Dari
sosok gaib Nyai Resek, Eyang Resi Sumilir, Macan Gading & Ireng, Pertapaan
Raja Tawangalun, Candi Agung Macan Putih, Watu Lawang, Padmasana, dan Pura
Tirto Jati
kanduksupatra.blogspot.com.
“Berbakti kepada leluhur adalah Paramodharmah, yakni salah satu kewajiban yang
utama”.
Kejadian alam kerapkali dimaknai
turunnya sebuah pesan ilahi kepada umat manusia, seperti gempa bumi, gunung
meletus, atau pertanda alam lainnya. Kearifan budhi pekerti leluhur nusantara
mampu memaknai pertanda alam tersebut. Sebuah keyakinan sederhana, keyakinan
kuno nusantara yang memuliakan alam. Dari sini kita akan mulai bercerita.
Setelah gemuruh letusan Gunung Raung di
Banyuwangi mereda, serombongan umat pada bulan Purnama Ketiga tahun 2015 bergegas
menuju lereng Gunung Raung, di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten
Banyuwangi Jawa Timur. Perjalanan ditempuh melalui Kota Banyuwangi ke selatan
menuju pasar Rogojampi, belok kanan, sekitar 15 km menuju kawasan Wana Wisata
Rowo Bayu.
Ketika sampai di sana, daun daun masih
diselimuti abu vulkanik letusan Gunung Raung. Kawasan ini merupakan hutan
lindung yang ditumbuhi pohon pinus. Terdapat rembesan air Gunung Raung yang
membentuk sebuah danau kecil yang disebut Rowo. Karena letaknya di desa Bayu
maka disebut Rowo Bayu. Kawasan yang indah dan sejuk ini menyimpan banyak
misteri terkait sejarah Blambangan. Kawasan ini sangat angker dengan aura
mistik yang kental. Bagaimana tidak, di tempat ini sejak jaman dahulu sampai sekarang
banyak dikunjungi oleh para penekun spiritual. Apa saja yang ada di sana?
Dengan diantar oleh seorang sesepuh
Hindu di desa Bayu yakni Romo Mangku Saji, rombongan menelusuri kawasan ini.
Mulai dari sisi sebelah selatan yakni pengapit
lawang menelusuri ke arah barat telaga terdapat sebuah sumber air yang
disebut dengan Sendang Nyai Resek. Mata air ini digunakan untuk pembersihan
badan ketika akan memasuki kawasan spiritual ini. Tempat ini dijaga oleh sosok
niskala yang disebut Nyai Resek.
Selanjutnya menuju ke bagian lebih utara
di sisi barat terdapat sumber air yakni Petirtan Dewi Gangga, tempat pemujaan
Hyang Dewi Gangga sebagai sumber air dan sekaligus sebagai tempat pembersihan
secara niskala (melukat). Di sebelah
utaranya terdapat stana Eyang Mpu Sumilir yang dijaga oleh dua ekor harimau
gaib (diwujudkan dalam bentuk patung). Lanjut menuju ke linggih Mpu Sumilir, para
pengunjung mesti melewati celah Gintung Kembar, yakni dua buah pohon gintung sebagai
pintu masuk menuju stana dari Eyang Mpu Sumilir. Celah gintung kembar itu cukup
sempit, namun bagaimanapun besar badan dari orang yang akan masuk, apabila
niatnya lurus dan bersih maka akan bisa melewati celah pohon tersebut.
Stana Eyang Resi Sumilir berupa sebuah
patung Resi. Di sana pengunjung dapat menghaturkan sesaji dan sembahyang. Perlu
diketahui bahwa pohon gintung adalah pohon kayu yang ketika diiris kulit
pohonnya, akan mengeluarkan getah berwarna merah seperti darah.
Di sebelah utara dari tempat ini terdapat
pertapaan Raja Blambangan terakhir yang beragama Hindu yakni Raja Tawang Alun.
Tempat tersebut berupa batu sebagai tempat duduk. Namun oleh kaum spiritual
yang sering ke sana, tempat tersebut kemudian sedikit direnovasi dengan
menambahkan atap, sehingga tempat bertapa tersebut berada di dalam sebuah
ruangan kramat sebagai tempat semedi. Tempat ini banyak dikunjungi oleh para penganut
kejawen, penekun spiritual. Situs tersebut dilengkapi tempat untuk bersuci yang
dalam Hindu Bali disebut dengan lukat
dengan mandi kembang. Dilengkapi beberapa pancuran tempat bersuci. Pancuran
tersebut diberi nama Mbah Duo, karena terdiri dari dua buah yang merupakan
rembesan dari kaki Gunung Raung.
Perjalanan selanjutnya ke sebelah utara
dari telaga yang juga merupakan hutan. Di sana terdapat bangunan suci berupa
candi bertumpang. Candi ini disebut Candi Puncak Agung Macan Putih. Candi ini
didirikan ketika Ibu Ratna Ani Lestari menjadi Bupati Banyuwangi. Awal
kejadiannya adalah ada seseorang yang kerasukan yang konon kerasukan Macan
Putih. Sehingga tempat ini diyakini sebagai petilasan dari Macan Putih yang
masih sangat terkait dengan sejarah Blambangan masa lalu. Di tempat ini
dibangun sebuah candi sebagai tempat bersembahyang bagi umat Hindu Jawa atau
kejawen untuk memuja para leluhur di tanah Blambangan.
Lebih di sebelah utara dan sedikit ke
barat, kini sudah dibangun sebuah Padmasana yang merupakan permintaan
masyarakat dan merupakan prakarsa salah seorang umat dari Sanur, Bali. Sehingga
ketika umat Hindu yang berkunjung ke sini dapat bersembahyang memuja para
leluhur, dewa dewi, dan memuja kesucian Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Agak jauh di sebelah timur Candi Agung dan
Padmasana, terdapat sebuah batu besar yang berada di sekitar aliran air. Batu
itu sangat besar. Dari kalangan waskita mengatakan bahwa batu besar tersebut
pintu masuk gaib menuju Gunung Raung. Di batu yang merupakan apit lawang (watu lawang) tersebut konon
dijaga oleh banyak penunggu gaib. Sehingga tak semua orang dapat menuju ke
pintu gaib menuju Gunung Raung tersebut. Dengan banyaknya penunggu tersebut membuat suasana di kawasan spiritual
Rowo Bayu menjadi angker.
Demikian hasil penelusuran kali ini ditemani
oleh Jero Mangku Saji, seorang mangku di Pura Giri Mulya Agung Gunung Raung.
Jero Mangku Saji adalah sebagai penganut Hindu secara turun temurun di
Banyuwangi. Ayahnya juga dulu adalah seorang mangku pura di Banyuwangi. Romo
Mangku Saji asal Desa Bayu.
Masyarakat Hindu asli Jawa di tepi hutan
Rowo Bayu juga telah memiliki sebuah pura yang diberi nama Pura Tirto Jati.
Pura tersebut berada di tengah tengah pemukiman masyarakat Desa Bayu yang
mayoritas non Hindu. Sedangkan pengempon dari pura Tirto Jati itu sebanyak
delapan belas KK yang bermukim di sekitar Desa Bayu atau sekitar Songgon.
Kurang lebih demikian.
Dari kawasan Rowo Bayu ini tersirat
sebuah pesan dari leluhur kepada anak cucu tanah nusantara untuk menyerap
kembali keluhuran budhi pekerti para leluhur yang masih tersimpan sunya /
senyap di kawasan ini. Semoga situs ini terpelihara dengan baik, serta semakin
memberikan dorongan dan inspirasi bagi anak cucu nusantara di dalam menelusuri
kesejatian leluhur Nusantara. Berbhakti kepada leluhur dan kehadapan Hyang Maha
Suci Batara Guru / Ida Sanghyang Widhi Wasa adalah PARAMODHARMAH / kewajiban
yang utama. Demikian, semoga ada manfaatnya. Ampura. Gama Leluhur / Hindu
Nusantara / Gama Tirtha. (Ki Buyut Dalu / kanduksupatra.blogspot.com).
#OriginalArtikelByKanduk
#OriginalArtikelByKanduk
No comments:
Post a Comment