pada kemampuan dari seniman untuk memenuhi unsur pakem. Ketika sang seniman dihinggapi rasa pamrih dalam berkarya, berpacu dalam waktu, maka senipun akan menjadi sebuah benda pabrikan sesuai dengan pesanan, tak akan berumur panjang dan hampa.
            Bagi kalangan seniman Bali dan penikmat seni budaya Bali maka tak akan asing mendengar tari panjembrama, margapati, legong kraton, panji semirang, wiranata, kebyar duduk, kebyar trompong, oleg tamulilingan, gabor, pendet, baris, jauk, teruna jaya, dll. Diiringi tetabuhan semara pegulingan, gong kebyar yang semuanya merupakan mahakarya seniman Bali masa lalu. Karya tersebut menjadi monumental sampai sekarang masih enak dinikmati, sepertinya tak ada kata bosan. Padahal karya seni tersebut diciptakan sekitar tahun tiga puluhan, tahun empat puluhan, tahun lima puluhan yang lalu. Sampai sekarang taksu dari karya seni tersebut masih kuat, masih enak didengar, serta masih sedap dipandang mata.
            Itu adalah karya-karya seniman yang penciptanya sudah almarhum, namun karyanya masih dapat dinikmati. Kemudian timbul pertanyaan, setelah itu mengapa tak ada karya seni yang monumental lagi. Apakah tidak ada seniman yang berkarya?. Kalau dibilang tidak ada seniman yang berkarya, justru yang menyebut diri sebagai seniman sungguh sangat banyak. Apalagi disediakan oleh pemerintah sebuah lembaga formal yang mencetak para seniman seperti di SMKI (SMK) dan STSI (ISI). Setiap tahun para seniman muda telah jebol (lulus) dari lembaga ini.
            Atau mungkin media untuk berkarya bagi mereka tak ada? Ah kalau masalah itu, mungkin sekarang jauh lebih mewah tempatnya dibandingkan dengan terdahulu. Sekarang banyak disediakan tempat berkarya seperti taman budaya, kampus, sanggar-sanggar seni yang bertebaran di berbagai tempat. Belum lagi setiap tahun pemerintah menganggarkan sekian miliar rupiah hanya untuk menggelar hajatan yang bernama Pesta Kesenian Bali yang konon merupakan perhelatan para seniman Bali untuk menampilkan karya terbaiknya.

            Setelah lebih dari tiga puluh tahun berlalu, sampai saat ini tak ada sebuah karya monumental yang muncul di kalangan seniman Bali. Apa kira-kira yang menyebabkan? Padalah setiap tahun di setiap daerah dianggarkan oleh pemerintah bagi para seniman untuk mencipta sebuah karya untuk diadu dalam PKB.
            Betul para seniman dengan anggaran tersebut terangsang untuk berkarya dan mencipta. Banyak yang berkarya mati-matian untuk menampilkan karya tari atau tetabuhan. Pertunjukan dibuat heboh, glamour, dengan tata rias yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadilah sebuah karya yang meriah.
            Kemudian setelah dilombakan, tari maupun tabuh tersebut sama sekali tak pernah terdengar di masyarakat. Tak pernah ada yang mementaskan lagi. Ini artinya habis lomba, buyar semua tanpa sisa. Padahal untuk membuat garapan tersebut memerlukan biaya yang sangat besar dan melibatkan para seniman top di masing-masing daerah. Bahkan terkesan bahwa tabuh atau tarian itu hidup ketika festival setelah itu tenggelam ditelan bumi. Tak salah kalau masyarakat menilai bahwa dalam dua dekade ini memunculkan banyak “seniman proyek” (maaf). Seniman berkarya sesuai dengan pesanan dengan dana tertentu untuk tujuan tertentu. Ada yang untuk kegiatan promosi, politik, dll. Bahkan seringkali kita lihat lomba tari digelar di sebuah mall. Sudah tentu hal ini tak nyambung. Karena seni Bali itu memiliki nilai tersendiri dan memiliki kesakralan tersenddiri dan memiliki panggung tersendiri, yakni panggung tradisonal yang berbaur dengan adat, agama, dan sudah tentu alam lingkungan.    
Demikian pula dengan karya seni yang merupakan karya akhir dari para seniman muda sebagai persyaratan kelulusan. Semuanya akan hidup pada hari yang diperlukan saja. Setelah itu nak kenken nak sing (nggak urus).
            Lagi-lagi muncul pertanyaan, kenapa karya tersebut menjadi sirna begitu saja, tak berumur? Padahal karya mereka tersebut telah dirancang sedemikian megah, sedemikian meriah?
            Di balik karya besar yang glamor tersebut ternyata sama sekali tak memiliki taksu (aura magis/daya tarik/karisma). Karya tersebut tampil hambar tanpa pesona. Apa yang kurang dari karya tersebut?. Padahal para seniman penciptanya telah nyejer daksina untuk nunas kehadapan Ida Betara Taksu agar karyanya menjadi ber-taksu. Kok tak mempan. Lagi-lagi ada apa dengan karya-karya tersebut?
            Setelah dilihat, dirasakan, kemudian dibanding-bandingkan dengan karya yang monumental tersebut, rupanya ada satu hal kunci yang telah dilanggar oleh para seniman saat ini. Hal tersebut terkait dengan tata aturan yang disebut dengan pakem. Pakem mungkin dapat diartikan sebagai sebuah sepat siku-siku/uger-uger atu suatu pedoman bagi seniman dalam berkarya. Uger-uger ini, kalau diandaikan manusia maka ia adalah manusia yang utuh dengan kepala, badan, kaki dan tangan. Kalau dalam alur waktu maka ia adalah pembuka, isi, dan penutup. Ketika uger-uger/pakem ini dapat dipenuhi, barulah sebuah karya menjadi sesuatu yang lengkap, indah dipandang mata dan enak didengar.
            Bandingkan dengan sebuah karya yang tak mengikuti pakem, maka ia akan tampak seperti seorang manusia yang tak sempurna misalnya tak berkepala, tak berbadan atau tanpa tangan. Maka ia tak akan cantik dipandang dan tak enak didengar. Demikian kalau diumpamakan.
Mungkin pada saat ini para seniman yang mencipta karya tersebut didasarkan atas sebuah emosi yang berlebihan. Emosi tersebut bisa muncul karena adanya sebuah persaingan di antara seniman, atau disebabkan karena motif ekonomi dalam hal ini adalah ada sebuah proyek sesuai dengan pesanan. Sedangkan kalau dibandingkan dengan seniman pada masa lalu bahwa para seniman berkarya bebas dari motif ekonomi, mereka berkarya dengan jiwa dan hati nuraninya, dilandasi kesabaran, mengadospsi keindahan alam, sehingga menjadilah sebuah karya yang fundamental. Yang penting lagi, sang seniman tak pernah dibatasi oleh durasi waktu. Ia bebas berekspresi dalam ruang lingkup pakem. Sehingga memunculkan karya seni berdurasi pendek namun menaarik, atau karya seni berdurasi panjang namun tak membosankan. Semua pakem dalam sebuah karya seni dipenuhi, munculah ia sebagai sebuah karya seni yang indah dipandang dan enak di dengar, sehingga menjadi sebuah karya yang fundamental dan monumental, menjadi legenda seni, dan disukai sepanjang masa. Menjadilah sebuah karya yang metaksu.
Ternyata taksu yang diimpikan oleh seorang seniman terletak pada bagaimana sang seniman berkarya dalam ruang lingkup pakem.

            Seseorang seniman yang merombak pakem kemudian memunculkan sebuah karya besar dan banyak diminati oleh masyarakat, karena hal ini dianggap sebuah hal yang baru oleh masyarakat. Namun perlu diingat bahwa sesuatu yang baru yang tak mengikuti pakem hanya akan berumur pendek dan segera ditinggal penggemarnya.
            Bandingkan dengan seniman terdahulu yang berkarya dengan emosi yang stabil. Didahului dengan perenungan yang panjang untuk mendapatkan ide, kemudian mencari pola gerakan sesuai dengan pakem seni, dengan sabar memadukan dengan unsur alam, sehingga akan menjadi sebuah karya yang mendekati sempurna.
Seniman dahulu berkerja berdasarkan tattwa atau filsafat yang benar-benar dipahami. Mohon maaf, saat ini banyak seniman hanya mencipta sebuah tabuh atau tari namun sayang sekali tidak diimbangi dengan pemahaman filosofis dari karya yang dibuatnya. Boleh dikatakan karya tersebut menjadi sebuah karya seni yang kering akan makna, dan lebih menampilkan atraksi sebagai sebuah kepiawaian dalam memainkan sebuah alat musik gambelan, atau menari dengan tampilan tat arias dan tata busana yang dibuat sedemikian rumit, yang mengesankan tampilan tersebut menjadi “runyam”.
            Ada lagi bahwa seorang seniman saat ini membuat karya yang sudah merombak pakem, kemudian berusaha ia menampilkan sebuah karya yang rumit agar kelihatan hebat dan dengan faktor kesulitan yang tinggi sehingga tak banyak yang bisa meniru, dengan harapan akan mendapat nilai banyak dan menang dalam festival. Demikian pula kalangan seniman banyak yang berkarya atas emosi yang berlebihan sehingga kelihatan moce / merengesan dalam artian variasi yang ditampilkan terlalu berlebihan. Dan saking emosinya untuk menciptakan variasi, sangat sering sang seniman menjadi keluar dari pakem. Menjadilah ia sebuah kesenian yang kurang memiliki makna, berbau kontenporer dan terkesan di beberapa sisi meniru dari karya yang sudah ada sebelumnya.
            Kalau dari segi potensi, saat ini kemampuan para seniman jauh lebih bagus dibandingkan dengan seniman terdahulu. Seandainya saja para seniman saat ini mau berkarya dalam ruang lingkup pakem, didasari atas tattwa, berlandaskan ketulusan, memiliki kesabaran, maka akan muncul berbagai macam karya seni yang memiliki taksu yang kuat. (Ki Buyut Dalu).


No comments:

Post a Comment