Sunday, December 17, 2017

Sasih Kenem, Ida Betara Melancaran


“Sasih Kenem”, sasih pancaroba. Gumatap-gumitip (mikro organisme) seperti bakteri, jamur, virus, cendawan, amuba, tumbuh dan berkembang dengan baik. Cuaca yang ekstrim kerapkali menimbulkan bencana. Kondisi alam tidak stabil. Orang sering mengatakan sasih kenem adalah musim penyakit dan musim bencana.
Secara niskala sasih kenem menyimpan mitos bahwa “ancangan Ida Ratu Gede Mecaling” sedang berkeliaran ke desa-desa mencari mangsa. Sehingga sasih kenem makin memiliki misteri bagi umat Hindu di Bali.
Dalam menghadapi kondisi ini, setiap desa adat di Bali melakukan upacara “melancaran” bagi segenap “pelawatan” Ida Betara seperti Barong, Rangda, Barong Landung, dll. Maksudnya adalah Ida Betara Sesuhunan (dalam wujud rangda, barong, dll), dimohonkan agar berkenan berangjangsana keliling desa meninjau “damuh” (umat manusia). Anjangsana beliau diiringi oleh seluruh damuh penyungsung. Di setiap persimpangan jalan dihaturkan sesaji pemapag berupa nasi wong – wongan, dll. Demikian juga umat menyambut kehadiran beliau dengan menghaturkan pejati, pesucian, peras tulung sayut dan segehan mancawarna 9 tanding. Disajikan pada sanggah cucuk di setiap pintu depan rumah, sebagai wujud rasa bakti serta memohon kerahayuan.
Anjangsana biasanya dilakukan pada hari kajeng kliwon atau tilem, pada sore hari menjelang malam (sandikala).
Dalam anjangsana keliling desa, Ida Betara kemudian dihaturkan pengilen dan ayaban rayunan sari yang dikenal dengan “Ngaturang Hidangan” diikuti sembah bakti para damuh. Terakhir dihaturkan penyamblehan ayam hitam.
Melancaran tujuannya memohon kerahayuan kehadapan Ida Betara Sesuhunan agar manusia terhindar dari segala bahaya, penyakit, dan bencana.
Dan jika dikaitkan dengan mitologi Ratu Gede Mecaling, melancaran bermakna memohon perlindungan kepada Ida Betara Sesuhunan agar terhindar dari pengaruh negatif para ancangan Ida Ratu Gede Mecaling.
Melancaran juga disebut “ngelawang”, karena beliau diiring berangjangsana dari pintu ke pintu gerbang (lawang) keliling desa. Disebut “macecingak”, karena beliau diiring untuk meninjau keberadaan umat manusia dan alam lingkungan. Disebut “nangluk merana”, karena umat mohon agar Ida Betara Sesuhunan mengendalikan hama penyakit yang menyerang pertanian, serta penyakit yang menyerang manusia.
Melancaran umumnya dilakukan pada sasih kenem. Namun rentang waktunya mulai sasih kelima sampai keulu, kemudian pada sasih kesanga dilakukan tawur serangkaian Nyepi. Selanjutnya sasih kedasa dianggap sudah “kedas” / bersih / kondisi alam dirasa mulai stabil. Kurang lebih demikian. Ampura. Kadi nasikin segara.

Wednesday, December 13, 2017

JALUR BERKARMA





Bapak guru bilang, takdir atau nasib sejatinya tak dikenal. Semua yang terjadi adalah karma.
Tatkala menjalani karma, tentu setiap orang memiliki jalur masing – masing sebagai sebuah pilihan.  Ketika berbicara pilihan, sang waktu menyediakan tiga jalur yakni jalur spiritual, jalur harta, dan jalur kewisesan.

Seperti apa modelnya….?
Ketiga jalur ini jika dianalogikan trisula, ketiga ujungnya menggambarkan jalur itu yakni di tengah, sisi kanan, dan sisi kiri. Ujung trisula di tengah dianalogikan jalur utama, jalur lurus kangin - kauh (putih - kuning) yang bermuara pada kawitan utama yakni Sanghyang Sangkan Paraning Dumadi. Sudah tentu jalur ini ditempuh dengan penekunan spiritual tapa brata yoga samadi dalam mencapai kesejatian hidup. Jalur ini memerlukan proses panjang dalam kesadaran budi pekerti.

Jalur sisi kanan dianalogikan jalur selatan / warna merah (pengideran nawa dewata). Jalur ini menawarkan jalan “kewisesan”, dalam arti tradisional adalah kedigjayaan / kesaktian. Sedangkan dalam pemahaman yang lebih luas, jalur ini penuh dengan kompetisi, obsesi, ambisi, trik dan intrik politik, serta pertaruhan untuk mencapai “kekuasaan, tahta, pangkat, jabatan”. Siapa menguasai siapa, dst.

Jalur sisi kiri / utara / hitam. Tidak bedanya dengan jalur di kanan, penuh dengan sensasi, ambisi, promosi, dan obsesi, namun objeknya berbeda. Di jalur ini dominan dalam pemenuhan material duniawi berupa harta kekayaan. Seberapa banyak harta yang sudah terkumpul, tambah lagi, tumpuk lagi… dst.

Sisi kanan dan kiri dari trisula adalah sisi duniawi (jagadhita) yang mengedepankan aspek “Harta” dan “Tahta”. Sedangkan bagian tengah trisula adalah “spirit / darma” (aspek moksah).
Harta, Tahta, dan Spiritual selalu berdampingan sebagai satu kesatuan dalam keseimbangan untuk mencapai tujuan hidup manusia secara lahir batin (jagadhita dan moksah).

Tetapi…. harta dan kewisesan bersifat sementara, karena ia cuman menyertai di dunia, sedangkan yang utama adalah spiritual yang akan menghantarkan dari dunia menuju ke Hyang Maha Kawi. Itulah mengapa trisula digambarkan ujung yang ditengah lebih panjang dari yang sisi kiri dan kanan.

Kalau aku pasti pilih ketiga jalur itu sekaligus… ingin kaya, berkuasa, dan berspiritual…. Sekaligus membuktikan bahwa aku manusia “tamak”…. hehe

Ampura. Iseng – iseng merenung malah jadi pengeng …. Atuuhhhhh… puruh (migren)ku kambuh…. Salam tiga jalur…. hehe…
#Trisula #JalurKarma #SpiritualTahtaHarta  #SalamTigaJalur
kanduksupatra.blogspot.com
  


 

JULI 1990



 27 tahun yang lalu, berangkat dari Gria Pegesangan, Lombok Barat, seharian menjelajahi Taman Nasional Rinjani, Sembalun, Lombok Timur. Ketika sore tiba, buat tenda di padang sabana, lalu tidur.
Ketika bangun pagi, tanah sekeliling tenda berlubang berbentuk parit melingkari tenda. Ini pasti ulah sekawanan Babi Hutan tadi malam ketika tertidur lelap. Pagi itu, di kejauhan tampak sekawanan kerbau dan sapi liar sedang merumput.
Lanjut… mendaki …naik  ke cemara lawang, sore nyampe, bermalam di sana.
Subuh… lanjut perjalanan menuju puncak stana Hyang Dewi Anjani (Gunung Rinjani). Sempat bersyukur dan bertrisandya. Hehe… pang nyak serem gis.
Tak lama… turun ke stana Hyang Dewi Danu di Segara Anak, membasuh muka. Di pinggir danau sedang tumbuh aktif anak gunung yang bernama Gunung Baru Jari.
Dari Danu Segara Anak, turun menyusuri lembah sungai putih. Putih karena lapisan belerang di bebatuan sepanjang sungai diantara lereng Gunung Rinjani dengan Gunung Sangkaryang (Sangkara Hyang). Masuk ke Goa Susu (gua di lereng tebing dengan lubang kecil, namun di dalamnya cukup luas, berisikan air panca rasa). Di sepanjang lembah sungai putih banyak orang menyepi / semedi / bertapa. Di tepi sungai ini sempat bermalam.
Lanjut jalan…. turun menyusuri hutan di lereng gunung. Berpapasan dengan seorang kakek renta membawa seekor ayam kecil dan setandan pisang kecil - kecil pula “Mau kemana kek?” aku coba menyapa.
“Mau naik… menyepi”.  /  “Berapa lama kek…..?” / “Yah… mungkin sebulan….”
Kakek ini sepertinya akan semedi di atas sana, seperti banyak orang yang ada di atas sana. Ia sepertinya seorang spiritualis tradisional, polos, hidup dengan setandan pisang selama sebulan….. apa bisa…? Nah itulah spiritual. Lewatkan cerita itu…!
Perjalanan lanjut menurun di dalam hutan lereng gunung…. Ketemu sebuah desa bernama Torean… sangat sepi….. Ada seorang penduduk sedang mencari madu hutan…. Di sini istirahat sambil menunggu teman yang masih di belakang…..
Kalau mau ke kota gemana caranya…? seorang penduduk di kesepian desa berkata…. Di sana ada pak…dekat… (sambil menunjuk)… tunggu di pinggir jalan…. Nanti ada mobil lewat….
Eh ternyata jaraknya kurang lebih 5 km. Setelah sekian lama menunggu… ada sebuah Colt Stasion lewat…. Bersama rekan yang lain, Mr. Wayan Batan, Agus Pertanayasa, Ngurah Suasnawa,  I Wayan Selamet, I Nengah Kecot Suardana, I Nyoman Suarta, Putu Kocik Antara, I Ketut Konyos Suastika. Dan dua teman lain yakni Nada anak Mapala dari Br Ujung, dan satu lagi dari Gemeh, lupa namanya. Mr. Wayan Batan menyebut kita-kita ini tim SHERLY BOY. Diambil dari nama seorang pendaki perempuan bernama Sherly dari Jakarta, sendirian, ketika kami mendaki Gunung Agung beberapa waktu sebelumnya.
Kembali ke Mataram, ke Gria Pagesangan, griyanya Ida Bagus Windya Adnyana (Gus Win).
Sebelum ke Bali singgah dulu di Pasar Suweta, mandi di pancoran Lingsar, dan ke Taman Mayura…. Hehe…
Ampura … satua sing metutuk mebongkol….
#Lombok #TamanNasionalRinjani #SembalunLawang #GunungRinjani #DanuSegaraAnak #GunungBaruJari #DewiAnjani #SangkaraHyang #GoaSusu Toren #Mataram #Sweta # 
kanduksupatra.blogspot.com 
 

Sunday, December 3, 2017

ASAP dan AZAB


Asap abu vulkanik keluar dari garba (perut) Hyang Ibu Pertiwi atas dorongan Hyang Agni / Hyang Brahma dalam wujud magma. Meluncur melalui badan gunung / lingga acala Hyang Siwa Mahadewa. Ditebar ke segala arah oleh Sanghyang Maruta / Sanghyang Bayu berwujud angin. Di lain pihak Hyang Indra / Hyang Wisnu mengguyur dengan hujan untuk menyatukannya dengan permukaan bumi. Hyang Dewi Gangga berwujud air sungai dan anak sungai menelisik menyusupkannya ke seluruh permukaan bumi. Untuk selanjutnya diberkati oleh Hyang Dewi Sri sebagai benih kesuburan untuk kemakmuran manusia di bumi.
Artinya, dalam keyakinan leluhur yang memuliakan gunung dan alam, erupsi dimaknai sebagai Sanghyang Parama Kawi sedang berkarya untuk menjawab yadnya yang telah dilakukan umat manusia di dunia. Asap abu vulkanik dan material erupsi lainnya sejatinya adalah anugrah.
Sedangkan secara ilmiah, erupsi adalah sesuatu yang alamiah dan suatu keniscayaan dari sebuah gunung yang sedang menjalani kodratnya.
Itulah sebabnya erupsi disambut dengan kerendahan hati, dengan puja pangastuti (doa-doa), dengan ritual pemapag (penyambutan), ritual penyucian diri, dan sebagainya sesuai dengan rasa dan keyakinan untuk menyambut berkah Sanghyang Jagat Karana.
Dan….. ketika pemahaman ini melekat dalam sanubari manusia Bali (Hindu), lalu… duh kapan kita bisa mengatakan bahwa erupsi ini adalah sebuah Azab ? – yang dalam kamus Bahasa Indonesia berarti siksaan atau hukuman. Nggak lah ya…. ! Hehe….. Wantah iseng iseng manyurat. Ampura.
Foto ilustrasi: pinjaman.
#ErupsiGunungAgung #BerkahHyangWidhi #HyangGiriTohlangkir
kanduksupatra.blogspot.com

Wednesday, November 22, 2017

Gandrung di Pura Majapahit (3), PENARI dan PENGIBING KERAUHAN




 Lanjut ke bagian 3……. Pementasan tari Gandrung di Pura Majapahit dilaksanakan pada hari ketiga setelah odalan. Pada hari itu pemangku menghaturkan pengilen penganyaran, pedatengan, pemendakan, dan pekeling akan mesolah. Di lain pihak penari Gandrung sibuk berhias. Tiga penari perempuan dan satu penari laki-laki siap untuk ngayah.

Sekitar pukul 21.00 Wita, pemangku mempersilakan penari menuju ke natar pura untuk ngaturang sembah bakti, matur pekeling akan ngayah mesolah Gandrung. Gambelan Gandrung di jaba pura sudah mulai dengan tabuh “petegak” sebagai pembuka. Diawali dengan  mapang barong nyolahang Barong Pelawatan Pura Majapahit. Setelah mesolah, barong dilinggihkan di jaba sebagai simbolisasi Beliau Sesuhunan Pura Majapahit “nodia” (menyaksikan) pementasan Gandrung.
Setelah barong, dipentaskan Legong Kraton. Belum selesai tari Legong Kraton menari, Sanghyang Taksu telah tedun yang membuat penari Legong Kraton “kerauhan”. Tari pun diakhiri, penari dipapah ke jeroan pura, nunas “wangsuhpada”, lalu “ngeluwur” - sadar kembali.
Barulah kemudian Tari Gandrung. Tampil pertama penarinya seorang perempuan. Tari Gandrung dengan pakem pelegongan sangat indah diiringi tabuh “gegrantangan” yang mempesona, membuat malam menjadi makin marak. Lemah gemulai tari gandrung, membuat penonton kegandrungan ingin menari bersama (ngibing). Bahkan karena saking gandrungnya para pengibing, seolah – olah ingin memeluk dan mencium penari gandrung. Tak disadari, pengibing itu sudah “kerauhan taksu gandrung” dan akhirnya dipapah ke jeroan pura, diperciki tirtha wangsuhpada, lalu ngeluwur (sadar). Semua pengibing berikutnya kerauhan, sampai akhirnya si penari Gandrung sendiri juga kerauhan.
Selanjutnya penari Gandrung kedua tampil. Penarinya adalah laki-laki yakni I Komang Wahyu. Ia menari lemah gemulai dihinggapi “taksu gandrung”. Ia menjadi bintang malam itu, banyak penonton kegandrungan ingin menari bersamanya “ngibing”, banyak yang kecantol, kasmaran dengan sosok penari ini. Banyak yang masuk arena untuk ngibing dan bercengkrama. Tak disadari lalu kerauhan. Demikian seterusnya, setiap pengibing akan kerauhan, sampai akhirnya si penari sendiri kerauhan.
Inilah keunikan dari Tari Gandrung di Pura Majalahit. Nuansa kesucian, unik, nuansa magis, dan nuansa sakralnya sangat terasa dan menyatu.
Setelah semua pementasan berakhir, pelawatan Ratu Gede (Barong Ket) di Pura Majapahit kembali ke jeroan pura. Bersamaan dengan itu para pemangku menyiratkan tirtha wangsuhpada Ida Betara sebagai simbol waranugraha Ida Betara Sesuhunan menganugrahkan kemakmuran, keselamatan, kerahayuan.
Selanjutnya dihaturkan penyamblehan lalu katuran mesineb. Rangkaian pementasan pun berakhir. Demikian laporan singkat pandangan mata. Ampura. Tabik. (Des. 2016, kanduksupatra)

#TariGandrung #PuraMajapahit #Kerauhan #Pengibing #TabuhGegrantangan #BudayaBali #GamaBali #HinduBali #GamaTirtha kanduksupatra.blogspot.com





Monday, November 20, 2017

Gandrung Pingit Di Pura Majapahit (bag 2) “PEMAIN SEPAK BOLA JADI PENARI GANDRUNG”





Lanjut…. Yang unik ketika merekrut penari Gandrung laki-laki. Biasanya anak laki-laki tidak mau. Sebagai penari Gandrung dinggapnya “bancih” - banci. Padahal tidak demikian. Namun para pemangku pura dan penglingsir yakin bahwa setiap jaman Ida Betara Sesuhunan di Pura Majapahit selalu akan menunjuk salah satu damuh beliau yang laki-laki untuk ngayah ngigel gandrung.
Betul saja. Taksu di Pura Majapahit telah menunjuk I Komang Wahyu Nanda Pradipta sebagai penari Gandrung laki - laki di Pura Majapahit. Kisahnya memang unik. Bocah ini awalnya sama sekali tak bisa menari. Bocah kelas lima SD ini hanya suka bermain sepak bola. Setiap hari ia bermain sepak bola.
Suatu malam ia bermimpi menari gandrung di jaba pura. Ia merasakan dirinya tiba-tiba bisa menari memakai kepet (kipas), diiringi gambelan dan ditonton banyak orang. Singkat cerita, mimpinya pun berakhir. kanduksupatra.blogspot.com
Ia menceritakan mimpinya itu kepada orang tuanya, lalu orang tuanya menyampaikan kepada penglingsir dan pemangku pura Majapahit. Atas mimpi itu, maka didaualatlah I Komang Wahyu untuk ngayah menjadi penari gandrung. Dimulai dengan ngaturang pejati, melukat, dsb., sebagai langkah awal mulai latihan menari gandrung.
Karena memang sudah titah betara, hanya dalam beberapa waktu Komang Wahyu bisa menari Gandrungg dengan baik. Jadilah ia penari Gandrung.
Ketika belum mepayas Gandrung, Komang wahyu tampak seorang laki - laki tulen. Anehnya, ketika telah mengenakan busana Gandrung, ia kelihatan ayu, cantik seperti layaknya seorang wanita. Lenggak lenggok tubuh dan gaya bicaranya pun berubah bagaikan seorang wanita. Lebih-lebih ketika menari di panggung, sama sekali tak tampak ia seorang laki - laki. Malah terbalik seratus delapan puluh derajat, ia kelihatan seorang perempuan tulen. Menari Gandrung dengan “lemuh” lemah gemulai.
Demikian I Komang Wahyu yang kini mengemban taksu Gandrung pingit di Pura Majapahit. Itulah kekuatan Taksu Bali…… Ampura. Tabik.
Bersambung ke bagian “PENGIBING SELALU KERAUHAN”  

#TariGandrungBali #PuraMajapahit #Taksu kanduksupatra.blogspot.com