Friday, May 12, 2017

CALONARANG - NERANG - BIKIN HUJAN


Bagaikan satu paket hiburan mistik. Gemerlapnya dunia calonarang berpaketan dengan praktek membuat hujan dan nerang hujan. Bagi yang ingin mengacaukan acara, sudah tentu akan membuat hujan. Bagi yang penyelenggara pasti akan “nerang”. Demikian I Wayan Sandeh Jambul Kuning membuka dialognya suatu pagi dengan I Made Papak Wok Dimpil Karo.
Nerang hujan saat pertunjukkan calonarang merupakan hal yang krusial. Apalagi pertunjukan diadakan pada musim hujan. Penyelenggara selalu berhitung siapa yang ditugaskan untuk “nerang”. Tapi semua bersifat kasak kusuk. Demikian I Nyoman Wangkas Sangkur Udang menimpali.
I Made Papak Wok Dimpil Karo melanjutkan “ketika pertunjukan calonarang berjalan dengan baik tanpa hujan, maka kita sering mendengar seloroh “Nah ne mara hebat, nyen nerang?” (nah ini baru hebat, siapa yang “nerang” ?). Sebaliknya jika hujan, lalu ada celotehan “kok bisa hujan, kenken tukang terang ne?” (kok bisa hujan, gemana tukang terangnya nih…?).
Dari beberapa tukang terang yang dikenal, beberapa memang sudah tak asing lagi. Banyak yang berhasil “mendapat jempol”, kerapkali kebobolan lalu dapat cibiran “sapih” (seri). Maksudnya nerang payu ujan payu (prosesi nerang diajalankan, hujan juga turun / alias sama – sama jalan). Demikian I Ketut Sekedas Kuning Bang Karna ikut nimbrung pagi itu di atas taban bale banjar. kanduksupatra.blogspot.com
Lagi lagi I Gede Ejo Sambu Lekong menambahkan bahwa dalam dunia nerang, tak jarang ada oknum “berlagak sakti” bisa merekayasa cuaca. Banyak sarana yang digunakan seperti banten barak, sirih, sembe (lentera), rokok, jangu, dll. Bahkan ada sedikit nyeleneh pakai Bir Bintang. Mungkin yang dibutuhkan adalah bintang bintang sebagai pertanda cuaca cerah…. ? entahlah. Yang jelas semuanya berdasarkan keyakinan. Apapun itu, semuanya adalah sarana memohon kepada Penguasa Alam dalam prabawa sebagai Sanghyang Brahma, Sanghyang Agni dan Sanghyang Bayu, sebagai kekuatan panas, api dan angin. Demikian I Gede Ejo Sambu Lekong.
I Kadek Biying Mata Rangreng punya cerita lain. “Ada lagi yang menampilkan diri begitu meyakinkan. Mereka bawa sebilah keris. Konon keris itu adalah pusaka Brahma Ambara, berkasiat untuk nerang. Mereka menghaturkan banten, komat kamit, lalu menunjuk - nunjukkan kerisnya ke angkasa. Tampak memang seram. Namun lucunya, (maaf) beberapa saat kemudian, gerombolan awan yang tebal dan gelap datang. Si tukang terang kelabakan, keris diacung-acungkan terus ke segala arah, akhirnya hujan pun turun dengan lebatnya.
Sayang, permohonannya hari itu tak terkabulkan. Mungkin Hyang Brahma sudah dipermaklumkan oleh Hyang Indra bahwa pada hari itu beliau akan menurunkan hujan agar tanaman tumbuh subur serta memenuhi kebutuhan air untuk manusia. Bisa jadi dengan hujan lebat itu Hyang Wisnu meruat alam dari kotoran dan penyakit. Atau mungkin juga Hyang Indra sedang mengabulkan doa Sang Kodok, karena telah lama tak turun hujan. Demikian keyakinan I Kadek Biying Mata Rangreng. kanduksupatra.blogspot.com
I Nyoman Wangkas Sangkur Udang kembali berujar “Dalam dunia beginian, sering ada cibiran macam macam. Kalau tak hujan, semua nigtig tangkah ngaku nerang. Tapi kalau sudah hujan, semua tiarap tak ada yang berani bertanggung jawab” Demikian ia ceplas ceplos ketika menghadiri sebuah acara adat, dimana acara tersebut diguyur hujan dari pagi sampai sore tak ada jedanya.
I Nyoman Wangkas melanjutkan ceplas ceplosnya “kalau mau dibilang sakti nerang, maka terimalah order pada bulan Juni – Juli – Agustus – September. Pada bulan itu, tukang terang 98 % persen berhasil. Karena bulan itu musim kemarau. Saat itu pastilah orang bilang tukang terangnya sakti. “Kalau nerang pada bulan Desember, Januari, Februari, maka siap siaplah, sebab bulan itu bulan basah. “Kanti ngencit tukang terange” artinya sampai mencret tak akan terang. Angka keberhasilan nerang cuman 5 %. Demikian Nyoman Wangkas bercerita dengan gaya yang sedikit tendensius.
I Putu Gede Buik Kuning Rejuna Mentang Panah menyela “Ada lagi seorang tukang terang memasang tarif sepuluh juta rupiah untuk satu kali event. Ia biasanya teken kontrak dengan rumah produksi untuk shooting. Namun harga ini dinilai terlalu tinggi I Gusti Ngurah Godeg Duurpa. Lalu atas arahan I Putu Gede Buik Kuning, disarankan untuk mencari tukang terang lain. Mereka berdua lalu menuju ke suatu tempat. Dalam perjalanan I Putu Gede Buik Kuning membisiki I Gusti Ngurah Godeg yang sedikit bongol, “ini tempat lampu laser”. Tapi Ngurah Godeg mendengarnya “Mangku Lasan”. Ia semangat dan penasaran ingin tahu seperti apa Mangku Lasan itu. kanduksupatra.blogspot.com
Mereka masuk ke sebuah ruangan kantor. Ngurah Godeg heran, kok rumah balian seperti kantor. Ia berpikir, mungkin ini adalah ruang administrasi. Ia makin penasaran karena balian itu memilki manajemen modern dilengkapi front office. I Putu Gede Buik Kuning lalu memanggil Ngurah Godeg. Ia terkejut melihat lampu - lampu ukuran besar di ruangan itu. Ngurah Godeg makin bingung. I Putu Gede Buik Kuning lalu menjelaskan bahwa ini bukan rumah Mangku Lasan, tapi tempat menyewa Lampu Laser, untuk mengurai awan agar tak hujan atau mengurangi intensitas hujan. Biayanya cuman tiga juta. Hitungannya lebih murah dibanding “sesari” balian tadi. Mungkin cara ini lebih realistis bukan mistis.
Namun demikian, I Komang Srawah Sangkur yang telah malang melintang di dunia terang menerang salut dengan beberapa tukang terang sejati yang katanya tokceer, handal dalam hal nerang dengan statistik keberhasilan sekitar 90 %. Wah hebat... namun ketika dimintai konfirmasi namanya, ia hanya menyebut beberapa inisial. Konon katanya tak boleh "aja wera".
Pande Ketut Klau Biru nyeletuk “yah, begitulah manusia selalu ingin agar sesuai dengan keinginannya, mencoba untuk merekayasa cuaca. Tapi tetap alam yang memutuskan. Yang paling sederhana adalah biarkan alam berjalan sesuai dengan hukumnya. Kalau hujan… ya meembon / berteduh. Kalau memang harus beraktifitas saat hujan, mantel / payung solusinya. Cara berpikir bebelogan alias tak ruwet”. Demikian celetuk Pande Ketut Gede Klau Biru.
Nyoman Wangkas Jambul Kuning menimpali, yah itulah realitas budaya Bali. Selalu memohon kehadapan Hyang Embang agar acara dapat berjalan dengan baik dan senyaman mungkin. Namanya memohon, jika terkabul ya syukur. Jika belum terkabul, ya syukur juga. Demikian Nyoman Wangkas mengakhiri obrolannya sambil membuka payung karena hujan sudah mulai turun. Obrolan pun bubar. Ampura.
Niki wantah satua serba serbi nerang hujan di masyarakat bali. Yening harsa, durusang dagingin ring kolom komen. Suksma. Malih pisan ampura.
#NerangHujan #BudayaBali #MistikBali
original artikel by kanduksupatra.blogspot.com

No comments:

Post a Comment