Tuesday, July 28, 2015

LAYANGAN JANGGAN KELINGGIHIN RATU AYU DI BANJAR YANGBATU KANGIN, DENPASAR




Mengenai layangan Janggan, krama Banjar Yangbatu Kangin memiliki catatan istimewa  dengan terjadinya peristiwa unik. Ceritanya begini: Sekitar awal tahun 1900-an, krama banjar Yangbatu Kangin membuat layangan janggan dengan ukuran lebar badan sekitar empat meteran dengan panjang ekor sekitar tujuh puluh lima meter, lebar ekor sekitar lima meter. Warna pengawak atau badan putih, kekondo atau leher merah, jit sesapi atau bagian bawah badan berwarna merah. Ekor berwarna merah putih hitam memanjang, dan tanggu atau ujung ekor berwarna putih.



          Tapelnya dibuat dari kayu jepun) yang diambil dari Pura Dalem Yangbatu. Tapel tersebut konon dibuat oleh seorang krama Banjar Yangbatu, berbentuk tapel singa. Dalam proses pengerjaannya, tapel tersebut dibawa bolak balik ke rumah dan ke pura Dalem, demikian silih berganti. Setelah selesai, tapel yang berbentuk singa itu lalu disimpan. Selanjutnya, ketika krama banjar ingin membuat layang janggan, tapel itu digunakan. Tak diceritakan proses pembuatan layang janggan tersebut, maka selesailah layangan janggan. Tali yang digunakan untuk menaikkan adalah tali tiying (tali bambu). Demikian diceritakan awalnya.



Pada suatu hari diadakanlah lomba layang-layang yang diikuti beberapa banjar yang ada di Gumi Badung, bertempat di persawahan antara subak Yangbatu dan subak Gemeh, di sebelah barat Desa Yangbatu. Layang janggan Banjar Yangbatu Kangin ketika itu sempat putus talinya, kepala layang-layang menukik ke bawah dan diperkirakan kepala layang-layang beserta tapelnya akan hancur. Namun ketika mendekati tanah, tiba-tiba kepala layang janggan bergerak ke posisi normal dan mendarat dengan mulus sehingga semua merasakan suatu keajaiban.



Dalam lomba tersebut, tampil sebagai juara pertama adalah layang janggan banjar Bun, juara kedua adalah layang janggan Banjar Yangbatu Kangin. Juara ketiga tidak diketahui oleh narasumber yang menceritakan kisah ini. Juara layang-layang mendapatkan hadiah seekor kerbau.



          Setelah sekian lama berlangsung, diceritakan pada suatu hari layang janggan ini dinaikkan. Layang janggan ini melayang dengan sempurna dengan ekor panjang dilengkapi dengan guangan. Seperti biasa layang tersebut diturunkan pada sore menjelang malam. Kebetulan pada waktu itu salah seorang pejabat Belanda yang berkedudukan di Denpasar melihat ada sinar terang di langit. Segera ia memerintahkan anak buahnya untuk mencari tahu sinar berkilau yang dilihatnya itu. Setelah dicek, ternyata sinar itu bersumber dari layang janggan Banjar Yangbatu Kangin sedang melayang di udara. Tentu saja berita itu membuat geger masyarakat.



Di lain pihak, masyarakat yang berasal dari Banjar Kayumas Kaja dan Banjar Bun yang hendak pergi ke sawah pada saat subuh, biasanya lewat di depan bale banjar Yangbatu Kangin. Masyarakat tersebut dikejutkan dengan pancaran sinar dari cudamani (permata di kening) tapel layang janggan tersebut yang saat itu diletakkan sebelah selatan bale banjar. Tentu saja cerita ini semakin membuat ramai tentang layangan janggan tersebut.



          Cerita selanjutnya, pada suatu hari layangan janggan itu dinaikkan, namun layangan tersebut bagaikan kehilangan gairah. Talinya putus-putus, layangan juga tidak mau mengudara dengan baik. Hal ini konon karena salah seorang dari yang ikut menaikkan layangan sedang cuntaka. Dengan keadaan demikian, seka layangan menjadi kesal hatinya. Dalam kekecewaan, layanganpun dibawa sembarangan, diletakkan begitu saja, tidak ada yang menghiraukan. Apa yang terjadi kemudian? Salah seorang krama kepangluh atau kerauhan dan berkata ”kenapa nira (aku) ditaruh sembarangan begini? Kalau saja tidak nira yang nambakin (melindungi), mungkin kalian semua mampus dimakan wabah penyakit“ Demikian penika (sabda) dari orang yang kerauhan tersebut, yang membuat semua krama menjadi terhenyak.



Setelah diingat-ingat oleh krama, ternyata memang benar kejadian-kejadian yang aneh sebelumnya seperti jatuhnya layangan tanpa cacat, layangan yang bersinar di angkasa, serta sinar yang memancar dari tapel. Teringat pula bahwa pada masa yang lalu terjadi wabah cacar dan campak. Hanya Banjar Yangbatu Kangin dan sekitarnya yang terhindar wabah. Dengan adanya kejadian tersebut, diyakini bahwa layangan janggan kelinggihin Ida Betara Ratu Ayu. Beliau bergelar Ida Betara Ratu Ayu Mas Manik Anglayang. Kemudian tapel dari layangan tersebut dijadikan pelawatan (perwujudan / wahana) Ida Betara Ratu Ayu dalam rupa singa bersayap. Pelawatan ini dibuatkan pelinggih di sebelah timur dari Gedong Ratu Bhagawan Penyarikan di Banjar Yangbatu Kangin menghadap ke selatan, disungsung oleh masyarakat. Beliau dipuja sebagai pelindung, pengayom, dan memohon berkah seperti taksu pregina, kesembuhan, kesejahteraan, dll. Tidak saja krama banjar Yangbatu Kangin, namun krama banjar Yngbatu Kauh juga menghaturkan bhakti kehadapan beliau saat odalan yakni pada hari Tumpek Bubuh.



Layang janggan yang merupakan wahana dari Ida Betara Ratu Ayu Mas Anglayang sebagai perwujudan Ida Betara Siwa yang mengayomi dan memberikan kehidupan kepada seluruh masyarakat. Ketika Ida Betara Siwa dipuja sebagai pengayom dan memberikan hiburan dan kesejahteraan bagi para petani dan para pengembala, maka beliau diberi gelar Ida Betara Rare Angon. Ketika Ida Betara Siwa menjadi junjungan masyarakat sebagai pengayom, pelindung dari marabahaya, sebagai penganugrah kesembuhan, taksu dan sebagainya, maka beliau disembah sebagai Ratu Ayu.



Mengenai julukan beliau yakni Ida Betara Ratu Ayu Mas Manik Anglayang dapat dijelaskan sebagai berikut: Ida Betara adalah Beliau yang maha suci (Tuhan) yang berfungsi sebagai pelindung manusia dan alam semesta. Ratu Ayu adalah perwujudan dari kekuatan sakti Dewa Siwa. Mas adalah pancaran cahaya beliau yang berwarna kuning keemasan. Manik, sumber cahaya tersebut adalah memancar dari permata atau mustika yang terdapat pada cudamani prerai layangan janggan tersebut. Anglayang, beliau yang maha suci bersinar keemasan berwahanakan layang layang, yakni layangan janggan.



Keberadaan layang-layang ini telah mengikat dan meningkatkan persaudaraan di kalangan masyarakat. Sampai saat ini beliau disungsung oleh krama Banjar Yangbatu Kangin. Dimana dalam perjalanan sejarah, posisi pelinggih beliau diubah yakni dahulu menghadap ke selatan, namun seiring dengan renovasi banjar tahun 2004 posisinya menghadap ke barat, termasuk juga pelinggih tajuk dan Ratu Begawan Penyarikan. Demikian juga dengan angga atau badan beliau yang dahulu dibuat dari keranjang atau anyaman bambu, namun sejak tahun 2013 diganti dengan kayu pole yang ditunas di Pura Dalem, yakni kayu pole yang tumbuh di jaba Pura Merajapati Yangbatu. Namun tetap mempertahankan prerai atau tapel asli yang terbuat dari pohon jepun jaman dahulu.. Demikian diceritakan. (Inks/Ki Buyut Dalu)

Sunday, July 26, 2015

PURA MEKAH Pantang menghaturkan daging babi




Memang unik kedengarannya di telinga tentang nama pura ini. Pura Mekah, begitulah namanya sesuai dengan yang terpampang dalam candi pamedalan pura tersebut. Melihat dan mendengar nama tersebut membuat kita menjadi ingin tahu mengenai keberadaan tempat suci tersebut. Berikut hasil penelusuran tentang keberadaan pura tersebut.



Pura Mekah berada di kawasan Denpasar, tepatnya di Banjar Binoh Kaja, desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Barat. Di sebelah selatan jalan  Tohjaya, Denpasar. Pura ini terletak di pemukiman penduduk, pengemongnya yang berjumlah kurang lebih 25 KK. Pura Mekah ini tidaklah terlalu luas, namun memiliki jeroan dan jaba pura. Di bagian jeroan terdapat pelinggih gedong Hyang, gedong Ratu Gede, penglurah, tajuk pepelik, bale pawedan, dll. Pintu masuk ke jeroan pura adalah sebuah candi kurung yang memang sedikit unik, dimana di bagian atasnya berbentuk kejawen.



Seorang penglingsir keluarga pengempon menceritakan hal ikwal pura Mekah. Namun ia secara jujur mengakui tidak banyak yang dapat ia ceritakan mengenai keberadaan pura tersebut. Ia sudah mewarisi apa yang mereka lakukan selama ini. “Saya tidak tahu banyak tentang nama Mekah sebagai nama pura tersebut. Yang jelas bukan berarti kiblat“. Demikian kata seorang penglingsir pura tersebut. Namun narasumber yang dapat menjelaskan keberadaan pura ini sudah tidak ada lagi, ditambah dengan tidak adanya sumber tertulis yang memuat kisah tersebut, maka ia mencoba untuk menanyakan hal tersebut kepada orang pintar. Dan didapat sebuah bawos atau penika bahwa pura tersebut konon bukan mekah tetapi megah atau megeh yang artinya besar atau tinggi. Hanya sampai di situ saja. Dan didapat pula bahwa pura tersebut adalah penyungsungan dari warga keturunan Arya Kepakisan.



Dengan adanya bawos tersebut, pihak keluarga dari pengemong sampai saat ini belum juga mendapatkan keyakinan yang penuh dengan hal tersebut. Sehingga pihak keluarga berencana untuk nuur dan ngewacen prasasti yang memang sudah ada sejak dahulu. “Dahulu ketika saya kecil, prasasti ini memang sudah pernah dibaca, namun ketika itu saya tidak runggu. Sehingga sampai sekarang informasi dan cerita menjadi terputus. Akhirnya kami menjadi kelimpungan tidak tahu apa, siapa kami dan bagaimana pura Mekah itu sebenarnya “. Demikian kata seorang pengemong.



“Sampai akhirnya beberapa kejadian menimpa kami seperti kesakitan, yang membuat kami mencoba untuk menelusuri ke orang pintar. Didapat pula bahwa penika  suba ngelah baju, nguda sing anggo. Sudah punya baju kok tidak dipakai. Yang menurut saya itu berarti bahwa sudah ada yang dipakai untuk menelusuri, dan juga sudah punya prasasti kenapa tidak dibaca. Demikian penuturan dari I Made Kerti salah seorang penua di keluarga tersebut.



Lebih lanjut kemudian Made Kerti didampingi keponakannya I Ketut Murnia bercerita. Ada sesuatu yang unik memang di keluarga kami. Hampir setiap KK ada saja salah seorang yang mengalami sakit gangguan perkencingan yakni lubang kencingnya kecil, sehingga menyulitkan untuk membuang air seni. Akhirnya kemudian dilakukan operasi pemotongan kulit alat kelamin alias sunat. Dan setelah itu normal kembali. Ada pula yang unik di sini adalah setiap rerahinan atau piodalan di pura Mekah, maka semua haturan atau sesaji pantang menggunakan ulam bawi atau daging babi. Entah ini ada kaitannya dengan nama pura Mekah dengan daging babi. Saya tidak mengetahui hal tersebut. Yang unik lagi bahwa setiap odalan yang jatuh pada Wraspati Kliwon Warigadean dilakukan upacara sebagaimana mestinya, termasuk pemuspan. Namun setelah prosesi piodalan berakhir, maka dilanjutkan dengan ngaturang idangan yang terdiri dari berbagai jenis jaja cacalan dan raka-raka atau buah. Diringgi dengan puja astawa dari pemangku. Diringi dengan mengitari banten hidangan tersebut sambil membawa tumbak dan kadutan. Namun yang lain dari pada yang lain adalah prosesi nganteb atau mengayat tersebut mengahdap ke Barat. Konon menurut I Made Kerti, bahwa pengayatan tersebut dilakukan ke Jawi atau Jawa sebagai asal dari para leluhur mereka. Ada yang konon mengatakan dari Jawa, dari Solo, dan bahkan ada yang mengatakan dari Madura. Yang jelas kiblat mereka menghaturkan hidangan tersebut adalah menghadap ke Barat “.



Dari keunikan yang ada tersebut, kemudian ada yang mencoba untuk berspekulasi bahwa pantaslah pura tersebut di bernama pura Mekah. Mengingat ada kejadian penyakit yang menimpa keluarga yakni  penyempitaan kulit kelamin sehingga harus di sunat. Adanya pantangan untuk tidak menggunakan daging babi sebagai haturan. Ditambah lagi dengan mengayat ke barat. Demikian spekulasi orang-orang sekitarnya.



Spekulasi boleh saja, namun yang jelas I Made Kerti dan keluarga besarnya hanya menjalankan semua itu sebagai warisan dari leluhurnya. Yang semuanya itu didasari atas keyakinan Hindu Bali. Tidak ada hal selain Hindu yang kami lakukan di pura Mekah. Dan kami bersyukur atas suecan atau anugrah dari betara sesuwunan  di sana, karena kami dapat menikmati kesejahteraan sampai saat ini. Semoga sampai kepada keturunan nanti. Demikian I Made Kerti seorang pensiunan  guru, yang juga mantan klian dinas di banjar Binoh Kaja. (inks)

Wednesday, July 22, 2015

DISANGKA NGELEAK, RADEN AYU PEMECUTAN DIBUNUH



 
          Makam kramat Raden Ayu Siti Kotijah alias Raden Ayu Pemecutan alias Gusti Ayu Made Rai berada di tengah setra Badung, tepatnya di jalan Gunung Batukaru sekarang. Di bawah sebuah pohon kepuh yang besar, ada sebuah kuburan yang khusus untuk salah seorang keluarga Puri Pemecutan yang bernama Gusti Ayu Made Rai atau Raden Ayu Siti Kothijah. Bagaimana bisa terjadi adanya sebuah makam kramat tersebut ?. Ikuti penuturan dari Jero Mangku I Made Puger.
          Tersebutlah seorang raja di Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Salah seorang putri beliau bernama Gusti Ayu Made Rai. Sang putri ketika menginjak dewasa ditimpa penyakit keras dan menahun yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula. Sang raja ketika itu mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di merajan puri. Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang raja hendaknya mengadakan sabda pandita ratu atau sayembara.
          Sang raja kemudian mengeluarkan sabda “barang siapa yang  bisa menyembuhkan penyakit anak saya, kalau perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kalau laki-laki, kalau memang jodohnya akan dinikahkan dengan putri raja“. Sabda Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh jagat, dan sampai ke daerah Jawa, yang didengar oleh seorang syeh dari Yogyakarta. Syeh ini mempunyai seorang murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura. Pangeran kemudian dipanggil oleh gurunya, agar mengikuti sayembara tersebut ke puri Pemecutan Bali. Maka berangkatlah Pangeran Cakraningrat ke Bali diiringi oleh empat puluh orang pengikutnya.
          Singkat ceritanya, pangeran Cakraningrat mengikuti sayembara. Sakit tuan putri dapat disembuhkan secara total oleh Pangeran Cakraningrat. Sesuai dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu Made Rai dinikahkan dengan Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura. Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, dan memeluk Agama Islam. Berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah.
          Setelah sekian lama di Madura, Raden Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan. Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia di Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya. Pada suatu hari saat magrib di puri, Raden Ayu Siti Khotijah menjalankan sholat di puri dengan  mengenakan mukena. Ketika itu salah seorang patih di puri melihat hal tersebut, disangka Raden Ayu sedang mempraktekkan ilmu hitam atau ngeleak. Ketika itu orang Bali awam dengan cara sembahyang orang islam. Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam.
          Kejadian tersebut dilaporkan kepada sang raja. Dan Sang raja menjadi murka. Diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Kothijah. Raden Siti Khotijah dibawa ke kuburan Badung. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak “. Demikian kata Raden Ayu.
          Raden Ayu berpesan kepada Sang patih “ jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih (lekesan, Bali). Tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat “.
          Setelah meninggalnya Raden Ayu, ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan beliau. Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjukklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan.
          Pada suatu hari gegumuk (kuburan) Raden Ayu tumbuh sebuah pohon tepat di tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon tersebut membuat kuburan engkag atau terbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan Moning, istri dari sedahan Gelogor, dan kemudian tumbuh lagi. Sampai akhirnya yang ketiga kalinya, pohon tersebut tumbuh kembali. Jero Sedahan Gelogor bersama Sedahan Moning kemudian bersemedi di hadapan makam tersebut, didapatkan petunjuk agar pohon yang tumbuh di atas kuburan beliau agar dipelihara. Karena melalui pohon tersebut beliau akan memberikan mukjijat kepada umat yang bersembahyang di tempat tersebut. Pohon tersebut konon tumbuh dari rambut Raden Ayu. Sampai sekarang pohon tersebut tumbuh menjadi pohon besar yang tumbuh tepat di atas makam tersebut. Pohon itu disebut taru rambut. Demikian Jero Mangku Made Puger menuturkan.
          Ketika ditanya mengenai aci atau upacara yang dipersembahkan di sana, Jero Mangku Puger menjelaskan bahwa odalannya jatuh pada Redite wuku Pujut, sebagai peringatan hari kelahiran beliau (otonan). Persembahan yang dihaturkan adalah mengikuti cara kejawen yakni tumpeng putih kuning, jajan, buah-buahan, lauk pauk tanpa daging babi.
          Kini makam kramat tersebut banyak dikunjungi oleh para peziarah warga muslim untuk nyekar maupun tirakat. Bahkan sering dilaksanakan istighosah di tempat tersebut.
Berkenaan dengan keberadaan beliau yang telah mencapai alam kesunyatan, lalu terbersit sebuah pemikiran “mungkinkah terhadap arwah beliau dilaksanakan upacara penyucian seperti layaknya keluarga Puri Pemecutan yakni upacara pelebon, meligya, lalu dilinggihkan di merajan? Sehingga dengan demikian beliau akan menyatu dengan kesunyatan, amor ing acintya” Lalu di tempat sekarang di buat sebuah tugu capah sebagai “pinget”. Sehingga beliau tidak menjadi objek kunjungan dan menjadi monumen sejarah kelam masa lalu. Sekaligus keturunan sekarang dapat menuntaskan kesalahan di masa lalu. Demikian kira-kira. Tapi mungkinkah….? Ini adalah pemikiran pribadi. Mohon ampun bila tak berkenan. (inks)

























  

Monday, July 20, 2015

Bale Banjar Luwung tapi Suwung




Banjar adalah lembaga yang merupakan kumpulan dari beberapa orang di wilayah tertentu, yang terikat dalam norma tertentu, serta hidup dalam kebersamaan didasari atas kegotongroyongan. Mereka bisa berasal dari berbagai macam strata atau tingkatan sosial, dari berbagai macam soroh/klan, namun mereka ada dalam satu kesatuan, dalam ikatan sosial, adat, budaya, dan keamanan. Pada hakekatnya banjar adalah tempat untuk bersosialisasi, untuk berlindung dalam sebuah kesatuan keamanan, banjar sebagai tempat untuk belajar agama, adat, budaya, dan seni.
Sebagai lembaga, sudah tentu banjar terdiri dari orang-orang yang terikat dalam sebuah norma tertentu. Sebagai tempat maka ia memiliki wilayah tertentu, diatur oleh norma-norma/awig-awig baik yang tertulis maupun tak tertulis yang mengikat semua krama. Sebagai pusat kegiatan krama banjar, dibuatlah sebuah tempat yang disebut dengan bale banjar, yang berfungsi sebagai tempat melakukan pertemuan dan kegiatan lainnya. Di bale banjar itu sendiri terdapat sebuah bangunan pelinggih sebagai unsur parahyang banjar tersebut yakni Linggih Ratu Gede Penyarikan, yang merupakan manifestasi dari Ida Betara Siwa sebagai pengayom, dari sebuah organisai. Selain itu di beberapa tempat, di banjar juga dilengkapi dengan pelinggih lainnya, sepertri linggih Ratu Ayu, sesuai dengan situasi dan kondisi di wilayah masing-masing. Namun yang pokok adalah linggih dari Ida Ratu Gede Penyarikan, sebagai sungsungan dari krama banjar bersangkutan.
Kembali ke masalah bale banjar, dalam sejarahnya sangatlah fungsional. Artinya bahwa bale banjar sebagai sebuah pusat kegiatan sangat memegang peranan penting dalam perjalanan lembaga banjar. Semua orang berkiblat ke banjar. Banjar sebagai sentral masyarakat. Semua orang senang ke banjar. Dulu di Bali kita lihat banyak masyarakat yang suka di banjar, entah itu untuk ngobrol, untuk magecel, untuk kegiatan sosial lainnya setelah istirahat dari pekerjaan di sawah. Bahkan sampai malam hari kegiatan itu belangsung. Kalau dulu banyak masyarakat yang datang ke banjar hanya untuk tidur-tiduran, sebagai tempat istirahat yang konon katanya lebih nyaman. Kemudian banjar sebagai tempat linggih Ida Betara Bhagawan Penyarikan, dan juga milik krama bersama, maka banjar sekaligus sebagai tempat yang disakralkan atau dikramatkan. Tak banyak orang yang berani berkata macam-macam di banjar. bahkan menurut cerita orang pintar bahwa leak pun tak berani naik ke banjar. Karena di banjar terdapat linggih dari Ida Penyarikan. Kemudian banjar juga adalah sebagai tempat orang banyak, apabila nanti ketahuan seseorang ngeliak di banjar, maka ia akan berurusan dengan orang banyak dan awig-awig banjar. Sehingga untuk ngeliak, orang akan berpikir. Banjar adalah sebagai tempat yang cukup aman pada jaman dahulu.
Kesederhanaan kehidupan terdahulu, ditandai pula dengan kesederhanaan dari bentuk banjar yang diciptakan. Di Balik kesederhanaan tersbeut tersimpan karisma karena dibangun atas dasar nilai kebersamaan yang tinggi serta memiliki kesakralan tertentu. Yang menyebabkan banjar adalah merupakan sebuah kebutuhan dari orang-orang yang bermukim di sekitarnya. Para krama berlomba untuk dapat ikut ngayah atau berbuat sesuatu sebagai tanda bhakti dan pengabdian kepada banjar, yang dilakukan secara tulus iklas.
Demikian perjalanan panjang banjar sejak jaman dahulu. Sampai akhirnya sekarang keberadaan banjar masih sangat penting kalau ditinjau dari segi tatanan kepemerintahan. Banjar dipakai sebagai objek pembangunan, dan sekaligus subjek pembangunan. Lembaga banjar sangatlah memegang peranan penting dalam pemerintahan di Bali saat ini, yang tak ada di tempat lain di Indonesia. Dengan system banjar, program KB yang dicanangkan oleh pemerintah pada masa lalu dinyatakan paling berhasil di tingkat nasional dan dunia. Demikian juga system pengerahan masa, dengan memanfaatkan institusi banjar akan semakin mudah.
Sejalan dengan perkembangan jaman serta perkembangan perekonomian masyarakat, banyak bale banjar yang mengalami renovasi sesuai dengan perkembangan jaman, termasuk juga dari desain bentuknya, banyak yang mengalami pergeseran. Banyak banjar yang ditingkatkan menjadi lantai dua dan bahkan ada yang memakai lantai tiga. Konstruksi pun sudah berubah dari konstruksi tradisional beratap alang-alang menjadi atap genteng, kemudian lantai keramik, serta konstruksi beton, dengan berbagai ornamen yang menunjukkan adanya perubahan atau pergeseran dalam model desain bangunan bale banjar.
Banyak bale banjar yang kemudian berubah fungsi sesuai dengan perkembangan jaman. Ada yang dibuat model seperti ruko untuk dikontrakkan sebagai lahan pemasukan finansial bagi banjar, ada banjar yang digunakan sebagai garase kontrakan, dll. Dari sini terkesan bahwa pembangunan bale banjar orientasinya adalah finansial. Sedangkan fungsi sosialnya seperti tempat rapat, tempat untuk berkesenian, belajar agama, tempat bersosialisasi dan sebagainya sudah bergeser, ada yang dipersempit, bahkan ada yang digeser ke atas, bahkan ada yang ditiadakan.
Jadi banjar tak lagi memiliki fungsi sosial yang sebenarnnya namun banjar lebih merupakan sebuah lembaga atau tempat untuk menghimpun dana atau lembaga finansial, untuk menghimpun dana sebanyak-banyak. Prestasi  seorang kelian banjar sekarang tidak diukur dari sejauhmana ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik, membina masyarakat serta menyatukan unsur tri hita karana dalam kehidupan banjar, melainkan seberapa banyak dana yang dapat dikumpulkan, atau seberapa banyak penambahan kas yang dicapai oleh masa kepengurusan kelian tersebut. Jadi hitungannya adalah finansial. Kalau sudah kas banyak berarti bagus, walaupun harus mengorbankan banjar untuk dikontrakkkan dan sebagainya yang justru hal tersebut telah melanggar dan merusak tatanan kehidupan banjar yang berlandaskan tri hita karana.
Dalam perkembangan selanjutnya, banjar banyak yang berkembang ke arah modern. Dari segi perhyangan, bangunan pelinggih banjar sangatlah bagus, berukir, dan bahkan diperada, kemudian dilakukan upacara pemlaspas dengan mengadakan upacara ngenteg linggih yang meriah yang dihadiri para penggede daerah. Namun setelah itu kegiatan keagamaan menjadi kosong, karena tak ada satupun yang mebhakti ke banjar ketika rerahinan atau purnama tilem. Demikian pula dengan kgiatan keagamaan lainnya tak terhiraukan, semuanya sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Dalam hal pawongan juga demikian banyak masyarakat yang tersibukkan dengan kegiatan dan pekerjaan sehari-hari menyebabkan mereka jarang ke banjar. Tak seperti terdahulu. Bahkan ada banjar yang dibuat dengan sangat megah sekali, namun sayang sekali, sama sekali tak orang yang naik ke banjar. Jadi apa gunanya bale banjar megah, tapi hanya dipakai untuk pamer bahwa banjar tersebut banyak punya uang, sedangkan masyarakatnya tak senang di banjar alias banjarnya bagus tapi tak pernah ada orang di banjar. Alias kegiatan dari banjar tersebut minus, kalau mungkin diistilahkan dengan banjar luwung kewala suwung Bale banjar bagus tapi sepi. Bahkan ada celotehan dari seseorang mengatakan bahwa banjar bagus hanya disediakan bagi kuluk untuk ngenceh dan meju, atau untuk dagang sapu dan keset beristirahat siang.
Ada hal lain lagi, secara pawongan semakin hari semain banyak jumlah penduduk dan anggota banjar. Karena saking sibuk atau karena memang jaman sudah berubah serta model pergaulan manusia Bali sudah berubah menyebabkan ada beberapa dari krama banjar saling tak mengenal, karena kurangnya terjadi sosialisasi diantara mereka. Bahkan diantara kalangan anak muda di banjar yang tergabung dalam sekaa truna tak saling tak mengenal satu sama lainnya. Hubungan antara karma banjar menjadi sangat formal. Ada banyak banjar yang ngereneb, mengkilat, namun setelah diamati ternyata dalam seminggu belum tentu ada krama yang datang atau naik ke banjar. Berbeda dengan sebua banjar di pinggir kota atau di pedesaan, banjarnya kecil sederhana, namun setiap hari ada saja orang yang datang, duduk, bahkan tidur-tiduran di banjar, termasuk sekaa terunanya masih saling paras paros sarpanaya, gilik seguluk selunglung sebayantaka.
Nah kalau sudah begini apa yang mesti dilakukan. Bagaimana mengembalikan fungsi banjar tersebut secara parahyangan, palemahan dan pawongan. Apa yang harus dilakukan. Mesti ada upaya-upaya serius ke arah tersebut. Yang pertama tentu disadarkan masyarakat mengenai kebutuhan manusia Bali ke depan kalau ingin menjadi manusia Bali seutuhnya. Bahwa manusia Bali yang luhur saat ini yang merupakan warisan nenek moyang adalah muncul atau tumbuh berkembang dari proses sosialisasi yang panjang, dengan semangat kebersamaan dan kegotong royongan, dilandasi atas Ajaran Hindu, serta ajaran leluhur, berlandaskan adat. Bukannya tercipta dari sifat individualistis, meterialistik dan formalitas.
Artinya faktor penumbuh tersebut mesti di kembangkan. Mestinya kegiatan keagamaan atau perahyangan senantiasa diintensifkan dengan melakukan pertemuan yang lebih rutin entah itu persembahyangan bersama, atau kegiatan lain seperti sekaa kidung, sekaa kawin, dll. Kemudian ada sekaa gong, sekaa sekaa yang lainnya untuk lebih membuat lebih seringnya diantara krama banjar untuk bertemu, sehingga terjadi interaksi sosial yang akan menyebabkan tumbuhnya rasa solidaritas yang semakin tinggi diantara karma banjar.
Untuk menjadikan banjar sebagai sebuah wahana dari manusia Hindu Bali yang sejati, semestinya orientasi kehidupan banjar serta orientasi dari manajemen banjar yang sudah menjadi dari hakekat yang sejatinya perlu untuk dikembalikan. Mengembalikan hakekat orientasi manajeman banjar yang hanya mengumpulkan dana banjar sebanyak-banyaknya menjadi orientasi yang lebih mengedepankan kepada terselengaranya keharmonisan hubungan antar krama banjar dengan karma banjar, antar krama banjar dengan banjar tetangga dalam bentuk pasewitran banjar, krama banjar dengan sesuhunan di banjar, krama banjar dengan alam lingkungannya. Walaupun terwujud dalam bentuk yang lebih modern yang disesuaikan dengan jaman sekarang, Bukan berarti kita kembali ke jaman terdahulu yakni harus ngelawar dengan menggunakan sengkui, menggunakan klangsah dan sebagainya, tetapi roh dari kebersamaan tersebut masih dapat terjaga dalam wujud yang lebih baru, dengan tetap menjunjung tinggi asas para tetua Bali yakni paras-paros.
Akan lebih indah terlihat kehidupan banjar dalam kondisi yang sederhana namun penuh dengan kebersamaan, dipenuhi oleh roh sejati dari banjar tersebut, dibanding dengan kemegahan dalam kesepian. Banjar luwung kewala suwung. (Inks).