Friday, March 27, 2015

Rangda Legu Gondong




Diceritakan pada jaman dahulu ketika wilayah kekuasaan Raja Kesiman sampai ke daerah pesisir timur dan tenggara yang meliputi daerah Sanur Intaran dan sekitarnya. Pada masa kejayaan Puri Agung Kesiman, hiduplah seorang yang mumpuni di bidang ilmu kedigjayaan atau ilmu kewisesan yang diberi julukan Rangda Jero Agung, tinggal di Desa Intaran.
Dikisahkan Rangda Jero Agung hidup bahagia bersama sang istri tercinta. Namun seiring dengan perjalanan waktu, sang istri kemudian amor ing acintya alias meninggal dunia. Waktu pun berlalu, danpandangan masyaraakat pun berubah terhadap rangda Jero Agung. Entah apa yang terjadi, masyarakat Intaran mencurigai bahwa Rangda Jero Agung memiliki ilmu pengliakan.
Kasak kusuk itu terdengar pula oleh Rangda Jero Agung. Lantaran merasa difitnah, maka Rangda Jero Agung lalu  menghadap kepada Bendesa Intaran. Karena tidak puas akan penjelasan yang diberikan oleh Jero Bendesa, Rangda Jero Agung merasa jengah. Rangda Jero Agung kemudian pergi ke Pura Dalem Blanjong Sanur melakukan dewasraya untuk memperoleh panugrahan kawisesan dengan memanunggalkan bayu sabda idep.
Ida Betari Durga yang maha pengasih kemudian  mengabulkan permohonan Rangda Jeero Agung. Ida Betari Durga napak di hadapan Rangda Jero Agung dan memberikan penugran. Penugrahan yang diberikan Betari Dalem adalah berupa Legu (nyamuk). Hal ini lantaran masyarakat Desa Intaran tidak pernah melakukan upacara yadnya dan persembahyangan di Pura Dalem Blanjong Sanur.
Dengan anugrah tersebut, Rangda Jero Agung membuat kekacauann dengan menyebar wabah penyakit melalui kesaktian legu tersebut. Desa Intaran menjadi grubug. Mengetahui desanya terkena wabah penyakit, dimana banyak warga yang mati secara tidak wajar, Bendesa Intaran lalu menghadap ke Puri Kesiman. Puri Kesimanpun Mengutus Ki Mekel Klutug, untuk menyelidiki wabah penyakit yang terjadi di Desa Intaran.
Dari pengamatan Ki Mekel Klutug di desa Intaran, kemudian didapat informasi bahwa penyebab semua ini adalah Rangda Jero Agung yang menggelar kewisesan dengan mengerahkan ajian Legu Gondong. Akhirnya terjadi pertempuran dimana Ki Mekel Klutug melawan Rangda Jero Agung. Atas pertempuran tersebut, kemudian Randa Jero Agung dapat dikendalikan serta kondisi masyarakat berangsur angsur normal kembali.
Dari kisah Legu Gondong tersebut dapat dipetik sebuah nilai positif bahwasannya Fitnah atau Raja pisuna yang ditebar bisa jadi akan menghancurkan kehidupan orang banyak. Sebab doa dan permohonan orang yang terhina teraniaya dan tertindas sangat manjur. Hal ini persis ketika anak Ki Balian Batur difitnah telah menjual makanan lawar jelema.
Satu lagi yang penting adalah kisah Legu Gondong bisa jadi adalah permainan Tuhan dalam hal Dewi Durga uuntuk mengingatkan manussia dan masyarakat agar tidak melupakan Widhi atau Tuhan dengan cara melakukan yadnya dan perssembahyangan di Pura Dalem Blanjong. Artinya kejadian ini adalah peringatann Tuhan kepada manusia untuk senantiasa mendekatkan diri kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, karena manusia adalah ciptaan Tuhan.
Kisah Legu Gondong ini juga sebagai cerminan dari pertempuran Rwa Bhineda yakni dua kekuatan baik dan buruk, positif negatif, kebenaran dan kejahatan akan senantiasa bersanding di dunia ini. (Kand.)

Panca Wanara Konyer





Di Bali ada istilah khusus untuk menunjukkan dampak yang biasanya dialami oleh para peminum Tuak, yaitu :

1.      Eka Padmasari artinya satu gelas pertama memberikan rasa yang menyegarkan.

2.      Dwi Angemertani, dua gelas tuak yang membangkitkan rasa semangat.

3.      Tri Raja Busana, peminum yang sudah menenggak tiga gelas tuak, wajah sudah mulai memerah.

4.      Catur Kokila Basa, gelas keempat yang mulai membuat peminum suka berkicau (ngoceh) seperti burung becica.

5.      Panca Wanara Konyer berarti peminum telah menghabiskan 5 gelas tuak, dimana efeknya telah membuat peminum pusing atau berjoged. Tampilan peminum saat itu sudah mulai cengar cengir seperti bojog ngamah lunak. (Pada tahap inilah gending gending muncul, dan mulailah megenjekan)

6.      Sad Wanara Rukem artinya gelas keenam yang membuat peminum duduk dengan kepala pusing yang berat.

7.      Sapta Ketoya Basa, adalah gelas ketujuh mulai muncul emosi tak terkendali.

8.      Asta Kebo Dangkal yaitu gelas kedelapan yang biasanya membuat peminum menjadi mabuk berat. Badannya kerbau jatuh terjungkal, lalu tertidur ngorok taksadarkan diri.

Komoh, sajian para Bhairawa




Komoh adalah olahan kakhas Bali yang terbuat dari daging mentah dicincang halus, diberi bumbu, lalu diseduh dengan air panas. Air seduhan daging cincang tersebut lalu diisi dengan darah segar, diisi garam secukup. Untuk mengkonsumsi komoh harus menggunakan cawan atau mangkok kuah, dengan cara disiup (minum langsung dari mangkok). Kalau dahulu menggunakan mangkok kau (batok kelapa).  
Kalau melihat bentuknya yang cair dan berwarna merah, maka komoh adalah simbolisasi dari darah. Sesuai dengan tradisi bhairawa yang berkembang di tanah Bali seperti yang terdapat di dalam patung bhairawa di Pura Kebo Edan dimana patung tersebut membawa mangkuk darah. Ini artinya bahwa praktek penggunaan darah sangat lekat dalam ritual Bhairawa Kuno. Dengan meminum darah, sebagai persembahan kepada Bhairawa untuk mendapatkan anugrah kekuatan dari Dewa Pujaan penganut Bhairawa yakni Dewi Sakti atau Dewi Durga.
Praktek ini masih berkembang sampai sekarang namun dalam bentuk olahan yakni berupa komoh. Komoh adalah daging mentah yang dicincang halus kemudian diambil airnya, dicampur dengan darah, sehingga kelihatannya merah cair. Kemudian untuk aroma diberikan bumbu yang sangat keras seperti rempah-rempah dan merica serta rasa yang pedas. Sehingga kalau diamati, seseorang yang makan komoh, persisi seperti Sang Kala Bhairawa yang sedang meminum darah. Apalagi dilengkapi dengan olahan lainnya seperti lawar yang notabene adalah daging, dan kuah ares yang dilengkapi dengan balung sebagai simbolisasi daging dan tulang belulang. Ditambahlan dengan rasanya yang pedas dan aroma yang khas, maka akan menambah sensasi dari penikmatnya serta menambah sensasi para pemuja Bhairawa.
Dengan komoh, tersebut diharapkan mendapatkan kekuatan secara jasmani, serta mendapatkan kekuatan rohani dan sudah tentu mendapatkan kewisesan karena telah mempersembahkan darah kepada Sang Bhairawa sebagai sumber kekuatan atau kesaktian.

Dalam aspek sosial, mebat atau ngelawar, atau lawar memiliki makna yang dalam ketika menjalai kehidupan bersama di dunai ini. Bagaikan lawar, terdiri dari berbagai macam komponen, bahan, bumbu, daging, dll. Ini sebagai simbolisasi dari kenakeragaman sifat, bentuk, karakter manusia dalam masyarakat. Semua bahan diolah, dipadukan sesuai dengan porsi masing-masing, sehingga menjadi suatu adonan yang memiliki aroma sedap serat rasa yang enak, dan menyehatkan, serta menimbulkan gairah atau semangat. Bahan-bahan dalam lawar tersebut menyatu saling melengkapi, saling mengisi sehingga menjadi suatu adonan yang sempurna. Demikian pula dengan masyarakat, secara individu memiliki karakter masing-masing, memiliki kelebihan masing-masing. Namun dalam kehidupan bersama, maka manusia mesti mengikuti seperti lawar. Artinya manusia mesti saling melengkapi, saling mengisi, bersatu, sehingga menjadi suatu kumpulan masyarakat yang saling membantu, saling mengasihi, saling menghormati, sehingga menimbulkan suatu hal yang menyenangkan. (Kand).

Lawar Rangda Ngelur




“Lawar”, entah darimana istilah ini muncul, sampai sekarang belum ada yang bisa memaknai secara definitif. Bisa jadi kata lawar berasal dari kisah pewayangan ketika penyamaran Pandawa di negeri Wirata, kususnya Bima yang menyamar menjadi juru masak (tukang ebat) yang bernama Sang Belawa. Dimana hasil olahan tukang ebat tersebut disebut dengan Be Lawa, yang kemudian menjadi Be Lawar.
Mebat adalah kegiatan membuat olahan daging menjadi lawar dan olahan lainnya seperti komoh, ares, jejeruk, be genyol, srapah, sate, dll. Apakah kegiatan masak biasa bisa dikatakan sebagai mebat ?. Sudah tentu tidak. Kegiatan mebat lebih pada kegiatan masak mengolah daging mentah (entah didahului dengan nampah atau menyembelih) hewan yang akan dimasak, menjadi olahan tertentu. Prosesnya meliputi memotong hewan, merebus, mencincang, dan terakhir adanya adonan tradisional Bali. Dimana di dalamnya menggunakan bumbu-bumbu khas, daging mentah, daging matang, serta darah mentah.
Olahan yang dibuat pun digolongkan menjadi tiga bagian yakni:

1.      Olahan Kering meliputi sate, urutan, gegorengan.
2.      Olahan Basah / lembab meliputi: Lawar (lawar tulen, lawar biasa, penyon, petak, pepahit / gegode), tum, timbungan, oret, semuuk, bebontot, brengkes, lemped, gubah
3.      Olahan cair: komoh, ares

Selain itu ada pula olahan makanan khas Bali yang diolah dengan cara dimatangkan dalam bentuk yang utuh dengan cara di-tutu seperti ayam tutu, bebek tutu. Atau dengan cara diguling seperti babi guling.

Berbicara mengenai jenis sate, juga ada beberapa macam yakni: sate lembat, sate empol, sate letlet, sate kablet, sate asem, srapah, sate pusut, sate orob.
Jenis lawar ada beberapa macam yakni lawar tulen yakni lawar yang lebih banyak dagingnya daripada nangkanya. Lawar biasa adalah lawar yang perbandingan antara daging dan nangkanya seimbang. Lawar barak atau urab barak adalah lawar yang berwarna merah karena dilengkapi dengan darah segar. Lawar putih atau urab putih adalah lawar yang berwarna putih atau tanpa diisi dengan darah segar. Lawar gadang atau urab gadang adalah lawar yang berwarna gadang atau hijau. Lawar ini lebih banyak diisi dedaunan seperti daun belimbing. Lawar ini lebih dikenal dengan “gegode”.
Di dalam masyarakat, sudah tentu ada variasi selera terhadap lawar. Berikut ini ada tiga kategori selera terhadap rasa lawar, yakni:

1.      LAWAR BIMA KRODA            : rasa lawar dengan menonjolkan rasa pedas cabe.
2.      LAWAR SANGUT DEKAH      : rasa lawar dengan menonjolkan pedas merica
3.      LAWAR RANGDA NGELUR   : rasa lawar dengan menonjolka rasa asin
  
Bertitik tolak dari gambaran singkat di atas, sepertinya kegiatan mebat atau ngelawar adalah kegiatan mengolah daging menjadi sajian-sajian khas, yang sudah tentu dengan aroma, cita rasa, serta perbumbuan yang khas pula. Termasuk peralatan yang digunakan juga khas seperti menggunakan blakas, talenan, jambangan, lesung batu, pemabat sate, dll. Sehingga mebat atau ngelawar adalah sebuah kegiatan yang khas pula, tak bisa disamakan dengan kegiatan memasak biasa.
    
Kalau di telaah secara lebih dalam, maka proses ngelawar sejatinya memiliki filosofi yang jelas tentang perjalanan spiritual manusia yang mengambil jalan melalui praktek Bhairawa Tantra. Sebab di dalam proses ngelawar tersebut ada proses-proses yang sejatinya adalah suatu bentuk penyiksaan atau suatu bentuk kekerasan, seperti nadah : menyembelih binatang, ngintuk : menumbuk bumbu atau menumbuk daging, nektek: mencincang bumbu dan daging, ngulet: mengaduk adonan sate dan lawar, ngelablab : merebus dengan mengan, memanggang atau membakar sate. Semua proses tersebut terdapat di dalam proses ngelawar. Sebuah proses yang penuh dengan sesualitas perasaan yang sejatinya penuh dengan kekerasan.
Apabila konsep ini kemudian dituangkan dalam proses pendakian spiritual bagi pengikut Bhairawa Tantra, maka akan menjadi suatu hal yang menarik bila dikaitkan dengan para pengawal atau pasukan Sanghyang Yamadipati yang tak lain adalah penguasa kematian dengan mengerahkan para bala-bala yang disebut dengan Cikrabala Sanghyang Yama.
Rangkaian ceritanya mungkin seperti di bawah ini: 
-          Sang Jogormanik ngintuk base dan ngintuk be (menumbuk daging dan bumbu), simbolisasi dari hukuman tumbuk bagi para atma
-          Sang Kinkarabala nadah celeng (menyembelih babi atau binatang lainnya untuk olahan) simbolisasi dari pedihnya hukuman yang meenyayat hati.
-          Sang Mahakala Ngulet Sate (mengaduk sate), simbolisasi hukuman dalam bentuk cambuk serta jambakan bagi para atma yang berbuat di luar garis kebenaran.
-          Sang Cikrabala ngelablab be di jambangan (merebus daging di panci besar). Simbolisasi dari panasnya kawah candradimuka, dimana para atma akan meregang kepanasan
-          Sang Dorakala Nektek be (mencincang daging). Simbolisasi dari para atama yang mendapatkan hukuman cincang, hukuman pancung di neraka.
-          Sang Kala Bala manggang sate. Simbolisasi dari para atma yang mendapatakan hukuman merasakan panasnya api neraka.
-          Sedangkan Sang Suratma bertugas mencicipi hasil olahan sebagai simbolisasi selalu mencatat siapa, berapa, kapan, serta apa yang dilakukan.

Ngelawar adalah proses pembelajaran pemaknaan kehidupan di dunia berdasarkan dharma dan kewisesan, sesuai dengan konsep bhairawa tantra yakni mencapai kemuliaan, kebenaran, dan dharma sambil menikmati sensasi spiritual berupa kewisesan atau kemampuan untuk melakukan sesuatu yang menakjubkan yang hanya bisa dicapai melalui proses oleh batin serta persembahan-persembahan ritual. Atau lebih dikenal ddengan proses untuk menjadi orang sakti, yakni memperoleh berkah kekuatan supranatural karean memuja Dewi Sakti. Perpaduan antara kebenaran (dharma) dan sesansi kehidupan (kewisesan inilah jalan yang ditemppuh oleh sebagian besar masyarakat Bali dalam menjalankan agama Hindu Bali yang lebih condong kepada praktek Bhairawa Tantra.
Proses ngelawar adalah pemaknaan kehidupan dalam melatih spiritual untuk memahami segala aspek kehidupan termasuk menerima resiko perbuatan ketika nanti memasuki alam sunia yang meliputi dunia suka dan duka. Dunia suka akan disebut dengan suarga, sedangkan dunia duka disebut neraka. Jika menikmati keindahan dan kebaikan, maka tak perlu latihan. Namun yang perlu dilatih adalah menerima kenyataan hukuman nanti di dunia neraka yang dipenuhi dengan berbagai macam hukuman. Seperti yang digambarkan dalam simbolisasi ngelawar dengan pengandaian para Bala-bala Sanghyang Yamadipati. Dengan harapan bahwa manusia di dunia akan sadar akan pedihnya hukuman yang akan diterima apabila melakukan perbuatan yang diluar dari kebenaran.