Thursday, September 22, 2016

Kereta Kencana Gaib Di Atas Bukit Srawet Pertanda Apa Nusantaraku?




 Pura Sunialoka terletak di Dusun Tangjung Rejo, Desa Kebon Dalem, Kecamatan Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi. Pura ini letaknya di atas bukit bebatuan yang disebut Gunung Sari, dan di sebelah Gunung Sari terdapat sebuah bukit yang lebih tinggi yang disebut Gunung Srawet yang dikelilingi hutan jati dengan aura terasa angker.

Pura ini bisa dijangkau melalui Desa Kebon Dalem, Dusun Tanjung Rejo. Di desa ini terdapat kumpulan umat Hindu Jawa asli yang jumlahnya sekitar tiga puluh kepala keluarga. Kelompok masyarakat Hindu Jawa Gunung Srawet ini mengempon sebuah pura desa / pura banjar yang diberi nama Pura Puja Dharma yang terdiri dari sebuah padmasana sebagai pelinggih utama. Dilengkapi dengan bangunan penunjang sejenis pendopo yang berfungsi seperti bale banjar di Bali. Bale ini juga digunakan untuk pasraman bagi anak-anak Hindu Gunung Srawet. Dari pura ini, umat yang akan tangkil ke Pura Sunialoka mesti naik kendaraan roda empat dengan ukuran yang lebih kecil dari bus. Sebab jalan menuju ke lokasi pura agak sempit. Jarak antara bale banjar dengan pura kurang lebih satu kilometer.
Mengenai sejarah berdirinya pura Sunialoka Gunung Srawet diceritakan oleh Romo Mangku Sukarno sebagai berikut. Berawal adanya kejadian aneh di luar nalar yakni pada awal tahun 2000 - an sekitar jam satu siang, cuaca cerah,  di atas bukit Srawet tampak kereta kencana yang ditarik enam ekor kuda melayang-layang di atas Bukit Srawet. Banyak masyarakat menyaksikan hal tersebut. Masyarakat menduga pesawat helikopter, setelah diamati dengan seksama ternyata kereta kencana. Kejadian tersebut terlihat sangat jelas di siang hari dan dalam waktu lama yakni sekitar satu setengah jam.
Atas kejadian terrsebut, para pemuka masyarakat dan para spiritualis melakukan semedi di atas Bukit Srawet. Dari semedi tersebut ada salah seorang diantaranya disabdakan bahwa agar di tempat tersebut dibangun sebuah tempat pemujaan Hyang Maha Kuasa. Dalam hal ini diterjemahkan dengan membangun Pura.
Singkat cerita, proses pembangunan pura di wilayah mayoritas umat non Hindu tidaklah mudah. Karena masa sebelumnya, umat untuk bersembahyang ke pura harus sembunyi-sembunyi. Untuk membuat penjor di hari raya saja kadangkala penjornya ditebas oleh orang tak dikenal. Atas tantangan tersebut, para pemuka Hindu di sana sangat hati-hati agar tak menimbulkan gesekan sosial.
Diceritakan kemudian seorang kepala Desa Bangorejo mengalami sakit keras. Sudah dibawa ke dokter dan bolak balik keluar masuk rumah sakit, tak sembuh-sembuh. Sudah sekian banyak dukun yang mengobati juga tak sembuh-sembuh. Maka pada suatu hari, Bapak Kepala Desa bertemu dengan seseorang asal Bali. Orang ini kemudian mengantarkan bapak kepala desa untuk berobat. Dan apa yang terjadi?. Bapak kepala desa yang sudah bertahun-tahun sakit, tiba-tiba berangsur sembuh.
Bapak Kepala Desa saat teringat bahwa warganya yang pemeluk Hindu berniat membangun tempat pemujaan di Bukit Srawet. Namun rencana tersebut belum terealisas akibat ijin penggunaan lahan Puncak Gunung Srawet. Sebagai ucapan terimakasih dari bapak kepala desa kepada orang yang telah mengantarkan ia berobat dan sembuh, maka tanah di kawasan Gunung Srawet diijinkan untuk dibangun tempat pemujaan. Kawasan tersebut sejatinya adalah tanah milik desa, namun agar tak terjadi ketersinggungan dengan umat lain, atau kepala desa dianggap tak adil, maka kepala desa mengundang Parisada Kecamatan Bangorejo Banyuwangi untuk membicarakan hal tersebut. Dan untuk resminya, Parisada kecamatan bersama dengan  masyarakat desa di sana diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah dalam hal ini pemerintah Desa. Permohonan inilah dijadikan dasar oleh bapak kepala desa untuk memberikan ijin kepada umat Hindu untuk membangun  pura di Bukit Srawet.
Pura mulai dibangun tahun 2003 dan selesai tahun 2009, didanai dari punia umat baik di daerah sekitar Srawet, Banyuwangi, dan dari Bali. Pelinggih yang dibangun adalah Pelinggih  Tugu tempat semayam dari Mbah Jenggot, sosok niskala penjaga Gunung Srawet. Pelinggih Penglurah dan Tugu Pengapit, Gedong Candi Batu Tumpang Pitu sebagai tempat pemujaan kehadapan Mpu Bradah dan Raja Airlangga sebagai tokoh utama pada jaman kerajaan Kediri di Jawa Timur, yang diyakini sebagai titisan Wisnu. Pelinggih Padmasana sebagai tempat pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Pura Kahyangan Jagat Sunia Loka disungsung sedikitnya 4.500 umat Hindu di Kecamatan Bangorejo dan sekitarnya. Rangkaian pemelaspas dimulai dengan upacara Mepepada di Batu Gajah lereng Srawet, dilanjutkan Tawur Manca Kelud, Pemakuhan dan Pemelaspasan, Jumat (25/12/2009). Karya pemelaspas dipuput sulinggih yakni Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba, Ida Pedanda Gede Putra Sigaran, Ida Bhagawan Dharmika Tanaya dan Ida Pandita Empu Nabe Jaya Dangka Suta Reka.
Di kawasan ini diyakini sebagai petilasan dari Mpu Bradah, seorang brahmana pada jaman kerajaan Kediri dengan rajanya Raja Airlangga. Di sini adalah tempat beliau beryoga semadi apabila beliau beranjangsana ke daerah timur Jawa atau tanah Blambangan, serta ketika beliau berkehendak pergi ke tanah Bali. Selain itu tempat ini juga sebagai tempat anjangsana dari Ratu Sesuhunan Kidul / Ratu Pantai Selatan, sehingga pada hari selasa kliwon / anggarkasih selalu dilakukan ritual tertentu di pura ini.
Odalan di pura ini dilaksanakan pada hari Purnama Kelima. Banten yang digunakan saat odalan adalah kolaborasi antara Banten Bali dan banten Jawa. Namun didominasi oleh banten jawa. Banten Bali yang dipakai dalam odalan hanyalah pejati, beakaon, prasita, dan durmanggala. Yang lainnya adalah ayaban atau sodan dalam bentuk banten jawa.
Menurut dari pemedek yang pernah tangkil ke Gunung Srawet, bagi mereka yang memiliki indra keenam atau kemampuan kontak dengan dunia niskala, maka ketika memasuki kawasan suci Pura Sunialoka Srawet pastilah akan disapa oleh sosok gaib tua berjenggot dan agak bungkuk. Itulah sosok niskala penunggu Gunung Srawet yang disebut Mbah Jenggot. Dan menurut beberapa pemedek mengatakan bahwa aura di Gunung Srawet masih sangat alami, sangat kental aura kesucian dan aura magisnya. Sehingga tempat ini sangat cocok untuk melakukan tapa brata yoga semadi, memuja kebesaran dan kemuliaan Hyang Maha Kuasa. Selain aura pura Gunung Srawet yang sangat angker, tempat ini juga menyuguhkan pemandangan yang indah. Dari atas bukit Srawet para pemedek dapat melihat pemandangan daerah sekitarnya, serta melihat pemandangan laut selatan seperti Pulau Merah dan Alas Purwo yang tampak di kejauhan.
Demikian dapat diceritakan. Semoga tanah Blambangan, Tanah Jawa, Tanah Pasundan, dan Nusantara pada umumnya dalam asuhan para Leluhur, para Danghyang Nusantara, para penguasa segara giri (laut dan gunung), dan selalu diberkati Bhatara Guru. Dari Sirno Hilang Kerthaning Bhumi menjadi Kerthaning Bhumi Nusantara. Rayahu…. rahayu…. rahayu…. (Ki Buyut Dalu / Baca juga artikel lainnya di kanduksupatra.blogspot.com). #OriginalArtikelByKanduk

No comments:

Post a Comment