Thursday, May 25, 2017

PEMAHAYU JAGAT




Upacara Pemahayu Jagat sampun kemargiang olih Pmerintah Kota Denpasar ring rahina Tilem, Wrehaspati Kliwon Merakih, 25 Mei 2017, ring pesisi Segara Mertasari, Sanur Kauh. Pemahayu Jagat puniki mejalaran antuk Tawur Balik Sumpah Agung, Sesayut Prayascita Bhumi, Sesayut Dirgahayu Bhumi, Bagia Pule Kerti Pengenteg, lan Pekelem ring segara. Dumogi Jagat Bali, Jagat Nusantara presida Ajeg, Teteg, Enteg, Dirgahayu, Rahayu, Rahajeng.
-Juru Serati lan Uperengga, Griya Kesumayati Pemaron Mandara, Yangbatu Kangin, Dps -

Tuesday, May 23, 2017

BUDI PEKERTI NUSANTARA, Berguru Kepada Alam


Spirit hidup manusia nusantara sejak jaman dahulu adalah keluhuran Budi Pekerti. Karena lebih menekankan pada Budi Pekerti Luhur, maka keyakinan ini sering disebut dengan "Agama Budi".. Namun teman-teman tetangga sering menyebutnya “Agama Bhumi”. Karena dianggapnya keyakinan leluhur nusantara datangnya dari tradisi turun temurun para leluhur, bukan merupakan wahyu Tuhan. Keyakinan yang kebenarannya relatif dan tak dapat dipertanggungjawabkan. Keyakinan yang lebih pada hal kebendaan dan kemanusiaan serta keduniawian daripada sorga. Demikian tetangga menyebut.
Tapi apapun sebutannya, agama budi dalam sejarahnya telah menuntun manusia nusantara menuju kemuliaan, kebersamaan, beradaban, gotong-royong, tenggang rasa, kehalusan budi, dan kecerdasan pikiran. Agama budi -yang dijuluki agama bumi- memuliakan alam, memuliakan manusia, Leluhur, Batara, Dewa, dan Sanghyang Embang.
Agama budi yang menjadi anutan para leluhur nusantara sejak jaman dahulu telah membentuk manusia berbudi, berbakti, berperikemanusiaan, bermusyawarah, berkeadilan, berbudaya, berbhineka, dan kreatif. Agama Budi membentuk manusia nusantara “seutuhnya” yakni manusia nusantara yang hak-hak hidupnya terpenuhi baik secara duniawi maupun akhirat, manusia berbudi, berkepribadian dan memiliki jati diri.
Agama Budi lahir dari pemurnian spiritual manusia di dunia fana. Terbentuk melalui proses spiritual dari manusia – manusia nusantara yang tulus dan “putus” (lepas dari ikatan duniawi), yang mampu menyerap kemuliaan “wahyu alam” sebagai perpanjangan tangan Hyang Tunggal. Kebajikan yang diajarkan oleh “manusia - manusia paripurna” yang telah dapat menyatukan kekuatan Ibu Pertiwi dan Bapa Akasa. Menyatukan kekuatan Purusa Pradana, menyatukan kekuatan “Dunia” dan “Sunia” (akhirat), menyatukan kekuatan “Sekala Niskala” (nyata dan tak nyata). Menyatukan kekuatan “bhukti” (kebendaan) dan “mukti” (keimanan). Kekuatan Purusa Pradana menjadi Ardhanareswari sebagai kekuatan Sanghyang Tunggal. Darinya menjadi kekuatan Sanghyang Maha Wisesa yang memancarkan energi kosmis, menebar vibrasi kesucian, membangkitkan kecerdasan budi, yang pada akhirnya melahirkan “sujana” (kebijaksanaan).
Agama budi tak berharap - harap sorga atau mengelak - elak neraka. Ia mengalir terus mengikuti irama “karma” dan “samsara” (reinkarnasi). Berjalan tulus di jalur budi perkertinya yang damai di dunia, damai di hati dan damai di alam sunia untuk mencapai kemurnian Sang Atma dalam penyatuannya kepada Sang Hyang Jagatnata.
Agama Budi bisa hidup dimana saja, kapan saja dan bersama siapa saja. Sehingga ia diberi julukan oleh Sang Waktu sebagai Sanatana Dharma, kebenaran abadi. Kearifannya telah melahirkan “Sarjana Sujana” tanpa universitas, yakni insan - insan yang cerdik pandai penuh kebijaksanaan. Terbentuk oleh kemuliaan alam, serta kehalusan budi yang diajarkan oleh Ibu Pertiwi dan kekukuhan hati yang digembleng oleh Bapa Akasa. Itulah Agama Budi Nusantara, berpijak pada Budi Pekerti Leluhur Nusantara.
Semoga leluhur nusantara memberi tuntunan.
#AgamaBudiNusantara #NusantaraJaya #SanatanaDharma #BerguruKepadaAlam
kanduksupatra.blogspot.com

Wednesday, May 17, 2017

“BOL CELENG” Spesial Bagi Para……


Di dunia mistik Bali sering ada ungkapan “segseg jit baan bawang apang sing sesep liak bol e” (sumbat lubang anus agar “bol” tidak dihisap). Dalam pertunjukan magis sering ada lelucon celuluk “ngong paling demen nyesep bol muda” (aku –celuluk- paling suka menghisap “bol” muda). Sering pula liak-liak gentayangan mengatakan dengan bahasa “sesep bolne” (hisap “bol”). Demikian sering terdengar. Ungkapan ini menyiratkan bahwa liak suka dengan “bol”.
Apa itu bol?... Bahasa latinnya “rectum” / dubur. “Ngisep bol” artinya menyedot dubur agar terjulur keluar (bol meloglod : bahasa Bali). “Nyesep bol” oleh para liak maksudnya menyedot energy seseorang melalui lubang anus, orang itu jadi sakit, makin lemah. Oleh sebab itu para tetua menyarankan anak cucunya untuk membekali diri dengan bawang merah. Konon bawang merah sangat disukai oleh para liak, sehingga liak tak menghisap bol lagi. Bisa juga bawang putih yang baunya sangat disukai liak. Atau pakai jangu dan mesui, dengan harapan liak tidak nyaman bagaikan dekat bara api, lalu menjauh. Bol sebagai pintu untuk menyedot energi menjadi terhindar. kanduksupatra.blogspot.com
Artinya di dalam dunia penestian / liak ugig, hidangan bol sangatlah lezat. Konon liak berlomba untuk menyantap bol. Apalagi liak kelas “pemoroan” (kelas ecek - ecek) yang masih suka yang busuk-busuk seperti bangkai anjing, bangke dongkang, bangke lindung, serta bol yang sudah tentu baunya bengu. Ini adalah liak cengengesan tapi jailnya tak kepalang.
Dalam pertunjukan calonarang kerapkali dibuatkan sesaji yang berisi bermacam - macam segehan (nasi) dilengkapi dengan iwak (lauk) daging mentah, disertai bumbu bawang jae, dll. Seringkali dilengkapi dengan “bol celeng” mentah dan segar. “Bol celeng” dengan segala kelengkapannya disuguhkan bagi para “bregala-bregala” (gerombolan niskala), para bebhutan yang datang saat pertunjukan, tak terkecuali para liak pemoroan. Suguhan ini diletakkan di sekitar arena pementasan. Harapannya ketika laskar liak atau laskar niskala menyerang, maka yang akan disasar pertama adalah bol celeng yang sudah disajikan. Lalu liak tak lagi menyasar bol pemain calonarang, bol balian ngundang – ngundang, bol “bangke matah”, termasuk penonton. Bol celeng bagaikan hidangan “prasmanan” yang special bagi para liak. Setelah menyantap bol celeng, liak akan “wareg” / kenyang dan puas. Tak bergentayangan, tak menyasar bol manusia, amanlah pertunjukan. kanduksupatra.blogspot.com
Penyajian bol celeng ini adalah langkah antisipatif dalam situasi terburuk, para liak yang diundang datang secara bersamaan dengan kekuatan besar. Mereka perlu dijamu dengan hidangan istimewa berupa “bol celeng nasi bawang jae”, dll. Ueennaeee… poollll…. Demikian para liak berkomentar. Ampura. Yang punya gambar mohon pinjam untuk ilustrasi. Suksma.
#BolCeleng #LaskarLiak #LaskarNiskala #MistikBali #BudayaBali
#OriginalArtikelByKandukSupatra kanduksupatra.blogspot.com

Friday, May 12, 2017

CALONARANG - NERANG - BIKIN HUJAN


Bagaikan satu paket hiburan mistik. Gemerlapnya dunia calonarang berpaketan dengan praktek membuat hujan dan nerang hujan. Bagi yang ingin mengacaukan acara, sudah tentu akan membuat hujan. Bagi yang penyelenggara pasti akan “nerang”. Demikian I Wayan Sandeh Jambul Kuning membuka dialognya suatu pagi dengan I Made Papak Wok Dimpil Karo.
Nerang hujan saat pertunjukkan calonarang merupakan hal yang krusial. Apalagi pertunjukan diadakan pada musim hujan. Penyelenggara selalu berhitung siapa yang ditugaskan untuk “nerang”. Tapi semua bersifat kasak kusuk. Demikian I Nyoman Wangkas Sangkur Udang menimpali.
I Made Papak Wok Dimpil Karo melanjutkan “ketika pertunjukan calonarang berjalan dengan baik tanpa hujan, maka kita sering mendengar seloroh “Nah ne mara hebat, nyen nerang?” (nah ini baru hebat, siapa yang “nerang” ?). Sebaliknya jika hujan, lalu ada celotehan “kok bisa hujan, kenken tukang terang ne?” (kok bisa hujan, gemana tukang terangnya nih…?).
Dari beberapa tukang terang yang dikenal, beberapa memang sudah tak asing lagi. Banyak yang berhasil “mendapat jempol”, kerapkali kebobolan lalu dapat cibiran “sapih” (seri). Maksudnya nerang payu ujan payu (prosesi nerang diajalankan, hujan juga turun / alias sama – sama jalan). Demikian I Ketut Sekedas Kuning Bang Karna ikut nimbrung pagi itu di atas taban bale banjar. kanduksupatra.blogspot.com
Lagi lagi I Gede Ejo Sambu Lekong menambahkan bahwa dalam dunia nerang, tak jarang ada oknum “berlagak sakti” bisa merekayasa cuaca. Banyak sarana yang digunakan seperti banten barak, sirih, sembe (lentera), rokok, jangu, dll. Bahkan ada sedikit nyeleneh pakai Bir Bintang. Mungkin yang dibutuhkan adalah bintang bintang sebagai pertanda cuaca cerah…. ? entahlah. Yang jelas semuanya berdasarkan keyakinan. Apapun itu, semuanya adalah sarana memohon kepada Penguasa Alam dalam prabawa sebagai Sanghyang Brahma, Sanghyang Agni dan Sanghyang Bayu, sebagai kekuatan panas, api dan angin. Demikian I Gede Ejo Sambu Lekong.
I Kadek Biying Mata Rangreng punya cerita lain. “Ada lagi yang menampilkan diri begitu meyakinkan. Mereka bawa sebilah keris. Konon keris itu adalah pusaka Brahma Ambara, berkasiat untuk nerang. Mereka menghaturkan banten, komat kamit, lalu menunjuk - nunjukkan kerisnya ke angkasa. Tampak memang seram. Namun lucunya, (maaf) beberapa saat kemudian, gerombolan awan yang tebal dan gelap datang. Si tukang terang kelabakan, keris diacung-acungkan terus ke segala arah, akhirnya hujan pun turun dengan lebatnya.
Sayang, permohonannya hari itu tak terkabulkan. Mungkin Hyang Brahma sudah dipermaklumkan oleh Hyang Indra bahwa pada hari itu beliau akan menurunkan hujan agar tanaman tumbuh subur serta memenuhi kebutuhan air untuk manusia. Bisa jadi dengan hujan lebat itu Hyang Wisnu meruat alam dari kotoran dan penyakit. Atau mungkin juga Hyang Indra sedang mengabulkan doa Sang Kodok, karena telah lama tak turun hujan. Demikian keyakinan I Kadek Biying Mata Rangreng. kanduksupatra.blogspot.com
I Nyoman Wangkas Sangkur Udang kembali berujar “Dalam dunia beginian, sering ada cibiran macam macam. Kalau tak hujan, semua nigtig tangkah ngaku nerang. Tapi kalau sudah hujan, semua tiarap tak ada yang berani bertanggung jawab” Demikian ia ceplas ceplos ketika menghadiri sebuah acara adat, dimana acara tersebut diguyur hujan dari pagi sampai sore tak ada jedanya.
I Nyoman Wangkas melanjutkan ceplas ceplosnya “kalau mau dibilang sakti nerang, maka terimalah order pada bulan Juni – Juli – Agustus – September. Pada bulan itu, tukang terang 98 % persen berhasil. Karena bulan itu musim kemarau. Saat itu pastilah orang bilang tukang terangnya sakti. “Kalau nerang pada bulan Desember, Januari, Februari, maka siap siaplah, sebab bulan itu bulan basah. “Kanti ngencit tukang terange” artinya sampai mencret tak akan terang. Angka keberhasilan nerang cuman 5 %. Demikian Nyoman Wangkas bercerita dengan gaya yang sedikit tendensius.
I Putu Gede Buik Kuning Rejuna Mentang Panah menyela “Ada lagi seorang tukang terang memasang tarif sepuluh juta rupiah untuk satu kali event. Ia biasanya teken kontrak dengan rumah produksi untuk shooting. Namun harga ini dinilai terlalu tinggi I Gusti Ngurah Godeg Duurpa. Lalu atas arahan I Putu Gede Buik Kuning, disarankan untuk mencari tukang terang lain. Mereka berdua lalu menuju ke suatu tempat. Dalam perjalanan I Putu Gede Buik Kuning membisiki I Gusti Ngurah Godeg yang sedikit bongol, “ini tempat lampu laser”. Tapi Ngurah Godeg mendengarnya “Mangku Lasan”. Ia semangat dan penasaran ingin tahu seperti apa Mangku Lasan itu. kanduksupatra.blogspot.com
Mereka masuk ke sebuah ruangan kantor. Ngurah Godeg heran, kok rumah balian seperti kantor. Ia berpikir, mungkin ini adalah ruang administrasi. Ia makin penasaran karena balian itu memilki manajemen modern dilengkapi front office. I Putu Gede Buik Kuning lalu memanggil Ngurah Godeg. Ia terkejut melihat lampu - lampu ukuran besar di ruangan itu. Ngurah Godeg makin bingung. I Putu Gede Buik Kuning lalu menjelaskan bahwa ini bukan rumah Mangku Lasan, tapi tempat menyewa Lampu Laser, untuk mengurai awan agar tak hujan atau mengurangi intensitas hujan. Biayanya cuman tiga juta. Hitungannya lebih murah dibanding “sesari” balian tadi. Mungkin cara ini lebih realistis bukan mistis.
Namun demikian, I Komang Srawah Sangkur yang telah malang melintang di dunia terang menerang salut dengan beberapa tukang terang sejati yang katanya tokceer, handal dalam hal nerang dengan statistik keberhasilan sekitar 90 %. Wah hebat... namun ketika dimintai konfirmasi namanya, ia hanya menyebut beberapa inisial. Konon katanya tak boleh "aja wera".
Pande Ketut Klau Biru nyeletuk “yah, begitulah manusia selalu ingin agar sesuai dengan keinginannya, mencoba untuk merekayasa cuaca. Tapi tetap alam yang memutuskan. Yang paling sederhana adalah biarkan alam berjalan sesuai dengan hukumnya. Kalau hujan… ya meembon / berteduh. Kalau memang harus beraktifitas saat hujan, mantel / payung solusinya. Cara berpikir bebelogan alias tak ruwet”. Demikian celetuk Pande Ketut Gede Klau Biru.
Nyoman Wangkas Jambul Kuning menimpali, yah itulah realitas budaya Bali. Selalu memohon kehadapan Hyang Embang agar acara dapat berjalan dengan baik dan senyaman mungkin. Namanya memohon, jika terkabul ya syukur. Jika belum terkabul, ya syukur juga. Demikian Nyoman Wangkas mengakhiri obrolannya sambil membuka payung karena hujan sudah mulai turun. Obrolan pun bubar. Ampura.
Niki wantah satua serba serbi nerang hujan di masyarakat bali. Yening harsa, durusang dagingin ring kolom komen. Suksma. Malih pisan ampura.
#NerangHujan #BudayaBali #MistikBali
original artikel by kanduksupatra.blogspot.com

Friday, May 5, 2017

I PAYUK





Ada tuturan satua anak luh madan Men Bekung gagaenne ngadep emping. Sabilang semengan sai-sai kone iya ngayahnyah emping ane lakar adepa ka peken. Sedek dina anu laut pelih kone baana, sedekan nyahnyahan emping nyerokongkong, laut kelepetin kone telinne teken empinge abesik, tur macelep katengah. Nah gelising satua makelo-kelo dadi beling lantas Men Bekung, dadi liyu kone anake ngomongang Men Bekung buatne ya tuara ngelah kurenan dadi beling. Nah subane tutug bulanan belingane Men Bekung lantas lekad panakne muani nanging ke magoba payuk. Melahanga kone masih I Payuk miara teken memene. Kacerita jani disubanne I Payuk kelih, nagih lantas I Payuk melali. “Meme-meme, baang ja icang malali nah meme, bes uli cenik nganti amone kelih icange tonden taen kija-kija. Bang ja icang malali nah meme. Keto kone abetne I Payuk. Masaut lantas memene, oyongang dogen ja ibane jumah, tawang nyen di rurunge, payu bakat telimpuka teken anake nyen, payu bencar tendase. Keto abet memene kedeh masih I Payuk nagih malali, bangkone lantas teken memenne. Nah lamun tusing ja dadi punggelin idep caine, kema suba cai, kija to keneh caine. Kewala keto, nyanan yan cai kenapa kuda, da nyen meme selsela. Nah, keto pasautne I Payuk, lantas ya masuang, gluluk-gluluk kone pajalanne. Dadi tusing kacerita pajalanne di rurunge, jenenga tusing ada anak rungu, ngojog kone ja kapeken, negak lantas ya di warunge suung, ngamenolang kone ya ditu mabalih anak mabelanja. kanduksupatra.blogspot.com
Ada lantas anak ngaba babelanjan kema si I Payuke. Ye, ne ujan menjang payuk dini. Dini kone bakal pejang malu babelanjane. Keto abet anake ento, penpena lantas babelanjanan ka tengah payuke, lantas kalaina. Buin kesepne buin kone ada anak ngaba babelanja kema. Ne nyen se mejang payuk dini, dini kone bakal pejang malu bene. Penpenina kone lantas I Payuk be. Liyu kone anake menjang-menjangin I Payuk babelanjan. Subanne bek I Payuk misi magenep-genepen, mulih lantas ya seng gelulukanne. Suba jani neked jumahne, kaukina lantas memene.
Meme meme, juangin aba-abaan icange meme. Apa aban cai cening. Icang ngaba magenep-genep. Nyagjag kone lantas memenne. Ne dija cai maan kene-kene. Cang di peken. Mamaling cai, awak tre ngaba pipis, dadi magenep gati aban cai. Tusing meme, anak sedekan icang negak ditu di warunge suung, jeg penpenina kene-kene icang teken anake. Kendepang dogen iban icange. Suba bek icang maisi, apa kakelijengang ibane. Keto abet I Payuke, kendel ganti kone memenne. Apenarak beet kone isin I Payuke, be, wohwohan, isin pabwan, bakal basa. Buin maninne buin kone I Payuk ka peken, buin kone sig jalanne ibi ya negak. Buin kone liyu anake ngisinin I Payuk babelanjan. Suba bek, mulih kone lantas ya. Sai-sai kone sabilang semengan I Payuk ka peken, dadi ada dogen kone ngisinin I Payuk apa-apaan. Makelo-kelo sugih lantas Men Payuk. kanduksupatra.blogspot.com
Jani kacerita I Payuk suba teruna, suba demen teken anak luh, ngomong lantas ya teken memenne. Meme-meme, padikang icang anak luh. Nyen sih demenin cai. Okan anake agung ane paling alit, ane maparab I kapitu. To nguda ya gageden gati keneh caine. Awak kene magoba payuk nemenin okan anak agung. Meme tre bani apa matur. Tonden peragat atur memene nunas okan idane, suba meme maulah, patilesang ja ibane, kanggoang di jaba ngalih kurenan, keto abet memenne, masaut lantas I Payuk. Nah te kema suba meme ka puri. Dadi papak rembag. Yan tusing nyak meme nunasang okan anak agung, icang magedi, kija nyak singan, icang ngutang-ngutang iba.
            Dening keto abet I Payuke, nyak lantas memenne ka puri. Kacerita kone Men Payuk di puri, tangkil teken anake agung. Ne ngenken Men Payuk tumben tangkil teken gelahe. Keto pangandikan anake agung, matur lantas Men Payuk. Inggih wenten tunas titigang ring palungguh cokor i dewa. Nah apa idih nyai. Titiang mamitang putran cokor i dewa I Kapitu, jaga wehin titiang kaulan cokor i dewa, titiang maduwe pianak. Keto aturne Men Payuk, duka lantas ida anake agung. Nunas Okan gelahe bakal baang I Payuk. Dadi langiya pesan iba. Nah jani masin dosan ibane. Keto pangandika Anake Agung, lantas Ida ngandikain parekan. Parekan, ne ered tendasne Men Payuk aba karurunge, bangkaang tentasne. Paid cicing anga kone lantas. Men Payuk teken parekane abana karurunge. Lantas matianga. Suba sanja, kacerita  jani I Payuk ngati-ati memenne. Ne nguda maka sanja i meme di puri, bakal alih kone i meme. Keto kenehne I Payuk, lantas iya majalan. Mara neked iya di bancingah, dapetanga lantas bangken memene ditu. Ne matianga i meme, beneh tusing teka-teka. Keto abetne I Payuk ngarengkeng padidian, lantas peresina juuk linglang kone bangke memenne, idup kone lantas memenne. Lantas matakon I Payuk. Meme nyen ngamatiang meme. Masaut memenne. Parekan anake agung, ida anake agung ngandikaang. Kenken  sisip memene dadi matianga, ban icange nunden meme nunas okan idane. O cening, nah lamun keto, jalan jani mulih. Buin mani buin men meme ka puri. Masaut memenne. Ah, Meme takut mara ngenah dogen ko meme, buin meme matianga. Masaut I Payuk. Dadi takut, nah te kema dogen meme mani, keto abet I Payuke, ajaka lantas memenne mulih.
Kacerita maninne, buin kone memen I Payuke ka puri. Mara cingakina Men Payuk teka teken anake agung, nikaina lantas parekane. Parekan, tusing kamatiang men Payuk ibi. Sampun ratu dewa agung. Men dadi teka ya buin mai deleng-deleng. Sisip titiang ratu dewa agung. Kema paid tendasne Men Payuk aba ka rurunge matiang. Titiang sairing ratu dewa agung. Paida lantas Men Payuk teken parekane abane karurunge lantas matianga. Kacerita jani I Payuk jumahne. Pelan suba sanja tonden masih teka memenne. Dong tara matianga buin i meme di Puri. Ah bakal alih kone kema. Keto kenehne I Payuk lantas iya majalan. Sajaan mati kone dapetanga memenne, nyalempang bangkenne di sisin rurunge. Peresina lantas aji juwuk linglang bangken memenne. Idup lantas buin Men Payuk. Mani buin men meme ka puri. Lamun tonden kapaica I Kapitu, da suud-suud meme ka puri nunas. Keto abetne I Payuk, mulih lantas ajaka memenne. Kacerita buin maninne, buin kone memenne I Payuk ka puri. Teked di puri mara cingakina teken anake agung, kene kone pangandikan idane. Ye ne Men Payuk buin idup. kanduksupatra.blogspot.com
Parekan, ne Men Payuk buin teka. Jani ebat tendasne anggon lawar, tanding-tanding, cacarang ditu di rurunge. Keto pangandika idane teken parekane, lantas ereda kone Men Payuk ajaka ka wantilane, ditu ebata kone Men Payuk tanding-tandinga teken parek-parekane, cacaranga lantas di sisin rurunge. Sube jene sanja, aliha lantas Men Payuk teken panakne, tepukina memenne suba maebat matanding-tanding, punduhanga lantas te teken I Payuk. Suba mapunduh, peresina lantas juuk linglang. Idup kone buin memenne, ajaka lantas mulih. Buin maninne buin kone Men Payuk tundena ka puri teken panakne. Kacerita suba kone memene di Puri Tangkil teken anake agung. Kene kone pakayunan anake agung. Ne sakti gati Men Payuk. Pelan suba malawar nyidaang buin idup. Yen tra baang ne I Kapitu, nyen payu i dewek teka kenkenanga nyen. Ah bakal baang kone iya I Kapitu, apang suud busan-busan mai. Nyet kenkenang ko ja Men Bekung, anu nyidaang dogen ya idup. Adenan suba baang, apang tusing ada kencanin.
Keto pakayunan ida anake agung, lantas ngandika teken Men Payuk. Men Payuk, panak gelahe ane engkenan idih iba. Sane pinih alita ratu dewa agung. Keto aturne Men Payuk, nikaina lantas putranne ane paling alita. Cening kapitu, titiang ratu aji. Ne Men Payuk ngidih cening bakal baanga pianakne, men cening kenken. Inggih kenak pakayunan ratu aji. Keto aturne I Kapitu ngandika buin ida anake agung. Nah keto cening bakal pakidiang bapa teken Men Payuk. Salegang men ibane ditu makurenan ajak I Payuk. Nyet cening ditu, bapa anak sing mabinaan apa nyet bapane mapianak teken cening. Keto pangandikan idane teken okane I Kapitu, lantas ida ngandika teken Men Payuk. Nah Men Payuk, gelahe ngaleganin Men Payuk maang ngidih I Kapitu. Jani derasane jele kema Men Payuk mulih malu, buin mani I Kapitu juanga jak mulih, ajak I Payuk mai apang bareng mapagin.
Keto pangandika anake agung, mapamit kone lantas Men Payuk. Teked jumahne, tuturanga lantas pangandikan anake agung teken panakne. Tan kacerita buat kakendelan I Payuke, jani kacerita okan-okan anake agung, sameton-sametonanne I Kapitu, I Kasa, I Kadua, I Katiga, I Kapat, I Kalima, I Kanem, makejang istri, to kone makejang jailin I Kapitu, bane  lakar makurenan teken payuk. Kacerita buin maninne, kaceritanan I Payuk, merasa kone teken memen. Meme-meme, jani apang meme nawang kasaktian icange, jani icang lakar dadi jelema. Sajan cai bisa dadi jelema, nah dong lautang, jalan men kapuri nunas I Kapitu. Keto abet memenne, belah lantas I Payuk, dadi kone ya jelema, bagusne tan sida pada. Suba jene I Payuk dadi jelema, ka puri lantas ajaka memenne. Tan kacerita di jalan, suba kone neked di bancingah, lantas ya mawekasan ka purian. Suba maan wekasan, kapurian lantas Men Payuk ajaka panakne tangkil teken anake agung. Ngandika anake agung Men Payuk, inggih titiang ratu dewa agung. Engken panak nyaine. kanduksupatra.blogspot.com
Puniki sampun kaulan cokor I Dewa titiang maduwe pianak, keto aturne Men Payuk, angob lantas anake agung teken kabagusan I Payuke. Beh, kaden gelah payuk sajan pianak nyaine. Yen tawangan ne pianak nyaine, meh ipidan suba kabaang I Kapitu. Ngandika lantas anake agung tekan I Payuk: Payuk, inggih titiang. Jani bapa maang cai pianak bapane I Kapitu. Nah ajak jani ya mulih. Sakewala, anak adi cai totonan belog gati, pakerengin men ngajain. Keto pangandika idane, lantas nikaina okane. Cening, Kapitu, titiang ratu aji. Dong mai paakin to belin nyaine, inggih ratu aji. Kema lantas I Kapitu bareng I Payuk negak. Sameton-sametone I Kapitu, werah-weruh kone maselselan. Dong, dadi sing i dewek ja paicanga teken ratu aji. Malah te jailin kapitu. Payu ja jani ngelah agete. I dewek apa baanga nimbalin. Keto pada pangandikane ajaka nemnem. Nah gelising carita tunasa lantas I Kapitu tur ajaka mulih teken I Payuk. Buin telunne mara kone mabuncing I Payuk ajaka I Kapitu, mabuncing gageden, marame rame peteng lemah maketelun. Makelo-kelo, suba newata anake agung, dening I Payuk anak sakti, ya lantas juh-juha teken panjake dadi agung. Gelising satua, I Payuk lantas dadi agung, maparab Anak Agung Sura Nagara. kanduksupatra.blogspot.com
Puput