Thursday, April 12, 2018

MISKIN KARENA UPACARA…?? Hehe…..




Hari hari penuh upacara yadnya. Teringat dengan data Biro Pusat Statistik beberapa waktu lalu mengatakan bahwa “yadnya penyebab kemiskinan di Bali”.
Tentulah “kurang bijak” ketika yadnya yang hakekatnya “suci” dikambinghitamkan sebagai penyebab “kemiskinan”.
Siapa saja yang memilih jalan leluhur mesti berjalan di atas tiga landasan yakni tattwa (filsafat), susila (etika) dan yadnya (upacara). Ketiganya adalah satu kesatuan di dalam menata rasa. Beragama tanpa tattwa sepertinya “buta”, beragama tanpa susila kayaknya “kacau”, beragama tanpa upacara terasa “lumpuh” dan “hambar”.
Yadnya, ungkapan rasa syukur kepada Sanghyang Mahakarana atas anugrah kehidupan ini. Segala bentuk pengorbanan (tenaga, pikiran, waktu, materi) tercurah dalam sebuah yadnya. Beryadnya adalah proses berkarma menata keseimbangan rasa untuk menggapai berkah Hyang Jagatkarana.
Ketika landasannya adalah “lascarya” (tulus), maka istilah berat, repot, atau miskin, semuanya jadi sirna. Justru beryadnya adalah proses “pengayaan sejati”, kaya akan karma, kaya rasa syukur, kaya sujud bhakti, kaya pahala, sarat dengan investasi moral dan spiritual.
Dengan beryadnya, kita mengubah materi duniawi menjadi kekayaan sejati yakni “kebajikan” yang nantinya bisa dibawa ke sunialoka. Sedangkan kekayaan mentah (materi) tak bisa dibawa ke sana.
Yadnya adalah proses pematangan rasa untuk tidak pernah berhitung secara matematika duniawi. Hitungannya adalah matematika sunia yakni “ketulusan”. Para leluhur sejak jaman dahulu telah mendapatkan kebijaksanaan dan kemuliaan dengan jalan beryadnya.
Secara sekala, dengan yadnya, Sanghyang Maha Yadnya telah mengirimkan jutaan wisatawan ke Bali. Sang Maha Merta telah menjawab semua yadnya manusia Bali untuk kesejahteraan duniawi dan kedamaian di tanah leluhur ini. Dengan yadnya, Bali bagaikan gula. Semut dari seantero negeri ikut menikmati manisnya “Gula Bali”. Bahkan para bhuta kala dan bromo corah pun ikut menikmati berkah dari keutamaan yadnya.
Lalu…. ketika menyebut yadnya sebagai biang kemiskinan, mau dipalingkan kemana wajah ini ? malu kepada leluhur !!. Maaf, cobalah tengok sebuah daerah dengan keyakinan berbeda, mereka tak melakukan yadnya sama sekali, apakah masyarakat di sana semua kaya?. Mohon maaf, sepertinya angka kemiskinan di sana lebih besar. Ampura.
 Panas bara di sasih kedasa..... iseng iseng manyurat....
#KeutamaanYadnya #WarisanLeluhur #TattwaSusilaYadnya

Tuesday, April 10, 2018

GUGURNYA KAPTEN JAPA 11 April 1946




Peristiwa ini dikenal dengan Serangan Umum Kota Denpasar.
8 April 1946 para pejuang republik rapat di tengah sawah di Banjar Pagutan, Padangsambian, Denpasar. Dipimpin oleh Kapten Sugianyar, diikuti Letkol Hera Uchi (eks tentara Jepang), Letnan Ida Bagus Japa, Made Wijakusuma, Made Regog, Wayan Likes, I Gst Kompyang Regig, dll. Rapat memutuskan akan menyerang tangsi militer Belanda di Denpasar, tgl 11 April 1946, jam 02.00
Sasaran serangan adalah Tangsi Kayumas yang merupakan pusat tentara NICA / Belanda, Tangsi Satriya, dan lapangan terbang Tuban.
Penyerangan Tangsi Satria dari timur dipimpin Letnan Diasa dengan 200 personil. Dari utara oleh I Gsti Ngurah Pinda dengan pasukan 200 orang. Para pejuang bersiaga di depan kantor Gieb Tainsiat. Sesuai rencana, pukul 02.00 dini hari serangan dilancarkan. Serangan ini menewaskan 35 tentara NICA dan puluhan lainnya luka - luka, terbirit lari ke arah selatan menuju Bali Hotel.
Lapangan udara Tuban (sekarang: Bandara Ngurah Rai) juga diserang oleh pasukan pejuang dipimpin I Gede Durna, Made Putra, bersama pejuang dari Kuta dan Kedonganan.

Tangsi Kayumas (sekarang: tanah kosong tempat pameran) markas pusat tentara NICA, diserang dari arah utara dipimpin Letnan Sarja Udaya dibantu Letnan Oka Erlangga, sersan Sueca Atmanadi, dan ratusan pasukan. Dari arah barat dipimpin oleh I Wayan Likes, Kerti, Durna, Receh, Rames, Arka, berkekuatan ratusan pasukan. Dari Timur dipimpin oleh Letnan Ida Bagus Japa dibantu Letnan Kusuma Yuda, Sersan Tiaga, Ida Bagus Banjar, dengan kekuatan terbesar yakni 800 personil. Serangan ini membuat kocar kacir dan menewaskan sekitar 45 tentara NICA, dan sekitar 125 luka. Sedangkan di pihak pejuang Republik gugur 7 orang termasuk Letnan Ida Bagus Japa yang bertempur sangat gagah berani.
Jenasah Letna Ida Bagus Japa segera dibawa ke griya yang tidak jauh dari lokasi pertempuran yakni di Banjar Bengkel. Beliau gugur sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa.

Ida Bagus Japa adalah kakak kandung dari Prof. Ida Bagus Mantra, mantan Gubernur Bali.
Nama beliau diabadikan sebagai nama jalan yakni Jalan Kapten Japa yang melintasi sebelah timur bekas Tangsi Kayumas (tempat beliau gugur) ke selatan melintasi Desa Yangbatu. Sedangkan patung beliau berdiri gagah di Bundaran Renon. Namanya juga diabadikan sebagai nama lapangan yakni Lapangan Kapten Japa yang menjadi titik awal dari Jalan Bay Pass Prof. Ida Bagus Mantra.

Sayang, di dua tempat ini tidak ada tugu peringatan bahwa di sini pernah terjadi pertempuran heroik melawan penjajah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan jasa para pahlawannya. “Jas Merah” Jangan sekali kali melupakan sejarah.
Kurang lebih, ampura.
#NKRI #SeranganUmumKotaDenpasar #KaptenJapa #JapaMantra #JasMerah
kanduksupatra.blogspot.com

Tuesday, March 27, 2018

BISIKAN IMAJINER LELUHUR NUSANTARA





Ketika ada yang bersemangat mengiming - imingi manusia dengan kata “surga / swarga” (alam kebahagiaan).…. Para Leluhur Nusantara berbisik “surga memang baik, tetapi bukanlah tujuan akhir. Hanyalah kilasan untuk menuju ke neraka sebelum kembali menjelma ke dunia sesuai dengan karmanya”

Ketika mereka menakut - nakuti manusia dengan kata “neraka” (alam siksaan)…. Para Leluhur Nusantara berbisik “neraka hanyalah pahala dari karma burukmu. Hanyalah pintasan kehidupan setelah mati, bersifat sementara untuk selanjutnya ke surga, lalu menjelma lagi. Demikian secara berulang ulang. Tujuan akhirnya adalah “moksa”, kesadaran abadi “suka tan pawali duka”.

Ketika kita berlomba - lomba mengagung - agungkan dan menghafal kitab suci…. Para leluhur berbisik “aja wera”, “ila ila dahat”. Jangan main – main, jangan sombong, berbahaya. Mesti paham benar, dan yang penting penerapannya.

Ketika mereka mati-matian berebut tanah suci, berduyun - duyun ke tanah suci…. Para Leluhur berbisik “dimana ajaran suci dipelajari dan dilaksanakan, dimana leluhur dan dewa - dewa distanakan dan dipuja, dimana manusia, mahluk hidup, dan alam sekala - niskala dimuliakan dan saling mengasihi, maka di sanalah “tanah suci”.

Ketika kita saling cerca satu sama lain, merasa diri “paling” (paling baik, paling sempurna)…. Para Leluhur berbisik “tujuan agama sejatinya menurunkan ego sampai pada titik terendah yang disebut dengan “kerendahan hati” untuk mendapatkan “kemuliaan jiwa”. Ketika menyebut diri “paling ini, paling itu” maka sejatinya memang yang bersangkutan itu dalam keadaan “paling” (terbingungkan oleh egonya).

Ketika ada yang mengatakan Ajaran Leluhur Nusantara begini begitu, penyembah ini peyembah itu, agama bumi, primitif, agama adat, agama budaya, dengan istilah - istilah ini itu. Para leluhur berbisik “Hehe… sabar…. biarkan saja mau dibilang apa. Karena mereka masih jauh dari yang namanya “kesejatian”. Mereka sedang terbuai dan berada di puncak ego. Suatu saat nanti akan paham, dan membuntuti dari belakang.

Semoga rahayu. Ampura. Berimajinasi sambil makan nasi di Bumi Kesimpar.
#BudiPekertiLeluhurNusatara #SurgaNerakaPunarbawaMoksa #AjaWera #IlaIlaDahat
kanduksupatra.blogspot.com    

Wednesday, March 14, 2018

Mengapa Natab BIAKAON Menjelang Nyepi..? Pakem Gama Tirtha


Natab Biakala / biakon, salah satu dari rangkaian panjang prosesi Ngesanga (perayaan Nyepi). Dilakukan di halaman rumah, pada saat “sandikala”. Sarananya: “biakala, prasita (prayascita), sesayut lara melaradan”. Dimulai dengan “tepung tawar” (penawar / penetralisir) kekuatan negatif dalam “angga sarira” (badan). Dilanjutkan “kekosot / kekosok” yang terbuat dari pucuk pandan / alang alang, dengan cara memutar di kedua belah telapak tangan. Maknanya, membersihkan kekotoran yang ada pada diri manusia secara lahir batin. Pemutaran kekosok ini diyakini menimbulkan angin kencang (ngelinus) secara niskala, untuk menghempaskan “mala” (kotor), “rogha” (penyakit), “lara” (derita) pada jasmani dan rohani.
Setelah itu mengikatkan benang “barak” (merah) di kaki, simbol “ngeseng” (membakar) “sehananing mala” secara lahir batin. Dilanjutkan natab, dimana ayunan tangan diarahkan ke kaki / bawah. Bermakna pelepasan mala kembali ke Pertiwi. Natab diarahkan ke kaki, karena kaki setiap saat kontak dengan pertiwi. Sehingga natab biakaon sering disebut “natab batis”.
Selanjutnya “meprasita”, memohon penyucian jasmani dan rohani. Didahului berkumur air “bungkak nyuh gading” dan minum tiga kali. Dilanjutkan “metirtha prasita” memakai “lis prasita” (janur berbentuk senjata dewata). “Ngelis” artinya “mengupas” semua kekotoran untuk menyucikan jasmani dan rohani. Selanjutnya “sesarik / sesedep” di kepala dan dahi sebagai simbol limpahan amerta, kesejahteraan, kemasyuran. Dilengkapi benang putih di kepala simbol kesucian rohani dan diikatkan di tangan simbol kesucian jasmani .
Selanjutnya natab Sesayut Lara Melaradan, memohon kepada Sanghyang Ibu Pertiwi agar dijauhkan dari “lara melaradan” (penderitaan berkepanjangan). Natab sesayut ini, ayunan tangan diarahkan ke badan.
Prosesi natab biakaon diakhiri dengan “ngukup”, kedua telapak tangan ditungkupkan di atas asap pengasepan, lalu diusapkan ke wajah tiga kali, ke dada tiga kali dan kaki tiga kali. Simbolisasi menyambut anugrah kesucian pikirian, perkatan, dan perbuatan.
Prosesi ini adalah simbol nyomia bhuta dalam ruang lingkup Bhuana Alit. Setelah penyucian diri, barulah mebuwu-buwu / ngerupuk dalam rangka nyomia bhuta di Bhuana Agung.
Mengapa natab biakala pada sandikala?. Karena sandikala adalah waktu peralihan dari siang ke malam. Saat ini terjadi peralihan kekuatan unsur-unsur kosmik alam semesta. Waktu yang baik untuk pelepasan ma¬la (kotor) dan memohon pemarisuda. Itu pula mengapa ngerupuk dilakukan pada sandikala, atau mecaru dilakukan pada “tengai tepet”, waktu yang baik untuk penyupatan bhuta menjadi dewa.
Lalu… kenapa natab biakaon dilakukan di halaman?. Agar segala mala, roga, lara, kembali ke asalnya ke Ibu Pertiwi. Kira-kira demikian. Ampura. I Lutung Puruh mabet Ririh.

MEPRANI MENJELANG NYEPI, Pakem Gama Tirtha





Upacara Meprani yang dilakukan di bale banjar sehari menjelang Nyepi adalah satu dari rangkaian Kesanga yang diawali dengan melis, mecaru, meprani, mabiakala, ngerupuk, nyepi, ngembak geni.
Meprani dalam rangkaian kesanga dilakukan pagi hari diawali dengan “pemarisuda bhumi” (penyucian bhuana agung) dalam ruang lingkup banjar, bersaranakan caru eka sata (ayam brumbun). Dilengkapi dengan banten “durmanggala” sarana menyelaraskan energi – energi kosmik. Dilanjutkan dengan “pengulapan”, untuk mengembalikan kekuatan dan energi - energi alam ke posisi masing – masing. Setelah itu “ngelis” dan “prasita / prayascita” untuk membersihkan dan menyucikan segala yang ada di bhuana agung, sekala dan niskala.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dilanjutkan dengan caru di “catus pata desa” bersaranakan “caru panca sata”. Lebih luas lagi pada tingkat kabupaten / kota melaksanakan “tawur” di pusat kota. Dengan harapan alam semesta kembali dalam kesimbangan / stabil yang dalam bahasa Bali disebut “gumi degdeg / enteg dan suci nirmala, sekala niskala. Itulah mengapa disebut dengan “Pemarisuda Bhumi”
Kembali masalah meprani. Prani memiliki pengertian yakni “mahluk” (sarwa prani). Sedangkan dalam konteks upacara, prani memiliki makna “hidangan” yakni “soda persembahan”. Bentuknya adalah gebogan kecil yang berisi nasi dilengkapi lauk (umumnya lawar, sate, ares). Banten prani dihaturkan oleh setiap keluarga. Banten prani kemudian di-astawa oleh jero mangku dan di-ayab oleh seluruh krama.
Upacara Meprani adalah ungkapan bhakti dan syukur kehadapan Ida Sanghyang Widhi dengan mempersembahkan hidangan (prani) untuk memohon kesejahteraan semua mahluk (sarwa prani). Setelah dilakukan bhakti pepranian, krama banjar beramahtamah, makan bersama menikmati “prani” (hidangan) yang sudah dipersembahkan sebagai simbol anugrah “amerta” Ida Sanghyang Widhi Wasa. Upacara meprani ini memiliki nilai sosial yakni kebersamaan antar warga, terwujudnya Tri Hita Karana, yakni keharmonisan antara manusia dengan Hyang Widhi, manusia dengan sarwa prani dan semesta, serta keharmonisan antar warga. Harmonis secara sekala dan niskala.
Mecaru dan meprani di pagi / siang hari adalah pembersihan Bhuana Agung, sedangkan natab Biakala / Biakaon di rumah pada sore / sandikala adalah pembersihan Bhuana Alit (angga sarira). Kurang lebih demikian. Ampura. Bayu sriat sriut iseng iseng manyurat.
#GamaBali #HinduBali #GamaTirta #SunarIgama #Prani #Meprani #GumiDegdeg
kanduksupatra.blogspot.com