Sunday, October 29, 2017

BHUTA DUNGULAN “Ngeledek”




Dumogi nemu “Galang” ring rahina “Galungan”

Ketika hendak bertutur tentang cerita rakyat, I Bhuta Dungulan dalam hati kecilku tertawa “satua buin satuang” (cerita lagi diceritakan)

Ketika hendak bertutur tentang kebajikan, I Bhuta Galungan dalam hati kecilku tertawa “sudah bijakkah engkau?”

Ketika hendak bertutur tentang ajaran agamaku, I Bhuta Amangkurat dalam hati kecilku tertawa “sudah pahamkah kau?”

Ketika hendak bertutur tentang susila, I Bhuta Wirosa dalam hati kecilku tertawa “sudah patutkah kau jadi panutan?”

Ketika hendak bertutur tentang sejarah, I Bhuta Togtogsil dalam hati kecilku tertawa “kau manusia baru kemarin sore”

Ketika hendak bertutur tentang budi perkerti, I Bhuta Prungut dalam hati kecilku tertawa “sebaiknya kau berkaca dulu !”

Ketika hendak bertutur tentang situasi sosial, I Bhuta Dengen dalam hati kecilku tertawa “sudah beradabkah engkau?

Setiap hendak menuangkan pikiran dalam bentuk tutur, kisah, tulisan, dll., para Bhuta Kala dalam hati kecilku selalu jahil menertawaiku. “Kau bukan siapa - siapa, kau bukan apa-apa, kau belum seberapa”. Demikian mereka menertawaiku.

Rupanya aku I Jugul Punggung (si dungu) pongah juari bertutur. “Mabet ririh” sok tahu sok bisa.

Aku jadi malu kepada Sang Bhuta Dungulan, Bhuta Galungan, Bhuta Amangkurat, beserta saudara - saudaranya. Mereka utusan Hyang Betari Nini Bagawati untuk mengingatkanku…

Sembah sujud kehadapan para Leluhur, para Danghyang, para Mpu, Para Resi, Dewa Dewi, Betara Betari,  Hyang Betari Nini Bagawati, Hyang Siwa Jagatkarana….

Dumogi ngemanggihin GALANG ring rahina GALUNGAN.
Rahayu… Dirgahayu …. Dirgayusa……
#Galungan #BhutaDungulan #IJugulPunggungMabetRirih
kanduksupatra.blogspot.com


Thursday, October 26, 2017

Sri Jaya Kesunu – Galungan - Hyang Betari Nini





Babad Usana Bali Pulina mengisahkan bahwa raja-raja Bali pada masa lalu tidak langgeng dan cenderung pendek umur. Alam bergejolak, rakyat “kegeringan” (menderita). Hal ini menggugah raja Sri Jaya Kesunu untuk mencari jawabannya. Pada tengah malam beliau menuju ke perhyangan Hyang Betari Nini (Hyang Betari Durga) di Pura Dalem Kedewatan (Pura Dalem Puri Besakih) untuk melakukan tapa brata yoga samadhi.
            Singkat cerita, setelah memanunggalkan bayu, sabda, idep, Hyang Betari Nini berkenan hadir di hadapan Sri Jaya Kesunu. Ida Betari Nini bersabda ” Hai anaku Sri Jaya Kesunu, apa maksudmu kemari?
Sri Jaya Kesunu menjawab “Hyang mulia Ida Betari, hamba mohon wahyu dan restu agar panjang usia. Yang bertahta menjadi raja hindarkan dari kematian, agar panjang usia, rakyat dan negara agar aman sentosa”.
            Ida Hyang Betari bersabda “wahai anakku Jaya Kesunu, dengarkan sabdaku. Mengapa raja-raja tidak panjang usia? Karena tiap-tiap Tiganing Dungulan tidak membuat upacara byakala, menyimpang dari tata cara terdahulu. Itulah sebabnya setiap yang bertahta belum dua tahun wafat, demikian juga rakyatmu. Mereka dijatuhi hukuman oleh para dewa. Tempat suci kayangan, kabuyutan serta pemujaan lainnya tidak dipelihara seperti dahulu. Mengakibatkan kehancuran negara, penyakit, binatang menyebar dan memangsa. Bhakti manusia kepada dewa telah luntur, tak melakukan tapa, brata, semadi, tak ada yang menjalankan dharma. Percekcokan menyebar luas, maka setiap menjelang kala tiga, matilah ia. Karena noda dari badan kasarnya meresap sampai ke hati nuraninya. Kini bila anaknda ingin menjadi raja, anaknda wajib menjaga peraturan (sasana), anaknda wajib memelihara kayangan dan kabuyutan, serta tempat-tempat pemujaan lainnya, anaknda agar tetap sujud bhakti, beryoga semadi memuja Ida Sanghyang Maha Wisesa. Tiap-tiap Kala Teluning Dungulan pada hari selasa Wage, anaknda harus menghaturkan Byakala, juga seluruh rakyatmu semua bergembira membuat sesaji untuk para dewa, mendirikan penjor agar sesuai dengan tata cara dahulu”. Demikian sabda Ida Hyang Betari Nini kepada Sri Jaya Kesunu.
            Sri Jaya Kesunu berhatur “daulat paduka Hyang Betari Nini, hamba sangat berterimakasih”.
            Setelah itu raja Sri Jaya Kesunu memerintahkan kepada seluruh rakyatnya untuk memperbaiki perahyangan, memelihara sad kahyangan, kahyangan tiga, sampai dengan kabuyutan, dan menyelenggarakan yadnya untuk bumi seperti dahulu kala ketika leluhur beliau memerintah pulau Bali, yang menyebabkan negara aman dan tentram, terhindar dari penyakit serta bahaya.
            Diceritakan kemudian raja Sri Jaya Kesunu tiba saatnya untuk kembali ke Buddhaloka, kerajaan kemudian diwariskan kepada putra beliau yakni Sri Jaya Pangus. Demikian dikisahkan. Ampura.

“I Jugul Punggung Mabet Ririh” (Si Dungu yang Sok Tahu).
#Galungan #SriJayaKesunu #HyangBetariNini #PuraDalemPuri

Tuesday, October 24, 2017

PUTIH - KUNING dan BATUR KALAWASAN



Kalau boleh bercerita, ini sebenarnya lanjutan dari tulisan kemarin. Kali ini tentang warna “putih kuning” terkait dengan keberadaan kawitan / Batur Kalawasan Petak. Dimana kawitan berasal dari “wit” artinya asal. Kawitan artinya keasalmulaan / asal usul. Dalam bahasa Jawa disebut “wit – witan – wetan” artinya timur. Timur adalah asal mula matahari terbit, kemudian mengarungi waktunya lalu terbenam di barat, untuk selanjutnya terbit kembali di timur esok hari.

Lingkar kehidupan manusia pun demikian. Para Leluhur / Kawitan / Batur Kelawasan Petak dulu mengawali kehidupan di dunia lalu menurunkan anak cucu kumpi buyut, dst. Terlahir ke dunia menjalani karma dan pada waktunya kembali ke asal. Demikian berlangsung secara berulang mengikuti irama karma. Bagaikan matahari, terbit dan terbenam.
Demikian untuk mengawali cerita ini. Lalu… kenapa putih kuning…?

Dalam pengideran nawa dewata, timur warnanya putih bagaikan pancaran cahaya matahari terbit. Sinar kehidupan yang putih bersih penuh kesucian.
Sedangkan di barat warnanya kuning seirama dengan kemilau kuning sinar mentari tatkala akan terbenam. Kuning menyiratkan kedewasaan, kematangan, dan kebijkasnaan. kanduksupatra.blogspot.com

Atas dasar itu, putih kuning dimaknai sebagai “kangin kauh” (timur barat) yang berarti pula “awal – akhir” atau “asal – tujuan”. Ada ungkapan bahasa Bali “sing nawang kangin kauh” artinya tak tahu arah timur – barat. Kalimat ini untuk mengungkapkan seseorang dalam kebingungan. Artinya, manusia mesti tahu asal usul / kawitan, serta tahu tujuan hidup.

Jika tak memahami filosofi putih - kuning, bagaikan berjalan dalam kegelapan, “pati kaplug” tabrak sana tabrak sini, bingung tak tentu arah dan tujuan.

Dengan mengetahui kesejatian Putih Kuning, paling tidak hidup tidak “paling” (bingung) dalam memahami asal usul / kawitan serta tujuan hidup. Sehingga hidup ini senantiasa terayomi leluhur dan diberkati dewata.

Kurang lebih demikian. Ampura. “Ngentungin uyah ke pasih” - membuang garam ke laut.
#PutihKuning #BaturKelawasanPetak #Kawitan #KanginKauh #SuciBijaksana
kanduksupatra.blogspot.com

Tuesday, October 17, 2017

Hukum Kawitan Hanya Untuk Orang Hindu Saja? Tidak.. laahhh…!!!


Hidup ini sejatinya diikat oleh hukum sekala - niskala. Yang nyata adalah hukum negara yang mengatur kehidupan berbangsa. Yang tak nyata hukum karmapala, hukum Tuhan yang tak terbantahkan, bersifat adil, rinci, menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Dan yang ketiga adalah hukum kawitan, norma yang mengikat antara manusia (pretisentana) dengan para leluhurnya.
Yang menarik dan spesial adalah "hukum kawitan". Manusia yang hidup saat ini tak terlepas dari para pendahulunya yang disebut leluhur / kawitan. Hubungan secara lahiriah mungkin sudah terputus, tetapi hubungan secara bhatiniah tetap terjalin, walaupun keduanya berada dalam dunia yang berbeda yakni mercapada dan sunialoka. Baik buruk perilaku pretisentana di dunia fana akan mempengaruhi leluhur di sunialoka. Ketika pretisentana dapat menjalankan kewajiban hidup dengan baik, harmonis dengan keluarga, menjaga warisan leluhur, kukuh menjalankan tradisi leluhur, maka para leluhur merasakan kebahagiaan serta berkenan menerangi hidup para keturunan. Demikian pula sebaliknya, ketika para leluhur di alam sana tidak merasakan ketentraman, akan berpengaruh pula pada kehidupan pretisentana di dunia. Ada semacam hubungan sebab akibat. Itulah sebabnya kenapa manusia Hindu berkepentingan untuk senantiasa menjaga hubungan batiniah yang harmonis dengan leluhur. kanduksupatra.blogspot.com
Semua hukum kawitan tertuang dalam "bhisama" (pesan / petuah / amanat) yang tertuang dalam "prasasti, lelintihan, pabancangah", dll. Bhisama mengandung amanat, nasehat, hukum, sekaligus sangsi. Sangsi itu pun tak dapat dibayar dengan hukum kurungan atau denda material, namun bersifat niskala. Sebagai contoh, kutipan bisama sbb:
“…….. jika kamu lupa dengan kawitanmu, akibatnya kamu cekcok dalam keluarga, tidak henti-hentinya menemui kesengsaraan, selalu bersengketa dalam keluarga, banyak bekerja kurang pangan, ……”
Melalui bisama, para leluhur mengingatkan para pretisentana agar menjadi orang yang baik, memegang teguh ajaran dharma, hidup dalam kesucian, selalu ingat dan sujud bhakti kepada leluhur dan Dewa-dewa, memelihara perahyangan beliau, dll. Diingatkan pula akibat bila melanggar bisama, maka akan selalu cekcok dalam keluarga tanpa sebab yang jelas, tak harmonis, didera sakit yang tak jelas penyebabnya, kesengsaraan, siang malam bekerja namun tak ada hasil, dll.
Sangsi niskala ini bagaikan sebuah “kutukan”. Jika sudah terjerembab dalam hukum ini, maka harus menunggu sampai masa akhir kutukan itu. Secara ritual mungkin dilakukan dengan menghaturkan “guru piduka” sebagai pernyataan mohon ampun atas segala kelalaian. Namun hal tersebut tak membatalkan akibat dari kelalaian yang telah berlangsung selama ini. Guru piduka mungkin akan mempercepat proses penyelesaian.
Hidup tanpa memuja kawitan bagaikan berjalan di kegelapan, hidup tak terberkati, tak terayomi, terasa hampa. Oleh sebab itu, di dalam tradisi leluhur Hindu, memuja kawitan adalah kewajiban utama (paramadharma)
Lalu timbul pertanyaan, kenapa hanya orang Hindu saja yang terkena hukum kawitan?
Sejatinya tidak demikian…! Hukum kawitan layaknya hukum karma. Dipercaya atau tidak, hukum kawitan mengikat bagi semua keturunan, agama apapun dia. Cuman .. di dalam Hindu hubungan manusia dengan leluhur sangatlah terasa dekat, sehingga keberadaan hukum ini terasa nyata. Bagi mereka yang non Hindu secara pasti terikat hukum kawitan, cuman mereka tak menyadari. Ketika mereka didera hukum kawitan, maka mereka akan menilai sebagai hukum Tuhan.
Asapunika minab. Ampura tiang nasikin segara. Dumogi rahayu.
#HukumKarma #HukumKawitan #Kepongor #SalahangDewa
kanduksupatra.blogspot.com

Sunday, October 15, 2017

SAKUNTALA Cikal Bakal Wangsa Bharata





Kitab Adiparwa mengisahkan seorang pertapa bernama Wiswamitra, dulu merupakan seorang raja namun meninggalkan kehidupan istana karena ingin mendapatkan kejayaan seperti Bagawan Wasistha. Tapanya sangat khusuk, tak tergoyahkan. Melihat hal tersebut, Dewa Indra mengutus bidadari Menaka menguji tapanya. Bidadari Menaka terbang ke tempat Wiswamitra bertapa, diiringi Dewa Bayu dan Semara.
Bidadari itu menggoda Sang Wiswamitra sehingga nafsu birahinya muncul. Bidadari Menaka dihamili oleh Sang Wiswamitra. Setelah merasa tugasnya telah selesai, bidadari Menaka kembali ke kahyangan sementara Sang Wiswamitra pergi meninggalkan tempat pertapaan karena gagal. Di tepi sungai Malini, Sang bidadari melahirkan bayi perempuan. Bayi tersebut ditinggalkan seorang diri sementara ibunya terbang ke kayangan. Kemudian sang bayi dirawat oleh burung Sakuni.
Bagawan Kanwa yang sedang mencari kembang di sekitar sungai Malini terkejut melihat seorang bayi tergeletak dirawat oleh burung Sakuni. Lalu bayi itu dipungut, diberkahi, dipelihara, dan diberi nama Sakuntala karena dirawat oleh burung Sakuni.
Pada suatu ketika, Prabu Duswanta pergi berburu ke hutan di kaki gunung Himawan. Setelah masuk jauh ke tengah hutan, ia menemukan lokasi pertapaan yang sangat indah, yang ternyata kediaman Bagawan Kanwa. Di sana ia disambut oleh puteri cantik jelita bernama Sakuntala. Timbulah keinginan Sang Raja untuk menikahinya. Sakuntala menolak, namun dirayu terus oleh Sang Raja, akhirnya Sakuntala bersedia menikah dengan syarat anak yang dilahirkannya harus menjadi pewaris tahta Sang Raja. Karena diselimuti rasa cinta, Sang Raja bersedia memenuhi permohonan itu.
Sang Raja bercinta dengan Sakuntala. Tak lama setelah itu, ia pergi meninggalkan pertapaan. Ia pulang dan berjanji bahwa kelak ia akan kembali lagi ke pertapaan  untuk menjemput Sakuntala beserta anaknya jika sudah lahir.
Sakuntala termenung dan mengenang kepergian Sang Raja, Bagawan Kanwa datang. Sakuntala hanya diam membisu. Karena kesaktiannya, Bagawan Kanwa mengetahui kejadian yang dialami Sakuntala meskipun ia bungkam. Bagawan Kanwa membesarkan hati Sakuntala dan member nasehat.
Singkat ceritA, Dari hubungannya dengan Raja Duswanta, lahirlah seorang putera rupawan, diberi nama Sarwadamana. Tanda-tanda ia Calon seorang penguasa dunia tampak dari gambar cakra di telapak tangannya. Setelah anaknya lahir, Sakuntala dengan setia menunggu kedatangan Raja Duswanta. Namun Sang Raja tak kunjung datang. Hati Sakuntala menjadi semakin sedih memikirkan masa depan anaknya. Meliha hal tersebut, Bagawan Kanwa menyuruh Sakuntala beserta anaknya pergi menghadap Sang Raja di ibukota.
Karena ingin agar anaknya menjadi Raja, Sakuntala lalu pergi ke ibukota. Setelah sampai di ibukota, Sakuntala menghadap Sang Raja yang sedang bersidang di istana. Di depan umum, Sakuntala menjelaskan maksud kedatangannya bahwa ia hendak menyerahkan puteranya Sarwadamana sebagai putera mahkota karena janji Sang Raja.
Mendengar pengakuan itu, Raja Duswanta menolak perkataan Sakuntala. Ia menolak telah menikah dan memiliki anak dari Sakuntala. Ia juga menghina dan mencela Sakuntala di muka umum. Sakuntala menangis karena dipermalukan.
Tiba-tiba terdengar suara dari langit yang membenarkan perkataan Sakuntala. Raja tak bisa mengelak lagi lalu ia menyongsong dan memeluk Sakuntala beserta anaknya. “Duhai Sakuntala, sebenarnya aku sangat gembira akan kedatanganmu. Namun karena kedudukanku sebagai Raja, apa kata dunia bila aku menikahimu yang tidak dikira sebagai istriku? Kini kesangsian itu tak ada lagi, karena semuanya telah mendengar sabda dari langit yang membenarkan ucapanmu. Karena itu, engkau adalah istriku dan Sarwadamana adalah puteraku. Ia akan kuangkat sebagai Raja menggantikanku. Namanya kuganti menjadi Bharata karena berdasarkan sabda dari langit”.
Setelah Raja Duswanta berkata demikian, ia menyerahkan tahta kepada Bharata. Bharatta menjadi raja besar dan menguasai wilayah yang sangat luas yang disebut dengan Bharatawarsa.
Raja Bharata menikah dengan Sunandadewi, melahirkan Sentanu yang kemudian menjadi raja di negeri Bharata yang akan menurunkan Dinasti Kuru. Raja Sentanu memiliki putra Bhisma (beribu Dewi Gangga). Putra Sentanu dari pernikahannya dengan Dewi Satyawati melahirkan Citra Anggada dan Wicitra Wirya. Yang selanjutnya akan menurunkan Drestrarastra dan Pandu. Yang selanjutnya menurunkan Korawa dan Pandawa. Demikian dikisahkan.
#KelirWayang #BudayaNusantara #WangsaBharata kanduksupatra.blogspot.com

Friday, October 13, 2017

CELULUK Celebrity Selfie


Dunia mistik di Bali memang ok. Ketika Kajeng Kliwon atau rerahinan lainnya, aura magisnya sangat kental karena banyak orang melakukan ritual tertentu. Aura magis ini makin menjadi – jadi ketika banyak perwujudan tak kasat mata bergentayangan. Konon kabarnya…..
Celuluk, salah satu orang menyebut. Liak ini memang sangat popular dengan karakter yang banyol, cengar - cengir cengengesan mengarah konyol.
Celuluk sejatinya perwujudan dari orang yang mengangankan dirinya menjadi sosok cantik, seksi, berpenampilan menarik, dan pede. Namun dalam kacamata manusia biasa ia adalah sosok gidat jantuk, bungut bues, mata gede, cunguh nyambu, nas lengar, bok gombrang, potongan wug, dan tak senonoh. Sepertinya demikian ….
Sebagai perwujudan manusia, celuluk bisa saja terbawa - bawa dengan keinginan manusiawinya. Ketika akan ngelekas jadi wanita cantik nan seksi (celuluk), mereka menyelipkan Smartphone di sanggah cucuknya. Dengan harapan ketika sudah ngelekas menjadi celuluk, ia dapat mengabadikan kegiatan ngeliaknya dan berselfie ria. Kurang lebih demikian….
Yang pertama mungkin selfie di tempat ia ngelekas. Lalu dalam perjalanan bisa jadi selfienya di perempatan, lanjut menuju rumah mangsa yang dituju entah selfienya di gang atau di depan pintu gerbang sang mangsa. Tidak sampai di situ, ketika sudah menemukan mangsanya ia kembali berselfie dengan mangsanya. Sudah tentu mangsanya tak tahu kalau si celuluk berselfie di sampingnya. Barulah adegan selanjutnya yakni nyesep bol atau mengganggu bayi tidur pada tengah malam . Demikian kura – kura ….
Konon kabarnya pula celuluk adalah jadi-jadian manusia yang punya perasaan yang sering menumpahkan rasa manusiawinya ketika menjadi celuluk. Tak heran jika ada celuluk kasmaran, celuluk matreks, celuluk doyan selfi kayak celebrity, dll. Kalau selfienya pun tak tanggung - tanggung. Seperti pake sabun mandi aja. Fotonya dari samping kanan kiri, atas bawah, depan belakang, pokoknya semua kena jepret, untuk selanjutnya diposting di Fb atau Ig komunitas / group para celuluk, berharap coment positif dari rekan - rekan sejawat celuluk. Begitu katanya….
Celuluk adalah liak yang mengakomodir perkembangan jaman. Celuluk adalah liak modern. Celuluk emang moy. Dalam sebuah pentas, ia menjadi sosok yang ditunggu – tunggu kehadirannya. Celuluk, sosok yang dibenci sekaligus dirindu.
Nggak ada celuluk… gak rame. Bagi yang sudah bisa jadi celuluk dipersilakan membentuk komunitas celuluk. Mungkin ke depan akan ada pesta celuluk, ada reuni celuluk, ada banjar celuluk, ada gubernur celuluk, dll.
Hahaha… kok ceritanya jadi kacau….? Para celuluk jadi bingung membacanya. Satua sing metutuk mebongkol... ulian sing ngelah gae. Ampura. kanduksupatra.blogspot.com