Thursday, September 29, 2016

KAWASAN ANGKER ROWO BAYU dan PEKERTI LELUHUR.



 Dari sosok gaib Nyai Resek, Eyang Resi Sumilir, Macan Gading & Ireng, Pertapaan Raja Tawangalun, Candi Agung Macan Putih, Watu Lawang, Padmasana, dan Pura Tirto Jati

kanduksupatra.blogspot.com. “Berbakti kepada leluhur adalah Paramodharmah, yakni salah satu kewajiban yang utama”.

Kejadian alam kerapkali dimaknai turunnya sebuah pesan ilahi kepada umat manusia, seperti gempa bumi, gunung meletus, atau pertanda alam lainnya. Kearifan budhi pekerti leluhur nusantara mampu memaknai pertanda alam tersebut. Sebuah keyakinan sederhana, keyakinan kuno nusantara yang memuliakan alam. Dari sini kita akan mulai bercerita.
Setelah gemuruh letusan Gunung Raung di Banyuwangi mereda, serombongan umat pada bulan Purnama Ketiga tahun 2015 bergegas menuju lereng Gunung Raung, di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Perjalanan ditempuh melalui Kota Banyuwangi ke selatan menuju pasar Rogojampi, belok kanan, sekitar 15 km menuju kawasan Wana Wisata Rowo Bayu.
Ketika sampai di sana, daun daun masih diselimuti abu vulkanik letusan Gunung Raung. Kawasan ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi pohon pinus. Terdapat rembesan air Gunung Raung yang membentuk sebuah danau kecil yang disebut Rowo. Karena letaknya di desa Bayu maka disebut Rowo Bayu. Kawasan yang indah dan sejuk ini menyimpan banyak misteri terkait sejarah Blambangan. Kawasan ini sangat angker dengan aura mistik yang kental. Bagaimana tidak, di tempat ini sejak jaman dahulu sampai sekarang banyak dikunjungi oleh para penekun spiritual. Apa saja yang ada di sana?
Dengan diantar oleh seorang sesepuh Hindu di desa Bayu yakni Romo Mangku Saji, rombongan menelusuri kawasan ini. Mulai dari sisi sebelah selatan yakni pengapit lawang menelusuri ke arah barat telaga terdapat sebuah sumber air yang disebut dengan Sendang Nyai Resek. Mata air ini digunakan untuk pembersihan badan ketika akan memasuki kawasan spiritual ini. Tempat ini dijaga oleh sosok niskala yang disebut Nyai Resek.
Selanjutnya menuju ke bagian lebih utara di sisi barat terdapat sumber air yakni Petirtan Dewi Gangga, tempat pemujaan Hyang Dewi Gangga sebagai sumber air dan sekaligus sebagai tempat pembersihan secara niskala (melukat). Di sebelah utaranya terdapat stana Eyang Mpu Sumilir yang dijaga oleh dua ekor harimau gaib (diwujudkan dalam bentuk patung). Lanjut menuju ke linggih Mpu Sumilir, para pengunjung mesti melewati celah Gintung Kembar, yakni dua buah pohon gintung sebagai pintu masuk menuju stana dari Eyang Mpu Sumilir. Celah gintung kembar itu cukup sempit, namun bagaimanapun besar badan dari orang yang akan masuk, apabila niatnya lurus dan bersih maka akan bisa melewati celah pohon tersebut.
Stana Eyang Resi Sumilir berupa sebuah patung Resi. Di sana pengunjung dapat menghaturkan sesaji dan sembahyang. Perlu diketahui bahwa pohon gintung adalah pohon kayu yang ketika diiris kulit pohonnya, akan mengeluarkan getah berwarna merah seperti darah.
Di sebelah utara dari tempat ini terdapat pertapaan Raja Blambangan terakhir yang beragama Hindu yakni Raja Tawang Alun. Tempat tersebut berupa batu sebagai tempat duduk. Namun oleh kaum spiritual yang sering ke sana, tempat tersebut kemudian sedikit direnovasi dengan menambahkan atap, sehingga tempat bertapa tersebut berada di dalam sebuah ruangan kramat sebagai tempat semedi. Tempat ini banyak dikunjungi oleh para penganut kejawen, penekun spiritual. Situs tersebut dilengkapi tempat untuk bersuci yang dalam Hindu Bali disebut dengan lukat dengan mandi kembang. Dilengkapi beberapa pancuran tempat bersuci. Pancuran tersebut diberi nama Mbah Duo, karena terdiri dari dua buah yang merupakan rembesan dari kaki Gunung Raung.
Perjalanan selanjutnya ke sebelah utara dari telaga yang juga merupakan hutan. Di sana terdapat bangunan suci berupa candi bertumpang. Candi ini disebut Candi Puncak Agung Macan Putih. Candi ini didirikan ketika Ibu Ratna Ani Lestari menjadi Bupati Banyuwangi. Awal kejadiannya adalah ada seseorang yang kerasukan yang konon kerasukan Macan Putih. Sehingga tempat ini diyakini sebagai petilasan dari Macan Putih yang masih sangat terkait dengan sejarah Blambangan masa lalu. Di tempat ini dibangun sebuah candi sebagai tempat bersembahyang bagi umat Hindu Jawa atau kejawen untuk memuja para leluhur di tanah Blambangan.
Lebih di sebelah utara dan sedikit ke barat, kini sudah dibangun sebuah Padmasana yang merupakan permintaan masyarakat dan merupakan prakarsa salah seorang umat dari Sanur, Bali. Sehingga ketika umat Hindu yang berkunjung ke sini dapat bersembahyang memuja para leluhur, dewa dewi, dan memuja kesucian Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Agak jauh di sebelah timur Candi Agung dan Padmasana, terdapat sebuah batu besar yang berada di sekitar aliran air. Batu itu sangat besar. Dari kalangan waskita mengatakan bahwa batu besar tersebut pintu masuk gaib menuju Gunung Raung. Di batu yang merupakan apit lawang (watu lawang) tersebut konon dijaga oleh banyak penunggu gaib. Sehingga tak semua orang dapat menuju ke pintu gaib menuju Gunung Raung tersebut. Dengan banyaknya penunggu  tersebut membuat suasana di kawasan spiritual Rowo Bayu menjadi angker.
Demikian hasil penelusuran kali ini ditemani oleh Jero Mangku Saji, seorang mangku di Pura Giri Mulya Agung Gunung Raung. Jero Mangku Saji adalah sebagai penganut Hindu secara turun temurun di Banyuwangi. Ayahnya juga dulu adalah seorang mangku pura di Banyuwangi. Romo Mangku Saji asal Desa Bayu.
Masyarakat Hindu asli Jawa di tepi hutan Rowo Bayu juga telah memiliki sebuah pura yang diberi nama Pura Tirto Jati. Pura tersebut berada di tengah tengah pemukiman masyarakat Desa Bayu yang mayoritas non Hindu. Sedangkan pengempon dari pura Tirto Jati itu sebanyak delapan belas KK yang bermukim di sekitar Desa Bayu atau sekitar Songgon. Kurang lebih demikian.
Dari kawasan Rowo Bayu ini tersirat sebuah pesan dari leluhur kepada anak cucu tanah nusantara untuk menyerap kembali keluhuran budhi pekerti para leluhur yang masih tersimpan sunya / senyap di kawasan ini. Semoga situs ini terpelihara dengan baik, serta semakin memberikan dorongan dan inspirasi bagi anak cucu nusantara di dalam menelusuri kesejatian leluhur Nusantara. Berbhakti kepada leluhur dan kehadapan Hyang Maha Suci Batara Guru / Ida Sanghyang Widhi Wasa adalah PARAMODHARMAH / kewajiban yang utama. Demikian, semoga ada manfaatnya. Ampura. Gama Leluhur / Hindu Nusantara / Gama Tirtha. (Ki Buyut Dalu / kanduksupatra.blogspot.com).
#OriginalArtikelByKanduk

No comments:

Post a Comment