Wednesday, January 31, 2018

BULAN ke-PANGAN





“Kepangan” berarti dimakan. Bulan kepangan, bulan dimakan. Siapa yang memakan…? Konon Sang Kala Rau. Mitologinya, Sang Kala Rau menaruh dendam kepada Sanghyang Candra. Karena Dewa Candra dan Dewa Surya yang mengetahui bahwa Sang Kala Rau telah melarikan Tirtha Amerta yang diperoleh dari hasil pengadukan Samudra Mantana di Ksira Arnawa. Atas dendam itu, maka pada waktu-waktu tertentu Sang Kala Rau akan menelan Sanghyang Wulan dan Sanghyang Surya.
Bulan kepangan, zaman now disebut Gerhana Buulan, saat dimana Sanghyang Wulan ketadah Kala Rau. Situasi ini diniilai sebagai “prawesa” / pertanda kurang baik.
Disebut juga sebagai pertemuan Sanghyang Candra dengan Sanghyang Surya. Pada hari ini para Pandita mesti melakukan “utpti stiti puja” kehadapan Sanghyang Candra, bersaranakan canang wangi - wangian, canang raka dilengkapi bubur biaung, penek putih kuning adandanan dilengkapi wangi wangian.
Hari itu pula “Sang Gama Tirtha” (umat sedharma), para pinandita, para widnyana / para wikan menggelar yoga semadi, mewacanakan segala kebaikan serta menceritakan suatu yang utama. Demikian juga di natar perahyangan dilakukan yoga astawa kehadapan Sanghyang Surya Candra.
Setelah melakukan pemujaan, sebulan lamanya masyarakat “kelarang” (dilarang) oleh Sanghyang Wulan “angwangun karya ayu” (menyelenggarakan upacara yadnya yang sifatnya besar) untuk memuja Dewa, Bhuta, maupun Pitra.
Demikian disebutkan di dalam “Pakem Gama Tirtha”. Ampura.
Niki wantah satua kangin kauh, sekadi ngajahin buaya nyilem. Cerita ngalor ngidul, bagaikan mengajar buaya menyelam, sudah tentu sia - sia tak ada gunanya.
#GamaBali #HinduBalli #GamaTirtha #BulanKepangan #PakemGamaTirtha #SanghyangSuryaCandra #SanghyangWulan #SangKalaRau #KiBuyutDalu #KandukSupatra kanduksupatra.blogspot.com

Sunday, January 28, 2018

Mengapa ANGGARKASIH disebut Rerainan ?


Anggarkasih adalah pertemuan antara saptawara yakni Anggara dengan pancawara yakni Kliwon. Pertemuan ini disebut dengan Anggara Kliwon, disebut juga Anggara Kasih (Anggarkasih).
Hari ini adalah hari istimewa dan sebagai hari suci yang disebut dengan Rerahinan. Karena pada hari merupakan hari untuk mengasihi angga sarira / membersihkan diri sendiri. Pada hari ini “Sang Gama Tirtha” yakni para penganut ajaran Agama Tirtha / Hindu Bali melakukan pembersihan dan penyucian diri dari segala macam mala / kekotoran lahir batin. Karena pada hari ini Ida Sanghyang Ludra meyoga meruwat alam semesta.
Pada hari ini patut melakukan yasa kerthi dengan menghaturkan canang, wewangian di sanggah / merajan menghaturkan bakti serta nunas wangsuhpada (tirtha), memohon pengasihan anggasarira, memohon pengruatan / penglukatan dan waranugraha kerahyuan kehadapan Sanghyang Ludra.
Itulah sebabnya kenapa pada hari Anggarakasih, “Sang Gama Tirtha” menghaturkan canang, banten, atau bahkan hari Anggarakasih banyak dipakai sebagai “tegak” hari odalan baik di sanggah atau di pura. Seperti Anggarakasih Perangbakat, Anggarakasih Tambir, Anggarakasih Medangsia.
Kurang lebih demikian katanya. Ampura. Edisi nasikin segara.
#AnggaraKasih #SanghyangLudra #Rerahinan #GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #Sunarigama
kanduksupatra.blogspot.com

Friday, January 19, 2018

“Liak Sandal Havaianas” vs “Balian Kapsul Tetra”





Made Lanying Lanyuk sibuk mengurus istrinya Ni Luh Kembang Bungah Semar Mesem yang kecelakaan, kakinya keseleo tertindih motor. Made Lanying mengajak istrinya ke balian pijat. Namun ia dihadapkan pada pilihan, karena balian tukang pijat ada dua yang rumahnya bersebelahan. Dipilihlah balian yang rumahnya lebih di depan. Canang dengan sesari dua puluh ribu dihaturkan, lalu prosesi dimulai dengan minyak “sakti”.
Sang balian berlagak menerima bisikan niskala, lalu berkata “badah… ne ulung sing je ulian apa. Ada anak nyengkalen. Sandalne misi pepasangan. Kutang sandal to, pang sing nyengkalen buin”. (…Yang menyebabkan celaka adalah perbuatan orang yang tidak suka kepadanya, dengan cara memasang suatu di sandalnya. Sandal itu harus dibuang agar tak mencelakai lagi..!).
Karena ingin sembuh, mereka percaya lalu membuang sandal itu di depan pintu gerbang rumah sang balian. Sandal itu baru, sayang sekali… demikian Made dalam hati.
Merekapun pulang. Sampai di rumah De Lanying berpikir lagi “untung saja liak itu hinggap di sandal, bagaimana kalau liak itu hinggap di motor, berarti motor itu harus dibuang. Waduh …”
Setelah dua hari, sakit istrinya tak ada perubahan. Ia berpikir lagi. Kalau dihitung biayanya, sesari Rp 20.000, harga sandal Havaianas Rp 250.000, total biaya Rp270.000. Belum lagi dua hari tak kerja, tak ada pemasukan. De Lanying bergegas berobat ke balian yang satunya. Ia mengendap-endap masuk ke rumah pekak balian, tak enak dilihat oleh balian kemarin.
Dengan kepercayaan penuh Made Lanying nunas tamba. Lagi-lagi De Lanying dikejutkan oleh pernyataan balian bahwa tulang istrinya sudah hancur. Made Lanying panik, ia berpikir istrinya tak bisa berjalan lagi. Namun si pekak balian meyakinkan bahwa istrinya akan sembuh. Singkat cerita, mereka berdua pulang dengan kaki bengkak.
Ni Luh Kembang merasakan sakit yang sangat, kakinya bengkak, tak bisa tidur. Made Lanying kembali mencari seorang balian untuk mengecek kaki istrinya serta situasi rumah. Hasilnya kembali mengejutkan. Konon istrinya diserang liak barak, yang menyebabkan kakinya bengkak dan merah. Sang balian komat kamit agar liak barak itu keluar dari kaki Ni Luh Kembang.
Proses itu pun selesai, berharap bengkak kaki istrinya sembuh. Beberapa saat setelah sang balian pulang, tiba-tiba sakit itu semakin jadi. Lagi-lagi  De Lanying tak tidur semalaman. Poyoklah mereka. Dalam kebingungan dan ngantuk, pagi itu datanglah Ketut Podol Tumpul. Didapati mereka sedang murung. Made Lanying bercerita. Ketut Podol menyarankan segera ke Puskemas.
Mereka bergegas ke Puskemas berbekal kartu BPJS. Kaki Ni Luh Kembang diperiksa. Ia tak cerita kalau kakinya sudah diobati oleh tiga orang balian. Perawat membersihkan kakinya yang bengkak karena ada luka kecil kemasukan tanah lalu infeksi. Diberikan obat anti radang dan antibiotik “Kapsul Tetra”.
Singkat cerita… Ni Luh merasa lega dan bisa tidur lelap karena rasa sakit, bengkak, dan warna merahnya berkurang. Dalam beberapa hari sembuh. Sambil memegang obat dari Puskesmas, De Lanying berkata “ternyata Liak Sandal dan Liak Barak yang dibilang oleh balian hanyalah akal - akalan saja. “Liak sandal” dan “Liak barak” musnah oleh “Kapsul Tetra”.  Ternyata “Balian Puskesmas” lebih sakti.
Demikian ia bersyukur keadaan istrinya sudah sembuh, sambil menyesali sandal baru Havaianas istrinya dibuang. Hehe… Ampura. Hanyalah bebanyolan konyol yang tak banyol, kurang afdol, mungkin Be Genyol.
#SatuaLiakBanyol #BudayaBali kanduksupatra.blogspot.com

Wednesday, January 3, 2018

Anantaboga di Sapta Patala




Dikisahkan sesosok naga bernama Nagasesa, putra dari Sang Anantawisesa dan Dewi Wasu (putri dari Anantaswara). Dalam keadaan biasa Nagasesa berwujud serupa manusia, tetapi ketika bertriwikrama tubuhnya berubah menjadi naga raksasa, dimana setiap 1000 tahun sekali ia berganti kulit. Batara Guru pernah mengambil kulitnya yang tersisa saat berganti kulit dan menciptanya menjadi makhluk ganas yang disebut Candrabirawa.
Suatu hari Nagasesa bertapa di Goa Ringrong (Rangreng) dengan mulut terbuka. Tiba-tiba seberkas cahaya masuk ke mulutnya. Nagasesa langsung menutup mulutnya. Lalu muncul Bathara Guru dan menanyakan kemana perginya cahaya itu. Nagasesa mengatakan bahwa cahaya mustika itu ada pada dirinya. Mustika itu akan diserahkan kepada Batara Guru apabila berkenan memeliharanya baik-baik. Batara Guru menyanggupinya. Lalu Cupu Linggamanik yang semula berwujud cahaya itu diserahkan.
Cupu Linggamanik sangat penting bagi para dewa di kayangan. Atas kebaikannya, Nagasesa diberikan kedudukan sederajat para dewa dan berhak atas gelar Batara / Sanghyang. Sejak itu ia bergelar Sanghyang Anantaboga berkedudukan di Saptapatala (lapisan ketujuh dasar bumi). Anantaboga juga diberi Aji Kawastram yang membuatnya bisa berubah wujud menjadi apa saja.
Anantaboga juga mampu menghidupkan orang mati, karena memiliki Tirta Amerta. Diceritakan suatu ketika para dewa “ngebur” (mengaduk) dasar samudra untuk mendapatkan  Tirta Amerta. Para Dewa mencabut Gunung Mandara dibawa ke samudra, lalu dibalik sehingga puncaknya berada di bawah, selanjutnya diputar untuk mengaduk dasar samudra. Setelah mendapatkan Amerta, para dewa tidak sanggup mencabut kembali gunung itu. Anantaboga datang membantu dengan cara melilit lalu mengangkatnya ke tempat semula. Itulah sebabnya Anantaboga diperkenankan memiliki Tirta Amerta.
Lalu untuk membangun ikatan keluarga, para dewa memberikan Anantaboga seorang bidadari bernama Dewi Supreti sebagai istrinya, yang kemudian melahirkan Dewi Nagagini dan Naga Tatmala. (Dewi Nagagini nantinya menikah dengan Bima, melahirkan Sang Antareja). 
Atas kepemilikan Aji Kawastrawam, Anantaboga pernah menjelma menjadi “garangan” (sejenis musang) yang menyelamatkan Pandawa dari amukan api pada peristiwa Bale Sigala-gala (istana kardus).
Dalam kisah selanjutnya, Anantaboga memberikan Tirta Amerta itu kepada cucunya yakni Antareja. Pernah digunakan untuk menghidupkan Dewi Subadra yang terbunuh oleh Burisrawa dalam kisah “Subadra Larung” / “Antareja Takon Bapa”. Tirtha Amerta ini juga pernah digunakan oleh Dewi Supreti untuk menghidupkan anaknya yakni Naga Tatmala yang dihukum mati oleh Batara Guru.
Demikian dikisahkan dalam Kelir Wayang Purwa. Ampura.
#WayangPurwa #Anantaboga #Nagasesa #CupuLinggaManik #BataraGuru #SaptaPatala
kanduksupatra.blogspot.com











“Pura Bhur Bhuah Swah” Di Gunung Kembar






(Kitir 2009). Mungkin terdengar agak awam / tak lazim untuk ukuran pura-pura tua di Bali. Tapi memang demikian keberadaannya di Gunung Sraya yang merupakan kembaran dari Gunung Lempuyang. Masyarakat Sraya menyebut kedua gunung ini sebagai Puncak Kawanan (barat / Lempuyang) dan Puncak Kanginan (timur / Sraya).
Memulai perjalanan, dari bawah akan dijumpai Pura Buar-Buaran yang merupakan penataran dari Pura Gunung Sraya. Lanjut mendaki kira – kira satu jam menanjak, sampai pada pertengahan gunung Sraya terdapat pelinggih yang oleh masyarakat Sraya disebut Pura Pasar Agung, linggih Ida Betara Wisnu dalam prabawa sebagai  Betara Sri Sedana. Ketika beliau mengayomi kesejahteraan masyarakat bergelar Betara Melanting.
Dari Pura Pasar Agung lanjut ke puncak. Sebelum mencapai puncak, akan bertemu pertigaan setapak yang ke kanan menuju beji tempat nunas tirta. Dari pertigaan lanjut ke puncak Gunung Sraya / Puncak Kanginan. Dalam perjalanan ke puncak akan disapa oleh tuan rumah yakni sekawanan bojog. Di puncak Kanginan / Sraya ini berdiri Pura Pucak Sari. Terdapat pelinggih Padmasana tempat memuja Ida Sanghyang Widhi Wasa, Padmasari tempat memuja sesuhunan di Gunung Sraya yakni HYANG PASUPATI. Terdapat pula pengayatan ke gunung Lempuyang dan Gunung Agung, dilengkapi tajuk pepelik.
Pura Puncak Sari adalah pura hulu dari masyarakat Sraya sejak jaman dahulu secara turun temurun. Odalan di sini dilangsungkan pada Purnama Ketiga. Pengempon pura adalah seluruh masyarakat adat Sraya yang terbagi dalam beberapa perbekelan.
Bagaimana dengan sebutan Pura Bhur Bhuah Swah…? Nah… belakangan ada orang yang “konon memiliki” kemampuan spiritual melakukan meditasi di Puncak Sari. “Konon” pula didapat semacam spirit, lalu pura ini disebutnya Pura Bhur Bhuah Swah. Mungkin karena terdapat tiga tingkatan pura yakni di kaki gunung, di tengah, dan di puncak. Demikian penuturan pemangku pura yakni Jero Mangku Ngaya.
Tapi…sepertinya akan lebih baik menggunakan nama yang sudah diwarisi secara turun - temurun oleh masyarakat Desa Sraya sebagai masyarakat penyungsung, yakni di dasar disebut PENATARAN, di tengah disebut PASAR AGUNG,  dan di puncak disebut PURA PUCAK SARI.  Ampura. Semoga tak terkena sosod upadrawa cakrabhawa rajapinulah.
#PuraBhurBhuahSwah #GunungSraya #GunungKembar #PuncakKawananKanginan #PuraPuncakSariSraya #PuraBuarBuar #PuraPasarAgung #PuraMelanting
kanduksupatra.blogspot.com