Friday, April 1, 2016

Frustrasi Spiritual Nang Bocok Pergi ke Setra




                Dulu, sebelum tahun delapan puluhan, manusia Bali yang beragama Hindu masih lugu, hanya menjalankan ritual agama secara gugon tuwon turun temurun dan mule keto. Secara turun melakukan itu-itu saja secara tulus iklas, tanpa pernah banyak tahu tentang apa yang melandasi dari semua ritual yang ia lakukan. Mereka hanya tahu bahwa kalau tak melakukan semua yang telah diwariskan oleh leluhur maka akan dimarahi oleh Betara dan leluhur, akan mengalami kesakitan, kesisipan, kepongor, dl.          Kita bersembahyang hanya enam bulan sekali di pura tertentu (sembahyang hanya saat odalam saja). Kalau di desa ada kayangan tiga ditambah dengan odalan di sanggah dan di pura kawitan, maka dalam kurun waktu enam bulan hanya bersembahyang lima kali, dan setahun hanya sembahyang sepuluh kali. Demikian juga dengan tata kehidupan saat itu, tak banyak manusia Bali yang membaca kitab agama karena khawatir dengan hukum aja wera, bisa berakibat buduh/gila. Tak banyak orang Bali berpuasa, orang Bali tak bisa tri sandya, tak ada yang vegetarian, orang Bali makan segalanya entah itu sapi, babi, ayam, itik, ikan, dll.
                Sekitar awal tahun Sembilan puluhan ada sebuah tabloid terbitan Jawa Timur menyentil tentang kehidupan manusia Bali dengan ritual agamanya yang dikatakan sebagai ritual  buta. Maksudnya ritual yang meriah dilakukan tersebut hanyalah sebatas rutinitas, dan tak didasari atas filosofi yang jelas. Demikian kata tabloid tersebut yang menyulut kemarahan orang Bali Hindu yang pada waktu itu dimotori oleh mahasiswa di Jawa dan Bali.
                Kritikan di tabloid tersebut disatu sisi bernilai positif, dimana terjadi kebangkitan umat untuk menggali kekayaan filsafat agamanya. Mulai orang melakukan diskusi-diskusi, melakukan darmawacana (tadinya sama sekali tak dikenal), dharma tula, lalu banyak ditulis dan diterbitkan buku-buku Hindu yang tadinya tabu untuk dituliskan. Banyaklah kemudian manusia Bali Hindu bangkit bahkan ada yang fanatik akan ajarannya.
                               Pura-pura mulai dipugar, sembahyang-sembahyang mulai diaktifkan dan ucapan salam om suastyastu pun sudah lumrah. Orang-orang Hindu mulai menunjukkan jati dirinya, tirthayatra pun marak. Kajian dan analisis tentang agama Hindu dan ritual serta kehidupan sosial agama Hindu semakin diintensifkan. Pokoknya umat Hindu saat itu seperti sedang baru bangun dari tidurnya yang panjang sejak lima ratus tahun yang lalu, sejak jaman Majapahit.
                Semaraklah kehidupan beragama Hindu saat ini, tri sandya tiga kali sehari, sembahyang  panca sembah setiap purnama tilem, rerahinan, dan bahkan steiap hari. Ada yang tak mau makan daging sapi, bahkan ada yang lebih ekstrim tak makan daging alias vegetarian. Tampilan spiritual saat ini memang semarak, dengan atribut-atribut spiritual sebagai orang suci, atau sebagai seorang yang rajin bersembahyang. Pakaian orang ke pura sekarang serba putih dari atas sampai ke bawah, padahal dahulu hanya untuk orang suci saja yang mengenakan kain putih. Anehnya lagi kini banyak orang ingin menjadi orang suci, atau semua berpenampilan seperti orang suci. Jadi jaman sekarang sangat saru mana seorang mangku, sulinggih atau orang biasa. Semuanya memakai atribut yang hampir sama. Semua pura dikejar, sampai ke pelosok nusantara bahkan ke luar negeri. Walau memang hal tersebut tak salah, namun mesti dilakukan secara wajar, sungguh-sungguh, dan lascarya. Tak hanya sekedar sebuah gagah-gahan atau suci-sucian.
                Nah berkenaan dengan maraknya persembahyangan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa di kalangan umat Hindu, ada sebuah cerita terselip dari kebangkitan Hindu ini. Kisahnya begini: ada seseorang sebut saja namanya Nyoman Alu Poleng. Ia sangat rajin sembahyang, ia sudah menjelajahi dan bersembahyang di banyak pura di Bali, ke Jawa bahkan sampai ke Lombok. Sudah banyak ia melakukan melukat kesana kemari, bahkan ia suka mendatangi orang pintar untuk nunas sesuatu (maklum ia juga senang dengan jimat-jimatan). Pokoknya bersembahyang dengan orang banyak atau sendirian, waktu siang atau malam, semuanya sudah ia lakukan. Hebat,….hebat memang hebat….. I Nyoman Alu Poleng. Ia menjadi anak yang bhakti.
                Hal tersebut berlangsung kira-kira lima tahun. Setelah itu, lama I Nyoman Alu Poleng tak kelihatan di pura. Satu hari Tut Lasan Mueg bertanya “kenapa tak pernah ke pura?” Jawaban I Nyoman Alu Poleng cukup mencengangkan ”pahhhh, sube ileh-ileh nunasica nu gen kene. Sing ada perubahan, sing ngelah apa, sakit payu, lacur payu, dll” (sudah bersembahyang kemana-mana, namun tetap saja begini, tak ada perubahan, tak punya apa-apa, sering sakit, tetap aja miskin). I Ketut Lasan Mueg yang tak begitu rajin sembahyang menjadi kaget. Ia berpikir juga dan mencoba memikirkan, kenapa I Nyoman Alu Poleng member jawaban ketus begitu.
                Jawaban tersebut menyiratkan adanya suatu kejenuhan, keputusasaan atau keprustrasian dari seorang Nyoman Alu Poleng terhadap apa yang ia harapkan dari sembahyang yang sering ia lakukan sebelumnya. Demikian pikiran I Ketut Lasan Mueg.
                Kini berbeda ceritanya dengan Nyoman Alu Poleng. Namanya Nang Bocok di daerah Badung Selatan. Ia adalah seorang yang dikenal rajin bersembahyang dan ngayah di pura, baik kayangan tiga, kayangan jagat, pura kawitan maupun di merajannya, dan siwa-nya di Grya. Tak ada yang lebih rajin dari Nang Bocok. Atas kerajinannya tersebut lalu pihak keluarganya mendaulat ia untuk dijadikan juru canang (istilah di sana, sama dengan mangku) di merajannya. Ia pun melakoninya beberapa tahun.
                Namun belakangan Nang Bocok tak pernah kelihatan di sanggah. Dikira ia sibuk atau sakit. Ternyata tidak, ketika ditelusuri ia berdiam diri di rumah. Hal ini terjadi karena beberapa dari anggota keluarganya jatuh sakit dan meninggal. Kemudian ia sendiri masih berjuang secara ekonomi, sampai akhirnya ia merenungi dirinya. Mulai mengobat-abit Ida Betara. Ia merasa selama ini sudah rajin bersembahyang dan nunasica, kok sampai saat ini ia tak menemui kebahagiaan, dan kesejahteraan. Seolah-olah sembahyang yang ia lakukan selama ini tak ada hasilnya. Lebih-lebih ia membandingkan dirinya dengan I Gede Tabuan Ugug, tak pernah ke pura sembahyang, tetap saja sehat, tak susah, dan banyak uangnya. Inilah yang kemudian menyebabkan Nang Bocok tak lagi ke pura. Karena banyak orang bertanya-tanya, akhirnya ia menjelaskan alasannya tak lagi ke pura kepada saudara-saudaranya yang satu sanggah dan satu dadia.
                Dalam keprustrasiannya tersebut, Nang Bocok tak menghentikan ritual agamanya. Ia mencoba untuk mencari jalan lain. Ia menempuh jalan kewisesan untuk menjalankan keyakinannya. Entah ada yang mengajak atau karena niatnya sendiri. Ia mulai sering terlihat secara samar-samar oleh tetangga pergi keluar malam, bahkan ia sering kepergok pergi ke setra untuk melakukan ritual tertentu pada tengah malam. Entah apa yang dilakukan oleh Nang Bocok di setra, tak banyak yang tahu dan tak ada yang berani bertanya. Kasak kusuk di masyarakat sudah bisa dipastikan bahwa Nang Bocok melajah ngeleak (belajar ilmu hitam). Tujuannya tak lain adalah untuk membuat sesuatu yang jelek, membuat orang sakit, meninggal, atau usaha bangkrut, dll. Dengan ajian leak yang dimilikinya, Nang Bocok bisa melampiaskan dendamnya kepada siapa saja. Demikian kasak kusuk di masyarakat.
                Kasak kusuk tersebut semakin menjadi jadi ketika di depan rumahnya ada sebuah batu, dimana di dekat batu tersebut sering ada orang jatuh tabrakan, semakin membuat orang percaya bahwa Nang Bocok memasang sesuatu yang sifatnya niskala untuk mencelakiai orang. Banyak yang menduga bahwa Nang Bocok suka menghaturkan atma untuk dijadikan tumbal dalam ilmu hitamnya.
                               Konon tetangganya sering melihat kelebatan bayangan di depan rumah Nang Bocok. Semakin jadilah tanggapan orang bahwa Nang Bocok bisa ngeleak dan mulai menjadi momok masyarakat.
                I Made Godogan Mepantig tak mau termakan opini masyarakat begitu saja. Ia mencoba untuk mencerna permasalahan tersebut secara pelan-pelan dan hati hati. Waktu itu I Made Godogan Mepantig sedang berbincang dengan I Putu Dongkang Kipe. Made Godogan mencoba menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Nang Bocok ini menandakan bahwa ia sedang mengalami pergolakan yang tajam di dalam nuraninya. Ia sedang mengalami semacam frustasi dalam kaitan spiritual. Sesuatu yang diharapkannya sejak dahulu tatkala bersembahyang belum ia rasakan secara nyata hasilnya. Artinya Nang Bocok selama ini memang rajin bersembahyang untuk mendapatkan sesuatu yang bersifat nyata. Boleh dikata doanya sangat pamrih. Memang hal itu tak salah karena manusia patut memuja memohon anugrah dan lindungan dari Ida Betara.
                Namun Nang Bocok atau siapa saja mesti menyadari bahwa dalam hidup ini manusia terikat dengan hukum karmapala. Kelahiran manusia di dunia ini adalah akibat dari hukum ilahi, hukum kekal, yang bernama “karmapala”.  Hukum ini melingkupi masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Semua ini saling mempengaruhi.
                I  Made Godogan berkata bahwa apa yang dialami oleh I Nyoman Alu Poleng dan Nang Bocok sebenarnya merupakan hasil perbuatan di masa lalu. Artinya kesialan yang dialami sekarang adalah buah dari perbuatan yang kurang baik pada masa kehidupan masa lalu yang harus diterima pada kehidupan sekarang yang disebut sancita karmapala. Mau tak mau harus diterima dan dilakoni. Sedangkan kebaikan yang diperbuat seperti rajin sembahyang sudah pasti akan mendapatkan pahala kebaikan dan kebahagiaan. Hukum karma akan mengaturnya, apakah layak diterima pada kehidupan ini ataukah pada kehidupan yang akan datang. Yang bisa dipastikan bahwa hasil dari kebaikan akan diterima dalam bentuk kebaikan. Artinya tak ada kebaikan yang tak mendapatkan pahala kebaikan. Nah inilah yang belum dipahami oleh I Nyoman Alu Poleng dan Nang Bocok, sehingga tampak ia frustasi menghadapi segala hasil perbuatannya terdahulu.
                Bisa jadi mereka selama ini bersembahyang dengan perasaan sangat pamrih, sehingga pikirannya sangat terikat dengan berkah yang nyata. Permintaannya macam macam seperti: agar dagangan laris, agar dapat lotre, mohon agar dapat untung besar, dll. Dan semua itu adalah sah-sah saja. Padahal sejatinya bersembahyang adalah ritual berpasrah diri, memohon kerahayuan manusia dan alam semesta. Sebab tak mungkin bisa seseorang menjadi rahayu dan senang, sedangkan lingkungan atau orang lain sakit semua. Mana bisa  manusia sehat kalau alamnya sedang mengamuk. Jadi yang diharapkan mesti kerahyuan dalam bentuk pikiran yang baik, sadar dan tabah. Tak harus dalam bentuk materi. Bagaimana misalnya kalau seseorang berlimpah materi namun ia selalu stress dan kawatir kalau hartanya akan hilang dan habis. Malah akan menjadi beban dan tak pernah rahayu.  Atau misalnya seseorang berlimpah harta, namun setiap hari bolak balik rumah sakit.
                Inilah yang mesti disadari oleh para hamba Tuhan. Mohonlah kerahayuan jagat. Kalaupun toh ada masalah atau cobaan yang mesti diterima, maka semua itu akan dihadapi dengan pikiran rahayu, dengan kekuatan mental dan kesadaran penuh, bahwa itu adalah akibat dari karma yang pernah dilakukan pada masa lalu. Tak boleh mengatakan bahwa Tuhan marah, Tuhan menghukum. Yang perlu ditanam dan dipupuk dalam nurani bahwa Tuhan iutu maha pemurah, maha pemberi. Tak ada satu doapun yang terabaikan oleh Tuhan, Tak ada satu doapun yang tak diberi anugrah. Anugrah itu akan datang dengan sendirinya, setiap saat. Anugrah hanya dapat dirasakan nyata oleh orang-orang yang bersyukur kepada Tuhan. Bukan sebaliknya mencacimaki Tuhan karena merasa Tuhan tak mengabulkan permintaannya. Itu salah besar. Demikian percakapan I Made Godogan dengan I Putu Dongkang Kipe.
                Sedang asiknya mereka berdua berbincang, tiba-tiba Nang Bocok datang menghampiri mereka. Kontan saja I Made Godogan bertanya mengenai situasi spiritual yang sedang dihadapinya saat ini. Dengan terus terang Nang Bocok mengatakan bahwa ia datang ke kuburan sebenarnya untuk menenangkan hatinya, serta untuk menentramkan jiwanya yang sedang labil karena diguncang prahara rumah tangga karena diterpa musibah bertubi-tubi. Konon ia mencoba untuk mencari jawaban di setra. Mudah-mudahan Hyang Betari bekenan memberikan jawaban atas semua ini. Demikian Nang Bocok.
                Mendengar semua itu I Made Godogan Mepantig dan I Putu Dongkang Kipe menjadi terkejut. Rupa-rupanya di setra juga ada ketenangan, kerahayuan, serta jawaban atas kehidupan. Nah inilah kebesaran Hyang Maha Pemurah. Panjelasan Nang Bocok sekaligus memberi klarifikasi bahwa ia ke setra bukan untuk mencelakai orang lain atau belajar ngeleak.
                 Masih beruntung Nang Bocok mencari jawaban ke setra dengan memegang keyakinan leluhur, daripada ia mencari jawaban dengan pindah keyakinan. Itu baru gawat. Waduuhhh jangan !!!! (Ki Buyut)



No comments:

Post a Comment