Tuesday, March 21, 2017

MENGAPA MEPRANI MENJELANG NYEPI ?


Tulisan ini hanyalah catatan pemahaman saya tentang meprani yang selama ini banyak yang bertanya, apa sih meprani itu? mengapa meprani? dan sebagainya. Setelah sekian lama pertanyaan itu tersimpan di dalam pikiran sambil mencari jawabannya dalam sastra, yantra, mantra, adat budaya, serta cerita para tetua, maka tersusunlah catatan ringkas ini. kanduksupatra.blogspot.com
Upacara Meprani yang dilakukan di banjar pada saat satu hari menjelang Nyepi sejatinya salah satu dari sekian banyak rangkaian upacara kesanga yang diawali dengan melasti, mecaru pemarisuda bhumi, meprani, ngerupuk, Nyepi (nyatur brata), ngembak geni.
Upacara meprani di banjar pada pagi hari sejatinya diawali dengan upacara pemarisuda bhumi (pembersihan dan penyucian bhuana agung dan bhuana alit) dalam sekala kecil yakni ruang lingkup banjar dan krama banjar. Upacara ini bersaranakan caru eka sata (ayam brumbun) sebagai sarana pengharmonisan alam sekala dan niskala, pengharmonisan Panca Maha Buta. Dilengkapi dengan banten durmanggala sebagai sarana untuk membersihan kedurmanggalan atau energi - energi yang tak sejalan dengan kehidupan manusia, dilanjutkan dengan pengulapan yakni sarana untuk mengembalikan energi - energi alam semesta ke posisinya masing - masing, dan dilanjutkan dengan ngelis dan prayascita yang maknanya adalah membersihkan dan menyucikan segala yang ada di dunia baik bhuana agung maupun buana alit, sekala dan niskala. Dengan upacara mecaru ini diharapkan energi alam semesta kembali dalam keseimbangan, bersih, tenang, dan suci. Inilah mengapa kemudian disebut dengan pemarisuda bhumi.
Lalu untuk ruang lingkup yang luas dilanjutkan dengan caru di tingkat desa yang dilakukan di catus pata desa dengan menghaturkan caru panca sata. Dilanjutkan lagi dengan yang lebih luas yakni untuk tingkat kabupaten / kota dengan pelaksanaan tawur di pusat kota. Demikian seterusnya dalam sekala yang lebih besar, dengan harapan alam semesta beserta dengan isinya kembali dalam kesimbangan (stabil) yang dalam bahasa balinya disebut dengan gumi degdeg / gumi enteg suci nirmala. kanduksupatra.blogspot.com
Kembali ke upacara yang dilaksanakan di banjar yakni meprani. Prani memiliki dua pengertian. Yang pertama pengertiannya adalah “mahluk” (sarwa prani / semua mahluk), kedua pengertiannya adalah “hidangan” yakni soda atau persembahan (dapat berupa gebogan) yang dilengkapi dengan hidangan nasi, lawar, sate, dan kuah.
Banten prani ini dihaturkan oleh setiap keluarga banjar, dibawa ke banjar. Dan ketika menghaturkan prani, banten ditempatkan langsung di hadapan krama yang menghaturkan prani. Banten prani kemudian di-astawa oleh jero mangku, dan tentunya juga oleh seluruh krama dengan cara ngayab. Jadi upacara Meprani adalah ungkapan rasa syukur dan bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi dengan mempersembahkan banten serta hidangan (prani) untuk memohon kesejahteraan semua mahluk (sarwa prani) dan alam semesta. kanduksupatra.blogspot.com
Setelah dilakukan bhakti pepranian (meprani) semua krama beramahtamah dengan makan bersama menikmati nasi, lawar, sate serta kuah yang ada di banten prani tersebut, sebagai simbol anugrah amerta Ida Sanghyang Widhi Wasa kepada kita semua. Acara ini memiliki nilai sosial yakni kebersamaan antar sesama warga. Untuk makan bersama ini di beberapa tempat masih berlangsung. Namun di beberapa tempat tradisi makan bersama sedikit dimodifikasi.
Dengan demikian konsep keharmonisan hubungan antara manusia dengan Hyang Widhi, manusia dengan sarwa prani dan alam semesta / lingkungan, serta keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia dapat terwujud dalam upacara meprani tersebut. Keharmonisan hubungan sekala dan niskala, dalam rangka menjalankan catur brata penyepian.
Meprani tidak saja dilakukan di banjar menjelang nyepi, namun tradisi meprani juga dilakukan di beberapa desa dan pura di Bali yang dilaksanakan pada bagian akhir dari rangkaian karya. Kurang lebih demikian. Ampura. (Ki Buyut Mesebeng Ririh)
#GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #Nyepi #Kesanga #Meprani #OriginalArtikel kanduksupatra.blogspot.com

Wednesday, March 15, 2017

LABUH GENTUH LEMBU IRENG


Ogoh2 ST. Santi Yowana. Br Yangbatu Kangin, Saka 1939
 
 Berawal dari perjalanan Ida Danghyang Dwijendra menuju Uluwatu dalam persiapan moksah. Dalam perjalanan beliau bercengkrama dengan Ida Betara Masceti. Tak terasa sampailah di suatu tegalan di pesisir barat. Di tempat ini beliau beristirahat sambil berbincang berdua. Pembicaraan beliau didengar oleh sosok niskala penjaga tegalan itu yakni I BHUTA IJO. Danghyang Dwijendra kemudian memanggil lalu menitipkan pecanangan (tempat sirih) beliau yang berbentuk peti kepada I Bhuta Ijo, karena Sang Maha Muni akan ke Uluwatu. Untuk menjaga pecanangan tersebut, maka I Bhuta Ijo pun dianugrahkan kesaktian. Danghyang Dwijendra lalu berpisah dengan Betara Masceti. Danghyang Dwijendra menuju Uluwatu, sedangkan Betara Masceti kembali ke alam sunia.
Singkat cerita, Ida Danghyang Dwijendra telah sampai di Uluwatu, sedangkan I Bhuta Ijo setia mengemban amanat menjaga dan mengkramatkan pecanangan. Semenjak itu terjadi keanehan di masyarakat Kerobokan. Siapa saja yang ke tegalan itu selalu mengalami sakit. Para tetua masyarakat Kerobokan mendatangi Ida Danghyang Dwijendra di Uluwatu untuk memohon petunjuk.

Beliau memberitahukan bahwa di sana adalah tempat Beliau bercengkrama dengan Ida Betara Masceti. Tempat itu pula dihuni oleh I Bhuta Ijo yang menjaga pecanangan. Danghyang Dwijendra menyarankan agar dibuatkan pelinggih untuk memuja Betara Masceti. Agar I Bhuta Ijo tak ngrebeda (mengganggu), maka pada Tilem Keulu laksanakan LABUH GENTUH LEMBU IRENG (caru bersaranakan sapi warna hitam). Pada Purnama Kesanga lakukan upacara Nangluk Merana bersaranakan LEMBU BIYANG BELANG KEBANGSAPI (sapi yang sudah pernah beranak serta terdapat tompel / belang di balik kaki belakang atau depan). Pada setiap pujawali, sajikan I Bhuta Ijo berupa segehan dengan ulam jejeron bawi mentah dan segehan agung dilengkapi tetabuhan tuak arak berem.
Atas petunjuk dari Ida Danghyang Dwijendra, maka di bangunlah pura yang diberinama PURA PETI TENGET sebagai tempat memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam prabhawa sebagai Ida Betara Masceti untuk memohon keselamatan dan kemakmuran. (Sumber: Dwijendra Tatwa, dan beberapa sumber lainnya)
kanduksupatra.blogspot.com

Thursday, March 9, 2017

MENGAPA NATAB BIAKAON MENJELANG NYEPI ?



Natab Biakala adalah sebuah ritual yang dilakukan umat Hindu Bali pada pada sore hari / sandikala sebelum mebuwu buwu dan ngerupuk. Mebiakala sering disebut Mebiakaon, salah satu dari rangkaian panjang prosesi Ngesanga (perayaan Nyepi).
Natab Biakaon dilakukan di halaman rumah. Banten yang disiapkan adalah satu soroh biakala, prasita (prayascita), dan sesayut lara melaradan. Rangkaian upacaranya adalah: pertama natab biakaon bersaranakan tepung tawar sebagai sarana penawar (penetralisir) kekuatan negatif yang ada di dalam angga sarira (badan). Dilanjutkan dengan kekosot / kekosok yang terbuat dari pucuk daun pandan atau alang alang. Kekosot dilakukan dengan cara memutar-mutar di kedua belah telapak tangan. Maknanya adalah membersihkan kekotoran yang ada pada diri manusia secara lahir batin. Pemutaran kekosok ini juga diyakini akan memunculkan angin kencang (ngelinus) secara niskala, yang diharapkan mampu menghempaskan segala kekotoran (mala), segala penyakit (rogha), segala penderitaan (lara) yang melekat pada jasmani dan rohani.
Setelah itu diikatkan benang barak (merah) di kaki, sebagai simbol ngeseng (membakar) sehananing mala (segala kekotoran) yang ada dalam diri manusia secara lahir batin. Dilanjutkan dengan natab yakni ayunan tangan diarahkan ke kaki / ke bawah. Bermakna pelepasan mala agar kembali ke Sanghyang Ibu Pertiwi. Natab diarahkan ke kaki, karena kaki setiap saat kontak dengan pertiwi. Oleh sebab itulah natab biakaon sering disebut dengan natab batis. Natab Biakaon adalah memohon kehadapan Batara Kala agar tak diganggu sawateking bhuta. kanduksupatra.blogspot.com
Rangkaian selanjutnya adalah meprasita / meprayascita yakni memohon penyucian secara jasmani dan rohani. Didahului dengan berkumur tiga kali dengan air bungkak nyuh gading dilanjutkan minum air bungkak tiga kali. Dilanjutkan nunas tirtha prasita, yang sebelumnya dimohon pada sulinggih. Nunas tirtha prasita bersaranakan lis. Lis adalah rangkaian janur yang berbentuk senjata dewata nawa sanga, sebagai sarana untuk ngelis (mengupas) / membersihkan / menyucikan jasmani dan rohani. Akhir dari prasita adalah menyematkan sesarik / sesedep dan benang putih. Sesedep adalah simbol limpahan amerta, kesejahteraan dan keharuman / kemasyuran, sedangkan benang putih adalah simbol limpahan kesucian rohani (disematkan di kepala) dan kesucian jasmani (diikatkan di tangan). kanduksupatra.blogspot.com
Tahapan selanjutnya adalah natab Sesayut Pemiak Lara Melaradan. Sesayut ini ditatab untuk memohon kehadapan Hyang Widhi Wasa dalam prabawa sebagai Sanghyang Ibu Pertiwi agar dijauhkan dari sengsara / penderitaan berkepanjangan. Sesuai dengan namanya, Sesayut adalah simbol permohonan. Pemiak adalah pemisah atau penghindar. Lara adalah sengsara / penderitaan. Melaradan adalah sambung menyambung / berkepanjangan. Ketika natab sesayut ini, ayunan tangan diarahkan ke badan, yang maknanya adalah memohon agar jasmani dan rohani ini dijauhkan dari segala penderitaan berkepanjangan. kanduksupatra.blogspot.com
Prosesi natab biakaon diakhiri dengan ngukup, yakni kedua telapak tangan ditelungkupkan di atas asap pengasepan kemudian diusapkan ke wajah sebanyak tiga kali, ke badan (dada) tiga kali dan ke kaki tiga kali. Sebagai simbolisasi menyambut waranugraha penyucian pikrian, perkatan, dan perbuatan.
Setelah melakukan penyucian diri, barulah melakukan membuwu-buwu dan ngerupuk dalam rangka nyomia Sang Bhuta Kala. Karena hanya dalam jiwa raga yang bersih dan suci diharapkan mampu menyupat Bhuta menjadi Dewa. Harapannya pula, ketika menjalankan catur brata penyepian didasari atas kebersihan dan kesucian jasmani dan rohani. kanduksupatra.blogspot.com
Muncul pertanyaan: mengapa natab biakala dilakukan pada sandikala?. Karena sandikala adalah waktu peralihan dari siang ke malam. Pada saat ini terjadi peralihan dari kekuatan unsur-unsur kosmik di alam semesta. Sehingga waktu ini baik untuk pelepasan ma¬la (kotor) dan mengambil / memohon pemarisuda (penyucian). Demikian juga mengapa ngerupuk dilakukan pada sandikala adalah sebagai waktu yang baik untuk penyupatan bhuta menjadi dewa.
Demikian juga muncul pertanyaan, kenapa natab biakaon ini dilakukan di natah / di halaman. Semua ini adalah dalam rangka memohon kehadapan Sanghyang Ibu Pertiwi agar segala mala, roga, lara, kembali ke asalnya ke Ibu Pertiwi. Kira-kira demikian. I Jugul Punggung Nasikin Segara. Ampura.
#NyepiCaka #GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #Biakaon
#OriginalArtkelKiBuyutDalu. kanduksupatra.blogspot.com

Thursday, March 2, 2017

OGOH-OGOH, PRODUK AWAL TAHUN 1980





Acara ngerupuk di desa diramaikan dengan anak-anak membawa obor / prakpak keliling desa. Kerlap kerlip nyala obor beriringan sejak sandikala sampai malam terasa sangat meriah, diiringi dengan riuhnya suara “kulkul” / kentongan di bale banjar. Demikian awalnya.
kandukssupatra.blogspot.com

Ketika listrik sudah mulai merata di desa – desa di Denpasar pada awal tahun 1980 an, maka kegiatan mengarak obor / prakpak keliling desa semakin khilangan greget, karena jalanan sudah diterangi listrik. Untuk menyemarakkan pengerupukan maka sekeklompok anak-anak muda membuat Lelakut (orang-orangan sawah) yang dibuat seram dengan bentuk yang sangat sederhana. Lelakut ini diarak keliling desa dan di-ogah-ogah (digoyang-goyang) sepanjang jalan sambil bersukaria. Entah siapa yang kemudian menyebut lelakut yang diogah-ogah tersebut dengan OGOH-OGOH. Istilah ini dipakai sampai sekarang.
kanduksupatra,blogspot.com

Pada awalnya hanya beberapa anak muda banjar di Denpasar yang membuat ogoh-ogoh. Kami awalnya (th 1982) membuat ogoh-ogoh dari “sumi” (jerami) dengan garapan yang masih sangat primitip. Kami dari Yangbatu (Yangbatu Kangin dan Yangbatu Kauh) waktu itu mengarak ogoh-ogoh melewati Alun-alun (Puputan Badung), ke Suci (kawasan Jl Hasanudin menuju Pemecutan, Jl. Gajah Mada, Catur Muka, dan kembali ke Yangbatu. Para pengusung tak mengenakan baju saat itu.

kanduksupatra.blogspot.com
Sejalan dengan perjalanan waktu, makin tahun makin bertambah anak – anak muda banjar membuat ogoh-ogoh. Melihat perkembangan yang positif ini, maka awal tahun 1990 an, Peradah (pemuda Hindu Darma) bersama dengan parisada mengarahkan perkembangan ogoh-ogoh agar memiliki makna spiritual dalam rangka Tawur Kesanga. Diarahkanlah kreatifitas ini dengan membuat ogoh-ogoh berupa BHUTA KALA yang bersumber dari cerita Purana, Pewayangan, Mitos masyarakat, Calonarang, dll. yang mencerminkan “penyomia bhuta” (penetralisir kekuatan negatif).
kanduksupatra.blogspot.com 
  
Kini ogoh-ogoh sangat pupuler. Anak-anak muda menggali mitos, tattwa agama Hindu, cerita rakyat, dll. yang nantinya dituangkan dalam karya ogoh-ogoh. Teknis penggarapannya pun semakin berkembang dan makin sempurna. Ogoh-ogoh sekarang kualitasnya jauh lebih bagus dibandingkan tahun - tahun sebelumnya. Penggarapan tema serta koriografinya pun semakin berkembang seperti yang kita saksikan belakangan ini.

Ogoh-ogoh kini tidak saja menjadi ritual agama, namun juga menjadi atraksi budaya, seni, dan atraksi wisata.
#OgohOgoh #SejarahBudaya  #GamaBali #GamaTirtha #TahunCaka