Tuesday, September 13, 2016

Trend Memakai Benang Tridatu




Tak asing lagi bagi orang Hindu Bali. Benang warna tiga ini menjadi trend dalam lima tahun belakangan ini. Bahkan kini berkembang menjadi sebuah aksesoris bernuansa etnis. Sekarang tidak saja orang Hindu Bali yang memakai benang warna tiga yang disebut tridatu ini. Para wisatawan banyak yang membeli benang tridatu ketika berkunjung ke Bali, bahkan para artis dan para selebritis sekarang banyak memakai benang tridatu ini. Jadilah benang tiga warna ini menjadi aksesoris bernuansa etnis.
Namun apa sejatinya benang tridatu ini?. Menurut cerita dari para tetua Bali yang masih hidup sampai sekarang. Benang tridatu pada jaman dahulu tak sembarangan dipakai. Benang tridatu dipakai bila ada kejadian luar biasa di dunia atau dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan musibah seperti bencana alam, wabah penyakit, atau gangguan lainnya. Pada situasi yang tak menentu tersebut kemudian para pemuka adat, para pemuka agama dalam hal ini para jerio mangku dan Petapakan Ida Betara memohon baos kehadapan Ida Betara sesuhunan baik itu di kayangan tiga, kayangan jagat atau kayangan lainnya. Memohon petunjuk agar dijauhkan dari segala lara roga (penderitaan dan penyakit) dan bencana.
Dari pemujaan dan permohonan tersebut kemudian turun petunjuk dari Hyang Maha Suci Ida Betara Sesuwunan untuk mengadakan sebuah upacara tertentu. Petunjuk itu disebut dengan pemuwus atau sabda suci dari niskala untuk melakukan ritual tertentu. Dari pemuwus tersebut kemudian umat atau masyarakat Hindu Bali melakukan yadnya yang sering disebut dengan peneduh jagat atau pemahayu jagat. Dengan harapan memohon kehadapan Sanghyang Mahakala (penguasa segala kekuatan) agar dunia dan masyarakat dijauhkan dari kekuatan negatif seperti wabah, bencana alam atau kekuatan negatif lainnya. Ritual tersebut biasanya dilangsungkan di pura / kayangan, lebuh atau perempatan, dan di masing - masing rumah juga menghaturkan sesaji. Dalam upacara tersebut masyarakat nunas tirtha dan memohon perlindungan dari marabahaya yakni berupa benang berwarna tiga (merah putih hitam) serta dilengkapi dengan pis bolong. Benang warna tiga adalah simbol dari kekuatan trisakti yakni Brahma Wisnu Siwa, sedangkan pis bolong (uang kepeng) disebut juga dengan pancadatu juga simbol dari kekuatan sang Panca Dewata. Karena benang tersebut berwarna tiga dan berisi pis bolong (simbol panca datu), maka sarana tersebut dinamakan benang Tridatu (tiga benang yang dilengkapi dengan pancadatu). Dengan benang tridatu tersebut, manusia Hindu Bali memohon perlindungan kehadapan Sanghyang Tiga Wisesa / Sang Hyang Tri Sakti / Sanghyang Tri Murti agar dijauhkan dari segala bahaya, penyakit, dan bencana alam. Demikian juga memohon kekuatan dari Sanghyang Panca Dewata (Brahma, Mahadewa, Wisnu, Iswara, Siwa). Atas perlindungan para Dewa, maka diharapkan manusia dapat menjalankan kehidupan di dunia dengan tentram dan damai. Tak sembarangan umat menggunakan benang tridatu. Ketika masyarakat mengenakan benang tridatu maka, dapat diperkirakan bahwa sebuah daerah tersebut mengalami sebuah musibah atau bencana atau wabah. Demikian diceritakan terdahulu.
Namun berbeda dengan saat ini. Dalam perkembangan beragama di Bali dalam satu dekada belakangan ini. Benang tridatu menjadi sebuah simbol, menjadi identitas Hindu Bali, dan bahkan menjadi aksesoris. Ketika pergelangan tangan seseorang terlilit benang tridatu, maka sudah bisa dipastikan bahwa mereka adalah penganut Hindu Bali. Sehingga benang tridatu menjadi sebuah simbol identitas Hindu Bali.
Berkenanan dengan keberadaannya, kini banyak pemangku pura terutama pura yang berstatus Kayangan Jagat atau Dang Kayangan memberikan benang tridatu kepada para pemedek ketika selesai sembahyang. Pemberian benang tersebut sebagai simbol anugrah dari Ida Betara yang berstana di pura bersangkutan. Kurang lengkap kiranya kalau bersembahyang tak mendapatkan benang tridatu. Demikian kejadiannya saat ini.
Seriring dengan perjalanan waktu, benang tridatu semakin popular. Kehadirannya  semakin jauh dari pakem sejarah yang melatarbelakangi munculnya benang tridatu. Tak ada latar belakang kejadian atau tak ada latar belakang musibah atau wabah. Benang tridatu dibagikan secara terus menerus sebagai simbol anugrah Dewa Dewa dan mohon perlindungan. Tak sampai di sana, entah apa yang melatarbelakangi? Pura – pura yang lain malah mengeluarkan benang dengan lima warna yang mereka sebut dengan pancadatu, lalu ada yang mengeluarkan tujuh warna yang disebutnya saptadatu. Belakangan adalah pengeluaran benang berwarna sembilan di Pura Pentaran Agung Besakih yang disebut dengan Sangadatu. Entah apa apa yang melatarbelakangi. Mungkin nanti akan ada benang dengan sebelas warna yang bisa saja disebut dengan ekadasadatu. Dan seterusnya…. Yang jelas semua ini adalah imbas dari trend umat mengenakan benang tridatu, tanpa mengetahui secara jelas maksud dan tujuan, makna sejarah, filosofi, serta nilai magis dari benang tridatu.
Benang tridatu kini jadi bahan dagangan. Banyak krama Hindu yang menjajakan benang tridatu dengan berbagai keunikan dan dirangkai begitu indah. Fungsi benang tersebut sudah semakin bergeser menjadi sebuah karya seni aksesoris. Mohon maaf, kasak kusuk diantara umat mengatakan bahwa untuk memperoleh benang tertentu mesti medana punia dulu. Sebuah “kecerdasan” memanfaatkan peluang di dalam trend masyarakat menggunakan gelang benang. Lebih-lebih benang tersebut didapat setelah bersembahyang di pura terbesar di Bali. Sudah tentu memiliki nilai tersendiri di kalangan pemakainya.
Artinya, benang tridatu dan turunannya kini telah menjadi benda yang bernilai seni, bernilai magis, sekaligus bernilai ekonomis. Demikian manusia Bali dengan Hindu Balinya melakoni keyakinannya. Semuanya menjadi inspirasi.
(Ki Buyut Dalu 2016). Gama Bali / Hindu Bali / Gama Tirtha. Dumogi Rahayu sareng sami.#OriginalArtikelByKanduk

No comments:

Post a Comment