Friday, February 20, 2015

"Bulu Burung Hantu"





Kisah unik dialami oleh seorang pemuda bernama I Wayan Bronges. Penampilannya memang yahuudd…, gaul, semangat hidup tinggi, gairah tinggi, dan agresif. Pokoknya setiap sore ia keluar rumah entah itu keliling kota, menonton hiburan, atau kunjungi pacar, dengan kendaraan trail kesayangannya. Trail bawaannya memang cocok dengan gayanya yang sedikit urakan, kocak, namun baik hati.
Suatu malam minggu, dengan semangat tinggi ditambah kecretan minyak wangi, menambah gairah asamaranya. Sore menjelang malam ia pergi ke rumah pacaranya di bilangan Sanur dengan motor trailnya yang tinggi, tanpa reting. Ia pakai jaket kulit, dengan saputangan terlilit di leher. Pokoknya hari itu ia keren sekali. Sesampainya di rumah sang idola, ia disambut senyum merekah membuai hati. I Bronges bergegas mohon diri kehadapan orang tua si perempuan. Mereka berdua keluar rumah, entah kemana. Tiba-tiba saja di jalan ia ingin membawa gadis pujaannya menuju ke kawasan Renon yang masih sepi di sekitar perkantoran. Sampailah ia di sebuah kantor, di sana ada perempatan yang agak sepi, ada tempat duduk yang bagus, di bawah pohon suar yang besar dan rimbun. Mereka asik memadu asmara, entah apa lagi lanjutannya dalam malam yang sepi.
Singkat cerita, tanpa disadari sampailah mereka tengah malam sekitar pukul sebelas malam. Ia bergegas pulang. Ketika itu hujan mulai rintik-rintik jatuh menerpa kepala dan terasa dingin. I Bronges mencoba menghidupkan trailnya yang sedari tadi menjadi saksi bisu terhadap kisah percintaan mereka berdua. Setelah sekian kali distarter, ternyata motornya tak mau hidup sama sekali. Padahal tadi paginya ia sudah menservis sepeda motor trailnya, dengan harapan tak ada gangguan ketika apel nanti.
Sampai peluh pidit (berkeringat) ia menghidupkan motornya, namun tak hidup-hidup. Ia lalu sadar bahwa ia telah melakukan sesuatu yang tak pantas di tempat itu, apalagi di bawah pohon suar yang besar. Pikirannya sudah melayang ke arah mistik “Jangan-jangan ada yang menunggu tempat ini, jangan-jangan saya diganggu oleh penunggu di sini. Jangan-jangan motor ini ada yang menyumbat”
Ia teringat dengan cerita teman-temannya yang jail. Ia kemudian membalikan badannya kea rah pacarnya. Ia membuka sedikit sabuk dan resleting celananya, yang membuat pacarnya kaget, dan bilang jangan-jangan. Dikiranya ia membuka celana untuk mengagahi dirinya yang sampai saat ini masih suci.
Ternyata I Bronges mencabut beberapa helai bulun butuh (maaf: bulu burung) sambil mengerang sedikit kesakitan dengan mata terpejam. Bulu tersebut ia taburklan di atas motor dengan perkataan jangan mengganggu. Pacarnya tak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh I Bronges. Ia kembali menstater, dan sekali starter langsung hidup.
Lega hati I Bronges dengan resep “bulu burung hantu” tersebut ia mampu mengusir mahluk malam yang mengganggu. Ia segera pulang menghantar pacarnya. Sambil pulang ia berpikir. Ia tak percaya dengan apa yang ia lakukan tadi. Masak sih “bulu burung hantu” menyebabkan mahluk halus bisa lari. Apakah mereka takut dengan bulu, ataukah mereka geli dengan bulu-bulu yang dicabut tersebut, ataukah mereka jijik dengan bau celana dan bau dari bulu itu. Entahlah, ia pun tak tahu, yang jelas itu hanyalah cerita temannya yang ia coba-coba dalam situasi terjepit. Eh ternyata memang mujarab.
I Bronges malam itu langsung pulang sambil terheran-heran, dan sedikit geli. Iiiiihhhhh nakaaalll.
Diceritakan oleh I Made Setiawan, Semawang, Sanur.

Ayam Mewisya




Be siap nak mule jaen (daging ayam memang enak), itulah yang menyebabkan banyak orang mengidamkan daging ayam sebagai menu istimewa. Kelezatan daging ayam melahirkan berbagai macam bentuk olahan ayam. Terkait dengan keistimewaan dan kelezatan daging ayam, di bilangan Denpasar Timur, daging ayam membuat kisah tersendiri yang bisa dibilang lucu, menarik, atau mungkin memilukan. Kisahnya begini.

Suatu pagi Luh Sengkek membeli sayur kesukaan suaminya Made Likas yakni sayur kangkung di warung di perempatan dekat rumahnya. Pagi itu masih lengang karena kebetulan hari minggu, jadi tak banyak orang menggunakan lalu lintas di jalan, walau jalan tersebut adalah jalan raya dengan jalur yang cukup padat. Sekembalinya dari warung, Luh Sengkek berjalan di pinggir jalan sebelah barat menuju ke selatan. Ketika itu dari arah utara datang sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi menuju ke selatan. Tepat di depan Luh Sengkek, sepeda motor tersebut tiba-tiba menabrak seekor ayam berbulu hitam. Ayam tersebut ngeseksek (kejang-kejang) langsung mati di hadapan Luh Sengkek. Si pengemudi tak tahu kalau menabrak ayam dan terus berlari kencang entah kemana.

Karena dilihat oleh Luh Sengkek ayam itu segar bugar, cukup gemuk besar untuk ukuran ayam kampung, serta tak ada yang melihat kejadian tersebut, maka Luh Sengkek berniat untuk membawa pulang ayam tersebut untuk dimasak. Dalam perajalannya pulang Luh Sengkek berbakat dalam hati “lumayan dapat satu ekor ayam gemuk, bisa masak enak hari ini”. Tetapi Luh Sengkek bingung, mau diapakan ayam ini. Kalau dipakai lawar agak repot dan lama, dipakai ayam goreng nanti jadinya sedikit dan cepat habis, pingin buat kare ayam tapi tak tahu bumbunya. Demikian dalam benaknya. Ia kemudian memutuskan untuk mengolahnya menjadi grangasem (bakso ala Bali) selain bisa diolah sampai ke tulangnya. Jika dagingnya sudah habis, kuahnya saja juga enak. Demikian percakapan hatinya menuju ke rumah.

Sesampainya di rumah, ia segera menghampiri Made Likas untuk memberitahukan bahwa ia memunggut ayam yang baru ditabrak sepeda motor. Ia menanyakan apakah ayam tersebut bisa dimakan. Suaminya yang tertarik dengan kesegaran daging ayam tersebut mengijinkan Luh Sengkek untuk memasaknya.

Luh Sengkek pun memasak ayam tersebut dengan senang hati. Dibuatkan basa Rajang (bumbu lengkap dan halus), dagingnya dihancurkan sampai halus, diolah menjadi grangasem siap selem tomplok montor (bakso ayam hitam ditabrak motor). Made Likas pun berpikir, nanti pasti ia akan makan banyak, akan makan nasi hangat dengan sayur kanggkung tumis, ditambah be siap grangasem. Ia menunggu di bale delod sambil sesekali mencium aroma masakan ayam tersebut yang membuat pos ngetel (ngiler) dan seduk (seduk)

Begitulah ceritanya awalnya, sampai akhirnya be gerangasem tersebut masak walaupun memerlukan waktu yang cukup lama. Luh Sengkek menghidangkan masakannya lalu menikmati bersama Made Likas. Baunya memang enak, namun ketika disantap, ternyata daging ayam tersebut masih terasa agak katos dan sedikit berlendir alias belig. Made Likas tak begitu menghiraukan dan mencoba untuk menikmati lebih banyak lagi, namun lidahnya tak begitu menikmati, seakan-akan lidahnya menolak masakan daging ayam itu. Ia pun menyudahinya, ia hanya menikmati jukut kangkung  kesukaannya.

Dalam beberapa saat kemudian, anak dari Made Likas dan Luh Sengkek yakni I Wayan Lojor dan I Ketut Mrenying baru bangun tidur.  Mencium aroma masakan ayam tersebut, tiba-tiba perut mereka menjadi lapar dan langsung makan ayam tersebut tanpa bertanya mengapa ibunya masak spesial hari ini, dimana dapat ayam dan darimana dapat uang untuk membeli ayam. I Wayan Lojor dan I Ketut Mrenying menyantap secukupnya, karena ternyata ia sama dengan ayahnya bahwa daging ayam tersebut kurang begitu enak rasanya dan dagingnya tidak begitu kenyal.

Kini diceritakan mereka semua telah selesai makan. Namun ada suatu yang terasa dalam diri mereka. I Wayan Lojor, I Ketut Mrenying beserta ibunya Luh Sengkek dan Made Likas merasakan perutnya terasa tidak enak. Perutnya terasa bengka (kembung bercampur mules) namun ketika ke belakang, tak keluar apa-apa. Kemudian dari kulit mereka berangsur-angsur keluar bintik-bintik merah yang menyebar ke seluruh tubuh dan semakin lama semakin terasa gatal. Tubuh mereka terasa gatal, kemerahan, ditambah dengan perutnya serba tak enak, tak tahu sebabnya. Mereka tak tahu apa yang harus dilakukan, berobat ke mana.

Waktu itu sudah sore hari, tiba-tiba ada seorang keponakannya yang bernama I Nyoman Sangkap datang iseng berkunjung. Ia mendapati mereka sedang menderita gatal dan tak enak perut. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba I Nyoman Sangkap kerauhan di natah rumah Made Likas. Sontak saja tetangga pada keluar semuanya. Dalam kerauhan tersebut dikatakan bahwa Ida Betara Hyang Guru dari Made Likas tedun untuk memberitahukan kepada mereka bahwa penyakit yang ia derita tersebut adalah penyakit yang disebabkan oleh ayam yang ia dapatkan di jalan tadi pagi. Sebab ayam tersebut bukanlah ayam biasa tetapi ayam tersebut telah dipakai untuk mengobati seseorang yang kena penyakit, dipakai untuk melepas wisya (penyakit mejik).

Untuk menyembuhkan penyakit itu, agar segera ditunasi tirtha di merajan. Demikian baos saudaranya yang kerauhan tersebut. Atas bantuan dari saudara-saudaranya, ia pun ditunasi tirta dan setelah itu dalam sekejap rasa tidak enak di perutnya segera hilang dan kemerahan pada kulit serta rasa gatalnya berangsur hilang. Mereka sekeluarga menyesali dirinya yang telah makan ayam gratis ditabrak motor. Pantesan rasa ayam tersebut tak seenak rasa daging ayam biasanya. Demikian dalam pikiran mereka.

Keesokan harinya setelah sembuh dari petaka wisya itu, Made Likas datang ke seorang yang mengerti dengan hal niskala yakni Guru Made Lemuh Magoleran. Made Likas menceritakan peristiwa yang dialaminya. Kemudian Guru Made Lemuh Magoleran berkata “memang kita harus berhati-hati dengan segala sesuatu yang terjadi di luar pekarangan rumah atau di marga agung apalagi di perempatan agung. Kita harus berhati-hati memunggut barang yang bukan milik kita, walaupun tak ada yang mengaku memilikinya. Seperti kasus ini. Bisa saja ayam tersebut adalah ayam yang kemarinnya digunakan untuk pengobatan penyakit tertentu yang berbau mejik. Artinya sang balian menggunakan ayam tersebut sebagai sarana untuk melepaskan wisya (penyakit mejik) untuk dinetralisir atau dikembalikan ke alam raya, dengan cara ayam tersebut dilepas di marga agung atau di perempatam agung. Ayam tersebut mungkin digunakan untuk memindahkan penyakit seseorang ketika kajeng kliwon yang baru lewat dua hari yang lalu. Selain ayam sering juga kita dengar menggunakan sarana seperti telur atau binatang lain selain ayam.

Memang secara kasat mata kita tak dapat membedakan mana ayam yang telah dipakai sarana dan mana yang tidak. Karena semuanya sama dan tak ada perubahan secara fisik dari binatang tersebut. Namun untuk tidak terkena kasus seperti apa yang terjadi pada diri Made Likas sekeluarga, sebaiknya kita tak memunggut atau tak mengambil barang yang bukan milik kita atau tak memunggut barang yang tak kita ketahui asal usulnya” Demikian Guru Made Lemuh Magoleran memberikan penjelasan mengenai kasus yang menimpa Made Likas sekeluarga.

Jadi maksud hati mendapatkan kebahagiaan dan kesenangan, justru mendapatkan penyakit atau kesusahan. Inilah yang disebut dengan Merta Matemahan Wisya.

Keesokan harinya, Tut Gendot, teman karib dari I Made Likas datang ke rumahnya utnuk menjenguk Made Likas yang kena terkena wisya secara tak sengaja. Setelah bersenda gurau, Tut Gendot berkata “to be upah sing ngejot-ngejot”. Maksudnya adalah dapat rejeki tak dibagi-bagi.

Namun selain itu Tut Gendot juga mengingatkan bahwa ia pernah mendengar dari orang-orang bahwa untuk memunggut sesuatu di jalan yang tak ada pemiliknya, sebaiknya ngejot sedikit dulu apabila itu itu berupa makanan. Seperti ayam ini, semestinya ketika baru lebeng (matang) ngejot sedikit ke lebuh atau di tempat terbuka yang tujuannya untuk mengembalikan hal-hal yang buruk pada benda itu ke marga agung (alam raya), sekaligus mohon ampun dan permakluman bahwa sudah memunggut barang yang bukan miliknya untuk dimakan, agar tak terkena wisya atau kekuatan buruk dari barang yang dipunggut tersebut. Sama halnya ketika seseorang mendapatkan sebuah cincin emas di jalan, sebaiknya ditempat munggut cincin emas tersebut ditaruh beberapa rupiah uang, sebagai simbolis membayar emas tersebut. Disamping itu juga sebagai penyupatan, siapa tahu barang tersebut mengandung wisya atau kekuatan negatif yang dapat membahayakan orang yang memunggut barang tersebut.

Kisah ini diceritakan oleh I Made Ardi Denpasar Utara, dengan menyamarkan nama pelakunya dengan nama-nama cekian.














Friday, February 13, 2015

I LOCONG nonton JOGED CABUL




 “Tidak lebih hanyalah sebuah penghinaan terhadap warisan leluhur. Sebuah penistaan terhadap seni joged itu sendiri. Sebuah penjerumusan budi pekerti dan susila ke jurang yang kelam. Hanya semata untuk mencari keuntungan, laris pentas, dan ujung-ujungnya duit. Tidak lebih dari itu. Sebuah seni yang telah dilatarbelakangi oleh nafsu birahi”.

I Locong memang orang kampungan, walau lahir di kota, namun sama sekali ia tidak mencerminkan selera sebagai orang kota. Ia tidak suka dengan glamornya kota dengan berbagai hiruk-pikuknya. Di depan rumahnya banyak orang yang main gitar, main musik, namun ia sama sekalai tidak tertarik. Televisi setiap hari menayangkan hiburan musik modern. Ia pun kurang begitu interes. Ia lebih suka musik tradisonal Bali. Drama gong, arja, prembon, calonarang, wayang, sendratari, tari lepas, joged, dan lain-lain. Inilah I Locong dengan selera asli Bali.
Bercerita tentang jogged kesenangannya. Suatu malam I Locong datang menonton pertunjukkan jogged yang berasal dari daerah sekitar Badung, dengan penarinya yang cantik dan mungil. Banyak orang berlomba untuk dapat ngibing. I Locong sendiri menonton, tetapi ia tidak suka ngibing. Ia hanya senang melihat tarian dan melihat si pengibing jogged. Senang hatinya melihat lenggokan dan lirikan penari joged yang mempesona, ditambah genitnya para lelaki yang ngebet saat ngibing. Semuanya masih dalam batas-batas kewajaran. Si penari jogged dengan gaya yang khas, beraksi secara santun ketika mengalami desakan dari para pengibing. Demikian pula si pengibing dengan kelihaiannnya untuk menggapai si penari jogged yang lincah. Adegan yang demikian menjadi sangat menarik dan mengesankan. Benar-benar sebuah pertunjukkan seni yang berpadu dengan gairah asmara, kalau diceritakan. Si Locong pun senang hatinya menonton, dan pulang dengan perasaan lega. Bagaikan wareg tanpa neda.
Suatu malam kemudian I Locong kembali mendengar bahwa di sebuah banjar ada pertunjukkan jogged bumbung. Konon sekaa jogednya berasal dari daerah bagian utara pulau Bali. Ia pun senang mendengarnya, sekaligus ingin menyaksikan kepiawaian para penari jogged Bali Utara tersebut. I Locong berangkat dengan semangat, dengan seorang temannya bernama I Bracuk, orangnya memang bracuk dan sedikit urakan. I Locong di bonceng oleh I Bracuk. Sesampai di banjar tersebut, joged pun mulai. Sempat ia melihat ke belakang panggung. Tampak para penari joged mungil-mungil dengan perawakan yang aduhai, dengan paras yang cantik. I Locong berpikir, pastilah sangat mengesankan pertunjukkan joged kali ini.
Joged bumbung Bali Utara dimulai. Penonton merapat, para pengibing sudah sedikit sumringah ingin ngibing. Joged pertama keluar dengan tarian yang sedikit lebih erotis dibandingkan jogged yang pernah ditonton I Locong. Semuanya masih wajar-wajar saja. Mungkin ini adalah ciri khas dari jogged dari daerah tersebut. Kemudian muncul jogged yang kedua, dengan penari yang lebih mungil. Pandangan matanya tajam dan genit, gerakannya lincah. Para pengibing sangat bernafsu dan berebut untuk tampil. I Locong memandang dengan penuh gembira dan semangat. Dan ketika sang penari jogged melakukan atraksi ngebor (I Locong belum pernah melihat sebelumnya),  ia sempat tertawa dan tepuk tangan. Atraksi ngebor si penari jogged tersebut kemudin mengundang gairah para pengibing. Beradu ketangkasan si pengibing dengan kelihaian penari jogged.
Suatu ketika lantas I Locong sangat terkejut menyaksikannya. Karena tiba-tiba si penari jogged menyerahkan pinggulnya dan digoyang habis-habisan di depan pinggang si pengibing. Si pengibingpun dengan semangat menerkan suguhan ikan segar yang ada di hadapannya. Si pengibing merangkul pinggul penari joged dan menggoyangkan kedua pinggang mereka di atas panggung. Belum habis sampai di sana, si penari jogged kemudian mengangkat kaki dan pahanya tinggi-tinggi dan dililitkan dibelakang punggung si pengibing, dan terjadilah sebuah adegan yang tidak senonoh berlebihan di atas panggung. Belum lagi aksi dari seorang penari jogged yang merangsang si pengibing dengan mengangkat kamennya tinggi-tinggi sehingga kelihatan apa yang semestinya disembunyikan. Terjadilah sebuah pertunjukkan yang mengumbar birahi di atas panggung. Si lelaki pengibing, memang senang dengan yang begitu. Semalaman diajak menari model begitu ia akan mau.
Namun I Locong yang menyaksikan jaged seperti itu menjadi terkejut dan sangat menyesal bercampur sedih. Mengapa joged yang semata-mata adalah seni dijerumuskan ke dalam pakem yang tidak senonoh seperti itu. Ini bukanlah sebuah pertunjukan joged. Tapi sebuah tari pengumbar birahi. Kalau boleh di bilang, “ ini jogged bumbung ataukah Lon..... berpakain jogged (maaf kalau terlalu ketus)“. Demikian I Locong dengan penuh kesal dan sedikit marah. Ia segera meninggalkan arena pertunjukan.
Dengan kekesalannya, ia mengeluarkan unek-uneknya di jalan. “Masak joged sekarangs seperti itu. Dulu joged adalah tari pergaulan antara anak muda dengan para gadis. Semuanya masih dalam tahap wajar, bersikap santun, dengan etika susila dan budi pekerti yang luhur. Ditambah dengan nilai seni serta pakem yang jelas tentang sebuah seni pertunjukkan. Tapi apa yang kita tonton tadi, tidak lebih hanyalah sebuah penghinaan terhadap warisan leluhur. Sebuah penistaan terhadap seni jogged itu sendiri. Sebuah penjerumusan budi pekerti dan susila ke jurang yang kelam. Hanya semata untuk mencari keuntungan, laris pentas, dan ujung-ujungnya duit. Tidak lebih dari itu. Sebuah seni yang telah dilatarbelakangi oleh nafsu birahi”.
Demikian I Locong ngemigmig di jalan ketika dibonceng pulang oleh I Bracuk. Dan ketika itu pula I Locong bertanya kepada I Bracuk. “Menurut kamu bagaimana jogged tadi itu Cuk ?” “ Beehh kalau aku Cong, aku suka sekali dengan pertunjukkan seperti itu. Apalagi ada megulet glalang gliling. Itu memang kesukaanku. Cuman yaah janganlah di atas panggung. Malu kan, dan tidak etis. Seni Bali yang luhur dinistakan seperti itu, justru oleh kita sendiri. Jangan-jangan leluhur kita yang ada di kedituan sedang menangis menyaksikan keturunannya yang telah melecehkan seni jogged yang diwariskan kepada kita. Kan begitu Cong ?.
I Locong mengangguk tanda setuju. Dan ia bangga dengan I Bracuk, walau tampangnya metal dan urakan, tapi masih menyimpan rasa seni (estetika) dan susila  (etika).
( Kanduk)

I Joblar Nonton Wayang Joblar




           Jauh hari sudah terdengar kabar bahwa ada sekaa wayang kulit yang sedang naik daun akan mentas di Denpasar. Konon, sekaa wayang tersebut benama Wayang Joblar, yang sedang digandrungi oleh masyarakat. Kabar itu didengar pula oleh I Made Joblar, adiknya I Wayan  Jablir. Karena namanya kebetulan sama, maka I Made Joblar sangat berkeinginan nonton wayang tersebut. I Made Joblar seorang penggemar wayang kulit. Ia paham dengan cerita dan pakem-pakem wayang, baik itu Ramayana, Mahabarata, ataupun cerita Calonarang.

            Pada hari itu I Made Joblar mempersiapkan diri dahulu. Ia tidur siang, padahal tidak biasa dilakukannya. Kemudian, menjelang malam ia ngopi agar tidak ngantuk ketika menonton nanti. Padahal ia biasanya ngopi di pagi hari saja. Begitulah I Made Joblar bersemangat nonton Wayang Joblar.
            Kini tibalah malam yang ditunggu-tunggu oleh I Made Joblar di wantilan pura. I Joblar tidak melihat ada persiapan sebagaimana biasanya sebuah pertunjukan wayang. Yang ada hanyalah taban atau dipan. Made Joblar jadi ragu, apa benar ada wayang Joblar.  Dalam keraguannya, tampak sebuah truk datang dengan segala perlengkapan. Rombongan tersebut memasang rangki wayang sangat jauh berbeda dari apa yang pernah dilihat oleh Made Joblar. Tempat kelir dan gedebong-nya dibawa sendiri, kemudian dirakit di tempat secara knock down. Berbagai macam alat-alat elektronik tampak dipersiapkan, dengan kabel-kabel berbagai macam ukuran. I Made Joblar tak melihat ada blencong atau damar wayang digantung. Ia hanya melihat beberapa buah lampu dipasang di atas kedudukan sang dalang, dan samping kanan serta kiri. Ada sebuah lampu ngeleb atau lepas. Di hadapan sang dalang ada seperangkat knop (tombol) dan saklar yang entah apa gunanya, belum diketahui oleh I Made Joblar.
            Setelah perangkat itu dipasang, baru kemudian muncul rombongan kedua yakni sekaa gambelan beserta dengan penabuhnya. I Made Joblar melihat ada sebuah piano di sana dan seorang perempuan muda cantik. I Joblar menjadi semakin bingung dan sedikit usil. “Mungkin ini istri sang dalang,” demikian pikirannya.
            Berikutnya, barulah muncul keropak wayang dan sang dalang. Pertunjukan wayang dimulai dengan tabuh petegak yang atraktif dan mendapatkan sambutan hangat dari penonton. I Joblar ketika itu diam saja, karena masih bingung dengan apa yang dilihatnya. Lampu-lampu sudah mulai diaktifkan yang konon katanya itu adalah laser berteknologi canggih. Blencong kecil atau damar diletakkan di atas lampu, ukurannya kecil dengan nyala sekadarnya saja, karena peran blencong telah digantikan dengan laser. Mungkin sang dalang tak mau menghapuskan blencong.
            Pertunjukan menjadi atraktif ketika wayang mulai dimainkan oleh sang dalang. Dengan memainkan lampu laser, memainkan dua buah kekayon dan dua buah gunungan layaknya wayang Jawa, diiringi tabuh bleganjur, alunan suara dalang menggema melalui sound system canggih. Lagi-lagi I Made Joblar terkejut, karena cewek cantik yang ia sangka istri sang dalang, ternyata menyanyi sebagai gerong atau sinden. I Made Joblar berkata dalam hati, “Oh, rupanya sang dalang mengikuti wayang kulit Jawa.”
            Lagu-lagu Bali yang menjadi trend di masyarakat saat ini bersahutan antara dalang dan gerong, diiringi musik piano yang dimainkan oleh seorang tuna netra. Perpaduannya menjadikan pertunjukan wayang semakin variatif.  
            Seperti biasa, I Made Joblar ingin mengetahui cerita wayang dari bebaosan yang dilakukan setelah wayang megunem. Namun, semuanya terlewatkan dan tertutupi oleh kehebohan pertunjukan. Tiba-tiba muncul sepasang parekan yang bernama Nang Klenceng dan Nang Eblong. Percakapan inilah yang ditunggu-tunggu oleh penonton, karena penuh dengan kekocakan yang menjurus ke hal-hal konyol, kritis, dan lebih sering porno.
            Wayang Joblar seringkali memunculkan adegan atraktif dari para bala-bala bojog dengan berbagai macam atraksi yang lincah dan sering menjurus ke hal porno. Yang sering terjadi adalah pengarahan cerita ke sunyaloka dengan menmpilkan sosok Sang Suratma yang muncul dengan gaya khas dan kocak, berdialog dengan para atma dengan berbagai macam karakter. Ini juga yang sangat disenangi oleh penonton.
            Tokoh sang raja hanya muncul sebentar, kemudian muncul punakawan Merdah dan Tualen. Kedua punakawan ini juga mengeluarkan banyolan-banyolan segar, yang membuat I Made Joblar dan juga penonton lainnya terpingkal-pingkal. Muncul lagi sosok wayang yang bernama I Joblar sebagai masyarakat biasa dalam cerita tersebut dengan segala kekonyolannya. Digambarkan, I Joblar adalah seorang lelaki berperawakan besar, mulut lebar, kepala lengar, dan konyol, sekaligus banyol. Tokoh inilah yang menjadi maskot wayang tersebut sehingga ia disebut dengan Wayang Joblar. Seperti pendahulunya yakni Wayang Ceng Blong yang terkenal dengan dua punakawan yang bernama Nang Klenceng dan Nang Eblong.
            Ketika babak cerita berganti ke Alengka, muncul punakawan Sangut Delem. Dengan  keangkuhan I Delem dan kecerdikan I Sangut, dengan humor yang segar, menggelitik, dan tetap ada unsur sedikit jaruh untuk mengundang gairah penonton agar bersemangat. Ketika cerita mencapai puncaknya yakni perseteruan antara rwang ngawan dan rwang ngebot, maka gambelan pun menjadi semakin ramai, dengan berbagai atraksi ceceng kopiak dan kendang sehingga gemuruh perang menjadi ramai.  
            Ketika cerita wayang usai, ternyata pertunjukan Wayang Joblar belum selesai. Sang dalang menghibur penonton dengan pertunjukan lagu dangdut diiringi musik piano serta kombinasi kendang dan gambelan. Memang pertunjukan menjadi ramai seiring dengan alunan suara si sinden. Di layar kelir tampil sosok wayang wanita dengan body seksi sedang menggoyangkan pinggul sambil angkuk-angkuk. Yang lebih seronok lagi ketika I Sangut ikut berjoged sambil mencium bokong penari seksi dalam wayang tersebut. Setelah menyanyikan beberapa buah lagu, pertunjukan pun berakhir. Sang dalang dan krunya berkemas pulang. Tentunya setelah urusan sesari sudah beres.
            Sekarang, bagaimana dengan I Made Joblar yang sedari tadi terheran-heran melihat pertunjukan tersebut? Ketika itu I Blego berkata, “Buaahhhh, ne mara dalang hebaaattt! Ne mara wayang luwung adane, wayangne lucu, gambelane bervariasi. Menurutmu bagaimana, Blar (I Made Joblar)?” “Kalau menurutku, leluconnya memang segar dan sangat lucu sekali. Aku jadi tidak terasa ngantuk. Mungkin ini yang disenangi oleh masyarakat sekarang,” sahut I Joblar.
            “Aku suka pertunjukan ini, cuman aku akan menjadi semakin senang kalau pakem pewayangan dijalankan sebagaimana mestinya serta tidak dikaburkan. Kapan saatnya megunem, kapan saatnya ngeraos, kapan saatnya pengrahina, dan yang penting lagi adalah kesinambungan cerita. Maksudku begini, kalau hanya mengandalkan lelucon saja, maka lama-kelamaan penonton akan menjadi semakin bodoh, karena tidak mengetahui dasar cerita Ramayana atau Mahabarata. Ia hanya tahu dan menunggu lelucon segar dari sang dalang. Padahal, wayang itu sendiri adalah media penyuluhan dan media untuk penyampaian kisah luhur Mahabarata dan Ramayana untuk menyampaikan ajaran Weda kepada umat manusia.”
            “Kalau nantinya hanya didominasi atau mengandalkan lelucon saja, maka aku khawatir wayang kulit nanti tidak ada bedanya dengan lawakan biasa. Sekarang memang masyarakat gandrung, tetapi nanti akan menjadi campah sendiri. Dan wayang akan kehilangan karakteristiknya dan juga dunianya. Siapa yang mengira kalau drama gong yang dulunya digandrungi, kini tenggelam? Siapa menyangka arja muani yang kocak mengocok perut, kini telah sriat-sriut membosankan? Tidakkah wayang kulit yang serba modern setengah tradisional ini akan bernasib seperti itu?”tutur I Joblar panjang lebar.  Entahlahhhhhhhhh…… I Made Joblar yang fanatik akan wayang kulit tetap berharap pakem pewayangan tidak ditinggalkan, tetapi ia juga tidak melarang sang dalang berkreasi. I Made Joblar pulang dengan penuh kebingungan. Karena saking bingungnya sendiri, akhirnya ia berkata,  To ngudiang awak pusing pedidi, apa kal maan……….?”
(Kanduk and Joblar).


Monday, February 9, 2015

Ngencit





Memasang Pekakas Anti Leak

Kalau boleh cerita tentang orang, kayaknya pengalaman I Gede Lubak Injin ini layak untuk diceritakan kepada orang banyak. Tujuannya bukan untuk membeberkan kejelekan atau menertawakan orang yang kena musibah, namun hanya untuk mengingatkan kepada orang lain agar tak gegabah dalam bertindak. Ceritanya begini:
Pada suatu hari I Made Sontoloyo Mabet Siteng yang memang loyo duduk-duduk di bale banjar ditemani oleh I Wayan Kuat Bin Kenyat. Sambil ngopi mereka berdua membicarakan masalah pohon beringin yang baru saja ditebang di jaba pura. I Made Sontoloyo Mabet Siteng memang sedikit prihatin dengan dengan ulah prejuru yang hanya bisa menebang pohon, tetapi tak pernah menanam. Padahal sudah jelas-jelas pohon itu tak mengganggu dan diyakini pula bahwa pohon itu linggih Ida Melanting. Namun dengan gagah berani si prejuru itu memutuskan untuk menebang pohon tersebut yang sudah memberikan kesejukan di halaman pura sejak ratusan tahun silam.
Sungguh sayang memang hal itu terjadi, tanpa ada yang berani untuk melarang atau menghentikannya. Demikian penyesalan mereka berdua di bale banjar, sambil mereka mencoba untuk berbuat sesuatu demi keajegan tanah kelahirannya dan terpeliharanya aura taksu di tanah kelahirannya.
Sedang asiknya mereka berbicara berdua, tiba-tiba datang I Gede Lubak Injin menghampiri mereka. Sontoloyo bersama I Kuat mesem-mesem saja melihat kedatangan temannya yang bernama I Gede Lubak Injin itu. Ia yang memang aeng dan medengen. Maksudnya bikin serem dan angker tapi kadangkala menimbulkan keheranan sekaligus kelucuan bagi yang melihat. Bagaimana tidak, I Lubak Injin berbadan cukup tinggi, rambutnya panjang megambahan diikat dengan karet berisi manik-manikan. Lehernya berlilitkan kalung emas berisi caling macan yang konon sebagai penolak bala. Tangannya melingkar gelang kayu uli berkepala Naga Besuki di kanan, dan di kiri melingkar gelang perak berisiskan kombinasi antara permata dan pis bolong sebagai pengraksa jiwa atau jimat penjaga nyawa. Yang sudah umum adalah di bagain jari tangannya berderet tiga buah cincin berwarna merah, hitam, dan putih yang konon sebagai pemberian dari Ida Betara Segara, Betara di Gunung dan Ida Betara  di salah satu pura tenget di Bali, yang fungsinya juga sebagai pelindung jiwa raga. Kayaknya dengan barang itu saja, yang namanya kekuatan sihir, yang namanya tonya tak berani mendekat. Yang namanya leak desti dalam radius sepuluh meter sudah terbakar oleh benda-benda aeng yang dipakainya itu.
Ternyata tak cukup di sana, I Sontoloyo masih menyaksikan kehebatan sekaligus keanehan dari I Gede Lubak Injin, yakni di belahan dada kirinya terpampang rerajahan berupa telapak kaki yang konon adalah sebagai penunggalan dari Bapa Akasa dan Ibu Pertiwi untuk memberikan perlindungan kepada orang tersebut. Belum lagi kalau diraba sabuk atau pinggangnya, pastilah tak rata alias gluntuk-gluntuk yang menandakan bahwa I Gede Lubak Injin mengenakan sesabukan yang berisi banyak bebuntilan, sebagai penolak bala.
Ketika itu I Made Sontoloyo dan I Wayan Kuat terkejut mendengar jeritan “Leaaaaaakkkkkkk…. Leeaaaaaaakkkkkkk, Weeeeeheheheheheheheh……”. Ternyata itu adalah nada panggil Handphone I Gede Lubak Injin. HP-nya juga berisi rerajahan rangda aeng. Pokoknya I Made Sontoloyo dan I Wayan Kuat dalam hatinya geleng-geleng kepala melihat penampilan I Gede Lubak Injin, seolah-olah kebal, sakti tak bisa mati.
          Berceritalah I Gede Lubak Injin kepada mereka berdua, namun sebelumnya ia berteriak ke warung agar dihidangkan susu bercampur jeruk nipis. Maksudnya susu untuk sumber protein dan tenaga, sedangkan jeruk adalah untuk menjaga vitalitas tubuhnya. Demikian pengertiannya.
Lubak Injin dengan berapi-api bercerita tentang dirinya kemarin malam ikut terlibat dalam ngerehang Ida Ratu Ayu di desa anu. HaI ini atas permintaan temannya. Konon ceritanya heboh sekali, sampai-sampai ia sendiri hampir terkena imbas dari orang yang mencoba bermain ilmu hitam dalam acara ngereh tersebut. Namun berkat kekuatan dan kesaktian jimat-jimat yang ia miliki ini, semuanya menjadi berjalan dengan baik dan selamat.
Ia juga bercerita mengenai dirinya yang sudah beberapa hari mengobati banyak orang terkena serangan mejik, semuanya sudah ia sapu bersih alias sudah tak ada lagi leak yang mengganggu. Demikian I Lubak Injin bercerita tanpa memberi kesempatan berkomentar kepada temannya berdua. Lalu I Lubak Injin dengan gagah ke warung membayar susu jeruk nipisnya yang telah ia ceret, lalu hilang.
I Sontoloyo berkata “dasar I Krosokan tersebut sing taen nduk. Jeg cara paling sakti gen….”. Kini diceritakan I Gede Lubak Injin perjalanannya menuju pulang. Ia berpapasan dengan Ni Komang Puspitasari Dewi  Bulan Kencana yang lebih sering dipanggil Men Buyar yang sedang menggendong cucunya. Men Buyar ketika itu penampilannya sangat “seksi”. Ia hanya memakai sehelai handuk yang menutupi buah dadanya yang sedikit ngelenteng dan peset. Ia sempat menyapa I Gede Lubak Injin. Ia pun menyapa seadanya. Sebab menurut radar niskala I Gede Lubak Injin, konon Men Buyar alias Ni Komang Puspitasari Dewi Bulan Kencana adalah “jelema bisa” (bisa ngeleak).
Berpapasan dengan Ni Komang Puspita, I Gede Lubak Injin mengaktifkan radarnya semua, kalau seandainya Men Buyar macam-macam, agar terbakar oleh kekuatan dan kesaktian jimat yang ia miliki.
Ternyata setelah berlalu keadaan dinilai aman.
Setelah sampai di rumah, I Gede Lubak Injin akan mandi sedikit untuk menghilangkan rasa gerah badannya. Sebelum mandi ia merokok sebatang. Namun setelah habis sebatang, ia merasakan ada sesuatu yang tak enak menekan perutnya. Perutnya terasa mules. Semakin ditahan semakin terasa mulesanya, sampai akhirnya ia bergegas menuju ke kamar mandi, dan benar saja, ternyata “lancar” alias “mencret”
          Segera ia mengambil obat berupa minyak yang diberi oleh kak balian yang juga gurunya di Gunung Kaja.  Di minumnya sesuai dengan anjuran. Reda sejenak, namun sebentarnya lagi mules, lagi ia ke kamar mandi, lagi “lancar”. Diambilnya kemudian semua gegemet yang ia punyai dengan harapan untuk mengurangi pengaruh penyakit ngencit pada dirinya. Reda sejenak, I Gede Lubak Injin mulai berpikir, jangan-jangan ini serangan dari Men Buyar yang ia sapa tadi. Ia mulai mengumpat dalam hatinya. “Nah jani sube lawan gegemet wake ne” (ini lawan jimatku sekarang). Ia mulai mengaktifkan jimatnya itu. Namun apa yang terjadi? semakin lama kok semakin terasa mulesnya. Kembali ia menuju kamar kecil, sambil mengumpat kembali. “Sakit gede….. Men Buyar, tunggu pembalasanku”.
Setelah beberapa lama bolak balik ke kamar kecil sambil meminum loloh yang ia buat sendiri sesuai dengan anjuran sang gurunya, lalu datanglah istrinya yang bernama Ni Putu Jegeg Ayu Candra Warashati, alias Men Bro, sebab ia punya anak bernama I Gede Brongot. “Kenapa Beli, seperti ada yang tak beres?”
“Tolong ambilkan aku minyak yang ada di atas tempat tidur yang berwarna hitam. Perutku mules sekali”
Bolak-balik ia masuk ke kamar mandi crit….. keluar sedikit, udah itu setop. Criittt…. Lagi, setop lagi. Demikian seterusnya. Ia sudah memvonis Men Buyar yang menyebabkan ia ngencit seperti ini. Pada malam hari tiba ia membentengi dirinya dengan berbagai macam penolak bala di rumahnya. Dalam situasi kecrat kecrit ngencit I Gede Lubak Injin membangun pertahahan di rumahnya. Ia memasang pandan berduri di rumahnya diisi dengan pis bolong, kesuna jangu, colek pamor tampak dara sekaligus juga duri-duri beserta dengan lengis celeng. Siapa tahu Men Buyar yang dicurigainya itu menggunakan “ilmu dauh tukad”. Ia juga memasang klangsah sedikit di rumahnya sebagai benteng agar kekuatan leak desti tak bisa masuk. Pokoknya kalau urusan niskala, semua celah masuk sudah tertutup.
Barulah I Gede Lubak Injin merasa aman. Namun pas tengah malam ia mulai merasa tak enak. Ada yang mengungkit-ngungkit perutnya, lalu mules. Kembali ia bolak balik ke kamar mandi malam-malam. Sampai-sampai istrinya mulai berpikir untuk menemui gurunya yang ada jauh di sana. Besok pagi, dengan berbekal tisu, ia berangkat ke rumah gurunya untuk menanyakan dirinya yang diserang “leak ngencit”. Gurunya memeriksa dan mengatakan bahwa mencret yang tak kunjung sembuh tersebut disebabkan karena ada serangan dari seseorang yang ditemukan di jalan.  Orang tersebut tak pakai baju, agak putih, dan baunya asam. Demikian hasil terawang dari gurunya yang dianggap sakti dan dikaguminya.
Mendengar semua itu akhirnya I Gede Lubak Injin sudah memastikan bahwa Men Buyar pelakunya. Sebab tadi ia tak pakai baju, kulitnya memang agak putih, tetapi bau badannya agak asam karena sedikit kumal. Ia kemudian meminta sarana kepada gurunya untuk melawan sekaligus menggempur Men Buyar agar nyeleketek dan ngeseksek (semaput mampus).
Setelah beberapa hari I Gede Lubak Injin tak keluar rumah karena terganggu oleh ngencitnya itu, tiba-tiba datang adik misannya yang bernama I Nyoman Sepan Kedropon dan menyaksikan wajah I Gede Lubak Injin yang layu dudus (pucat pasi). Ada apa kau Bak? Demikian Nyoman Sepan bertanya kepada I Lubak. Maka diceritakanlah awal mula sampai akhir.
Namun mendengar perilaku kakaknya, ia curiga jangan-jangan ini bukan masalah mistik. Ia berpikir bebelogan saja, sebab sekarang gumi sudah maju. Maka ia memutuskan untuk membeli pil obat mencret di warung Dek Gus. Sekali diminum, dalam waktu satu jam, ngencit-nya sudah stop seketika. “Alangkah manjurnya obat yang kau miliki. Darimana kau dapat obat ini. Balian siapa yang memberi. Atau sejak kapan engkau belajar pengobatan menjadi balian?”
Jawab Nyoman Sepan Kedropon “Peh sajan jelema otak leak. Sedikit dikit leak. Dikit-dikit balian” Sambil tersenyum I Nyoman Sepan melengkapi jawabannya “Balian yang memberi obat namanya Dek Gus. Ia buka warung di sebelah. Obatnya bernama “pil stopcret” alias pil obat mencret. Harganya seribu rupiah”. Dasar jelema otak leak, pikirannya cuman berisi leak, desti, balian dan gegemet. Nyoman Kedropon kembali menyambung “Obat ini aku beli di warung harganya seribu rupiah. Kau ini ngencit bukan amah leak, kau mencret biasa”
Dalam keadaan demikian datanglah I Wayan Kuat dan I Sontoloyo, menengok temannya yang terserang “leak ngencit” selama seminggu. I Sontoloyo berkata “aku sangat yakin kalau leak yang menyerang kamu itu bernama “leak susu jeruk”. Sepertinya itu yang membuat engkau mencret. Sebab aku dulu pernah minum susu dicampur jeruk nipis, dan langsung mencret. Aku suah sempat tanya ke dokter katanya disebabkan oleh reaksi asam dengan susu. Dan bisa juga akibat gejala lactosa intoleran (perut tak bisa menerima susu) sehingga mencret”. I Sontoloyo lagi menambahkan “Artinya ramalan gurumu bahwa mencretnya akibat orang yang berkulit putih tak berpakaian itu benar. Maksudnya putih tersebut adalah susu dan tak berbaju adalah gelasnya. Sedangkan baunya agak asam adalah jeruk nipisnya. Kau bertemu di jalan itu juga betul, sebab susu yang engkau minum tadi engkau beli tadi di warung”
“Waduh benar sekali katamu, cuman aku salah menafsirkan tenung dari guruku. Cuman yang jadi masalah adalah aku udah kadung mesesangi, “kalau mencretku ini sembuh aku akan memberikan guling kepada siapa saja yang dapat menyediakan obat”
Akhirnya ia menyanggupi sesangi-nya dengan membeli seekor guling dan diberikan kepada sepupunya I Nyoman Sepan Kedropon. Ia membawa guling ke rumahnya dan I Nyoman pun kaget. Dan setelah dijelaskan I Nyoman Kedropon dapat menerimanya. Guling itupun dipakai pesta oleh I Nyoman dan teman-temannya pada malam itu juga. Mereka bergembira karena dengan modal cuman beli obat mencret seribu rupiah, bisa dapat guling seharga lima ratus ribu. Ia kemudian membeli minuman, bir, anggur, dan segala minuman dicampur. Sampai guling itu habis tengah malam. Pesta pun usai, semuanya tertidur pulas kebetekan alias kekenyangan.
Pada keesokan harinya, I Kuat, I Nyoman Kedropon, I Made Sontoloyo, dan beberapa  temannya secara tak sengaja ketemu di warung Dek Gus. Semua serentak membeli “stop cret” alias obat mencret. “lho kok semua beli obat mencret?” demikian Dek Gus keheranan. Mereka semua berbisik mengatakan dirinya mencret-mencret. Tak sengaja pula mereka bertemu dengan I Gede Lubak Injin yang sudah sehat. Mereka semua segera bubar. Cuman I Lubak bertanya kepada Dek Gus “ada apa gerangan mereka berkumpul pagi-pagi, tidak seperti biasanya?” Dek Jung pun bercerita sejujurnya.
Tiba-tiba saja I Lubak Injin tertawa ngakak….. waa haa haa…. Rupanya gantian. Mereka terserang “leak ngencit”. Leak yang menyerangnya bernama “leak be guling campur bir” haaaaahahahaaaaa……