Tuesday, October 17, 2017

Hukum Kawitan Hanya Untuk Orang Hindu Saja? Tidak.. laahhh…!!!


Hidup ini sejatinya diikat oleh hukum sekala - niskala. Yang nyata adalah hukum negara yang mengatur kehidupan berbangsa. Yang tak nyata hukum karmapala, hukum Tuhan yang tak terbantahkan, bersifat adil, rinci, menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Dan yang ketiga adalah hukum kawitan, norma yang mengikat antara manusia (pretisentana) dengan para leluhurnya.
Yang menarik dan spesial adalah "hukum kawitan". Manusia yang hidup saat ini tak terlepas dari para pendahulunya yang disebut leluhur / kawitan. Hubungan secara lahiriah mungkin sudah terputus, tetapi hubungan secara bhatiniah tetap terjalin, walaupun keduanya berada dalam dunia yang berbeda yakni mercapada dan sunialoka. Baik buruk perilaku pretisentana di dunia fana akan mempengaruhi leluhur di sunialoka. Ketika pretisentana dapat menjalankan kewajiban hidup dengan baik, harmonis dengan keluarga, menjaga warisan leluhur, kukuh menjalankan tradisi leluhur, maka para leluhur merasakan kebahagiaan serta berkenan menerangi hidup para keturunan. Demikian pula sebaliknya, ketika para leluhur di alam sana tidak merasakan ketentraman, akan berpengaruh pula pada kehidupan pretisentana di dunia. Ada semacam hubungan sebab akibat. Itulah sebabnya kenapa manusia Hindu berkepentingan untuk senantiasa menjaga hubungan batiniah yang harmonis dengan leluhur. kanduksupatra.blogspot.com
Semua hukum kawitan tertuang dalam "bhisama" (pesan / petuah / amanat) yang tertuang dalam "prasasti, lelintihan, pabancangah", dll. Bhisama mengandung amanat, nasehat, hukum, sekaligus sangsi. Sangsi itu pun tak dapat dibayar dengan hukum kurungan atau denda material, namun bersifat niskala. Sebagai contoh, kutipan bisama sbb:
“…….. jika kamu lupa dengan kawitanmu, akibatnya kamu cekcok dalam keluarga, tidak henti-hentinya menemui kesengsaraan, selalu bersengketa dalam keluarga, banyak bekerja kurang pangan, ……”
Melalui bisama, para leluhur mengingatkan para pretisentana agar menjadi orang yang baik, memegang teguh ajaran dharma, hidup dalam kesucian, selalu ingat dan sujud bhakti kepada leluhur dan Dewa-dewa, memelihara perahyangan beliau, dll. Diingatkan pula akibat bila melanggar bisama, maka akan selalu cekcok dalam keluarga tanpa sebab yang jelas, tak harmonis, didera sakit yang tak jelas penyebabnya, kesengsaraan, siang malam bekerja namun tak ada hasil, dll.
Sangsi niskala ini bagaikan sebuah “kutukan”. Jika sudah terjerembab dalam hukum ini, maka harus menunggu sampai masa akhir kutukan itu. Secara ritual mungkin dilakukan dengan menghaturkan “guru piduka” sebagai pernyataan mohon ampun atas segala kelalaian. Namun hal tersebut tak membatalkan akibat dari kelalaian yang telah berlangsung selama ini. Guru piduka mungkin akan mempercepat proses penyelesaian.
Hidup tanpa memuja kawitan bagaikan berjalan di kegelapan, hidup tak terberkati, tak terayomi, terasa hampa. Oleh sebab itu, di dalam tradisi leluhur Hindu, memuja kawitan adalah kewajiban utama (paramadharma)
Lalu timbul pertanyaan, kenapa hanya orang Hindu saja yang terkena hukum kawitan?
Sejatinya tidak demikian…! Hukum kawitan layaknya hukum karma. Dipercaya atau tidak, hukum kawitan mengikat bagi semua keturunan, agama apapun dia. Cuman .. di dalam Hindu hubungan manusia dengan leluhur sangatlah terasa dekat, sehingga keberadaan hukum ini terasa nyata. Bagi mereka yang non Hindu secara pasti terikat hukum kawitan, cuman mereka tak menyadari. Ketika mereka didera hukum kawitan, maka mereka akan menilai sebagai hukum Tuhan.
Asapunika minab. Ampura tiang nasikin segara. Dumogi rahayu.
#HukumKarma #HukumKawitan #Kepongor #SalahangDewa
kanduksupatra.blogspot.com

Sunday, October 15, 2017

SAKUNTALA Cikal Bakal Wangsa Bharata





Kitab Adiparwa mengisahkan seorang pertapa bernama Wiswamitra, dulu merupakan seorang raja namun meninggalkan kehidupan istana karena ingin mendapatkan kejayaan seperti Bagawan Wasistha. Tapanya sangat khusuk, tak tergoyahkan. Melihat hal tersebut, Dewa Indra mengutus bidadari Menaka menguji tapanya. Bidadari Menaka terbang ke tempat Wiswamitra bertapa, diiringi Dewa Bayu dan Semara.
Bidadari itu menggoda Sang Wiswamitra sehingga nafsu birahinya muncul. Bidadari Menaka dihamili oleh Sang Wiswamitra. Setelah merasa tugasnya telah selesai, bidadari Menaka kembali ke kahyangan sementara Sang Wiswamitra pergi meninggalkan tempat pertapaan karena gagal. Di tepi sungai Malini, Sang bidadari melahirkan bayi perempuan. Bayi tersebut ditinggalkan seorang diri sementara ibunya terbang ke kayangan. Kemudian sang bayi dirawat oleh burung Sakuni.
Bagawan Kanwa yang sedang mencari kembang di sekitar sungai Malini terkejut melihat seorang bayi tergeletak dirawat oleh burung Sakuni. Lalu bayi itu dipungut, diberkahi, dipelihara, dan diberi nama Sakuntala karena dirawat oleh burung Sakuni.
Pada suatu ketika, Prabu Duswanta pergi berburu ke hutan di kaki gunung Himawan. Setelah masuk jauh ke tengah hutan, ia menemukan lokasi pertapaan yang sangat indah, yang ternyata kediaman Bagawan Kanwa. Di sana ia disambut oleh puteri cantik jelita bernama Sakuntala. Timbulah keinginan Sang Raja untuk menikahinya. Sakuntala menolak, namun dirayu terus oleh Sang Raja, akhirnya Sakuntala bersedia menikah dengan syarat anak yang dilahirkannya harus menjadi pewaris tahta Sang Raja. Karena diselimuti rasa cinta, Sang Raja bersedia memenuhi permohonan itu.
Sang Raja bercinta dengan Sakuntala. Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan pertapaan. Ia pulang dan berjanji bahwa kelak ia akan kembali lagi ke pertapaan  untuk menjemput Sakuntala beserta anaknya jika sudah lahir.
Sakuntala termenung dan mengenang kepergian Sang Raja, Bagawan Kanwa datang. Sakuntala hanya diam membisu. Karena kesaktiannya, Bagawan Kanwa mengetahui kejadian yang dialami Sakuntala meskipun ia bungkam. Bagawan Kanwa membesarkan hati Sakuntala dan member nasehat.
Singkat ceritA, Dari hubungannya dengan Raja Duswanta, lahirlah seorang putera rupawan, diberi nama Sarwadamana. Tanda-tanda ia Calon seorang penguasa dunia tampak dari gambar cakra di telapak tangannya. Setelah anaknya lahir, Sakuntala dengan setia menunggu kedatangan Raja Duswanta. Namun Sang Raja tak kunjung datang. Hati Sakuntala menjadi semakin sedih memikirkan masa depan anaknya. Meliha hal tersebut, Bagawan Kanwa menyuruh Sakuntala beserta anaknya pergi menghadap Sang Raja di ibukota.
Karena ingin agar anaknya menjadi Raja, Sakuntala lalu pergi ke ibukota. Setelah sampai di ibukota, Sakuntala menghadap Sang Raja yang sedang bersidang di istana. Di depan umum, Sakuntala menjelaskan maksud kedatangannya bahwa ia hendak menyerahkan puteranya Sarwadamana sebagai putera mahkota karena janji Sang Raja.
Mendengar pengakuan itu, Raja Duswanta menolak perkataan Sakuntala. Ia menolak telah menikah dan memiliki anak dari Sakuntala. Ia juga menghina dan mencela Sakuntala di muka umum. Sakuntala menangis karena dipermalukan.
Tiba-tiba terdengar suara dari langit yang membenarkan perkataan Sakuntala. Raja tak bisa mengelak lagi lalu ia menyongsong dan memeluk Sakuntala beserta anaknya. “Duhai Sakuntala, sebenarnya aku sangat gembira akan kedatanganmu. Namun karena kedudukanku sebagai Raja, apa kata dunia bila aku menikahimu yang tidak dikira sebagai istriku? Kini kesangsian itu tak ada lagi, karena semuanya telah mendengar sabda dari langit yang membenarkan ucapanmu. Karena itu, engkau adalah istriku dan Sarwadamana adalah puteraku. Ia akan kuangkat sebagai Raja menggantikanku. Namanya kuganti menjadi Bharata karena berdasarkan sabda dari langit”.
Setelah Raja Duswanta berkata demikian, ia menyerahkan tahta kepada Bharata. Bharatta menjadi raja besar dan menguasai wilayah yang sangat luas yang disebut dengan Bharatawarsa.
Raja Bharata menikah dengan Sunandadewi, melahirkan Sentanu yang kemudian menjadi raja di negeri Bharata yang akan menurunkan Dinasti Kuru. Raja Sentanu memiliki putra Bhisma (beribu Dewi Gangga). Putra Sentanu dari pernikahannya dengan Dewi Satyawati melahirkan Citra Anggada dan Wicitra Wirya. Yang selanjutnya akan menurunkan Drestrarastra dan Pandu. Yang selanjutnya menurunkan Korawa dan Pandawa. Demikian dikisahkan.
#KelirWayang #BudayaNusantara #WangsaBharata kanduksupatra.blogspot.com

Friday, October 13, 2017

CELULUK Celebrity Selfie


Dunia mistik di Bali memang ok. Ketika Kajeng Kliwon atau rerahinan lainnya, aura magisnya sangat kental karena banyak orang melakukan ritual tertentu. Aura magis ini makin menjadi – jadi ketika banyak perwujudan tak kasat mata bergentayangan. Konon kabarnya…..
Celuluk, salah satu orang menyebut. Liak ini memang sangat popular dengan karakter yang banyol, cengar - cengir cengengesan mengarah konyol.
Celuluk sejatinya perwujudan dari orang yang mengangankan dirinya menjadi sosok cantik, seksi, berpenampilan menarik, dan pede. Namun dalam kacamata manusia biasa ia adalah sosok gidat jantuk, bungut bues, mata gede, cunguh nyambu, nas lengar, bok gombrang, potongan wug, dan tak senonoh. Sepertinya demikian ….
Sebagai perwujudan manusia, celuluk bisa saja terbawa - bawa dengan keinginan manusiawinya. Ketika akan ngelekas jadi wanita cantik nan seksi (celuluk), mereka menyelipkan Smartphone di sanggah cucuknya. Dengan harapan ketika sudah ngelekas menjadi celuluk, ia dapat mengabadikan kegiatan ngeliaknya dan berselfie ria. Kurang lebih demikian….
Yang pertama mungkin selfie di tempat ia ngelekas. Lalu dalam perjalanan bisa jadi selfienya di perempatan, lanjut menuju rumah mangsa yang dituju entah selfienya di gang atau di depan pintu gerbang sang mangsa. Tidak sampai di situ, ketika sudah menemukan mangsanya ia kembali berselfie dengan mangsanya. Sudah tentu mangsanya tak tahu kalau si celuluk berselfie di sampingnya. Barulah adegan selanjutnya yakni nyesep bol atau mengganggu bayi tidur pada tengah malam . Demikian kura – kura ….
Konon kabarnya pula celuluk adalah jadi-jadian manusia yang punya perasaan yang sering menumpahkan rasa manusiawinya ketika menjadi celuluk. Tak heran jika ada celuluk kasmaran, celuluk matreks, celuluk doyan selfi kayak celebrity, dll. Kalau selfienya pun tak tanggung - tanggung. Seperti pake sabun mandi aja. Fotonya dari samping kanan kiri, atas bawah, depan belakang, pokoknya semua kena jepret, untuk selanjutnya diposting di Fb atau Ig komunitas / group para celuluk, berharap coment positif dari rekan - rekan sejawat celuluk. Begitu katanya….
Celuluk adalah liak yang mengakomodir perkembangan jaman. Celuluk adalah liak modern. Celuluk emang moy. Dalam sebuah pentas, ia menjadi sosok yang ditunggu – tunggu kehadirannya. Celuluk, sosok yang dibenci sekaligus dirindu.
Nggak ada celuluk… gak rame. Bagi yang sudah bisa jadi celuluk dipersilakan membentuk komunitas celuluk. Mungkin ke depan akan ada pesta celuluk, ada reuni celuluk, ada banjar celuluk, ada gubernur celuluk, dll.
Hahaha… kok ceritanya jadi kacau….? Para celuluk jadi bingung membacanya. Satua sing metutuk mebongkol... ulian sing ngelah gae. Ampura. kanduksupatra.blogspot.com

Monday, September 25, 2017

Mahameru – Semeru – Tohlangkir



Lontar Tantu Panggelaran mengisahkan jaman dahulu Pulau Jawa masih goyang di atas laut karena tak ada pemberatnya. Atas situasi ini, Sanghyang Mahakarana (Batara Guru / Sanghyang Parameswara / Batara Siwa) mencari penguatnya. Batara Guru beryoga, kemudian memutar Taya (kekosongan) menjadi buih putih, maka terciptalah Gunung Hyang (Gunung Dieng). Tanah tempat pijakan Batara Guru saat itu menjadi Gunung Limohan. Pulau Jawa belum juga stabil.
Batara Guru kemudian menitahkan para dewa pergi ke Jambudwipa untuk memindahkan puncak Gunung Mahameru ke pulau Jawa untuk dijadikan pemberat. Gunung Mahameru disebut juga Gunung Mandara / Mandara Giri adalah gunung yang sangat besar dan tinggi. Kaki dan badannya di bumi, sedangkan puncaknya di angkasa setinggi seratus yojana sampai di kayangan. Untuk memotong puncak Gunung Mahameru, maka Batara Wisnu menjadi Nagaraja melilit gunung, Batara Brahma menjadi Kurmaraja (penyu) untuk menyangga potongan puncak gunung, sedangkan Batara Bayu menerbangkan puncak gunung ke pulau Jawa dan diletakkan di bagian barat. kanduksupatra.blogspot.com
Gunung itu tampak bersinar putih bagaikan jejak kaki para dewa, maka disebut Gunung Kelasa. (Kailas / Kailasa, gunung salju stana Dewa Siwa). Karena berwarna putih seperti perak, maka gunung itu kemudian disebut dengan Giri Salaka (perak), lalu disebut dengan Gunung Salak. Karena diletakkan di ujung barat, maka pulau Jawa berat sebelah. Untuk menyeimbangkan, puncak Gunung Mahameru kembali dipotong dan diterbangkan ke timur pulau Jawa. Dalam perjalanan ke timur, bagian bawah gunung jatuh berceceran. Reruntuhannya berturut-turut menjadi Gunung Katong (Gunung Lawu), Gunung Wilis, Gunung Kampud (Gunung Kelud), Gunung Kawi, Gunung Arjuna, Gunung Kemukus. Sedangkan puncaknya menjadi Gunung Semeru. Dalam kedudukan yang baru di timur, Gunung Semeru masih belum kokoh, lalu Gunung Semeru disandarkan pada Gunung Brahma (Gunung Bromo). Itu sebabnya Gunung Semeru disebut Gunung Nisada (kokoh). kanduksupatra.blogspot.com
Setelah tugas selesai, Batara Guru beserta para dewa berkumpul memuja Gunung Mahameru (raja semua gunung). Gunung Semeru adalah Lingga Acala (lingga yang tak bergerak dan tak dibuat oleh manusia). Gunung yang suci stana Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabawa sebagai Batara Guru / Batara Mahakarana / Batara Jagatkarana / Sanghyang Siwa Pasupati / Batara Parameswara / sebutan lainnya. kanduksupatra.blogspot.com
Setelah pulau Jawa stabil, lalu pulau Bali berguncang. Untuk menstabilkannya, Batara Hyang Pasupati memerintahkan para dewa untuk memotong puncak Gunung Semeru untuk dibawa ke Bali, dan bongkahan lainnya di bawa ke pulau Lombok. Di Bali kemudian menjadi Gunung tohlangkir / Gunung Agung, di Lombok menjadi Gunung Rinjani. Hyang Pasupati kemudian memerintahan putra beliau Hyang Putranjaya / Hyang Mahadewa berstana di Gunung Tohlangkir dan Hyang Dewi Danuh di Batur, menjadi pujaan masyarakat Bali. kanduksupatra.blogspot.com
Dikisahkan, pada situasi tertentu Hyang Pasupati beranjangsana mengunjungi putra beliau. Hyang Tohlangkir pun bergemuruh menyambut beliau Hyang Pasupati. Demikian dikisahkan. Ampura, semoga tak terkena cakrabhawa raja pinulah sosod upadrawa. Sembah sujud kehadapan Hyang Pasupati, Hyang Mahadewa, Htyang Dewi Danuh. Rahayu … rahayu… rahayu…
#Mahameru #Semeru #Tohlangkir #HyangPutranjaya #HyangDewiDanuh #GunungAgung kanduksupatra.blogspot.com

Wednesday, September 20, 2017

SATU SURO…… Kebangkitan TAKSU Tanah Jawa





Satu Suro adalah hari pertama dalam penanggalan Jawa. Bisa dikatakan sebagai tahun baru penganggalan Jawa.
Di kalangan masyarakat tradisional Jawa yang masih mengemban tradisi dan budi perketi leluhur, malam satu suro adalah malam yang sangat istimewa dan malam yang sangat sakral. Malam ini para leluhur, para dewa dewi, para eyang, para danghyang, para pengikut dan pengawal beranjangsana mengunjungi anak cucu buyut di rumah. Kehadiran para Hyang inilah dirasakan malam ini  terasa sakral beraura angker.
Pada hari ini tak banyak yang bepergian jauh, berusaha untuk diam di rumah. Sejatinya adalah untuk dapat menyambut kehadiran para leluhur dari alam kahyangan untuk dipersembahkan sesaji semampunya. Walaupun ini tak nyata / maya, namun keyakinan mereka akan membuat semuanya menjadi nyata. Malam ini Tanah Jawa diliputi suasa magis yang kental karena kehadiran para Hyang dari alam suniantara.
Karena dewa dewa, para danghyang, dan para leluhur turun dari kayangan pada hari itu, maka oleh para anak cucu buyut kesempatan ini digunakan  untuk intropeksi diri, meruwat diri, penyucian lahir batin, dan memohon anugrah kesentausaan. Juga digunakan untuk membersihkan dan menyucikan benda pusaka peninggalan leluhur, karena sang pemilik akan datang beranjangsana, serta dimohonkan agar kekuatan, daya magis, dan kesucian pusaka tetap terjaga.
Bulan Suro, bulan introspeksi, bulan penyucian diri, sehingga masyarakat tradisional Jawa sejak dahulu mengurangi aktifitas rutin, dan lebih banyak melakukan aktifitas rohani.
Bagi para penganut keyakinan leluhur tanah Jawa, Satu Suro mesti menjadi tonggak KEBANGKITAN TAKSU TANAH JAWA / kekuatan magis tanah Jawa yang didasari tradisi dan Budi Pekerti Leluhur.
Rahayu… Dirgahayu…. Dirgayusa….. Ampura

#SatuSuro #LeluhurTanahJawa #PusakaLeluhur #RuwatanJawa
kanduksupatra.blogspot.com

Monday, September 11, 2017

Dewi Parwati, Durga, Kalika, Kausiki, Ambika adalah TUNGGAL. Kisah SUMBA & SUMBAWA


Diceritakan dua raksasa bernama Sumba dan Sumbawa yang berhasil menguasai ketiga dunia. Dewa Indra, Surya, Candra, Kuwera, Waruna, Agni, dan Pawana diusirnya dari kayangan. Para dewa lalu berdoa kehadapan Sang Dewi Gunung Himalaya. Doa para dewa terdengar oleh Sang Dewi ketika sedang menuju sungai tempat permandian beliau yang bernama Sungai Janawi.
Dewi Parwati menampakkan diri dan berkata “kepada siapa kalian berdoa?”. Setelah berkata demikian, muncul Dewi Ambika dari tubuh Dewi Parwati dan berkata “mereka berdoa kepadaku, karena para dewa telah dikalahkan oleh raksasa Sumba dan Sumbawa”. Karena Dewi Ambika muncul dari sel (kosa) Dewi Parwati, maka Dewi Ambika juga disebut dengan Dewi Kausiki. Lalu karena tubuh Dewi Parwati menjadi gelap setelah keluarnya Dewi Ambika, maka Dewi Parwati juga disebut dengan Dewi Kalika. Kalika artinya “gelap”.
Diceritakan raksasa Sumba dan Sumbawa memiliki pengawal yakni Canda dan Munda. Kedua pengawal melihat kecantikan dari Dewi Ambika, lalu melaporkan kepada Sumba dan Sumbawa. “Tuan, kami melihat seorang wanita di Gunung Himalaya. Tuan telah menguasai ketiga dunia, mengapa tuan tidak menjadikan wanita cantik itu sebagai permaisuri?”
Raksasa Sumba lalu mengirim utusan kepada Sang Dewi. Utusan itu bernama Sugriwa. Ia menghadap Sang Dewi dan berkata “hamba utusan detya Sumba yang telah menguasai ketiga dunia. Anda adalah wanita tercantik di ketiga dunia, mengapa anda tak menikah dengan raja kami?”.
Dewi Ambika (Dewi Durga) tertawa, dan berkata “kau benar, namun yang berhak menikahiku adalah yang bisa mengalahkanku".
Mendengar pengaduan Sugriwa membuat Sumba dan Sumbawa marah. Raja raksasa itu segera mengirim pasukan ke Himalaya dipimpin oleh Durmalocana. Ketika mau menyerang, api keluar dari mata Sang Dewi membakar pasukan raksasa.
Sumba dan Sumbawa makin marah dan mengutus Canda dan Munda untuk menangkap Sang Dewi. Wajah Sang Dewi memerah. Dari dahinya keluar Dewi Kali berkulit gelap, berkalung tengkorak, lidahnya menjulur, memegang senjata. Dewi Kali naik ke atas singa tunggangannya lalu menangkap Canda dan Munda dengan memenggal lehernya.Dewi Kali membawa kepala Canda dan Munda kepada Dewi Ambika lalu berkata “hamba telah membawa kepala Canda dan Munda, tapi Anda sendiri yang harus membunuh Sumba dan Sumbawa”.
Mendengar kekalahan itu, Sumba sendiri akan menghadapi Dewi Ambika. Seluruh raksasa dikumpulkan untuk menyerang Sang Dewi. Sang Dewi telah menunggu pasukan raksasa. Para dewa juga menciptakan dewi yang lain untuk membantu Dewi Ambika / Durga. Dewa Brahma mengutus Dewi Brahmani, dewa Siwa mengutus Dewi Maheswari, Kartikea mengutus Dewi Kumari, dewa Wisnu mengutus Dewi Waisnawi, dan Dewa Indra mengutus Dewi Aindri.
Pertempuran sengit tak dapat dihindari. Saat itu datang serangan raksasa sakti Raktawija. Setetes darah yang keluar dari tubuhnya akan tumbuh menjadi raksasa sakti lainnya. Setiap tetes darah raksasa itu tumbuh menjadi raksasa sakti. Demikian seterusnya, sehingga tercipta banyak raksasa sakti. Dewi Ambika lalu memanggil Dewi Kali dan berkata “bukalah mulutmu lebar - lebar, aku akan menyerang raksasa Raktawija dan kau harus menghisap setiap tetes darah yang keluar dari tubuh raksasa itu”. Dewi Kali mengikuti perintah Ambika. Dewi Ambika terus menyerang Raktawija dengan trisula dan Dewi kali mengisap semua darah yang keluar dari tubuh raksasa itu. Akhirnya Dewi Ambika dapat membunuh Raktawija.
Pertempuran sengit juga terjadi antara Dewi Ambika dengan raksasa Sumbawa. Sumbawa berusaha membunuh singa Sang Dewi. Akhirnya panah sang Dewi lebih dahulu menghujam dada raksasa Sumbawa. Raksasa Sumba lalu datang dari langit, lalu melempar senjata sakti kepada Sang Dewi. Sang Dewi pun membalas dan melukai dada Sumba dengan trisula. Namun pada saat yang sama Sumbawa terbangun lagi, lalu menyerang Sang Dewi. Tiba - tiba tombak Sang Dewi menembus dada Sumbawa. Sumba yang masih hidup berteriak kepada Sang Dewi “kalian pengecut. Kalian bertarung dibantu oleh para dewi itu”. Dewi Ambika menjawab “kau salah, tak ada yang lain di sini. Mereka semua adalah aku. Kau bisa lihat mereka menyatu dalam tubuhku”.
Seperti apa yang dikatakan Dewi Ambika, semua Dewi – Dewi itu memasuki tubuh Dewi Ambika. Sang Dewi kemudian bertarung dengan Sumba. Ambika dapat menghujamkan trisulanya ke dada Sumba dan tewas. Atas tewasnya raja raksasa maka dunia tentram kembali.
Demikianlah kisah Sumba dan Sumbawa, yang memberikan gambaran bahwa Dewi Parwati, Dewi Uma, Dewi Ambika, Dewi Kausiki, Dewi Durga, Dewi Kalika, Dewi Kali, Dewi Brahmani, Dewi Aindri, Dewi Waisnawi, Dewi Maheswari, Dewi Kumari, sejatinya adalah tunggal.
Demikian disarikan dari Purana. Ampura.
#DewiParwatiUmaDurgaKali #Purana #SumbaSumbawa #Tattwa
#ArtikelByKanduk. kanduksupatra.blogspot.com

Monday, September 4, 2017

PURNAMA KETIGA – SABDAPALON – CANDI PURWO


Pada bagian akhir Kitab Serat Dharmagandul menyiratkan pesan Prabu Brawijaya seperti kutipan berikut: “Sekarang kita berpisah, nanti setelah 500 tahun yang akan datang tiap Purnama ke - Tiga (3) kita kumpul di sini. Aku akan datang menunggu Sabdapalon dan anak didiknya. Tempat ini saya akan "tengger" dengan tongkat dari Betara Guru yang nantinya akan tumbuh menjadi pohon “Kelampis Ireng”, lambang kembalinya saya ke tanah Jawa bersama pasukan Negeri Majalengka Nusantara”.
“Kutitipkan negeri ini sekarang, jagalah baik-baik dan berhati-hatilah karena negeri ini banyak yang akan menginginkan, jangan sampai dijajah bangsa lain. Ingatlah kita sebagai orang Nusantara berpusat di Jawa, jangan kamu melupakan Agama Jawa, Adat, Budaya Jawa. Jangan kamu melupakan Danghyang Tanah Jawa”.
"Sirno Hilang Kertaning Bumi Nusantara (1478 Masehi)"

500 tahun kemudian ………
Tempat itu adalah Hutan Larangan Kali Tiga, Teluk Pangpang. Di atas sebuah gumuk yang disebut Gumuk Gadung,telah dibangun Pura Candi Purwo, di tengah hutan bakau, Desa Kedung Asri, Kecamatan Tegal Delimo, Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Odalan di Candi Purwo dilaksanakan pada hari Purnama Ketiga, sebagaimana perjanjian Prabu Brawijaya dengan Danghyang Tanah Jawa “Sabdapalon”. Setiap tahun bertemu kembali di tempat ini, untuk mewujudkan kembali “Kertaning Bhumi Nusantara”.
Bagi yang sempat hadir pada malam Purnama Ketiga di Candi Purwo, semoga merasakan sensasi kehadiran para penguasa dan pengasuh tanah nusantara beserta para hulubalangnya.
Ampura. Rahayu. Dirgahayu. Dirgayusa. Kerta Raharja Bumi Nusantara Jati.
#CandiPurwo #Sabdapalon #AgamaJawaSiwaBuda #Majapahit #GumukGadung #KertaRaharjaBumiNusantaraJati
#WayanSucita #kanduksupatra.blogspot.com