Mengenai layangan Janggan, krama Banjar Yangbatu Kangin memiliki
catatan istimewa dengan terjadinya
peristiwa unik. Ceritanya begini: Sekitar awal tahun 1900-an, krama banjar Yangbatu
Kangin membuat layangan janggan dengan ukuran lebar badan sekitar empat meteran
dengan panjang ekor sekitar tujuh puluh lima meter, lebar ekor sekitar lima
meter. Warna pengawak atau badan putih, kekondo atau leher merah,
jit sesapi atau bagian bawah badan berwarna merah. Ekor berwarna merah
putih hitam memanjang, dan tanggu atau ujung ekor berwarna putih.
Tapelnya dibuat dari kayu jepun) yang
diambil dari Pura Dalem Yangbatu. Tapel tersebut konon dibuat oleh seorang
krama Banjar Yangbatu, berbentuk tapel singa. Dalam proses pengerjaannya, tapel
tersebut dibawa bolak balik ke rumah dan ke pura Dalem, demikian silih
berganti. Setelah selesai, tapel yang berbentuk singa itu lalu disimpan.
Selanjutnya, ketika krama banjar ingin membuat layang janggan, tapel itu
digunakan. Tak diceritakan proses pembuatan layang janggan tersebut, maka
selesailah layangan janggan. Tali yang digunakan untuk menaikkan adalah tali tiying (tali bambu). Demikian
diceritakan awalnya.
Pada suatu hari diadakanlah lomba
layang-layang yang diikuti beberapa banjar yang ada di Gumi Badung,
bertempat di persawahan antara subak Yangbatu dan subak Gemeh, di sebelah barat Desa Yangbatu.
Layang janggan Banjar Yangbatu Kangin ketika itu sempat putus talinya, kepala
layang-layang menukik ke bawah dan diperkirakan kepala layang-layang beserta
tapelnya akan hancur. Namun ketika mendekati tanah, tiba-tiba kepala layang
janggan bergerak ke posisi normal dan mendarat dengan mulus sehingga semua
merasakan suatu keajaiban.
Dalam lomba tersebut, tampil sebagai
juara pertama adalah layang janggan banjar Bun, juara kedua adalah layang
janggan Banjar Yangbatu Kangin. Juara ketiga tidak diketahui oleh narasumber
yang menceritakan kisah ini. Juara layang-layang mendapatkan hadiah seekor
kerbau.
Setelah sekian lama berlangsung, diceritakan
pada suatu hari layang janggan ini dinaikkan. Layang janggan ini melayang
dengan sempurna dengan ekor panjang dilengkapi dengan guangan. Seperti biasa layang tersebut diturunkan pada sore
menjelang malam. Kebetulan pada waktu itu salah seorang pejabat Belanda yang
berkedudukan di Denpasar melihat ada sinar terang di langit. Segera ia
memerintahkan anak buahnya untuk mencari tahu sinar berkilau yang dilihatnya
itu. Setelah dicek, ternyata sinar itu bersumber dari layang janggan Banjar
Yangbatu Kangin sedang melayang di udara. Tentu saja berita itu membuat geger
masyarakat.
Di lain pihak, masyarakat yang berasal
dari Banjar Kayumas Kaja dan Banjar Bun yang hendak pergi ke sawah pada saat
subuh, biasanya lewat di depan bale banjar Yangbatu Kangin. Masyarakat tersebut
dikejutkan dengan pancaran sinar dari cudamani
(permata di kening) tapel layang janggan tersebut yang saat itu diletakkan sebelah
selatan bale banjar. Tentu saja cerita ini semakin membuat ramai tentang layangan
janggan tersebut.
Cerita selanjutnya, pada suatu hari
layangan janggan itu dinaikkan, namun layangan tersebut bagaikan kehilangan
gairah. Talinya putus-putus, layangan juga tidak mau mengudara dengan baik. Hal
ini konon karena salah seorang dari yang ikut menaikkan layangan sedang cuntaka. Dengan keadaan demikian, seka
layangan menjadi kesal hatinya. Dalam kekecewaan, layanganpun dibawa
sembarangan, diletakkan begitu saja, tidak ada yang menghiraukan. Apa yang
terjadi kemudian? Salah seorang krama kepangluh atau kerauhan dan berkata ”kenapa nira
(aku) ditaruh sembarangan begini? Kalau saja tidak nira yang nambakin
(melindungi), mungkin kalian semua mampus dimakan wabah penyakit“ Demikian penika
(sabda) dari orang yang kerauhan tersebut, yang membuat semua krama menjadi
terhenyak.
Setelah diingat-ingat oleh krama,
ternyata memang benar kejadian-kejadian yang aneh sebelumnya seperti jatuhnya
layangan tanpa cacat, layangan yang bersinar di angkasa, serta sinar yang
memancar dari tapel. Teringat pula bahwa pada masa yang lalu terjadi wabah
cacar dan campak. Hanya Banjar Yangbatu Kangin dan sekitarnya yang terhindar
wabah. Dengan adanya kejadian tersebut, diyakini bahwa layangan janggan kelinggihin Ida Betara Ratu Ayu. Beliau
bergelar Ida Betara Ratu Ayu Mas Manik Anglayang. Kemudian tapel dari layangan
tersebut dijadikan pelawatan (perwujudan / wahana) Ida Betara Ratu Ayu dalam
rupa singa bersayap. Pelawatan ini dibuatkan pelinggih di sebelah timur dari
Gedong Ratu Bhagawan Penyarikan di Banjar Yangbatu Kangin menghadap ke selatan,
disungsung oleh masyarakat. Beliau dipuja sebagai pelindung, pengayom, dan
memohon berkah seperti taksu pregina, kesembuhan, kesejahteraan, dll. Tidak
saja krama banjar Yangbatu Kangin, namun krama banjar Yngbatu Kauh juga
menghaturkan bhakti kehadapan beliau saat odalan yakni pada hari Tumpek Bubuh.
Layang janggan yang merupakan wahana
dari Ida Betara Ratu Ayu Mas Anglayang sebagai perwujudan Ida Betara Siwa yang
mengayomi dan memberikan kehidupan kepada seluruh masyarakat. Ketika Ida Betara
Siwa dipuja sebagai pengayom dan memberikan hiburan dan kesejahteraan bagi para
petani dan para pengembala, maka beliau diberi gelar Ida Betara Rare Angon.
Ketika Ida Betara Siwa menjadi junjungan masyarakat sebagai pengayom, pelindung
dari marabahaya, sebagai penganugrah kesembuhan, taksu dan sebagainya, maka
beliau disembah sebagai Ratu Ayu.
Mengenai julukan beliau yakni Ida Betara
Ratu Ayu Mas Manik Anglayang dapat dijelaskan sebagai berikut: Ida Betara
adalah Beliau yang maha suci (Tuhan) yang berfungsi sebagai pelindung manusia
dan alam semesta. Ratu Ayu adalah perwujudan dari kekuatan sakti Dewa Siwa. Mas
adalah pancaran cahaya beliau yang berwarna kuning keemasan. Manik, sumber
cahaya tersebut adalah memancar dari permata atau mustika yang
terdapat pada cudamani prerai layangan janggan tersebut. Anglayang, beliau yang
maha suci bersinar keemasan berwahanakan layang layang, yakni layangan janggan.
Keberadaan layang-layang ini telah
mengikat dan meningkatkan persaudaraan di kalangan masyarakat. Sampai saat ini
beliau disungsung oleh krama Banjar Yangbatu Kangin. Dimana dalam perjalanan
sejarah, posisi pelinggih beliau diubah yakni dahulu menghadap ke selatan,
namun seiring dengan renovasi banjar tahun 2004 posisinya menghadap ke barat,
termasuk juga pelinggih tajuk dan Ratu Begawan Penyarikan. Demikian juga dengan
angga atau badan beliau yang dahulu
dibuat dari keranjang atau anyaman bambu, namun sejak tahun 2013 diganti dengan
kayu pole yang ditunas di Pura Dalem, yakni kayu pole yang tumbuh di jaba Pura
Merajapati Yangbatu. Namun tetap mempertahankan prerai atau tapel asli yang
terbuat dari pohon jepun jaman dahulu.. Demikian diceritakan. (Inks/Ki Buyut Dalu)
Min saya mau tanya kenapa layangan janggan bisa sampai dijadikan sesuhunan setau saya cuma barong atau rangda yg dijadikan sesuhunan... Maaf kalo kata saya ini tdk berkenan di hati🙏
ReplyDeleteIjin mau saya jadikan bahan konten di youtube
ReplyDelete