Monday, July 31, 2017

CARU mesti memakai HEWAN SEMBELIHAN !!, Himsa Karma menuju ke Himsa Dharma




Bentuk yadnya yang diwariskan oleh leluhur sejak dulu semuanya didasari atas srada (keyakinan), rna (hutang), bakti dan rasa. Rasa bhakti dan rasa berhutang kepada Hyang Widhi Wasa diwujudkan dengan dewa yadnya. Rasa bakti dan hutang kepada leluhur diwujudkan dengan pitra yadnya dan manusa yadnya. Kepada para bagawanta diwujudkan dengan resi yadnya. Kepada alam diwujudkan dengan bhuta yadnya. Demikian yadnya dijalankan sejak dulu “tan meperih” (tanpa pamrih).
Dalam perkembangan filsafat umat, lalu ada kalangan yang “menggugat” alias mempertanyakan ulang laku spiritual para leluhur, terutama mengenai pelaksanaan bhuta yadnya (caru). Padahal agama mengajarkan untuk tidak membunuh, kok beryadnya dengan membunuh binatang? Demikian mereka mempertanyakan. kanduksupatra.blogspot.com
Mencari jawaban atas pertanyaan ini tidak gampang. Sudah banyak kitab dibaca, sudah banyak guru agama dan rohaniawan ditanya. 100% menjawab sama yakni untuk mengharmoniskan alam. Hanya sampai di sana. Sedangkan pertanyaan seriusnya adalah bagaimana caru itu dapat mengharmoniskan alam?
Suatu hari, ada rasa iseng untuk menyodorkan pertanyaan ini kepada Meme (ibu) ku di rumah. Tak diduga, jawabannya mencengangkan logikaku. Jawaban yang tak pernah aku dengar sebelumnya bahkan dari seorang “ahli agama” sekalipun. Memeku hanyalah lulusan program PBH (Pemberantasan Buta Huruf) di bale banjar jaman dulu. Ternyata ia fasih menguraikan dalam bahasa Bali dengan gaya penuturan bolak balik. Garis besarnya dapat diceritakan sebagai berikut: (istilah ilmiah di dalamnya hanyalah tambahan dariku).
Memeku bercerita bahwa dunia ini terbentuk dari unsur - unsur material yang disebut panca maha bhuta, yakni Pertiwi (tanah) dengan segala unsur penyusunnya. Apah (air) dengan segala molekul penyusunnya. Bayu (angin) dengan berbagai zat terkandung di dalamnya. Teja (cahaya) dengan berbagai jenis sinar seperti sinar alfa, beta, gama, ultraviolet, dll. dan Akasa (ruang) di alam semesta. kanduksupatra.blogspot.com
Keberadaan panca maha bhuta di alam semesta (buana agung) diikat dan digerakkan oleh energi kosmik yang dikendalikan Sanghyang Tunggal. Sedangkan di dalam tubuh manusia (buana alit) unsur panca maha bhuta terikat oleh energi baik secara fisika maupun kimiawi, sehingga manusia (mahluk) memiliki daya hidup, yang dikendalikan oleh Sanghyang Atman. Untuk melangsungkan kehidupan, manusia membutuhkan unsur material seperti karbohidrat, protein, vitamin, air, dan mineral. Demikian juga kebutuhan energi berupa kalori yang didapat dari proses metabolisme di dalam tubuh. Dengan mengkonsumsi makanan yang berasal dari tanaman dan hewan, sejatinya manusia memenuhi kebutuhan “bhuta kala” (material dan energi) di dalam tubuhnya untuk menjaga proses kehidupan.
Di alam semesta maupun di dalam tubuh mahluk, unsur material (bhuta) maupun energi (kala) tak dapat dipisahkan. Jika kedua unsur ini tak seimbang, maka di buana agung akan terjadi gejolak yang disebut “rug jagat” (alam kacau / bencana). kanduksupatra.blogspot.com
Apabila ketidakseimbangan terjadi di buana alit (tubuh manusia) maka manusia akan merasa tidak nyaman / sakit baik jasmani maupun rohani. Ketidakseimbangan unsur material dan energi (bhuta dan kala) akan memunculkan energi negatif. Sebaran energi negatif ini akan terakumulasi, mempengaruhi gelombang elektromagnetik otak manusia. Dapat berakibat pada peningkatan emosi, stress, depresi, beringas, gelap mata, mudah tersinggung, saling curiga, kebingungan, sakit tak karuan, dll. (sering dikatakan terkena pengaruh bhuta kala).
Untuk menyeimbangkan kondisi ini, dibutuhkan unsur material (bhuta) dan energi (kala) yang dilepas ke alam. Unsur material dan energi ini dapat diperoleh pada mahluk hidup, dalam hal ini dari hewan. Itulah sebabnya mengapa caru menggunakan hewan yang disembelih. kanduksupatra.blogspot.com
Dengan kekuatan “mantra” (ucapan suci nan magis), “sastra” (aksara suci), “patra” (gambar suci), “yantra” (simbol suci), dan “mudra” (gerakan suci) dari Sang Sulinggih serta anugrah Dewa – Dewa, diyakini unsur material dan energi dari hewan caru akan melebur dan bersenyawa secara niskala, memperbaiki bagian-bagian unsur material alam yang rusak serta mengharmoniskan energi kosmik yang tak seimbang.
Diyakini pula bahwa unsur material dan energi dari caru bergerak menuju ke seluruh penjuru mata angin sesuai dengan jenis hewan, warna, dan uripnya untuk menuju keseimbangan. Diibaratkan jalan yang rusak dan berlubang, maka unsur bhuta (material) dan kala (daya rekat) digunakan untuk memperbaiki bagian jalan yang rusak, sehingga dapat digunakan dengan baik dan tidak mencelakakan. Demikian diyakini.
Semakin luas areal kerusakan, maka makin banyak material (bhuta) dan energi (kala) yang dibutuhkan. Artinya hewan caru yang dibutuhkan semakin besar ukurannya dan makin beragam jenisnya, seperti kerbau, sapi, babi, ayam, hewan berkaki empat dan berkaki dua lainnya. Jika ruang lingkupnya kecil, maka cukup dengan caru satu ekor ayam.
Demikian juga dengan durasi (lama waktu) kekuatan (daya harmoni) dari unsur material dan energi caru. Makin besar dan beragam hewan caru, maka makin lama durasi dan daya harmoninya. (Sesuai dengan tingkatan dan jenis caru).  kanduksupatra.blogspot.com
Ini pulalah alasannya mengapa hewan caru tidak bisa digantikan dengan simbol boneka, plastik, patung, atau gambar, dll, karena semua itu adalah benda mati. Sedangkan yang dibutuhkan untuk menyelaraskan material kosmik dan energi kosmik adalah material panca maha bhuta yang terikat dalam energi kehidupan (“biomaterial” dan “bioenergi”).
Darah dalam hal ini adalah simbol biomaterial dan bioenergi. “Tabuh rah” (muncratnya darah) adalah sebagai simbolisasi dari pelepasan biomaterial dan bioenergi ke alam. Oleh karena itu, dalam upacara mecaru kerapkali diikuti dengan pelaksanaan sabungan ayam agar terjadi “tabuh rah”, pelepasan material dan energi kehidupan dalam rangka penyelarasan.
Diyakini pula bahwa energi negatif (bhuta kala) bergerak secara liar dan mempengaruhi kehidupan manusia dan alam. Energi negatif itu kerap menimbulkan bencana dan mencelakai manusia. Atas kekuatan bhatin dan weda mantra sang sulinggih, dan atas perkenan para dewa, maka pada saat mecaru energi negatif ini ditarik dan difiksasi (ditahan), lalu diharmonisasi menggunakan sarana biomaterial dan bioenergi yang telah disajikan. kanduksupatra.blogspot.com
Secara mitologi, energi negatif digambarkan sebagai sosok niskala, besar, seram, dan suka mencelakai kehidupan manusia yang disebut Bhuta Kala. Disebutkan ada 108 jenis bhuta kala sesuai dengan karakter dan kedudukannya di alam semesta. Bhuta kala konon melanglang buana secara liar mencari mangsa untuk memenuhi rasa laparnya. Agar tidak memangsa dan mencelakai manusia, serta tidak menimbulkan kegaduhan alam, maka dilakukan upacara caru. Pada saat mecaru, bhuta kala dipanggil (ditandai dengan membunyikan sungu / sangkakala, ketipluk / kendang kecil, gentorang, dan genta uter) untuk disuguhkan “tetadahan” (santapan), yang dalam bahasa filsafatnya disebut “nyomia bhuta kala”.
Ketika bhuta kala telah harmonis dan somia, maka akan muncul energi positif, kekuatan dewata, kekuatan kesucian yang mengayomi, melindungi, dan memberkahi, sehingga manusia dan alam menjadi rahayu. Demikian katanya. kanduksupatra.blogspot.com
Kembali ke masalah hewan caru. Para leluhur tak sewenang – wenang menggunakan hewan sebagai caru. Untuk memuliakan hewan yang digunakan dalam caru, maka sebelumnya dilakukan upacara melepas prani / mepepada / ngeruwat roh hewan caru untuk disucikan, agar nantinya menyatu dengan kesuniyaan menuju alam nirwana. Dan jika terlahir ke dunia akan menjadi mahluk mulia dan utama. Dengan demikian manusia yang melaksanakan kurban suci berupa caru tak terkena Hukum Himsa Karma, melainkan “Himsa Dharma” yakni pengorbanan dalam rangka dharma. Sehingga tak perlu ragu untuk melaksanakannya. Demikian Memeku bercerita.
Hal ini telah diterapkan oleh leluhur sejak jaman ilu yang berdasarkann paham Tantrayana, yang selalu bermain - main dalam wilayah material dan energi kosmik untuk mendapatkan sensasi rohani dalam rangka memenuhi hasrat cipta, rasa, dan karsa.
Mengakhiri penjelasannya, memeku berkata: “Ini adalah tata cara leluhur sejak dahulu. Memahami dan menjalankannya akan lebih mulia daripada menggugatnya”. Demikian Memeku berharap. Ampura. (Original Artikel by Kanduk Supatra, 2017). kanduksupatra.blogspot.com
#BhirawaTantra #HinduNusantara #BudiPekertiLeluhur #BhutaYadnya #BhutaKala #BiomaterialBioenergi #Himsakarma #HimsaDharma #Caru #Mepepada #MelepasPrani #PancaMahaBhuta #Tetadahan #TabuhRah #Mantra #Yantra #Patra #Sastra #Mudra

    


No comments:

Post a Comment