Thursday, September 29, 2016

KAWASAN ANGKER ROWO BAYU dan PEKERTI LELUHUR.



 Dari sosok gaib Nyai Resek, Eyang Resi Sumilir, Macan Gading & Ireng, Pertapaan Raja Tawangalun, Candi Agung Macan Putih, Watu Lawang, Padmasana, dan Pura Tirto Jati

kanduksupatra.blogspot.com. “Berbakti kepada leluhur adalah Paramodharmah, yakni salah satu kewajiban yang utama”.

Kejadian alam kerapkali dimaknai turunnya sebuah pesan ilahi kepada umat manusia, seperti gempa bumi, gunung meletus, atau pertanda alam lainnya. Kearifan budhi pekerti leluhur nusantara mampu memaknai pertanda alam tersebut. Sebuah keyakinan sederhana, keyakinan kuno nusantara yang memuliakan alam. Dari sini kita akan mulai bercerita.
Setelah gemuruh letusan Gunung Raung di Banyuwangi mereda, serombongan umat pada bulan Purnama Ketiga tahun 2015 bergegas menuju lereng Gunung Raung, di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur. Perjalanan ditempuh melalui Kota Banyuwangi ke selatan menuju pasar Rogojampi, belok kanan, sekitar 15 km menuju kawasan Wana Wisata Rowo Bayu.
Ketika sampai di sana, daun daun masih diselimuti abu vulkanik letusan Gunung Raung. Kawasan ini merupakan hutan lindung yang ditumbuhi pohon pinus. Terdapat rembesan air Gunung Raung yang membentuk sebuah danau kecil yang disebut Rowo. Karena letaknya di desa Bayu maka disebut Rowo Bayu. Kawasan yang indah dan sejuk ini menyimpan banyak misteri terkait sejarah Blambangan. Kawasan ini sangat angker dengan aura mistik yang kental. Bagaimana tidak, di tempat ini sejak jaman dahulu sampai sekarang banyak dikunjungi oleh para penekun spiritual. Apa saja yang ada di sana?
Dengan diantar oleh seorang sesepuh Hindu di desa Bayu yakni Romo Mangku Saji, rombongan menelusuri kawasan ini. Mulai dari sisi sebelah selatan yakni pengapit lawang menelusuri ke arah barat telaga terdapat sebuah sumber air yang disebut dengan Sendang Nyai Resek. Mata air ini digunakan untuk pembersihan badan ketika akan memasuki kawasan spiritual ini. Tempat ini dijaga oleh sosok niskala yang disebut Nyai Resek.
Selanjutnya menuju ke bagian lebih utara di sisi barat terdapat sumber air yakni Petirtan Dewi Gangga, tempat pemujaan Hyang Dewi Gangga sebagai sumber air dan sekaligus sebagai tempat pembersihan secara niskala (melukat). Di sebelah utaranya terdapat stana Eyang Mpu Sumilir yang dijaga oleh dua ekor harimau gaib (diwujudkan dalam bentuk patung). Lanjut menuju ke linggih Mpu Sumilir, para pengunjung mesti melewati celah Gintung Kembar, yakni dua buah pohon gintung sebagai pintu masuk menuju stana dari Eyang Mpu Sumilir. Celah gintung kembar itu cukup sempit, namun bagaimanapun besar badan dari orang yang akan masuk, apabila niatnya lurus dan bersih maka akan bisa melewati celah pohon tersebut.
Stana Eyang Resi Sumilir berupa sebuah patung Resi. Di sana pengunjung dapat menghaturkan sesaji dan sembahyang. Perlu diketahui bahwa pohon gintung adalah pohon kayu yang ketika diiris kulit pohonnya, akan mengeluarkan getah berwarna merah seperti darah.
Di sebelah utara dari tempat ini terdapat pertapaan Raja Blambangan terakhir yang beragama Hindu yakni Raja Tawang Alun. Tempat tersebut berupa batu sebagai tempat duduk. Namun oleh kaum spiritual yang sering ke sana, tempat tersebut kemudian sedikit direnovasi dengan menambahkan atap, sehingga tempat bertapa tersebut berada di dalam sebuah ruangan kramat sebagai tempat semedi. Tempat ini banyak dikunjungi oleh para penganut kejawen, penekun spiritual. Situs tersebut dilengkapi tempat untuk bersuci yang dalam Hindu Bali disebut dengan lukat dengan mandi kembang. Dilengkapi beberapa pancuran tempat bersuci. Pancuran tersebut diberi nama Mbah Duo, karena terdiri dari dua buah yang merupakan rembesan dari kaki Gunung Raung.
Perjalanan selanjutnya ke sebelah utara dari telaga yang juga merupakan hutan. Di sana terdapat bangunan suci berupa candi bertumpang. Candi ini disebut Candi Puncak Agung Macan Putih. Candi ini didirikan ketika Ibu Ratna Ani Lestari menjadi Bupati Banyuwangi. Awal kejadiannya adalah ada seseorang yang kerasukan yang konon kerasukan Macan Putih. Sehingga tempat ini diyakini sebagai petilasan dari Macan Putih yang masih sangat terkait dengan sejarah Blambangan masa lalu. Di tempat ini dibangun sebuah candi sebagai tempat bersembahyang bagi umat Hindu Jawa atau kejawen untuk memuja para leluhur di tanah Blambangan.
Lebih di sebelah utara dan sedikit ke barat, kini sudah dibangun sebuah Padmasana yang merupakan permintaan masyarakat dan merupakan prakarsa salah seorang umat dari Sanur, Bali. Sehingga ketika umat Hindu yang berkunjung ke sini dapat bersembahyang memuja para leluhur, dewa dewi, dan memuja kesucian Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Agak jauh di sebelah timur Candi Agung dan Padmasana, terdapat sebuah batu besar yang berada di sekitar aliran air. Batu itu sangat besar. Dari kalangan waskita mengatakan bahwa batu besar tersebut pintu masuk gaib menuju Gunung Raung. Di batu yang merupakan apit lawang (watu lawang) tersebut konon dijaga oleh banyak penunggu gaib. Sehingga tak semua orang dapat menuju ke pintu gaib menuju Gunung Raung tersebut. Dengan banyaknya penunggu  tersebut membuat suasana di kawasan spiritual Rowo Bayu menjadi angker.
Demikian hasil penelusuran kali ini ditemani oleh Jero Mangku Saji, seorang mangku di Pura Giri Mulya Agung Gunung Raung. Jero Mangku Saji adalah sebagai penganut Hindu secara turun temurun di Banyuwangi. Ayahnya juga dulu adalah seorang mangku pura di Banyuwangi. Romo Mangku Saji asal Desa Bayu.
Masyarakat Hindu asli Jawa di tepi hutan Rowo Bayu juga telah memiliki sebuah pura yang diberi nama Pura Tirto Jati. Pura tersebut berada di tengah tengah pemukiman masyarakat Desa Bayu yang mayoritas non Hindu. Sedangkan pengempon dari pura Tirto Jati itu sebanyak delapan belas KK yang bermukim di sekitar Desa Bayu atau sekitar Songgon. Kurang lebih demikian.
Dari kawasan Rowo Bayu ini tersirat sebuah pesan dari leluhur kepada anak cucu tanah nusantara untuk menyerap kembali keluhuran budhi pekerti para leluhur yang masih tersimpan sunya / senyap di kawasan ini. Semoga situs ini terpelihara dengan baik, serta semakin memberikan dorongan dan inspirasi bagi anak cucu nusantara di dalam menelusuri kesejatian leluhur Nusantara. Berbhakti kepada leluhur dan kehadapan Hyang Maha Suci Batara Guru / Ida Sanghyang Widhi Wasa adalah PARAMODHARMAH / kewajiban yang utama. Demikian, semoga ada manfaatnya. Ampura. Gama Leluhur / Hindu Nusantara / Gama Tirtha. (Ki Buyut Dalu / kanduksupatra.blogspot.com).
#OriginalArtikelByKanduk

Monday, September 26, 2016

Peradaban Leluhur Lereng Gunung Raung Bangkit Kembali Pura Natar Sari dan Situs Gumuk Payung




 kanduksupatra.blogspot.com. “Orang Jawa meyakini bahwa Bali artinya Balik atau Kembali. Maksudnya adalah ketika jaman Kali Sanghara menimpa tanah Jawa, maka ajaran leluhur untuk sementara dititipkan di tanah sebelah timur pulau Jawa. Pada waktunya nanti, dari sana ajaran leluhur akan kembali dibawa ke tanah Jawa untuk diajarkan kembali kepada para anak cucu, kumpi, buyut pewaris tanah Jawa. Itulah sebabnya tanah itu disebut dengan Bali”. Ini adalah sepenggal kalimat yang dilontarkan oleh seorang tokoh Hindu di Jawa, untuk mengawali cerita ini.


Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, belakangan ini menjadi kawasan wisata spiritual alternatif setelah Bali. Setiap tahun, Banyuwangi mendapat limpahan wisatawan yang bertirtayatra dari Bali. Boleh dikata hampir setiap hari “rombongan putih” baik dalam sekala besar maupun kecil menyeberangi Selat Bali untuk bersembahyang ke tanah Jawa khususnya Banyuwangi.
Di tanah Banyuwangi, sampai saat ini sudah ratusan pura yang telah dibangun, seiring dengan dengan bangkitnya umat Hindu di tanah Blambangan yang telah tidur panjang selama lima ratus tahun, semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit. Kini umat Hindu di tanah Jawa tampil ke permukaan dengan identitas kehinduannya.
Salah satu pura yang ada di Banyuwangi yakni Pura Natar Sari. Terletak di Dusun Kali Wadung, Desa Kali Gondo, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi. Pura ini dapat dicapai sekitar satu jam perjalanan dari Pura Agung Blambangan ke arah barat laut menuju lereng Gunung Raung. Pura ini dibangun sekitar tahun 1967 oleh sekelompok masyarakat setempat yang masih kuat memegang keyakinan leluhur. Walaupun pada saat itu mereka mengalami intimidasi yang kuat oleh golongan tertentu. Namun di tengah tekanan dan intimidasi, mereka masih memiliki keyakinan akan keagungan agama leluhur.
Menurut penuturan dari Mas Didik, salah satu umat Hindu di Kali Wadung menceritakan bahwa dahulu Dusun Kaliwadung masyarakatnya sembilan puluh persen adalah pemeluk Hindu Jawa. Pada awal tahun 1960-an, karena situasi sosial politik, serta tekanan dan intimidasi dari kelompok lain, maka banyak yang beralih dari Hindu Jawa ikut keyakinan lain. Setelah peristiwa kelam tahun 1965, sekitar tahun 1967, para penganut Hindu Jawa yang masih tersisa secara tak sengaja bertemu dengan seseorang dari Bali yang bernama Bapak Made Sidra. Dari beliau ini mengarahkan untuk tetap menjaga warisan dan keyakinan leluhur. Sehingga mereka kemudian dengan kekuatan tersisia mereka membangun Pura di Dusun tersebut yang diberi nama Pura Natar Sari. Pemberian nama Pura Natar Sari ini diberikan oleh seorang sulinggih dari Tabanan Bali kala itu.
Pura Natar Sari, sesuai namanya adalah dimaksudkan sebagai pusat pemujaan atau pusat kegiatan rohani bagi masyarakat di sana untuk memohon intisari kehidupan dalam mencapai kesejahteraan di dunia (jagadhita) serta memohon intisari spiritual berupa pencerahan untuk mencapai kebebasan abadi yang disebut dengan (moksa). Sehingga dengan demikian Pura Natar Sari berfungsi sebagai pusat kegiatan spiritual untuk mencapai kesejahteraan lahir batin sesuai dengan tujuan dari agama Hindu yakni moksartam jagahita ya ca iti dharma.
Pura Natar Sari di Kali Wadung dibangun di tengah pemukiman Hindu, dengan areal yang cukup luas. Pura Natar Sari terbagi dalam tiga bagian (tri mandala) yakni mandala utama (jeroan), madya mandala (jaba tengah) dan nista mandala (jaba sisi). Pada bagian mandala utama terdapat pelinggih utma yakni Padmasana yang menjulang tinggi. Pada bagian kiri dan kanan padmasana terdapat pelinggih pengapit (semacam tajuk pepelik). Terdapat pula tugu penglurah. Selain bangunan pelinggih, di mandala utama juga dilengklapi bale pawedan, bale pesandekan.
Antara mandala utama dan madya mandala dibatasi oleh pemedalan agung berupa candi kurung yang tinggi dilengkapi yang di kanan kirinya terdapat pelinggih apit lawang. Di Jaba tengah terdapat bale yang menjadi tempat kegiatan menabuh, menari, mekidung, pasraman, dll. Pada bagian ini dilengkapi pula dengan perpustakaan dan pewaregan (dapur). Sedangkan pada bagian nista mandala, berbatasan langsung dengan jalan desa, dibatasi dengan adanya penyengker dan candi bentar. Pada bagian ini dilengkapi dengan kamar kecil.
Dengan adanya fasilitas ini, cukup representatif bagi para pemedek bila hendak mekemit di Pura Natar Sari. Yang sudah pasti, ketika umat bersembahyang di Pura Natar Sari, maka akan disambut hangat oleh pengurus pura dan umat Hindu di sana yang jumlahnya saat ini sekitar 58 kepala keluarga. Umat di Kali Wadung akan menjamu ramah para pemedek, lengkap dengan identitas dan busana Hindu Jawa.
Odalan di Pura Natar Sari diselenggarakan pada Purnama Sasih Kapat. Dalam menjalankan odalan dan ritual keagamaan Hindu di Pura Natar Sari, dipimpin oleh Pemangku yakni Romo Mangku Jamal yang bertindak sebagai Jero Mangku Gede. Jero Mangku Jamal sudah ngayah menjadi mangku di Pura Natar Sari sejak tahun 1972. Karena sudah lingsir, kini beliau dibantu oleh generasi penerus yakni Jero Mangku Alit. Sedangkan urusan upakara, masyarakat di Kaligondo sudah mahir dalam membuat banten ala Bali. Mereka sudah bisa menyiapkan banten untuk sehari-hari, untuk banten odalan, untuk rerahinan Galungan, Kuningan, Saraswati, Pagerwesi, dan bahkan sudah seringkali melaksanakan upacara Ngenteg Linggih.  
Untuk menguatkan srada (keyakinan) umat, maka masyarakat menggelar pesraman-pesraman bagi generasi muda Hindu di sana. Bahan pengajaran agama Hindu di Dusun Kali Wadung mengacu pada kitab UPADESA yang diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia. Dan untuk lebih menguatkan lagi pendidikan umat Hindu di Dusun Kali Wadung, masyarakat Hindu mendirikan sebuah sekolah Taman Kanak - kanak yang diberi nama TK Saraswati.
Diceritakan pula oleh Mas Didik, bahwa Desa Kali Gondo, kira-kira lima kilometer dari Pura Natar Sari terdapat sebuah situs pemujaan kuno yang diyakini sebagai tempat pemujaan jaman Maha Resi Markandeya yang berbentuk lingga yoni. Situs ini ditemukan beberapa waktu yang lalu oleh masyarakat di sana. Namun situs ini sudah menjadi bagian dari pengawasan Dinas Purbakala. Situs pemujaan ini terletak di lereng Gunung Raung, di tengah hutan dan hanya bisa dijangkau dengan sepeda motor. Situs ini dikenal dengan Situs Gumuk Payung.
Umat Hindu Kali Wadung sangat mendambakan kunjungan dari umat sedarma darimanapun berada. Selain untuk bersembahyang, juga untuk mengenal keberadaan umat Hindu di tanah Jawa sekaligus untuk menjalin persaudaraan. Peradaban lereng Gunung Raung yang kini telah bangkit seperti Petilasan Maharesi Markandeya di Gumuk Kancil, Pura Sugih Waras Bumi Harjo, Pura Sandya Dharma, Pura Beji Anantaboga, Pura Banyubening, Situs Rowo Bayu dengan petilasan Prabu Tawangalun dan Pura Candi Puncak Agung Macan Putih, Situs Gumuk Payung, dll. Semoga berkenan. Ampura. (Ki Buyut Dalu / kanduksupatra.blogspot.com)
#OriginalArtikelByKanduk

           

Thursday, September 22, 2016

Kereta Kencana Gaib Di Atas Bukit Srawet Pertanda Apa Nusantaraku?




 Pura Sunialoka terletak di Dusun Tangjung Rejo, Desa Kebon Dalem, Kecamatan Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi. Pura ini letaknya di atas bukit bebatuan yang disebut Gunung Sari, dan di sebelah Gunung Sari terdapat sebuah bukit yang lebih tinggi yang disebut Gunung Srawet yang dikelilingi hutan jati dengan aura terasa angker.

Pura ini bisa dijangkau melalui Desa Kebon Dalem, Dusun Tanjung Rejo. Di desa ini terdapat kumpulan umat Hindu Jawa asli yang jumlahnya sekitar tiga puluh kepala keluarga. Kelompok masyarakat Hindu Jawa Gunung Srawet ini mengempon sebuah pura desa / pura banjar yang diberi nama Pura Puja Dharma yang terdiri dari sebuah padmasana sebagai pelinggih utama. Dilengkapi dengan bangunan penunjang sejenis pendopo yang berfungsi seperti bale banjar di Bali. Bale ini juga digunakan untuk pasraman bagi anak-anak Hindu Gunung Srawet. Dari pura ini, umat yang akan tangkil ke Pura Sunialoka mesti naik kendaraan roda empat dengan ukuran yang lebih kecil dari bus. Sebab jalan menuju ke lokasi pura agak sempit. Jarak antara bale banjar dengan pura kurang lebih satu kilometer.
Mengenai sejarah berdirinya pura Sunialoka Gunung Srawet diceritakan oleh Romo Mangku Sukarno sebagai berikut. Berawal adanya kejadian aneh di luar nalar yakni pada awal tahun 2000 - an sekitar jam satu siang, cuaca cerah,  di atas bukit Srawet tampak kereta kencana yang ditarik enam ekor kuda melayang-layang di atas Bukit Srawet. Banyak masyarakat menyaksikan hal tersebut. Masyarakat menduga pesawat helikopter, setelah diamati dengan seksama ternyata kereta kencana. Kejadian tersebut terlihat sangat jelas di siang hari dan dalam waktu lama yakni sekitar satu setengah jam.
Atas kejadian terrsebut, para pemuka masyarakat dan para spiritualis melakukan semedi di atas Bukit Srawet. Dari semedi tersebut ada salah seorang diantaranya disabdakan bahwa agar di tempat tersebut dibangun sebuah tempat pemujaan Hyang Maha Kuasa. Dalam hal ini diterjemahkan dengan membangun Pura.
Singkat cerita, proses pembangunan pura di wilayah mayoritas umat non Hindu tidaklah mudah. Karena masa sebelumnya, umat untuk bersembahyang ke pura harus sembunyi-sembunyi. Untuk membuat penjor di hari raya saja kadangkala penjornya ditebas oleh orang tak dikenal. Atas tantangan tersebut, para pemuka Hindu di sana sangat hati-hati agar tak menimbulkan gesekan sosial.
Diceritakan kemudian seorang kepala Desa Bangorejo mengalami sakit keras. Sudah dibawa ke dokter dan bolak balik keluar masuk rumah sakit, tak sembuh-sembuh. Sudah sekian banyak dukun yang mengobati juga tak sembuh-sembuh. Maka pada suatu hari, Bapak Kepala Desa bertemu dengan seseorang asal Bali. Orang ini kemudian mengantarkan bapak kepala desa untuk berobat. Dan apa yang terjadi?. Bapak kepala desa yang sudah bertahun-tahun sakit, tiba-tiba berangsur sembuh.
Bapak Kepala Desa saat teringat bahwa warganya yang pemeluk Hindu berniat membangun tempat pemujaan di Bukit Srawet. Namun rencana tersebut belum terealisas akibat ijin penggunaan lahan Puncak Gunung Srawet. Sebagai ucapan terimakasih dari bapak kepala desa kepada orang yang telah mengantarkan ia berobat dan sembuh, maka tanah di kawasan Gunung Srawet diijinkan untuk dibangun tempat pemujaan. Kawasan tersebut sejatinya adalah tanah milik desa, namun agar tak terjadi ketersinggungan dengan umat lain, atau kepala desa dianggap tak adil, maka kepala desa mengundang Parisada Kecamatan Bangorejo Banyuwangi untuk membicarakan hal tersebut. Dan untuk resminya, Parisada kecamatan bersama dengan  masyarakat desa di sana diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah dalam hal ini pemerintah Desa. Permohonan inilah dijadikan dasar oleh bapak kepala desa untuk memberikan ijin kepada umat Hindu untuk membangun  pura di Bukit Srawet.
Pura mulai dibangun tahun 2003 dan selesai tahun 2009, didanai dari punia umat baik di daerah sekitar Srawet, Banyuwangi, dan dari Bali. Pelinggih yang dibangun adalah Pelinggih  Tugu tempat semayam dari Mbah Jenggot, sosok niskala penjaga Gunung Srawet. Pelinggih Penglurah dan Tugu Pengapit, Gedong Candi Batu Tumpang Pitu sebagai tempat pemujaan kehadapan Mpu Bradah dan Raja Airlangga sebagai tokoh utama pada jaman kerajaan Kediri di Jawa Timur, yang diyakini sebagai titisan Wisnu. Pelinggih Padmasana sebagai tempat pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Pura Kahyangan Jagat Sunia Loka disungsung sedikitnya 4.500 umat Hindu di Kecamatan Bangorejo dan sekitarnya. Rangkaian pemelaspas dimulai dengan upacara Mepepada di Batu Gajah lereng Srawet, dilanjutkan Tawur Manca Kelud, Pemakuhan dan Pemelaspasan, Jumat (25/12/2009). Karya pemelaspas dipuput sulinggih yakni Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba, Ida Pedanda Gede Putra Sigaran, Ida Bhagawan Dharmika Tanaya dan Ida Pandita Empu Nabe Jaya Dangka Suta Reka.
Di kawasan ini diyakini sebagai petilasan dari Mpu Bradah, seorang brahmana pada jaman kerajaan Kediri dengan rajanya Raja Airlangga. Di sini adalah tempat beliau beryoga semadi apabila beliau beranjangsana ke daerah timur Jawa atau tanah Blambangan, serta ketika beliau berkehendak pergi ke tanah Bali. Selain itu tempat ini juga sebagai tempat anjangsana dari Ratu Sesuhunan Kidul / Ratu Pantai Selatan, sehingga pada hari selasa kliwon / anggarkasih selalu dilakukan ritual tertentu di pura ini.
Odalan di pura ini dilaksanakan pada hari Purnama Kelima. Banten yang digunakan saat odalan adalah kolaborasi antara Banten Bali dan banten Jawa. Namun didominasi oleh banten jawa. Banten Bali yang dipakai dalam odalan hanyalah pejati, beakaon, prasita, dan durmanggala. Yang lainnya adalah ayaban atau sodan dalam bentuk banten jawa.
Menurut dari pemedek yang pernah tangkil ke Gunung Srawet, bagi mereka yang memiliki indra keenam atau kemampuan kontak dengan dunia niskala, maka ketika memasuki kawasan suci Pura Sunialoka Srawet pastilah akan disapa oleh sosok gaib tua berjenggot dan agak bungkuk. Itulah sosok niskala penunggu Gunung Srawet yang disebut Mbah Jenggot. Dan menurut beberapa pemedek mengatakan bahwa aura di Gunung Srawet masih sangat alami, sangat kental aura kesucian dan aura magisnya. Sehingga tempat ini sangat cocok untuk melakukan tapa brata yoga semadi, memuja kebesaran dan kemuliaan Hyang Maha Kuasa. Selain aura pura Gunung Srawet yang sangat angker, tempat ini juga menyuguhkan pemandangan yang indah. Dari atas bukit Srawet para pemedek dapat melihat pemandangan daerah sekitarnya, serta melihat pemandangan laut selatan seperti Pulau Merah dan Alas Purwo yang tampak di kejauhan.
Demikian dapat diceritakan. Semoga tanah Blambangan, Tanah Jawa, Tanah Pasundan, dan Nusantara pada umumnya dalam asuhan para Leluhur, para Danghyang Nusantara, para penguasa segara giri (laut dan gunung), dan selalu diberkati Bhatara Guru. Dari Sirno Hilang Kerthaning Bhumi menjadi Kerthaning Bhumi Nusantara. Rayahu…. rahayu…. rahayu…. (Ki Buyut Dalu / Baca juga artikel lainnya di kanduksupatra.blogspot.com). #OriginalArtikelByKanduk

Tuesday, September 20, 2016

Misteri Sinar Biru Keemasan ketika Upacara Mewali Sabdapalon di Candi Purwo



 Sejak pemlaspas pertama yakni tahun 2007, odalan di Pura Candi Purwo diadakan setiap Purnama Ketiga, sesuai dengan pesan Prabu Brawijaya lima ratus tahun yang lalu Sekarang kita berpisah, nanti setelah 500 tahun yang akan datang, tiap Purnama ketiga kita kumpul di sini dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Aku akan datang menunggu Sabdapalon dan anak didiknya. Tempat ini aku akan ‘tengger’ dengan tongkat dari Betara Guru yang nantinya akan tumbuh menjadi pohon Kelampis Ireng, lambang kembalinya aku ke tanah Jawa bersama pasukan Negeri Majalengka Nusantara”.
            Setiap odalan di Candi Purwo, umat dari luar Pondok Asem dan dari Bali makin bertambah seiring dengan mulai dikenalnya Candi Purwo. Untuk tahun 2011, odalan dilaksanakan secara istimewa karena bertepatan dengan pemlaspas patung Sabdapalon dan patung Hanoman Murti. Patung Sabdapalon tepat selesai pada tanggal 11 September 2011, sesuai dengan petunjuk bahwa tahun 2011 ini agar Patung Sabdapalon sudah ada. Diamanatkan bahwa tahun 2011 ini tonggak kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa. Sehingga upacaranya diberi nama “Mewali Sanghyang Sabdapalon ke tanah Jawa dan berstana di Candi Purwo”, sesuai amanat Prabu Brawijaya lima ratus tahun yang lalu bahwa beliau akan kembali bertemu di tempat ini.
Upacara Mewali Sabdapalon pada Purnama Ketiga tanggal 12 Sepetember 2011 di Candi Purwo dihadiri oleh sekitar 600 orang pemedek dari Bali dari berbagai komponen masyarakat. Rombongan berangkat dari Denpasar menggunakan dua belas bus dan mobil-mobil pribadi. Ditambah lagi dengan ratusan umat Hindu di Dusun Pondok Asem dan sekitarnya yang menyebabkan suasana di Gumuk Gadung Candi Purwo menjadi ramai.
Upacara dipuput oleh Ida Pedanda Gelgel dari Grya Blayu dan Ida Pedanda Grya Jaksa Manuaba Tabanan, dihadiri Ida Cokorda Denpasar beserta keluarga dan rombongan yang sejak awal telah memberikan dukungan dan perhatian khusus pada perwujudan Candi Purwo. Selain pemlaspas patung Sabdapalon Nayagenggong dan Hanoman Murti, acara ini menjadi semakin sakral dengan peed memundut pusaka-pusaka kebesaran Majapahit yang telah ditemukan selama pembangunan Candi Purwo. Pusaka yang disakralkan tersebut yakni Keris Maharaja, Tombak Tri Sula, Keris Siwa-Budha, dan Wayang emas Sabdapalon Nayagenggong. Kehadiran benda-benda pusaka peninggalan Majapahit sebagai simbol kembali berkumpul dan berstana para leluhur di Candi Purwo.
Dalam acara Mewali Sabdapalon ini, semua yang hadir sangat terharu akan kesucian tempat ini, dan terwujudnya Candi Purwo yang merupakan amanat leluhur sejak lima ratus tahun yang lalu. Tokoh masyarakat sekaligus tetua Dusun Pondok Asem yakni Mbah Sugondo meneteskan air mata terharu menyaksikan saudara-saudara dari Bali menyemut datang ke Gumuk Gadung untuk menstanakan kembali para leluhur Majapahit. Mbah Sugondo mengatakan bahwa masyarakat sekitar Alas Purwo sejak jaman dahulu sudah menunggu kapan Candi Purwo akan dibangun dan kapan patung Sabdapalon akan berdiri di Candi Purwo. Akhirnya baru kali ini Candi Purwo dapat dibangun dan patung Sabdapalon bisa berdiri. Ini merupakan kebangkitan spiritiual, kebangkitan nusantara. Inilah yang ditunggu-tungu masyarakat Jawa sejak lima ratus tahun yang lalu. Harapannya adalah setelah ini para leluhur semuanya menjadi tenang dan damai, kemudian berkenan menuntun para turunannya untuk menuju pada kebaikan dan kesejahteraan.
Pada kesempatan itu Raja Denpasar memberikan wejangan bahwa tempat ini mesti dibangun sesuai dengan amanat Sabdapalon dan Prabu Brawijaya. Raja menilai bahwa tempat ini adalah tempat yang masih sangat eksotik atau perawan, jauh dari jamahan tangan-angan kotor, sehingga aura kesuciannya masih sangat terasa. Tempat ini dijaga kemurniannya secara sekala dan niskala sejak lima ratus tahun yang lalu. Raja Denpasar yang juga sebagai ketua Dewan Raja-Raja se-Nusantara menyatakan bahwa Candi Purwo dijadikan “Kawitan” dari para keturunan Majapahit yang ada di seluruh Nusantara. Karena seperti diamanatkan oleh Sabdapalon dan Prabu Brawijaya untuk membangun tetengger di tempat ini sebagai stana seluruh Leluhur Majapahit.  
Dalam kesempatan itu hadir pula komponen dari pemerintah Kabupaten Banyuwangi yakni Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi. Beliau terperangah ketika menyaksikan kemegahan Candi Purwo, serta menyambut baik keberadaan candi dalam rangka membangun kebhinekaan di Banyuwangi dan di Nusantara. Beliau berjanji akan memberikan fasilitas pendukung untuk nantinya Candi Purwo bisa menjadi salah satu objek wisata spiritual unggulan di Banyuwangi. Sambutan ini mendapat aplaus dari semua yang hadir.
Upacara Mewali Sabdapalon ke tanah Jawa di Candi Purwo ini berlangsung sejak sore hari sampai larut malam. Setelah pemlaspas patung Sabdapalon dan Hanoman Murti serta ngaturang piodalan oleh dua Pedanda, dilanjutkan dengan acara peresmian patung Sabdapalon Nayagenggong dan Patung Hanoman Murti yang dilakukan oleh Ida Cokorda Denpasar dan Kepala Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Banyuwangi, didampingi tokoh masyarakat dan sesepuh Desa Kedung Asri. Dilanjutkan persembahyangan bersama serta maecan-ecan dilakukan oleh Jero Mangku dari Bali dan Jero Mangku yang ada di Dusun Pondok Asem.
Ditampilkan pula tari baris gede yang dibawakan oleh keluarga besar Sentana Dalem Tarukan. Ditampilkan pula tari topeng keras, topeng tua, topeng Dalem Sidakarya, dan prembon berkolaborasi dengan sinden dari Pondok Asem. Penabuh yang mengiringi adalah gabungan dari penabuh yang ada di Dusun Pondok Asem dan pemedek dari Bali, sehingga nuansa Bineka Tunggal Ika sangat kental di Candi Purwo malam itu. Belum lagi alunan kidung wargasari ala Jawa berpadu dengan kidung wargasari ala Bali semakin menambah semarak acara di Candi Purwo.
Pada acara maecan-ecan dan memendak, para pemangku sebagian besar kerauhan, sebagai pertanda kehadiran para Sesuhunan, Betara Betari, Dewa-dewi, Para Leluhur, para Prajurit, dan Pengawal-pengawal niskala untuk ngayah di Candi Purwo. Kehadiran beliau-beliau ini sekaligus menyaksikan upacara Mewali Danghyang tanah Jawa yakni Sabdapalon Nayagengong dan para Leluhur Majapahit ke tanah Jawa untuk berstana di Candi Purwo. Ida Betara Dalem Majapahit yakni beliau Raden Wijaya (pendiri kerajaan Majapahit) dan Sang Prabu Brawijaya (raja terakhir Majapahit) berkenan tedun / hadir dalam upacara tersebut melalui kerauhan Jero Mangku A A Ngurah Mayun dari Puri Denpasar. Beliau Raden Wijaya dan Prabu Brawijaya bersabda bahwa seluruh Leluhur Majapahit telah hadir dan berstana di Candi Purwo. Oleh Karena itu Candi Purwo mesti dijadikan “Kawitan” seluruh turunan Majapahit yang ada di seluruh Nusantara. Beliau juga bersabda agar para sentana Majapahit untuk senantiasa meningkatkan keyakinan kehadapan Ida Sesuhunan dan meningkatkan hening pikiran karena beliau para leluhur telah berstana di Candi Purwo.
Acara berakhir tengah malam, namun para pemedek yang memenuhi areal Gumuk Gadung Candi Purwo makemit sampai pagi disertai kidung-kidung wargasari. Setelah upacara berakhir, pusaka-pusaka kebesaran Majapahit kembali di-pundut untuk dibawa ke Denpasar dan disimpan di Puri Denpasar. Saat subuh, para pemedek pun mepamit dari Candi Purwo.
Keangkeran Alas Purwo memang sudah dikenal sejak turun temurun, disamping keasrian, kemurnian dan kesuciannya. Kuatnya aura magis spiritual di Candi Purwo Gumuk Gadung memang tak bisa disangkal. Ada suatu kejadian mistis terjadi ketika malam odalan di Candi Purwo saat menstanakan Sabdapalon dan Nayagenggong. Malam itu upacara berlangsung ramai dalam kekusukan. Setelah acara usai, keesokan harinya beberapa masyarakat dari Desa Kedung Sumur (jaraknya beberapa kilometer dari Pondok Asem) dan masyarakat Kedung Asri banyak datang ke Candi Purwo. Masyarakat tersebut mengabarkan bahwa tadi malam tampak sinar berwarna biru kehijauan sangat besar jatuh di sekitar hutan bakau. Masyarakat tersebut tak menyangka kalau di Candi Purwo malam itu diadakan upacara besar.
Masyarakat yang melihat sinar gaib tersebut menceritakan kepada Wayan Sucita yang telah merintis pembangunan Candi Purwo bersama dengan masyarakat Pondok Asem. Bisa jadi sinar tersebut adalah penampakan dari kekuatan Leluhur, Betara Betari, Dewa Dewi, yang berkenan hadir menyaksikan acara itu, sekaligus berkenan bertana di Candi Purwo.
Kalau dikaitkan dengan situasi upacara di candi saat malam itu, bisa jadi bahwa kehadiran dari sinar biru kehijauan yang jatuh di candi menyebabkan para sadeg, pemangku kerauhan, sebagai pertanda beliau telah hadir. Termasuk kehadiran dari beliau Raden Wijaya dan Prabu Brawijaya melalui kerauhan Pemangku Puri. Hal ini memang sangat menakjubkan dan semakin meyakinkan pemedek bahwa Candi Purwo memang amanat leluhur dan para Dewata, Candi Purwo memang titah sejarah.
Foto-foto liputan dalam acara tersebut menunjukkan sesuatu yang mencengangkan. Ketika upacara maecan-ecan dan memendak Ida Betara yang diawali dengan pementasan tari Baris Gede, dalam foto muncul ribuan orb (penampakan lingkaran). Orb ini oleh kaum waskita  dikatakan sebagai energi alam semesta, kekuatan suci para leluhur, energi atau kekuatan Betara Betari dan Dewa-dewa. Kemunculan orb tersebut diyakini sebagai kehadiran para roh leluhur yang telah suci dan kehadiran para prajurit yang begitu banyak untuk berstana dan mengawal nusantara ini dari alam niskala. (seperti yang dinyatakan lima ratus tahun yang lalu bahwa “….. lambang kembalinya aku ke tanah Jawa bersama pasukan Negeri Majalengka Nusantara”. Termasuk juga dalam acara merauhan, orb banyak bermunculan dalam foto. Sepertinya Ida Betara beserta seluruh leluhur Jawa berkenan hadir bersukaria karena telah terwujud stana beliau-beliau, setelah sekian lama berada di awang-awang. Sekarang sudah distanakan di sebuah tempat suci yang bernama Candi Purwo.
Wayan Sucita besama pemedek semakin yakin bahwa tedun-nya sinar gaib berwarna biru keemasan yang dilihat oleh masyarakat dari kejauhan, secara tak sengaja terekam oleh kamera foto pemedek yang mengabadikan acara maecan-ecan dan memendak di Candi Purwo. Sinar blits kameranya seperti dipantulkan oleh sebuah sinar besar di depannya. Ketika diperiksa hasil jepretannya, ternyata terdapat kelebatan sinar kehijauan menyilaukan berbentuk memanjang seperti keris menghadap ke bawah. Menurut Mangku Made Sudana dan Nyoman Badra, seorang waskita yang hadir pada saat itu menyatakan ia mendapat petunjuk bahwa sinar biru keemasan seperti keris yang terekam kamera foto itu adalah pertanda kehadiran beliau Ida Betara di Gunung Tugu.
Kemunculan ribuan orb tersebut menurut Ida Bagus Suteja, seorang spiritualis Kejawen mengatakan “memang sudah waktunya Beliau (para Leluhur) hadir di hadapan anak cucu beliau di nusantara yang selalu eling dan waspada serta selalu sujud bhakti kepada leluhur. Oleh karenanya beliau tampil dan muncul dalam bentuk sinar suci, aura gaib berupa sinar bulat cakra, kuning keemasan. Mari kita sambut kehadiran beliau”. Demikian Ida Bagus Suteja. (Ki Buyut Dalu / kanduksupatra.blogspot.com).
#OriginalArtikelByKanduk