Monday, April 10, 2017

Dari Geguritan ke Novel (Sebuah Apresiasi dari IB Widiasa Keniten)




Seputar sastra bali modern, geguritan, cerpen, ulasan, artikel, dan drama bali modern

Dari Geguritan ke Novel
Oleh IBW  Widiasa Keniten

Geguritan Basur  hasil cipta Ki Dalang Tangsub telah menggugah seniman – seniman lain. Baik seni dramatari, khususnya arja, seni pencalonarangan dengan lakon Basur. Tokoh  Basur terkesan mistis dalam setiap pementasan. Basur identik dengan dunia pangeleakan yang ada di Bali. Basur merupakan tokoh hidup yang mewakili dunia mistis. Setiap membicarakan tentang pangeleakan, Basur selalu hadir. Inilah salah satu kehebatan dari Ki Dalang Tangsub yang mampu menghidupkan tokoh.  
            Tokoh Basur tidak berasal dari tokoh – tokoh yang berlatar belakang istana, seperti layaknya cerita klasik. Ia berasal dari rakyat jelata hanya dikatakan perekonomiannya di atas rata  - rata dibandingkan dengan masyarakat yang ada di desa Karangsari.Cuma di antara masyarakat Karangsari, Basur dikenal menguasai pangeleakan.
            Hal – hal di atas tampaknya menggugah para pengarang  untuk mengabadikan tokoh Basur dalam karya – karyanya. Salah satunya karya novel dari Kanduk Supatra, Ki Gede Basur antara Asmara dan Ilmu Hitam. Buku ini dicetak oleh Panakom.
            Kanduk Supatra jelas – jelas mengatakan bahwa ia mengambil sumber dari Geguritan I Gede Basur yang ditransliterasikan oleh Made Sanggra. Ada perbedaan antara Geguritan Basur dalam Kidung Prembon dengan Geguritan I Gede Basur karya Ki Dalang Tangsub yang transliterasi oleh Made Sanggra ada penambahan tokoh Ni Garu yang mengalahkan I Basur.
Dalam Kidung Prembon, tokoh Basur tidak dikalahkan. Basur disadarkan oleh Ki Balian. Tidak ada kalah dan menang. Keduanya menyatakan diri berjalan sesuai dengan swadarmanya ( tugas dan kewajibannya masing- masing), Dharma Sadhu dan Dharma Weci. Dualisme yang selalu bertentangan.  Dalam novel Ki Gede  Basur antara Asmara dan Ilmu Hitam, Ni Garu yang mengalami penyadaran. Kedua tokoh yang menguasai ilmu hitam Basur dan Ni Garu (pria dan perempuan) disadarkan oleh Ki Balian Sadhu.
            Kanduk Supatra melakukan penggubahan dari Geguritan menuju Novel. Konsekwensi dari penggubahan  ini akan ada  perubahan – perubahan bahasa, bentuk, isi, dan budaya yang ingin diungkapkan oleh pengarang  novel.

Interfrensi  Bahasa
            Interfrensi  bahasa terjadi dari bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia. Interfrensi ini digunakan untuk menambah kekentalan cerita dan juga terdapat beberapa kata – kata yang tidak ada padanannya di dalam bahasa Indonesia secara tepat, misalnya, pangeleakan, ngaben, buratwangi, lengawangi, canang sekar, bale dauh dan sebagainya. Masuknya kosakata bahasa Bali ke dalam novel berbahasa Indonesia sebenarnya juga dilakukan oleh Putu Wijaya dan juga Oka Rusmini. Ini sebagai penanda bahwa bahasa ibu bisa digunakan untuk menambah suasana dan penggambaran cerita agar semakin dekat dengan masyarakat pendukungnya.
            Bahasa Bali yang memiliki kekhasan tersendiri, tentulah tidak semuanya dapat dialihkan ke dalam bahasa Indonesia. Ia meski tetap dipertahankan selama tidak mengganggu alur, suasana cerita yang digambarkan oleh penulis dalam hal ini oleh Kanduk Supatra.
 Bahasa Bali tidak serta merta akan mengganggu cerita yang ditulis bahkan justru bisa sebagai memperkuat cerita. Hanya saja tidak diberi penjelasan oleh Kanduk Supatra kata – kata bahasa Bali yang dipilihnya. Novel ini memang akan menyulitkan jika tidak berlatar belakang dari budaya Bali. Meski diakui beberapa kosakata bahasa Bali  susah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, misalnya ngaben yang sering dimaknaai upacara pembakaran mayat. Padahal, banyak prosesi yang berkaitan dengan ngaben bukan hanya pembakaran mayat  saja.
            Pengarang  novel, Kanduk Supatra menjadi dwibahasawan (bahasa Bali dan bahasa Indonesia) baik pasif maupun aktif. Tidak akan menjadi novel yang bagus jika tidak memahami kedua bahasa Bali dan Indonesia, tetapi dalam kenyataannya Kanduk Supatra mampu menggunakan kedua bahasa itu dengan baik.

Pengalihan Bentuk
            Geguritan dimaknai cerita dalam bentuk puisi yang dapat dinyayikan (Kamus Bali Indonesia, 2005 : 289). Geguritan Basur yang berupa puisi tradisional dapat dinyayikan dalam hal ini memakai tembang ginada. Ciri karya geguritan,  terikat dengan aturan – aturan, seperti jumlah suku kata dalam setiap larik; jumlah larik dalam setiap baik; persamaan bunyi yang mengakhiri larik atau baris. Bait – bait yang dikenal dengan pada dalam aturan penulisan geguritan tidak bisa diubah. Aturan – aturan dalam geguritan bersifat baku sebagai ciri khas sebuah geguritan. Bentuk geguritan diubah menjadi bentuk yang cair seperti prosa. Jika dalam geguritan, bait – bait itu bisa dinyanyikan setelah menjadi sebuah novel tidak bisa karena ia sudah memasuki dunia tersendiri. Karya tradisional memasuki wadah baru berbentuk novel. Ia mesti mengikuti aturan – aturan novel yang tidak terikat pada aturan – aturan tertentu.
            Pengarang  novel mendapatkan kebebasannya dalam mengolah cerita. Ia tidak lagi terpaku pada aturan – aturan yang sifatnya mengikat. Kebebasan dalam berkreativitas  teruji di samping kemampuannya menambahkan hal – hal lain yang tidak ada dalam geguritan, misalnya deskripsi tentang rumah I Gede Basur, deskripsi desa Karangsari. Deskripsi tempat, tokoh, dan suasana desa.
            Dalam novel I Gede Basur pun, tidak ada kutipan geguritan berpupuh ginada. Jika kita lihat pada Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari masih mengutip beberapa tembang yang mampu menambah suasana alam desa. Jika ditambahkan misalnya tembang saat Basur membawa sajen ke kuburan yang berkaitan dengan perubahan wujud,  akan menambah suasana mistis dalam novel.  Misalnya, mangkin reké sandikala,I Gede Basur ia pedih, ka sétra mangaba canang, maduluran sanggah cucuk , maebésiap biying brahma,buratwangi, daluwang marajah Dhurgha ( Geguritan I Gede Basur, 2006: 13). Artinya, sekarang sudah senjakala, I Gede Basur ia marah, ke kuburan membawa sajen, disertai sanggah cucuk, lauknya ayam merah brahma, buratwangi ( nama sajen), kertas bergambarkan Dewi Dhurga.

Pengembangan Isi
            Alur cerita yang ada dalam geguritan Basur dikembangkan lagi sesuai dengan kemampuan si penulis. Geguritan Basur hanya sampai meninggalnya I Gede Basur setelah kalah bertanding dengan Ni Garu. Dalam novel I Gede Basur tokoh Ni Garu disadarkan oleh Ki Balian Sadhu.  Seakan –akan Kanduk Supatra  ingin menyampaikan bahwa kebenaran pasti akan menang atau Dharma mengalahkan Adharma.
            Penambahan tokoh – tokoh pun dilakukan oleh Kanduk Supatra. Misalnya, Ni Rumanis yang dinikahi oleh I Tigaron yang  bertemankan I Nyoman Lawe. Pernikahan Tigaron yang dibantu oleh Jero Made Polos. Ni Codet yang juga menjadi pengikut Ni Garu. Ki Balian Sadhu dalam novel  sebagai pengganti Ki Balian dalam geguritan.
            Penambahan tokoh dalam novel tidak mengganggu alur cerita yang sudah ada dalam geguritan selama narasi dan  pendeskripsiannya  terukur dan sistematis sehingga pembaca lebih memahami karakter dari masing – masing tokohnya.
            Degresi – degresi (lanturan)  yang ditulis Kanduk Supatra memperjelas suasana alam pedesaan saat Bali masih kental dengan suasana mistis tentang pangeleakan. Digambarkan pedagang Ni Codet yang mempelajari ilmu pangeleakan untuk menarik pembeli. Dalam artian, telah terjadi persaingan ekonomi yang kurang sehat. Manajemen dalam perdagangan belum berjalan maksimal.
            Manusia Bali yang masih sempat berkumpul – kumpul saat sore menjelang malam. Anak – anak yang bermain di sungai. Petani yang mengolah sawahnya dengan beragam jenis padi. Semua gambaran di atas hanya sebagai kenangan saja untuk masa – masa sekarang.
 Mendekatkan suasana Bali yang masih kental dengan suasana pedesaan yang mistis bukanlah pekerjaan mudah karena mengharuskan seorang pengarang  novel  melakukan pengamatan, membaca sumber – sumber yang dekat dengan suasana Bali, alam pedesaannya yang masih asri jika dibandingkan dengan suasana Bali pada saat sekarang yang telah banyak berubah. Ini suatu tantangan yang menarik bagi seorang pengarang.

Sosial Budaya Bali Tempo Dulu
            Suasana sosial masyarakat Bali tempo  dulu yang diungkapkan oleh Kanduk Supatra. Jiwa welas asih, semangat kegotongroyongan, saling membantu masih teramat jelas bisa dilhat dalam novel I Gede Basur. Tetangga yang sakit ramai – ramai dibantu meski saat itu sudah malam. Dalam jiwa manusia Bali  masih tumbuh semangat kebersamaan. Individualismenya tampaknya belum terlalu banyak tumbuh.
            Jika ada tetangga yang punya kerja bersedia untuk membantunya, tidak ada terbersit untuk memikirkan keuntungan saat memantu sesama. Kesediaan menolong  memang benar – benar tulus.
            Budaya masyarakat Bali diungkapkan masih percayanya pada ilmu hitam yang dapat mempengaruhi perjalanan seseorang. Kepercayaan pada hal – hal yang sifatnya supranatural masih kental. Misalnya, Made Polos sebagai pawang hujan  mampu menghalau hujan.
            Subak masih hidup dengan pengaturan tataair yang sistematis. Sekaa manyi ( kelompok pengetam) masih berjalan. Sekaa nandur ( kelompok menanam benih padi) masih dilaksanakan. Tidak ada yang menyewa tukang tanam padi. Membajak masih menggunakan sapi belum ada traktor.
            Budaya pernikahan ala Bali yang dituturkan lewat pernikahan I Tigaron dengan Ni Rumanis  juga ditulis dengan cukup apik juga preosesi ngaben yang ada di Bali . Bahkan ditambahkan dengan nilai – nilai agama Hindu.
            Hubungan sosial budaya seperti di atas hanya sekilas saja ditulis dalam geguritan I Gede Basur. Artinya, melalui novel I Gede Basur antara Asmara dan Ilmu Hitam, sosial budaya  masyarakat Bali tempo dulu  dapat dinarasikan cukup apik oleh Kanduk Supatra.

Penekanan pada Kesadaran
            Geguritan Basur dengan jelas mengungkapkan Basur dikalahkan oleh Ni Garu . Kekalahan Basur karena ilmunya di bawah dibandingkan dengan ilmu Ni Garu. Basur tidak mengalami kesadaran. Ia meninggal dalam mempertahankan diri dan menjaga martabatnya sebagai seorang tokoh ilmu hitam. Ada ego di dalamnya. Basur dan Ni Garu sama – sama mengisi egonya untuk menang. Tidak ada penyadaran diri. Mati dengan membawa rasa dendam bukan kedamaian.
Dalam novel terjadi sebaliknya, Ni Garu  dan Ni Codet disadarkan oleh Ki Balian Sadhu. Ki Balian Sadhu mampu membuat Ni Garu dan Ni Codet  dalam titik kosong : Pekak memang sengaja memusnahkan segala kewisesan yang engkau miliki. Itupun atas restu dari hyang Betari yang menganugerahi engkau. … semua kewisesan yang engkau miliki tersebut tidak didasari atas hati yang bersih dan suci. Engkau belum mampu mengendalikan amarah yang ada dalam dirimu, belum mampu mengendalikan hawa nafsu dan juga rasa  keakuanyang bersemayam dalam pikiranmu. Engkau cenderung mengumbar segala indriamu ( hal. 140).
 Ni Garu dan Ni Codet  sampai lupa akan segala ilmunya dan kembali kepada ajaran Dharma.Secara tersirat novel ini ingin menggambarkan sejahat apa pun manusia itu pasti bisa kembali ke jalan yang benar selama di dalam dirinya timbul kesadaran baru.Hal ini diistilahkan dengan Sadhu Dharma dan Dharma Sadhu.
            Menggubah geguritan menjadi sebuah novel memerlukan keterampilan, kreativitas, daya imajinasi, dan penguasaan bahasa. Pengarang mesti menguasai kedua bahasa baik pasif maupun aktif. Perubahan – perubahan  itu menyangkut bahasa, bentuk, isi, dan sosial budaya masyarakat yang ingin diungkapkan pengarang.  Email: ibw.keniten@yahoo.co.id

2 comments:

  1. Saya suka dengan buku ini saya sering membacanya:)

    ReplyDelete
  2. Saya suka dengan buku ini saya sering membacanya saya punya ini buku

    ReplyDelete