Friday, April 28, 2017

ONDEL - ONDEL .... Nasibmu Tak Seindah OGOH-OGOH !!




 “Yuk kita nonton ondel ondel…. Yuuukkk….” Demikian salah satu lirik lagu Benyamin S, seorang seniman Betawi yang sangat mencintai tanah kelahiran dan budayanya.
Ondel - ondel pada awalnya lahir sebagai sosok orang - orangan sawah (seperti “lelakut” di Bali) ketika jaman agraris belangsung di tanah Betawi. Dalam budaya masyarakat Betawi, ondel - ondel juga digunakan sebagai sarana tolak bala, penolak bahaya dan penyakit (seperti “nangluk merana” di Bali). Dan pada awalnya ondel-ondel dibuat berwajah seram seperti halnya sosok kala di Bali. Demikian juga dengan proses pembuatannya memerlukan ritual dan sesaji khusus agar ondel-ondel yang dibuat memiliki kekuatan magis yang mampu mengusir roh jahat penyebab penyakit.
Dalam perjalanan kebudayaan masyarakat Jakarta, ketika pemerintahan Gubernur Ali Sadikin (tahun 1960), sosok ondel ondel tidak lagi digunakan sebagai sarana tolak bala, namun sebagai atraksi hiburan budaya masyarakat Betawi. Wajahnya diubah menjadi wajah sosok manusia biasa dengan pakaian meriah, sehingga kesan seram dan angkernya hilang.
Sosok ondel - ondel sejatinya tak jauh beda dengan sosok Barong Landung di Bali sebagai sarana tolak bala ketika upacara nangluk merana pada sasih kenem yang dikenal dengan istilah “melancaran”. Atau tak bedanya dengan sosok ogoh - ogoh yang diarak ketika pengerupukan menjelang Hari Suci Nyepi.
Ondel - ondel identik dengan Jakarta. Ondel – ondel adalah salah satu kekayaan budaya nusantara. Saat ini ia sedang berada di pinggir jurang. Sedang berada dalam dilema. Di tanah kelahirannya di Betawi (Jakarta), sedang terjadi perkembangan ekstrim terkait filosofi ketuhanan dan perubahan cara pandang terhadap kebudayaan. Ondel - ondel yang tadinya sebagai sarana tolak bala (pengusir berhala) justru kini menjadi tersangka sebagai “berhala”. Ia semakin dijauhi, semakin terpojok, dan keberadaannya makin langka. Ondel - ondel sebagai sarana “nangluk merana” justru nasibnya sedang merana.
Lebih - lebih ketika menyaksikan liputan sebuah televisi dimana ondel - ondel makin terpinggir. Ketika itu pula terbersit pikiran, bahwasannya umat Hindu yang ada di Jakarta mesti berbuat sesuatu untuk ondel - ondel. Ondel - ondel mesti disertakan dalam ritual keagamaan di Jakarta. Ogoh - ogoh dalam pengerupukan misalnya !. Ondel – ondel mesti ditarik kembali dalam dalam ritual agama dan budaya, sehingga ia akan memiliki nilai magis / taksu tersendiri.
Karena ondel – ondel dan ogoh – ogoh memiliki kesamaan. Disebut ondel - ondel karena gerakannya yang lenggak - lenggok, sedangkan ogoh - ogoh bergerak karena di “ogah – ogah” (digoyang – goyang). Sama - sama sebagai sosok yang dibuat untuk sarana ruwatan buana agung dan tolak bala, selain sebagai karya seni. Dengan demikian ondel - ondel akan memancarkan taksunya kembali di tanah Betawi. Memancarkan aura positif seperti jaman agraris dahulu di tanah Betawi. Semoga.
#OndelOndelOgohOgoh #BetawiJakarta #BudayaNusantara #BudayaBetawi #TolakBala
#ArtikelAsli oleh kanduksupatra.blogspot.com

Friday, April 21, 2017

CELENG BOLOTAN


Satua Puyung Tutur Ngelantur di hari sabtu

Eh Celeng…., dalam filsafat kuno kau dikenal dengan nama besar WARAHA, penyelamat bumi ketika alam semesta ditenggelamkan oleh maharaja asura.
Dewa Wisnu menyelamatkan dunia mengambil swarupa CELENG.
Engkau punya nama lain Babi, Bawi, Pig, Suis, dll.
Nama kecilmu adalah KUCIT. Jika engkau betina dewasa berjuluk BANGKUNG. Sebutan CELENG adalah bagi engkau yang berkelamin jantan dewasa. Jika engkau berprofesi sebagai pejantan pengawin maka engkau berjuluk KAUNG.
Eh… Celeng, engkau ciptaan Tuhan yang telah menopang kehidupan di dunia
Engkau dilahirkan untuk menjadi bahan santapan manusia (walaupun tak berlaku untuk keyakinan tertentu dan kaum veg).
Di kalangan manusia Bali Hindu namamu sangat tenar. Engkau sebagai wujud awatara, di satu sisi kau jadi sesaji untuk pengharmonisan alam semesta. Kau telah memeriahkan pesta pora masyarakat adat. Kau telah menghidupkan “penikmatmu” sejak dahulu, bahkan sampai akhir jaman.
Eh Celeng…., engkau berperan sebagai penyangga dunia. Berkontribusi besar dalam peradaban manusia. Dalam kebudayaan engkau diwujudkan BARONG BANGKUNG, penolak bala dan penyakit, penetral kekuatan jahat.
Eh Celeng…, kini engkau sedang jadi tersangka. Dituduh menyebarkan penyakit “Strepcocus suis” yang menyebabkan gejala “meningitis” radang selaput otak.
Tapi kok dalam pemeriksaan laboratorium kau dinyatakan negatif… gemana ini?.
Engkau sudah kadung jadi tertuduh.
Kau benar-benar menjadi “CELENG BOLOTAN” sebuah istilah dalam bahasa Bali yang bermakna “selalu menjadi pihak tertuduh jika ada suatu kesalahan”, padahal belum tentu dia yang berbuat.
Eh Celeng Bolotan…., selalu jadi pihak yang dipersalahkan dari keteledoran tetangga. Kau disayang kau ditendang.
Sekarang engkau sedang berada dalam pusaran dilema. Sebagai tersangka, sebagian lagi membencimu sampai akhir hayat.
Tetapi seperti yang sudah sudah…. Badai pasti berlalu… dan selalu akan datang lagi ..!! Engkau sudah biasa melewati prahara ini dari jaman ke jaman.
Tanpamu Celeng… dunia ini akan tenggelam lagi seperti dahulu kala.
Iklan televisi bilang “NGGAK ADA LU NGGAK RAME…!” Celeng oh celeng bolotan…..!!!
----------------------------
Sekedar ocehan tak bermakna. Satua Puyung Tutur Ngelantur.
#SingNgelahGae #NyatuaTuaraAda #DemenNgerambangBangkenDongkang #CelengBolotan #ParibasaBali Original artikel by kanduksupatra.blogspot.com
(Foto: pinjam di pondok sebelah).

Monday, April 17, 2017

Sanghyang ASWANA dan Sanghyang ASWINI Si Dewa Kembar




Aswan dan Aswin adalah dewa kembar putra dari Batara Sumeru dengan Dewi Kurani. Berarti masih keturunan Sanghyang Taya, adik Sanghyang Wenang. Batara Aswan dan Batara Aswin mengemban tugas menjaga keselamatan umat di bumi dengan keahliannya masing-masing. Batara Aswan adalah dewa yang khusus memerangi segala macam penyakit yang berkembang di bumi, sedang Batara Aswin adalah dewa yang menguasai ramalan segala sesuatu yang terjadi di dunia.
Batara Aswan dan Batara Aswin memiki sifat dan perwatakan, sabar, teliti, cerdas, setia dan patuh terhadap perintah. Atas perintah Sanghyang Manikmaya (Batara Guru), Batara Aswan dan Batara Aswin turun mercapada (bumi) dengan perantaraan rahim Dewi Madri, putri Prabu Madrapati dengan Dewi Tejawati dari Negara Mandaraka. Dewi Madri adalah istri Prabu Pandudewanata (Sang Pandu) raja negara Astina. Batara Aswan sebagai Pinten (Nakula), sedangkan Batara Aswin menjelma sebagai Tansen (Sahadewa). Keduanya merupakan satria kembar Panca Pandawa. kanduksupatra.blogspot.com
Dewa Aswan dan Aswin dikenal juga sebagai Dewa Dukun karena ahli dalam obat-obatan dan menyembuhkan berbagai penyakit. Mereka pernah menyembuhkan seorang penggembala bernama Utamanyu dari kebutaan yang dideritanya sejak lahir. Mereka juga pernah menghadiahkan umur panjang dan kembali muda kepada Maharsi Cyawana, setelah menguji kesetiaan istri pertapa tersebut yang benama Dewi Sukanya.
Nama kedua dewa ini di Nusantara Indonesia semakin populer. Kalau di Indonesiakan menjadi Sanghyang Aswana dan Sanghyang Aswini. 
#Kelir #WayangPurwa #AswanAswin #AswanaAswini #DewaKembar #KiBuyutDalu
kanduksupatra.blogspot.com

Tuesday, April 11, 2017

ASAL USUL NAMA DESA KUBU TAMBAHAN





            Diceritakan kerajaan Bali yang perpusat di Klungkung diperintah oleh Dalem Dimade. Kekuasaan beliau sangat luas, mencakup seluruh tanah Bali. Beliau memerintah dengan bijaksana, sehingga rakyat Bali hidup tentram, aman dan sejahtera. Dalam memerintah beliau didampingi para patih, Bhagawanta, dan pemuka kerajaan. Salah seorang patih beliau yang cakap dan setia bernama I Gusti Tambahan yang berasal dari Tambahan Bangli. #Asal_Usul_Nama_Desa_Kubu_Tambahan_Buleleng  #kanduksupatra.blogspot.com
I Gusti Tambahan memiliki seorang putri bernama Ni Gusti Ayu Jembung, berwajah cantik dan cakap. Atas kecantikannya, terdengar oleh Dalem Dimade yang berkuasa kala itu, berkehendak untuk mempersunting Ni Gusti Jembung.  Semakin lama, semakin tak terbendung hasrat dari Dalem Dimade untuk mempersunting Ni Gusti Ayu Jembung. Akhirnya pada suatu hari Dalem Dimade menyampaikan maksud hati beliau.
Namun I Gusti Ngurah Tambahan berkeberatan kalau putrinya dipersunting oleh Dalem. I Gusti Ngurah Tambahan menyampaikan keberatannya tersebut dengan sopan santun dan tata krama yang lembut kepada Dalem. Dan untuk menghindari terjadinya hal yang tak diinginkan, maka I Gusti Ngurah Tambahan memutuskan untuk meninggalkan Desa Tambahan diiringi oleh pengikutnya yang setia.  Mereka menuju ke daerah timur menuju ke wilayah Karangasem dan menetap di sana untuk sementara waktu. Setelah beberapa lama di sana, kemudian I Gusti Ngurah Tambahan angkat kaki dari wilayah Karangasem, menyusuri pantai menuju ke wilayah utara pulau Bali, hingga tanpa disadari rombongan I Gusti Ngurah Tambahan sampai di daerah kekuasaan I Pasek Bulihan. #Asal_Usul_Nama_Desa_Kubu_Tambahan_Buleleng #kanduksupatra.blogspot.com
            Ketika menginjakkan kakinya di sana, I Gusti Ngurah Tambahan mendengar bahwa Desa Bulihan  sedang mengalami ancaman gangguan bahaya. Desa Bulihan beserta rakyatnya sedang diganggu oleh bromocorah yang menyebabkan rakyatnya menjadi ketakutan.  Dengan  kesaktian yang dimilikinya, ia bertarung untuk menyelamatkan masyarakat desa Bulihan. Melalui pergulatan yang melelahkan, akhirnya pertarungan dimenangkan oleh I Gusti Ngurah Tambahan.
Atas keberhasilan tersebut Jero Pasek Bulihan yang menguasa wilayah dan rakyat di sana megucapkan terima kasih atas bantuan dan keberanian dari I Gusti Ngurah Tambahan.  Masyarakat desa Bulihan juga menjadi sangat gembira karena kembali merasa aman. Sebagai ucapan rasa terimakasih, Jero Pasek Bulihan menghadiahkan sebidang tanah yang terletak di sebelah utara Desa Bulihan. Pemberian Jero Pasek Bulihan tersebut diterima dengan senang hati oleh I Gusti Ngurah Tambahan. Beliau beserta keluarga dan pengikutnya membangun kubu (pemondokan) di sana.  Akhirnya, tempat bermukim I Gusti Ngurah Tambahan itu dikenal dengan Kubu Tambahan. Karena I Gusti Ngurah Tambahan membuat kubu (pondok) di sana.
            Di sanalah kemudian I Gusti Ngurah Tambahan bersama dengan pengikut dan masyarakat sekitarnya hidup damai berdampingan. Demikian juga hubungan yang erat dan baik diantara warga Pasek Bulihan, Pasek Bayan, Pasek Bebetin. Bahkan keempat warga pasek tersebut senantiasa menjalin persaudaraan dalam suka dan duka.
Demikian diceritakan secara singkat dalam pustaka lawas. Ampura.
#AsalUsulNamaDesaKubuTambahanBuleleng #SejarahBali #BudayaBali
kanduksupatra.blogspot.com

Monday, April 10, 2017

Dari Geguritan ke Novel (Sebuah Apresiasi dari IB Widiasa Keniten)




Seputar sastra bali modern, geguritan, cerpen, ulasan, artikel, dan drama bali modern

Dari Geguritan ke Novel
Oleh IBW  Widiasa Keniten

Geguritan Basur  hasil cipta Ki Dalang Tangsub telah menggugah seniman – seniman lain. Baik seni dramatari, khususnya arja, seni pencalonarangan dengan lakon Basur. Tokoh  Basur terkesan mistis dalam setiap pementasan. Basur identik dengan dunia pangeleakan yang ada di Bali. Basur merupakan tokoh hidup yang mewakili dunia mistis. Setiap membicarakan tentang pangeleakan, Basur selalu hadir. Inilah salah satu kehebatan dari Ki Dalang Tangsub yang mampu menghidupkan tokoh.  
            Tokoh Basur tidak berasal dari tokoh – tokoh yang berlatar belakang istana, seperti layaknya cerita klasik. Ia berasal dari rakyat jelata hanya dikatakan perekonomiannya di atas rata  - rata dibandingkan dengan masyarakat yang ada di desa Karangsari.Cuma di antara masyarakat Karangsari, Basur dikenal menguasai pangeleakan.
            Hal – hal di atas tampaknya menggugah para pengarang  untuk mengabadikan tokoh Basur dalam karya – karyanya. Salah satunya karya novel dari Kanduk Supatra, Ki Gede Basur antara Asmara dan Ilmu Hitam. Buku ini dicetak oleh Panakom.
            Kanduk Supatra jelas – jelas mengatakan bahwa ia mengambil sumber dari Geguritan I Gede Basur yang ditransliterasikan oleh Made Sanggra. Ada perbedaan antara Geguritan Basur dalam Kidung Prembon dengan Geguritan I Gede Basur karya Ki Dalang Tangsub yang transliterasi oleh Made Sanggra ada penambahan tokoh Ni Garu yang mengalahkan I Basur.
Dalam Kidung Prembon, tokoh Basur tidak dikalahkan. Basur disadarkan oleh Ki Balian. Tidak ada kalah dan menang. Keduanya menyatakan diri berjalan sesuai dengan swadarmanya ( tugas dan kewajibannya masing- masing), Dharma Sadhu dan Dharma Weci. Dualisme yang selalu bertentangan.  Dalam novel Ki Gede  Basur antara Asmara dan Ilmu Hitam, Ni Garu yang mengalami penyadaran. Kedua tokoh yang menguasai ilmu hitam Basur dan Ni Garu (pria dan perempuan) disadarkan oleh Ki Balian Sadhu.
            Kanduk Supatra melakukan penggubahan dari Geguritan menuju Novel. Konsekwensi dari penggubahan  ini akan ada  perubahan – perubahan bahasa, bentuk, isi, dan budaya yang ingin diungkapkan oleh pengarang  novel.

Interfrensi  Bahasa
            Interfrensi  bahasa terjadi dari bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia. Interfrensi ini digunakan untuk menambah kekentalan cerita dan juga terdapat beberapa kata – kata yang tidak ada padanannya di dalam bahasa Indonesia secara tepat, misalnya, pangeleakan, ngaben, buratwangi, lengawangi, canang sekar, bale dauh dan sebagainya. Masuknya kosakata bahasa Bali ke dalam novel berbahasa Indonesia sebenarnya juga dilakukan oleh Putu Wijaya dan juga Oka Rusmini. Ini sebagai penanda bahwa bahasa ibu bisa digunakan untuk menambah suasana dan penggambaran cerita agar semakin dekat dengan masyarakat pendukungnya.
            Bahasa Bali yang memiliki kekhasan tersendiri, tentulah tidak semuanya dapat dialihkan ke dalam bahasa Indonesia. Ia meski tetap dipertahankan selama tidak mengganggu alur, suasana cerita yang digambarkan oleh penulis dalam hal ini oleh Kanduk Supatra.
 Bahasa Bali tidak serta merta akan mengganggu cerita yang ditulis bahkan justru bisa sebagai memperkuat cerita. Hanya saja tidak diberi penjelasan oleh Kanduk Supatra kata – kata bahasa Bali yang dipilihnya. Novel ini memang akan menyulitkan jika tidak berlatar belakang dari budaya Bali. Meski diakui beberapa kosakata bahasa Bali  susah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, misalnya ngaben yang sering dimaknaai upacara pembakaran mayat. Padahal, banyak prosesi yang berkaitan dengan ngaben bukan hanya pembakaran mayat  saja.
            Pengarang  novel, Kanduk Supatra menjadi dwibahasawan (bahasa Bali dan bahasa Indonesia) baik pasif maupun aktif. Tidak akan menjadi novel yang bagus jika tidak memahami kedua bahasa Bali dan Indonesia, tetapi dalam kenyataannya Kanduk Supatra mampu menggunakan kedua bahasa itu dengan baik.

Pengalihan Bentuk
            Geguritan dimaknai cerita dalam bentuk puisi yang dapat dinyayikan (Kamus Bali Indonesia, 2005 : 289). Geguritan Basur yang berupa puisi tradisional dapat dinyayikan dalam hal ini memakai tembang ginada. Ciri karya geguritan,  terikat dengan aturan – aturan, seperti jumlah suku kata dalam setiap larik; jumlah larik dalam setiap baik; persamaan bunyi yang mengakhiri larik atau baris. Bait – bait yang dikenal dengan pada dalam aturan penulisan geguritan tidak bisa diubah. Aturan – aturan dalam geguritan bersifat baku sebagai ciri khas sebuah geguritan. Bentuk geguritan diubah menjadi bentuk yang cair seperti prosa. Jika dalam geguritan, bait – bait itu bisa dinyanyikan setelah menjadi sebuah novel tidak bisa karena ia sudah memasuki dunia tersendiri. Karya tradisional memasuki wadah baru berbentuk novel. Ia mesti mengikuti aturan – aturan novel yang tidak terikat pada aturan – aturan tertentu.
            Pengarang  novel mendapatkan kebebasannya dalam mengolah cerita. Ia tidak lagi terpaku pada aturan – aturan yang sifatnya mengikat. Kebebasan dalam berkreativitas  teruji di samping kemampuannya menambahkan hal – hal lain yang tidak ada dalam geguritan, misalnya deskripsi tentang rumah I Gede Basur, deskripsi desa Karangsari. Deskripsi tempat, tokoh, dan suasana desa.
            Dalam novel I Gede Basur pun, tidak ada kutipan geguritan berpupuh ginada. Jika kita lihat pada Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari masih mengutip beberapa tembang yang mampu menambah suasana alam desa. Jika ditambahkan misalnya tembang saat Basur membawa sajen ke kuburan yang berkaitan dengan perubahan wujud,  akan menambah suasana mistis dalam novel.  Misalnya, mangkin reké sandikala,I Gede Basur ia pedih, ka sétra mangaba canang, maduluran sanggah cucuk , maebésiap biying brahma,buratwangi, daluwang marajah Dhurgha ( Geguritan I Gede Basur, 2006: 13). Artinya, sekarang sudah senjakala, I Gede Basur ia marah, ke kuburan membawa sajen, disertai sanggah cucuk, lauknya ayam merah brahma, buratwangi ( nama sajen), kertas bergambarkan Dewi Dhurga.

Pengembangan Isi
            Alur cerita yang ada dalam geguritan Basur dikembangkan lagi sesuai dengan kemampuan si penulis. Geguritan Basur hanya sampai meninggalnya I Gede Basur setelah kalah bertanding dengan Ni Garu. Dalam novel I Gede Basur tokoh Ni Garu disadarkan oleh Ki Balian Sadhu.  Seakan –akan Kanduk Supatra  ingin menyampaikan bahwa kebenaran pasti akan menang atau Dharma mengalahkan Adharma.
            Penambahan tokoh – tokoh pun dilakukan oleh Kanduk Supatra. Misalnya, Ni Rumanis yang dinikahi oleh I Tigaron yang  bertemankan I Nyoman Lawe. Pernikahan Tigaron yang dibantu oleh Jero Made Polos. Ni Codet yang juga menjadi pengikut Ni Garu. Ki Balian Sadhu dalam novel  sebagai pengganti Ki Balian dalam geguritan.
            Penambahan tokoh dalam novel tidak mengganggu alur cerita yang sudah ada dalam geguritan selama narasi dan  pendeskripsiannya  terukur dan sistematis sehingga pembaca lebih memahami karakter dari masing – masing tokohnya.
            Degresi – degresi (lanturan)  yang ditulis Kanduk Supatra memperjelas suasana alam pedesaan saat Bali masih kental dengan suasana mistis tentang pangeleakan. Digambarkan pedagang Ni Codet yang mempelajari ilmu pangeleakan untuk menarik pembeli. Dalam artian, telah terjadi persaingan ekonomi yang kurang sehat. Manajemen dalam perdagangan belum berjalan maksimal.
            Manusia Bali yang masih sempat berkumpul – kumpul saat sore menjelang malam. Anak – anak yang bermain di sungai. Petani yang mengolah sawahnya dengan beragam jenis padi. Semua gambaran di atas hanya sebagai kenangan saja untuk masa – masa sekarang.
 Mendekatkan suasana Bali yang masih kental dengan suasana pedesaan yang mistis bukanlah pekerjaan mudah karena mengharuskan seorang pengarang  novel  melakukan pengamatan, membaca sumber – sumber yang dekat dengan suasana Bali, alam pedesaannya yang masih asri jika dibandingkan dengan suasana Bali pada saat sekarang yang telah banyak berubah. Ini suatu tantangan yang menarik bagi seorang pengarang.

Sosial Budaya Bali Tempo Dulu
            Suasana sosial masyarakat Bali tempo  dulu yang diungkapkan oleh Kanduk Supatra. Jiwa welas asih, semangat kegotongroyongan, saling membantu masih teramat jelas bisa dilhat dalam novel I Gede Basur. Tetangga yang sakit ramai – ramai dibantu meski saat itu sudah malam. Dalam jiwa manusia Bali  masih tumbuh semangat kebersamaan. Individualismenya tampaknya belum terlalu banyak tumbuh.
            Jika ada tetangga yang punya kerja bersedia untuk membantunya, tidak ada terbersit untuk memikirkan keuntungan saat memantu sesama. Kesediaan menolong  memang benar – benar tulus.
            Budaya masyarakat Bali diungkapkan masih percayanya pada ilmu hitam yang dapat mempengaruhi perjalanan seseorang. Kepercayaan pada hal – hal yang sifatnya supranatural masih kental. Misalnya, Made Polos sebagai pawang hujan  mampu menghalau hujan.
            Subak masih hidup dengan pengaturan tataair yang sistematis. Sekaa manyi ( kelompok pengetam) masih berjalan. Sekaa nandur ( kelompok menanam benih padi) masih dilaksanakan. Tidak ada yang menyewa tukang tanam padi. Membajak masih menggunakan sapi belum ada traktor.
            Budaya pernikahan ala Bali yang dituturkan lewat pernikahan I Tigaron dengan Ni Rumanis  juga ditulis dengan cukup apik juga preosesi ngaben yang ada di Bali . Bahkan ditambahkan dengan nilai – nilai agama Hindu.
            Hubungan sosial budaya seperti di atas hanya sekilas saja ditulis dalam geguritan I Gede Basur. Artinya, melalui novel I Gede Basur antara Asmara dan Ilmu Hitam, sosial budaya  masyarakat Bali tempo dulu  dapat dinarasikan cukup apik oleh Kanduk Supatra.

Penekanan pada Kesadaran
            Geguritan Basur dengan jelas mengungkapkan Basur dikalahkan oleh Ni Garu . Kekalahan Basur karena ilmunya di bawah dibandingkan dengan ilmu Ni Garu. Basur tidak mengalami kesadaran. Ia meninggal dalam mempertahankan diri dan menjaga martabatnya sebagai seorang tokoh ilmu hitam. Ada ego di dalamnya. Basur dan Ni Garu sama – sama mengisi egonya untuk menang. Tidak ada penyadaran diri. Mati dengan membawa rasa dendam bukan kedamaian.
Dalam novel terjadi sebaliknya, Ni Garu  dan Ni Codet disadarkan oleh Ki Balian Sadhu. Ki Balian Sadhu mampu membuat Ni Garu dan Ni Codet  dalam titik kosong : Pekak memang sengaja memusnahkan segala kewisesan yang engkau miliki. Itupun atas restu dari hyang Betari yang menganugerahi engkau. … semua kewisesan yang engkau miliki tersebut tidak didasari atas hati yang bersih dan suci. Engkau belum mampu mengendalikan amarah yang ada dalam dirimu, belum mampu mengendalikan hawa nafsu dan juga rasa  keakuanyang bersemayam dalam pikiranmu. Engkau cenderung mengumbar segala indriamu ( hal. 140).
 Ni Garu dan Ni Codet  sampai lupa akan segala ilmunya dan kembali kepada ajaran Dharma.Secara tersirat novel ini ingin menggambarkan sejahat apa pun manusia itu pasti bisa kembali ke jalan yang benar selama di dalam dirinya timbul kesadaran baru.Hal ini diistilahkan dengan Sadhu Dharma dan Dharma Sadhu.
            Menggubah geguritan menjadi sebuah novel memerlukan keterampilan, kreativitas, daya imajinasi, dan penguasaan bahasa. Pengarang mesti menguasai kedua bahasa baik pasif maupun aktif. Perubahan – perubahan  itu menyangkut bahasa, bentuk, isi, dan sosial budaya masyarakat yang ingin diungkapkan pengarang.  Email: ibw.keniten@yahoo.co.id