Tuesday, March 27, 2018

BISIKAN IMAJINER LELUHUR NUSANTARA





Ketika ada yang bersemangat mengiming - imingi manusia dengan kata “surga / swarga” (alam kebahagiaan).…. Para Leluhur Nusantara berbisik “surga memang baik, tetapi bukanlah tujuan akhir. Hanyalah kilasan untuk menuju ke neraka sebelum kembali menjelma ke dunia sesuai dengan karmanya”

Ketika mereka menakut - nakuti manusia dengan kata “neraka” (alam siksaan)…. Para Leluhur Nusantara berbisik “neraka hanyalah pahala dari karma burukmu. Hanyalah pintasan kehidupan setelah mati, bersifat sementara untuk selanjutnya ke surga, lalu menjelma lagi. Demikian secara berulang ulang. Tujuan akhirnya adalah “moksa”, kesadaran abadi “suka tan pawali duka”.

Ketika kita berlomba - lomba mengagung - agungkan dan menghafal kitab suci…. Para leluhur berbisik “aja wera”, “ila ila dahat”. Jangan main – main, jangan sombong, berbahaya. Mesti paham benar, dan yang penting penerapannya.

Ketika mereka mati-matian berebut tanah suci, berduyun - duyun ke tanah suci…. Para Leluhur berbisik “dimana ajaran suci dipelajari dan dilaksanakan, dimana leluhur dan dewa - dewa distanakan dan dipuja, dimana manusia, mahluk hidup, dan alam sekala - niskala dimuliakan dan saling mengasihi, maka di sanalah “tanah suci”.

Ketika kita saling cerca satu sama lain, merasa diri “paling” (paling baik, paling sempurna)…. Para Leluhur berbisik “tujuan agama sejatinya menurunkan ego sampai pada titik terendah yang disebut dengan “kerendahan hati” untuk mendapatkan “kemuliaan jiwa”. Ketika menyebut diri “paling ini, paling itu” maka sejatinya memang yang bersangkutan itu dalam keadaan “paling” (terbingungkan oleh egonya).

Ketika ada yang mengatakan Ajaran Leluhur Nusantara begini begitu, penyembah ini peyembah itu, agama bumi, primitif, agama adat, agama budaya, dengan istilah - istilah ini itu. Para leluhur berbisik “Hehe… sabar…. biarkan saja mau dibilang apa. Karena mereka masih jauh dari yang namanya “kesejatian”. Mereka sedang terbuai dan berada di puncak ego. Suatu saat nanti akan paham, dan membuntuti dari belakang.

Semoga rahayu. Ampura. Berimajinasi sambil makan nasi di Bumi Kesimpar.
#BudiPekertiLeluhurNusatara #SurgaNerakaPunarbawaMoksa #AjaWera #IlaIlaDahat
kanduksupatra.blogspot.com    

Wednesday, March 14, 2018

Mengapa Natab BIAKAON Menjelang Nyepi..? Pakem Gama Tirtha


Natab Biakala / biakon, salah satu dari rangkaian panjang prosesi Ngesanga (perayaan Nyepi). Dilakukan di halaman rumah, pada saat “sandikala”. Sarananya: “biakala, prasita (prayascita), sesayut lara melaradan”. Dimulai dengan “tepung tawar” (penawar / penetralisir) kekuatan negatif dalam “angga sarira” (badan). Dilanjutkan “kekosot / kekosok” yang terbuat dari pucuk pandan / alang alang, dengan cara memutar di kedua belah telapak tangan. Maknanya, membersihkan kekotoran yang ada pada diri manusia secara lahir batin. Pemutaran kekosok ini diyakini menimbulkan angin kencang (ngelinus) secara niskala, untuk menghempaskan “mala” (kotor), “rogha” (penyakit), “lara” (derita) pada jasmani dan rohani.
Setelah itu mengikatkan benang “barak” (merah) di kaki, simbol “ngeseng” (membakar) “sehananing mala” secara lahir batin. Dilanjutkan natab, dimana ayunan tangan diarahkan ke kaki / bawah. Bermakna pelepasan mala kembali ke Pertiwi. Natab diarahkan ke kaki, karena kaki setiap saat kontak dengan pertiwi. Sehingga natab biakaon sering disebut “natab batis”.
Selanjutnya “meprasita”, memohon penyucian jasmani dan rohani. Didahului berkumur air “bungkak nyuh gading” dan minum tiga kali. Dilanjutkan “metirtha prasita” memakai “lis prasita” (janur berbentuk senjata dewata). “Ngelis” artinya “mengupas” semua kekotoran untuk menyucikan jasmani dan rohani. Selanjutnya “sesarik / sesedep” di kepala dan dahi sebagai simbol limpahan amerta, kesejahteraan, kemasyuran. Dilengkapi benang putih di kepala simbol kesucian rohani dan diikatkan di tangan simbol kesucian jasmani .
Selanjutnya natab Sesayut Lara Melaradan, memohon kepada Sanghyang Ibu Pertiwi agar dijauhkan dari “lara melaradan” (penderitaan berkepanjangan). Natab sesayut ini, ayunan tangan diarahkan ke badan.
Prosesi natab biakaon diakhiri dengan “ngukup”, kedua telapak tangan ditungkupkan di atas asap pengasepan, lalu diusapkan ke wajah tiga kali, ke dada tiga kali dan kaki tiga kali. Simbolisasi menyambut anugrah kesucian pikirian, perkatan, dan perbuatan.
Prosesi ini adalah simbol nyomia bhuta dalam ruang lingkup Bhuana Alit. Setelah penyucian diri, barulah mebuwu-buwu / ngerupuk dalam rangka nyomia bhuta di Bhuana Agung.
Mengapa natab biakala pada sandikala?. Karena sandikala adalah waktu peralihan dari siang ke malam. Saat ini terjadi peralihan kekuatan unsur-unsur kosmik alam semesta. Waktu yang baik untuk pelepasan ma¬la (kotor) dan memohon pemarisuda. Itu pula mengapa ngerupuk dilakukan pada sandikala, atau mecaru dilakukan pada “tengai tepet”, waktu yang baik untuk penyupatan bhuta menjadi dewa.
Lalu… kenapa natab biakaon dilakukan di halaman?. Agar segala mala, roga, lara, kembali ke asalnya ke Ibu Pertiwi. Kira-kira demikian. Ampura. I Lutung Puruh mabet Ririh.

MEPRANI MENJELANG NYEPI, Pakem Gama Tirtha





Upacara Meprani yang dilakukan di bale banjar sehari menjelang Nyepi adalah satu dari rangkaian Kesanga yang diawali dengan melis, mecaru, meprani, mabiakala, ngerupuk, nyepi, ngembak geni.
Meprani dalam rangkaian kesanga dilakukan pagi hari diawali dengan “pemarisuda bhumi” (penyucian bhuana agung) dalam ruang lingkup banjar, bersaranakan caru eka sata (ayam brumbun). Dilengkapi dengan banten “durmanggala” sarana menyelaraskan energi – energi kosmik. Dilanjutkan dengan “pengulapan”, untuk mengembalikan kekuatan dan energi - energi alam ke posisi masing – masing. Setelah itu “ngelis” dan “prasita / prayascita” untuk membersihkan dan menyucikan segala yang ada di bhuana agung, sekala dan niskala.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dilanjutkan dengan caru di “catus pata desa” bersaranakan “caru panca sata”. Lebih luas lagi pada tingkat kabupaten / kota melaksanakan “tawur” di pusat kota. Dengan harapan alam semesta kembali dalam kesimbangan / stabil yang dalam bahasa Bali disebut “gumi degdeg / enteg dan suci nirmala, sekala niskala. Itulah mengapa disebut dengan “Pemarisuda Bhumi”
Kembali masalah meprani. Prani memiliki pengertian yakni “mahluk” (sarwa prani). Sedangkan dalam konteks upacara, prani memiliki makna “hidangan” yakni “soda persembahan”. Bentuknya adalah gebogan kecil yang berisi nasi dilengkapi lauk (umumnya lawar, sate, ares). Banten prani dihaturkan oleh setiap keluarga. Banten prani kemudian di-astawa oleh jero mangku dan di-ayab oleh seluruh krama.
Upacara Meprani adalah ungkapan bhakti dan syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi dengan mempersembahkan hidangan (prani) untuk memohon kesejahteraan semua mahluk (sarwa prani). Setelah dilakukan bhakti pepranian, krama banjar beramahtamah, makan bersama menikmati “prani” (hidangan) yang sudah dipersembahkan sebagai simbol anugrah “amerta” Ida Sanghyang Widhi Wasa. Upacara meprani ini memiliki nilai sosial yakni kebersamaan antar warga, terwujudnya Tri Hita Karana, yakni keharmonisan antara manusia dengan Hyang Widhi, manusia dengan sarwa prani dan semesta, serta keharmonisan antar warga. Harmonis secara sekala dan niskala.
Mecaru dan meprani di pagi / siang hari adalah pembersihan Bhuana Agung, sedangkan natab Biakala / Biakaon di rumah pada sore / sandikala adalah pembersihan Bhuana Alit (angga sarira). Kurang lebih demikian. Ampura. Bayu sriat sriut iseng iseng manyurat.
#GamaBali #HinduBali #GamaTirta #SunarIgama #Prani #Meprani #GumiDegdeg
kanduksupatra.blogspot.com

Friday, March 9, 2018

WATUGUNUNG RUNTUH Kajeng Klion Pemelastali





Sang Prabu Kulagiri (dari garis keturunan Raja Sagara) dari kerajaan Kundadwipa memiliki istri Dewi Sinta dan Dewi Landep. Mereka berdua ditinggal ke Gunung Mahameru untuk bertapa. Saat itu Dewi Sinta sedang hamil. Karena lama tak kembali, Dewi Sinta dan Dewi Landep menyusul Sang Prabu ke pertapaan. Dalam perjalanan Dewi Sinta melahirkan di atas sebuah batu. Bayi itu kemudian diberinama Watugunung.
Singkat cerita, tabiat anak itu keras kepala dan suka makan. Tak sabar untuk makan, sehingga ibunya kesal saat memasak. Saking kesalnya, ibunya memukul kepala Watugunung dengan “siut” (pengaduk nasi), sampai terluka.
Watugunung marah, lalu meninggalkan kerajaan. Ia bertapa di hutan dan berhasil mendapat anugrah Dewa Brahma, berupa kesaktian yang tak terkalahkan oleh siapapun. Hanya dikalahkan oleh musuh yang ber-Triwikrama (Wisnu). Sejak itu, Watugunung menjadi angkara murka. Ia menaklukkan raja-raja mulai dari kerajaan Sang Prabu Ukir, Prabu Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga.. dan seterusnya sampai Sang Prabu Dukut. Ia pun menaklukkan kerajaannya sendiri yakni Kundadwipa, lalu menikahi permaisuri kerajaan yang tak lain adalah ibunya sendiri yakni Dewi Sinta dan Dewi Landep.
Saat bercengkrama, Dewi Sinta melihat bekas luka di kepalanya. Ia terkejut bahwa suaminya itu adalah anaknya sendiri. Ia berusaha untuk memisahkan diri. Dewi Sinta mencari akal dengan mengatakan bahwa ia ingin seorang pelayan bernama Dewi Nawang Ratih, yang tak lain adalah permaisuri Dewa Wisnu. Karena menyayangi istrinya, Watugunung menyanggupi. Ia pergi ke Wisnuloka untuk mendapatkan Dewi Nawang Ratih. Tentu saja Dewa Wisnu tak berkenan. Pertempuran sengit pun terjadi.
Singkat cerita, Dewa Wisnu terdesak. Bhagawan Wrehaspati lalu mengutus Bagawan Lumanglang untuk mencari tahu kesaktian Watugunung. Bagawan Lumanglang mengambil wujud laba-laba menyusup ke kamar Watugunung mengintip pembicaraan tentang rahasia kesaktiannya kepada Dewi Sinta. Rahasia itu kemudian disampaikan kepada Dewa Wisnu.
Dalam pertarungan berikutnya, pada hari Redite Kliwon (minggu) Dewa Wisnu ber-Triwikrama. Watugunung dikalahkan, tubuhnya terhempas jatuh ke bumi. Maka pada hari itu disebut “Watugunung Runtuh”. Disebut juga “Kajeng Klion Pemelastali”, karena dengan tewasnya Watugunung maka lepaslah ikatan tak wajar antara Watugunung dengan ibunya Dewi Sinta. Kajeng Klion ini juga merupakan kajeng klion terakhir dari rangkaian wuku dalam satu putaran.
Keesokannya Soma Umanis (senin), Watugunung menemui ajalnya, jasadnya tersangkut di batang pohon talas (candung). Maka hari itu disebut “Candung Watang”. Besoknya, hari Anggara Paing (selasa), jasad Watugunung diseret – seret, hari itu disebut “Paid - paidan”. Pada hari Buda Pon (rabu), Watugunung siuman kembali, sehingga hari itu disebut “Buda Urip”. Keesokan harinya Wraspati Wage (kamis), Watugunung kembali dibunuh oleh Dewa Wisnu, hari itu. Namun atas belas kasihan Dewa Siwa, maka Watugunung dihidupkan kembali. Hari itu kemudian disebut dengan “Urip Kelantas” (hidup terus). Pada hari Sukra Kliwon (jumat), Watugunung membersihkan diri (sapuhawu), melakukan tapa brata yoga semadi, memohon pengampunan, serta memohon kepradnyanan / ilmu pengetahuan. Hari itu disebut dengan “Pangeredana”. Keesokannya, Saniscara Umanis (sabtu), Dewa Brahma menurunkan ilmu pengetahuan untuk semua umat manusia di dunia. Hari itu disebut dengan “Saraswati”.
Dewa Wisnu saat itu berkata bahwa dalam setiap enam bulan Watugunung akan mengalami keruntuhan. Apabila jatuhnya di bumi (darat), maka akan turun hujan, apabila jatuhnya di laut, maka di bumi tak turun hujan. Demikian kutukan Dewa Wisnu kepada Watugunung. Bersamaan dengan itu pula, semua raja yang telah dikalahkan oleh Watugunung dihidupkan kembali. Nama Dewi Sinta dan Dewi Landep, nama-nama raja taklukan, dan nama Watugunung sendiri dijadikan nama-nama wuku. Sehingga dikenal wuku dari Sinta ….. sampai Watugunung.
Demikian salah satu versi mitologi “Watugunung”. Ampura. Srayang sruyung di karang suwung, mangenan dewek puyung.
(ilustrasi: Lukisan Prabhu Watugunung bergulat dengan Wisnu Triwikrama, karya I Gusti Nyoman Lempad).
#WatugunungRuntuh #Saraswati #KajengKlionPemelastali #GamaBali #HinduBali #GamaTirtha kanduksupatra.blogspot.com