Friday, January 30, 2015

Dongkang dan Desti



Konon katanya, dongkang (kodok darat yang kulitnya kasar), memiliki kepekaan yang tinggi dalam ilmu leak. Maksudnya si dongkang bukan sebagai balian sakti atau spiritualis. Maksudnya bahwa si dongkang tersebut memilki kepekaan atau iritabilita yang tinggi tentang perubahan aura di sekitarnya. Mungkin saja si dongkang memiliki antena atau kulitnya yang kasar tersebut mampu mendeteksi perubahan lingkungan sekitarnya. Kalau ada perubahan yang mungkin tak normal, maka ia akan bersuara. Korok … korokkkkk… Cerita ini berkembang dari jaman ke jaman dari awaktu ke waktu secara turun temurun, di kalangan masyarakat Bali. Sehingga ada keyakinan bahwa dongkang memiliki kemampuan untuk melihat leak.
Ngomong tentang dongkang, I Made Bibih Lambih punya cerita tentang ini. Suatu malam ia tidur di rumahnya. Sebelum tertidur ia seperti biasa nonton tipi sampai tengah malam. Ia masuk ke kamar tidur lalu. Tidurnya tak begitu nyenyak alias ngeramangsawa, menerawang tak karwan. Matanya ngantuk, tetapi pikirannya masih bekerja, artinya seperti setengah tidur. Dalam situasi yang demikian, dibolak balik bantalnya agar bisa tidur (demikian kata orang ditirunya). Namun tetap saja ia masih gelisah. Sampai akhirnya pada suatu saat merrasakan malam begitu kelam, tak ada suara apa sedikitpun. Suasananya senyap. Ia lalu mendengar suara dongkang di luar korok korok, kororokkkk…. Ia teringat dengan cerita bapaknya dulu, bahwa kalau tengah malam ada dongkang berbunyi, apalagi pada musim kering, pastilah dongkang itu melihat sesuatu. Dongkang tersebut pastilah melihat atau merasakan ada leak di dekatnya.
Ingat dengan cerita tersebut, I Made Bibih Lambih menjadi teringat dan terbayang, pastilah di rumahya sedang ada leak. Pastilah ada rangda, celuluk, bojog, atau yang lainnya di halaman rumahnya. Ihhhh takuuttttt…. Demikian perasaan I Made Bibih Lambih. Ia mencoba untuk melihat ke luar melalui kaca jendela rumahnya, namun tak terlihat apa-apa. Ia berpikir mungkin saja leak tersebut sedang bersembunyi atau ada di bagian lain dari sudut rumahnya sehingag tak terlihat dari tempatnya mengintip. Demikian I Made Bibih Lambih secara tak sengaja menakut-nakuti dirinya sendiri. Makin takutlah ia, sedangkan dongkang tersebut juga tetap berbunyi. Tak hanya satu, ada lagi dongkang menyahut di bagian lain dari sudut pekarangan rumahnya.  I Made Bibih Lambih menjadi semakin takut, malah ia berpikir leak yang ada di rumahnya lebih dari satu. Ia berpikir rumahnya sedang dikepung leak. Ia mencoa untuk membangunkan kakaknya yang sedang terlelap tidur di kamar sebelah. Tak lama kemudian kakaknya I Wayan Sarwa Medengen terbangun. Kakaknya ini memang suka dengan hal yang berbau magis, mistik dan suka berguru kepada orang untuk belajar kanuragan. Ia juga banyak banyak punya jimat-jimat sebagai penangkal bahaya. Oleh karena ceritanya seputar itu-itu saja, maka namanya dibekang ditambahkan oleh orang-orang dengan sebutan “medengen” yang artinya gawat genting dan serem. Padahal nama aslinya I Wayan Sarwa.
Ketika terbangun, ia bersama adiknya mengamati situasi rumah. Mendengar suara krokkk krokkk, pikiran I Wayan Sarwa sudah melayang serem dan mistik. I Wayan Sarwa Medengen teringat dengan “bekal” (jimat) yang diberikan oleh gurunya ketika berguru ke Karangasem. Pesan gurunya “kalau ada leak, pakailah sabuk ini dan ucapkan mantra selengkapnya”.
Segera ia pergi ke kamarnya untuk mengenakan sabuk tersebut, sambil mengucapkan mantra-mantra yang diajarkan oleh gurunya terdahulu. Sabuk dililitkan di pinggang, bungkung (cincin) dengan permata yang cukup besar dikenakannya di jari tengah kanan dan kiri, warna merah dan hitam. Artinya sebagai penempur leak menggunakan kekuatan Brahma dan Wisnu. Demikian katanya. Ia teringat lagi, kalau ia masih punya benda bertuah lainnya yakni, sebuah keris kecil diselipkan di pinggangnya yang telah terlilit sabuk. Belum yakin dengan kekuatan dari benda-benda tersebut, ia masih mempunyai simpanan berupa kayu bertuah yang konon diambil dari daerah Bali bagian barat yang sudah di-pasupati.
Barulah I Wayan Sarwa Medengen merasa yakin dengan dirinya tak akan terkena pengaruh leak yang sedang mengepung  rumahnya. Bagaimana dengan adiknya? I Made Bibih Lambih tak begitu suka dengan yang namanya jimat-jimat. Ia hanya mengamati dari dalam rumahnya, sambil menguap ngantuk. Ia tak seberani kakaknya dan tak tertarik dunia aeng seperti kakaknya.
Dengan gagah berani dan yakin, I Wayan Sarwa Medengen keluar rumah untuk mencari tahu, dan kalau mungkin bertempur dengan leak yang sedang berada di pekaranagn rumahnya. Ia keluar rumah dengan keyakinan penuh, sambil membawa senter kecil. Ia mengendap-endap sambil mengamati dan mendekat ke sumber bunyi dongkang tersebut, sambil membayangkan kira-kira bagaimana rupa leak yang akan ia hadapi. Dalam hatinya ia berpikir, kalau tampak akan ia bakar dengan jimat-jimat yang sudah memenuhi badannya.
Suara donkang itu berada di sekitar pohon mangga di halaman rumahnya. Ia mendekat ke sana sambil waspada. Suara dongkang makin dekat. Dengan kewaspadaan penuh, ia sudah berada di bawah pohon mangga. Tiba-tiba ada sesuatu yang menerpa punggungnya dan terasa dingin. I Wayan Sarwa Medengen sedikit terkejut. Diraba punggungnya, terasa ada sesuatu yang lengket. Rupanya leak telah menyerang dirinya dari belakang. Ia mulai semakin waspada dan tegang. Sedangkan suara dongkang sudah tak berbunyi lagi. Dalam hatinya ia berbisik “perlihatkan dirimu leak, akan kubakar dirimu. Berani berani mengganggu ke rumahku”. Sekejap kemudian tiba-tiba ada serangan kedua mengenai kepalanya. Yang ini agak encer dan terasa agak hangat.
Si Wayan Sarwa Medengen mulai mengayunkan tongkat saktinya, dengan harapan leak yang tak kelihatan tersebut terkena dengan sendirinya. Sekali ayun, tongkat saktinya mengeluarkan suara wuussssss….. Suara tongkat tersebut terdengar agak keras karena malam hari. Akibat ayunan tongkat tersebut, tiba-tiba di atas pohon mangga berkelebat beberapa bayangan terbang menuju ke kegelapan malam. Si Wayan semakin siaga dan mencoba untuk menyenter ke arah dahan pohon.
Di cabang pohon mangga tersebut ternyata ada yang bertengger berbulu hitam dan putih. Bukan leak seperti dalam pikirannya, namun beberapa ekor ayam manuk dan pengina yang sedang tidur. Rupanya yang berkelebat tadi adalah dua ekor ayam yang kaget dan terbang tak menentu ke arah kegelapan malam. Dan sialnya lagi, ternyata serangan lengket dingin yang mengenai punggungnya adalah tain blek (tai ayam hitam bau) yang dikeluarkan oleh ayam-ayam itu. Termasuk serangan hangat encer yang menerpa kepalanya adalah tai ayam yang baru keluar dari pantat ayam betina yang terbang tadi. Sial…. Sial…. memang sial. Sambil mangkel ia kembali ke tempat semula dengan kesal, lampu senternya dalam keadaan hidup. Secara tak sengaja lalu ia melihat dongkang sebanyak empat ekor sedang betumpuk-tumpuk. Waahhhh.… rupanya dongkang ini ribut bukannya ngetarang leak (memberitahu ada leak), tapi ia bersuka ria sambil menikmati musim kawinnya yang indah di malam hari. Sialaan……, malah aku mengeluarkan segala macam jimat. Lebih kesalnya lagi bahwa jimat yang ia pakai itu tak bisa melindunginya dari serangan kotoran ayam tadi. Demikian I Wayan ngomel dengan rasa kesal.
Kisah berlanjut. Suaranya yang berisik di tengah malam, menyebabkan anjingnya terbangun dan menggongong ngawur akibat terkejut karena kepupungan. Semakin kesal ia dengan anjing miliknya sendiri yang menggonggong majikannya di tengah malam. I Wayan Sarwa Medengen menjadi semakin kesal sambil berkata “sajan cicing sing nawang bo” (dasar anjing tak bisa mencium bau majikannya). Karena saking kesalnya digonggong anjing, akhirnya tongkat sakti yang dibawanya itu digunakan untuk ngelempag (memukul) anjing piaraannya. Kaiiiiiiiiiing…… kaing…. kaing…   demikian terdengar di kegelapan malam. Anjing jenis kacang yang bernama I Sansiro Moderano kontan menjauh dari majikannya sambil menggongong kembali.
Saking kesalnya I Wayan, ia menjadi emosi tak karuan. Tongkat saktinya hanya bertuah untuk memukul anjing. Ia kembali ke kamarnya sambil memeriksa badannya yang bau karena pejunin siap (kena tai ayam). Ia membuka semua jimat-jimat saktinya. Lalu ada yang kurang. Keris kecil sakti yang ia selipkan dipinggangnya ternyata tak ada.
Ia bergegas dengan senternya ke tempat “pertempuran sengit” tadi. Senter disenter, akhirnya keris kecil tersebut ketemu dan terjatuh dibawah penyemuhan baju (jemuran baju). “Badah, sialan lagi. Keris saktiku jadi leteh karena jatuh di tempat yang kotor” demikian kata I Wayan Sarwa Medengen dalam hatinya. Rupanya keris sakti itu terjatuh saat ia ngelempag cicing tadi.
Adiknya I Made Bibih Lambih lalu bertanya “gemana bli, ketemu leaknya?” 
Segera dijawab “Ketemu. Leaknya bukan celuluk atau bojog. Tapi leaknya berupa ayam, dongkang dan anjing”.
Adiknya tertawa dalam hati sambil berkata “biarkan semuanya berjalan secara alami, jangan semua dikira leak. Begitulah kalau berpikir terlalu mistik. Tapi kalau pun toh itu leak, biarkan ia menikmati dirinya menjadi leak. Toh juga leak itu manusia. Haaaaaa…… “.


Gumi Capung Bangkok



Ketika kecil, sering diperdengarkan cerita berjudul silih dalih. Cerita tersebut adalah kisah kehidupan binatang yang dipersonifikasikan sebagai manusia. Berawal dari kebiasaan dari I Kedis Blatuk setiap pagi membunyikan kulkul bulus, yang membuat semua masyarakat hutan menjadi geger. Datang kemudian I Capung Bangkok membawa tumbak poleng. Ketika ditanya mengapa I Capung Bangkok membawa tumbak poleng, karena I Blatuk nepak kulkul bulus. Sekarang yang menjadi terdakwa adalah I Kedis Blatuk. Yang diinterogasi sekarang adalah I Kedis Blatuk. Mengapa I Blatuk Ngulkul, karena I Kunang-kunang ngaba api. Sekarang beralih yang menjadi terdakwa adalah I Kunang-kunang. “Mengapa kamu membawa api kemana-mana yang membahayakan bisa-bisa isi hutan menjadi terbakar?” I Kunang-kunang menjawab,” Aku membawa api malam-malam, karena khawatir terperosok ke dalam lubang yang dibuat oleh I Beduda”. Kemudian kasus beralih, yang menjadi terdakwa sekarang adalah I Beduda. I Beduda diadili dan ia berkelit dengan alasan bahwa lubang yang ia buat untuk melindungi diri karena I Kerbau selalu membuang kotorannya sembarangan di jalan. Nah, kemudian kasus merembet kepada I Kerbau yang kemudian diadili. Kerbau yang dungu dan tak bersalah tersebut tak dapat berdalih dan berkelit dari permasalahan yang sebenarnya ia tidak tahu. Karena kebodohan I Kebo berdalih, maka ia dinyatakan bersalah atas semua kasus yang terjadi tersebut. Akhirnya I Kebo-lah yang menjadi pesakitan dengan dicocok hidungnya agar ia tidak dapat kemana-mana dan tidak membuang kotorannya sembarangan di jalan.
Ini adalah sebuah kisah cerminan dari dunia binatang yang tak bedanya dengan apa yang terjadi dewasa ini di alam manusia dan masyarakat kita sekarang. Dalam berbagai permasalahan, entah siapa yang memulai duluan, atau entah siapa yang menjadi biang keroknya, semuanya tak pernah terselesaikan secara tuntas dan adil. Sangat jarang terjadi penyelesaian permasalahan atau kasus secara tuntas, berkeadilan, yang didasari atas kebenaran. Ini semuanya karena faktor masyarakat yang sibuk untuk mencari alasan atau dalih pembenaran, sehingga ia terlepas bebas dari segala tuntutan atau segala masalah. Padahal sebenarnya ia sendiri yang mengawali atau ia sendiri yang menjadi biang kerok dari semua permasalahan.
Semua sibuk untuk saling tuduh, saling menyalahkan, dan merembet keluar permasalahan, sehingga permasalahan yang sebenarnya menjadi kabur. Saling tuduh, saling tuding, saling tunjuk hidung, dan akhirnya semuanya tidak ada yang dinyatakan bersalah karena semua menunjukkan dalil-dalil dan bukti-bukti pembenaran. Ketika mereka tak dapat menunjukkan bukti pembenaran, maka dengan secepat kilat mereka menggiring isu atau permasalahan ke wilayah lain sehingga masalah yang menimpa dirinya menjadi kabur, dan bahkan pada akhirnya dianggap tidak bersalah, alias menyandang gelar sebagai pahlawan, mungkin itu pahlawan kesiangan.
Karena kepintaran diantara kita untuk menunjuk kesalahan orang lain untuk menutupi kesalahan diri sendiri, menyebabkan masyarakat menjadi bingung dibuatnya. Dan sudah dapat dipastikan ujung-ujungnya yang menjadi pesakitan, yang menjadi koraban adalah rakyat kecil atau yang bodoh yang tak tahu masalah, rakyat yang miskin dan sebagainya.

Seperti halnya kasus korupsi yang terjadi di  daerah ini, tampaknya tidak akan pernah terselesaikan dan akan memerlukan waktu yang lama dan pelik karena kepintaran dari para oknumnya untuk berdalih. Si A tunjuk si B, si B tunjuk si C, si C katakan Si D, Si D menuduh si E dan seterusnya, tanpa ada ujung pangkal bagaikan lingkaran setan. Sampai-sampai akhirnya si jaksa dan hakim menjadi bingung sendirian. Dan ironisnya tetap ujung-ujungya yang dirugikan adalah rakyat sendiri.
Contoh lain misalnya mengenai kebijakan di daerah seperti kasus-kasus pembebasan tanah, dll. Ketika permasalahan tersebut diungkit, maka semua pejabat yang dahulunya sebagai pemegang kebijaksanaan dengan meloloskan proyek tersebut seperti kebakaran jenggot. Kemudian diantara mereka sibuk untuk berdalih dan menyatakan ini adalah kebijakan pusat, pusat bilang ini kebijakan di daerah. Ketika di daerah dibilang ini Gubernur. Ditelusuri Gubernur katanya ini adalah Bupati. Ketika bupati ditanya katanya sudah mendapatkan rekomendasi dari masyarakat melalui tokoh-tokh masyarakat. Padahal masyarakat tidak tahu menahu. Yang menjadi pesakitan tetaplah rakyat.
Tampaknya fenomena silih dalih di gumi ini akan tetap berlangsung dan inilah budaya di masyarakat kita. Mungkin prilaku yang sudah membudaya ini sudah ada sejak jaman dahulu, sehingga sampai-sampai sang pengarang jaman dahulu mengarang cerita binatang yang tujuannya adalah untuk menyindir prilaku manusia yang curang dan mau menang sendiri, tak pernah berani secara jantan mengakui kesalahan. Serta yang menyedihkan sekali dengan pongah juari-nya dalam bentangan kasus yang menimpa dirinya, ia menyatakan diri sebagai pihak yang benar. 
Weleh… weleh….. dasar Gumi Capung Bangkok. Silih dalih, saling tuduh....
 

“Balian Beracun”



Pak De Gresiuh adalah seorang PNS di lingkungan Pemda Bali yang setiap hari bolak-balik menuju kawasan Renon tempatnya bekerja. Ia dipromosikan menjadi pejabat di kantornya dan eselonnya naik. Tentu saja ini adalah berita gembira bagi Pak De Gresiuh beserta keluarganya. Singkat cerita, upacara pelantikan dan serah terima pun telah berlangsung. Keluarga semua menjadi senang karena Bapak naik pangkat, naik jabatan, naik gengsi, dan yang sudah pasti adalah gaji dan tunjangan juga naik. Pak De Gresiuh memulai hari-hari bahagianya sebagai seorang pejabat baru.
Ketika kegembiraan berlangsung, maka sudah hukumnya duka akan melintas juga. Ini adalah hukum Rwa Bhineda. Suatu pagi di kantornya, Pak De Gresiuh merasakan badannya lemas, kemudian pikirannya kurang fit alias kosong ditambah lagi terasa sakit di bagian pinggang sebelah kiri. Ia mencoba memeriksakannya ke dokter dan sempat rawat inap atas tanggungan pemerintah. Namun, penyakitnya belum menunjukkan  tanda-tanda kesembuhan.
Suatu hari berkunjunglah seorang teman Pak De Gresiuh yang bernama I Ketut Mauk. Ia menyarankan agar menempuh jalan alternatif sambil menunjukkan nama seorang balian sakti tan paingen (tak tertandingi), yang konon telah berhasil mengobati para pejabat daerah bahkan pejabat pusat. Demikian I Ketut Mauk mendesak dan sedikit mempromosikan balian saktinya itu.
Pak De Gresiuh tertarik dengan cerita tersebut dan bergegas untuk datang berobat ke sana. Singkat cerita, Sang balian menerima Pak De Gresiuh dengan ramah. Penampilan balian memang meyakinkan. Di rambutnya yang panjang terselip bunga pucuk bang, kamen putih,  saput poleng, cincin di jari terkesan magis dan sakti, ditambah dengan kalung jimatnya. Suasana rumah juga kental dengan bau minyak serta berbagai benda-benda bertuah. Sang balian menyatakan telah menyembuhkan berbagai macam penyakit dengan berbagai tingkat keparahan.
Dimulailah prosesi pendeteksian penyakit oleh sang balian sakti tersebut. Dengan konsentrasi penuh, sang balian mencoba mendalami dan mencari tahu penyakit Pak De Gresiuh. Balian sakti berkata halus kepada Pak  De, “Penyakit ini sebenarnya sudah lama diderita, tetapi baru kelihatan. Ini bukanlah penyakit biasa, melainkan penyakit yang sudah ngelalah atau menyebar ke seluruh tubuh. Untung saja Pak De cepat datang ke sini. Ini adalah penyakit gegaen anak (amah leak). Rupanya keluarga dan teman kantor Pak De banyak yang iri dengan kedudukan Pak De. Pak De dikeroyok banyak orang”. Kata-kata sang balian itu sangat mengejutkan. Sesaat kemudian, sang balian sakti kembali berkata, “Walaupun sudah lama, tetapi tak usah khawatir. Semua ini bisa saya kendalikan”. Sang balian menyatakan kesanggupannya dengan nada agak sesumbar.
Sang balian sakti memberikan obat berupa minyak untuk dipakai setiap hari ketika menjelang tidur. Balian juga memberikan sebutir permata yang konon adalah mirah dan beberapa pelengkapnya sebagai jimat penjaga. Dengan nada basa-basi, sang balian mengatakan bahwa barang tersebut telah disimpannya sejak lama. “Kalau tidak Pak De yang datang ke sini, maka barang ini tidak saya berikan. Barang ini sangat sulit untuk dicari”. Demikian sang balian.
Pak De yakin dengan perkataan sang balian, sehingga menerima barang tersebut. Namun, perasaannya tidak enak. Maksudnya tidak enak memakai barang tersebut kalau tidak memberi imbalan. Secara berbisik, Pak De menanyakan berapa ia harus menghaturkan sesari (penghalusan untuk bahasa membayar). Sang balian menjawab  dengan nada basa-basi pula. ”Ya, dipakai dulu. Kalau sudah baikan, besok atau dua hari dibicarakan”. Pak De pun mendesak dalam hal ini. Sang balian dengan nada basa-basi berkata lagi, ”Barang tersebut sebenarnya tidak saya jual, dan toh kalau dijual harganya puluhan juta rupiah. Namun untuk Pak De, lima belas juta saja”. Demikian bisikan sang balian. Pak De begitu terhibur dengan “kecap manis” (promosi) balian sakti.
Diceritakan pak De tertidur lelap di rumahnya ketika dating dari berobat. Mungkin karena kelelahan akibat perjalanan panjang menuju rumah balian tersebut. Keesokan harinya Pak De segera mengirimkan uang lima belas juta rupiah kepada sang balian melalui perantara I Ketut Mauk, teman dekatnya.
Keesokan harinya, penyakit Pak De kambuh lagi. Kembali dirinya mendatangi balian tersebut. Balian berkata, “Mungkin perlu waktu beberapa hari lagi, masalahnya obat yang kemarin belum nyusup atau menyerap ke seluruh tubuh”. Kemudian Pak De balik lagi setelah menghaturkan canang dengan sesari.
Dalam waktu beberapa hari setelah itu, penyakitnya tetap saja tak berkurang. Pak De datang lagi. “Mungkin perlu ditambah dengan obat dan jimat. Karena penyakitnya sudah berlangsung lama dan dikeroyok banyak orang, sehingga kekuatan penyakit sangat besar”, demikian sang balian memberikan penjelasan. Pak De pun pulang kembali setelah menghaturkan sesari pada sang balian.
Setelah beberapa lama Pak De tak sembuh-sembuh, ia menanyakan perkembangan penyakitnya kepada sang balian. Sang balian mencoba untuk menerawang, dan berkata lagi, “Rupanya ada ketidakberesan dalam pekarangan rumah Pak De. Nanti saya akan datang ke sana untuk membersihkan sumber penyakit yang sudah bersarang di pekarangan, bahkan di tempat tidur Pak De”.
Keesokan harinya, sang balian datang ke rumah Pak De dengan sendirinya pada sore hari. Ia mengecek pekarangan rumah Pak De yang mewah, sampai ke ruangan tempat tidur dengan menggunakan sebuah tongkat kecil. Hasil investigasi sang balian sakti, ternyata benda tersebut menunjuk ke sebuah sudut pekarangan Pak De yang konon terdapat tetaneman. Inilah yang konon juga ikut menggerogoti badan Pak De. Kemudian pada hari sandikala, sang balian menyuruh seseorang dari keluarga untuk menggali tanah di sekitar tempat tersebut. Dalam kedalaman setengah meter, terdapat benda yang dikatakannya sebagai tetaneman. Sang balian berkata bahwa benda seperti ini biasanya dikirim atau dibuat oleh orang lain yang bermaksud untuk menyakiti. Kemungkinan tersbesar melakukan ini adalah orang terdekat, yakni keluarga. Sudah dapat dipastikan, mereka akanlangsung terprovokasi dan menduga bahkan menuduh pelaku, tanpa ada bukti. Sudah mulai muncul kebencian keluarga Pak De terhadap saudara-saudaranya. 
Begitu sang balian tuntas mengadakan pembersihan terhadap pekarangan rumah pasiennya, ia pulang dengan dibekali canangsari dan uang saku oleh keluarga Pak De. Namun, kepergian sang balian telah menanamkan rasa curiga dan kebencian dari keluarga Pak De terhadap saudara-saudaranya. Pak De juga menaruh curiga pada teman-teman sekantor yang dianggap saingan ketika mencapai karier jabatan. Akhir kata, hubungan dengan keluarga di rumah sudah cekcok, demikian juga dengan hubungan di kantor yang  sudah tidak harmonis akibat dari mulut berbisa sang balian.
Penyakit Pak De tak kunjung sembuh, biaya sudah banyak habis, ditambah lagi cekcok dalam keluarga dan teman sekantor. Lengkaplah penyakit yang diderita oleh Pak De gara-gara menelan mentah-mentah omongan dari balian ngaku-ngaku sakti. Anak dan istrinya bingung, malu minta tolong kepada keluarga besarnya yang sudah dituduh menyakti Pak De, belum lagi teman sekantor sudah tidak simpati lagi. Dalam kegalauan  tersebut, datang I Nyoman Sepan Sepan, saudara misan Pak De dari keluarga ibunya menjenguk. I Nyoman Sepan Sepan sudah mendengar permasalahan yang dihadapi oleh Pak De. I Nyoman Sepan Sepan walaupun ia seorang pengangguran dan tidak sekolah tinggi, tetapi ia masih mampu berpikir realistis ketimbang Pak De yang konon pejabat dengan pendidikan tinggi, tetapi kurang jernih dalam menghadapi masalah.
I Nyoman Sepan menyarankan untuk kembali ke dokter. Hasil lab. menunjukkan Pak De menderita penyakit saluran perkencingan kronis, sehingga perlu waktu untuk penyembuhan dan perlu kesabaran. Demikian kata dokter ahli yang memeriksa Pak De sambil secara diam-diam mengamati kondisi kejiwaannya. Dokter yang didatangi tersebut adalah dokter spesialis yang juga memiliki kemampuan mendeteksi secara psikologis. Dokter menyarankan agar Pak De Gresiuh bersabar menjalankan pengobatan, jangan berpikir macam-macam apalagi negatif thinking kepada orang lain, terlebih keluarga. “Sebenarnya Bapak ini tidak ada masalah, cuma dihinggapi rasa senang yang berlebihan, kemudian di satu pihak dihinggapi rasa khawatir yang lebih terhadap karier. Pak De mengalami depresi, sehingga penyakit mudah muncul. Untuk itu tetap bersabar, berdoa kepada Hyang Widhi, kemudian cobalah hidup seperti orang biasa. Sebab setinggi-tingginya jabatan tersebut sudah pasti akan kita tinggalkan dan semuanya akan kembali kehidupan yang biasa. Paling penting dan berharga untuk dipelajari adalah bagaimana menjadikan hidup ini seperti biasa. Seperti nabe agama Hindu yakni Bhagawan Byasa”, demikian nasihat sang dokter.
Atas penangan medis dari sang dokter ahli, ditambah dengan kemampuan psikologis tersebut, Pak De berangsur-angsur sembuh dengan gairah hidup baru, dan filosofis hidup baru. Ia menemukan jati diri sebagai manusia, menemukan hakikat hidup, tak ada beban lagi. Ia sembuh total secara fisik dan rohani.
I Nyoman Sepan Sepan kemudian berkata dalam hatinya, karena terdorong oleh nafsu duniawi, malah terjerumus ke dalam jurang yang gelap dan dalam. Pikiran tidak realistis lagi, terombang-ambing oleh isu serta omongan orang yang tak bertanggung jawab. Serta omongan beracun dari si balian yang ngaku sakti. Agar dikatakan ririh, sakti dan hebat, tak jarang si balian melakukan acting di depan pasiennya dan mengatakan sumber penyakit dibuat atau dilakukan oleh seseorang, dengan menyebut nama atau ciri dari yang bersangkutan. Padahal semua itu tidak pernah ia ketahui dengan sebenarnya. Banyak sekali yang sudah menjadi korban percekcokan dalam keluarga akibat bes nyadin munyin balian ane ngaku sakti (terlalu mempercayai omongan balian yang ngaku-ngaku sakti). Walaupun tak semua balian seperti itu.
Singkat cerita, Pak De Greisuh sembuh dalam beberapa waktu kemudian.
---------------
* Fenomena krama Bali yang suka nyadin munyin balian. Mesti disaring dan dipilah dulu, tak usah ditelan mentah mentah.
* Hidup ini sudah susah, tak perlu dipersusah lagi dengan yang macam-macam. Lebih baik hormati keluarga dan nyama braya, bakti kepada widhi dan leluhur, serta selegang megae. Jeg pasti rahayu. Demikian grenggeng I belog di karang suwung.