Bentuk yadnya yang diwariskan oleh leluhur
sejak dulu semuanya didasari atas srada (keyakinan), rna (hutang), bakti dan rasa.
Rasa bhakti dan rasa berhutang kepada Hyang Widhi Wasa diwujudkan dengan dewa yadnya.
Rasa bakti dan hutang kepada leluhur diwujudkan dengan pitra yadnya dan manusa
yadnya. Kepada para bagawanta diwujudkan dengan resi yadnya. Kepada alam
diwujudkan dengan bhuta yadnya. Demikian yadnya dijalankan sejak dulu “tan
meperih” (tanpa pamrih).
Dalam perkembangan filsafat umat, lalu ada
kalangan yang “menggugat” alias mempertanyakan ulang laku spiritual para
leluhur, terutama mengenai pelaksanaan bhuta yadnya (caru). Padahal agama
mengajarkan untuk tidak membunuh, kok beryadnya dengan membunuh binatang?
Demikian mereka mempertanyakan. kanduksupatra.blogspot.com
Mencari jawaban atas pertanyaan ini tidak
gampang. Sudah banyak kitab dibaca, sudah banyak guru agama dan rohaniawan
ditanya. 100% menjawab sama yakni untuk mengharmoniskan alam. Hanya sampai di
sana. Sedangkan pertanyaan seriusnya adalah bagaimana caru itu dapat
mengharmoniskan alam?
Suatu hari, ada rasa iseng untuk menyodorkan
pertanyaan ini kepada Meme (ibu) ku di rumah. Tak diduga, jawabannya
mencengangkan logikaku. Jawaban yang tak pernah aku dengar sebelumnya bahkan
dari seorang “ahli agama” sekalipun. Memeku hanyalah lulusan program PBH (Pemberantasan
Buta Huruf) di bale banjar jaman dulu. Ternyata ia fasih menguraikan dalam
bahasa Bali dengan gaya penuturan bolak balik. Garis besarnya dapat diceritakan
sebagai berikut: (istilah ilmiah di dalamnya hanyalah tambahan dariku).
Memeku bercerita bahwa dunia ini
terbentuk dari unsur - unsur material yang disebut panca maha bhuta, yakni
Pertiwi (tanah) dengan segala unsur penyusunnya. Apah (air) dengan segala molekul
penyusunnya. Bayu (angin) dengan berbagai zat terkandung di dalamnya. Teja (cahaya)
dengan berbagai jenis sinar seperti sinar alfa, beta, gama, ultraviolet, dll. dan
Akasa (ruang) di alam semesta. kanduksupatra.blogspot.com
Keberadaan panca maha bhuta di alam
semesta (buana agung) diikat dan digerakkan oleh energi kosmik yang dikendalikan
Sanghyang Tunggal. Sedangkan di dalam tubuh manusia (buana alit) unsur panca maha
bhuta terikat oleh energi baik secara fisika maupun kimiawi, sehingga manusia (mahluk)
memiliki daya hidup, yang dikendalikan oleh Sanghyang Atman. Untuk
melangsungkan kehidupan, manusia membutuhkan unsur material seperti
karbohidrat, protein, vitamin, air, dan mineral. Demikian juga kebutuhan energi
berupa kalori yang didapat dari proses metabolisme di dalam tubuh. Dengan mengkonsumsi
makanan yang berasal dari tanaman dan hewan, sejatinya manusia memenuhi
kebutuhan “bhuta kala” (material dan energi) di dalam tubuhnya untuk menjaga
proses kehidupan.
Di alam semesta maupun di dalam tubuh
mahluk, unsur material (bhuta) maupun energi (kala) tak dapat dipisahkan. Jika
kedua unsur ini tak seimbang, maka di buana agung akan terjadi gejolak yang disebut
“rug jagat” (alam kacau / bencana). kanduksupatra.blogspot.com
Apabila ketidakseimbangan terjadi di
buana alit (tubuh manusia) maka manusia akan merasa tidak nyaman / sakit baik
jasmani maupun rohani. Ketidakseimbangan unsur material dan energi (bhuta dan
kala) akan memunculkan energi negatif. Sebaran energi negatif ini akan
terakumulasi, mempengaruhi gelombang elektromagnetik otak manusia. Dapat berakibat
pada peningkatan emosi, stress, depresi, beringas, gelap mata, mudah
tersinggung, saling curiga, kebingungan, sakit tak karuan, dll. (sering
dikatakan terkena pengaruh bhuta kala).
Untuk menyeimbangkan kondisi ini, dibutuhkan
unsur material (bhuta) dan energi (kala) yang dilepas ke alam. Unsur material
dan energi ini dapat diperoleh pada mahluk hidup, dalam hal ini dari hewan. Itulah
sebabnya mengapa caru menggunakan hewan yang disembelih. kanduksupatra.blogspot.com
Dengan kekuatan “mantra” (ucapan suci
nan magis), “sastra” (aksara suci), “patra” (gambar suci), “yantra” (simbol
suci), dan “mudra” (gerakan suci) dari Sang Sulinggih serta anugrah Dewa – Dewa,
diyakini unsur material dan energi dari hewan caru akan melebur dan bersenyawa secara
niskala, memperbaiki bagian-bagian unsur material alam yang rusak serta
mengharmoniskan energi kosmik yang tak seimbang.
Diyakini pula bahwa unsur material dan
energi dari caru bergerak menuju ke seluruh penjuru mata angin sesuai dengan
jenis hewan, warna, dan uripnya untuk menuju keseimbangan. Diibaratkan jalan
yang rusak dan berlubang, maka unsur bhuta (material) dan kala (daya rekat)
digunakan untuk memperbaiki bagian jalan yang rusak, sehingga dapat digunakan
dengan baik dan tidak mencelakakan. Demikian diyakini.
Semakin luas areal kerusakan, maka makin
banyak material (bhuta) dan energi (kala) yang dibutuhkan. Artinya hewan caru
yang dibutuhkan semakin besar ukurannya dan makin beragam jenisnya, seperti
kerbau, sapi, babi, ayam, hewan berkaki empat dan berkaki dua lainnya. Jika ruang
lingkupnya kecil, maka cukup dengan caru satu ekor ayam.
Demikian juga dengan durasi (lama waktu)
kekuatan (daya harmoni) dari unsur material dan energi caru. Makin besar dan
beragam hewan caru, maka makin lama durasi dan daya harmoninya. (Sesuai dengan
tingkatan dan jenis caru). kanduksupatra.blogspot.com
Ini pulalah alasannya mengapa hewan caru
tidak bisa digantikan dengan simbol boneka, plastik, patung, atau gambar, dll, karena
semua itu adalah benda mati. Sedangkan yang dibutuhkan untuk menyelaraskan
material kosmik dan energi kosmik adalah material panca maha bhuta yang terikat
dalam energi kehidupan (“biomaterial” dan “bioenergi”).
Darah dalam hal ini adalah simbol
biomaterial dan bioenergi. “Tabuh rah” (muncratnya darah) adalah sebagai
simbolisasi dari pelepasan biomaterial dan bioenergi ke alam. Oleh karena itu,
dalam upacara mecaru kerapkali diikuti dengan pelaksanaan sabungan ayam agar
terjadi “tabuh rah”, pelepasan material dan energi kehidupan dalam rangka
penyelarasan.
Diyakini pula bahwa energi negatif (bhuta
kala) bergerak secara liar dan mempengaruhi kehidupan manusia dan alam. Energi
negatif itu kerap menimbulkan bencana dan mencelakai manusia. Atas kekuatan
bhatin dan weda mantra sang sulinggih, dan atas perkenan para dewa, maka pada
saat mecaru energi negatif ini ditarik dan difiksasi (ditahan), lalu
diharmonisasi menggunakan sarana biomaterial dan bioenergi yang telah disajikan.
kanduksupatra.blogspot.com
Secara mitologi, energi negatif digambarkan
sebagai sosok niskala, besar, seram, dan suka mencelakai kehidupan manusia yang
disebut Bhuta Kala. Disebutkan ada 108 jenis bhuta kala sesuai dengan karakter
dan kedudukannya di alam semesta. Bhuta kala konon melanglang buana secara liar
mencari mangsa untuk memenuhi rasa laparnya. Agar tidak memangsa dan mencelakai
manusia, serta tidak menimbulkan kegaduhan alam, maka dilakukan upacara caru.
Pada saat mecaru, bhuta kala dipanggil (ditandai dengan membunyikan sungu /
sangkakala, ketipluk / kendang kecil, gentorang, dan genta uter) untuk
disuguhkan “tetadahan” (santapan), yang dalam bahasa filsafatnya disebut
“nyomia bhuta kala”.
Ketika bhuta kala telah harmonis dan
somia, maka akan muncul energi positif, kekuatan dewata, kekuatan kesucian yang
mengayomi, melindungi, dan memberkahi, sehingga manusia dan alam menjadi
rahayu. Demikian katanya. kanduksupatra.blogspot.com
Kembali ke masalah hewan caru. Para
leluhur tak sewenang – wenang menggunakan hewan sebagai caru. Untuk memuliakan hewan
yang digunakan dalam caru, maka sebelumnya dilakukan upacara melepas prani /
mepepada / ngeruwat roh hewan caru untuk disucikan, agar nantinya menyatu dengan
kesuniyaan menuju alam nirwana. Dan jika terlahir ke dunia akan menjadi mahluk
mulia dan utama. Dengan demikian manusia yang melaksanakan kurban suci berupa
caru tak terkena Hukum Himsa Karma, melainkan “Himsa Dharma” yakni pengorbanan
dalam rangka dharma. Sehingga tak perlu ragu untuk melaksanakannya. Demikian Memeku
bercerita.
Hal ini telah diterapkan oleh leluhur
sejak jaman ilu yang berdasarkann paham Tantrayana, yang selalu bermain - main
dalam wilayah material dan energi kosmik untuk mendapatkan sensasi rohani dalam
rangka memenuhi hasrat cipta, rasa, dan karsa.
Mengakhiri penjelasannya, memeku
berkata: “Ini adalah tata cara leluhur sejak dahulu. Memahami dan
menjalankannya akan lebih mulia daripada menggugatnya”. Demikian Memeku berharap.
Ampura. (Original Artikel by Kanduk Supatra, 2017). kanduksupatra.blogspot.com
#BhirawaTantra
#HinduNusantara #BudiPekertiLeluhur #BhutaYadnya #BhutaKala
#BiomaterialBioenergi #Himsakarma #HimsaDharma #Caru #Mepepada #MelepasPrani
#PancaMahaBhuta #Tetadahan #TabuhRah #Mantra #Yantra #Patra #Sastra #Mudra
No comments:
Post a Comment