Kalau masyarakat agraris yang
masih aktif sudah tentu akan mengenal istilah nyuluh atau nyundih. Artinya
adalah mencari lindung (belut) pada malam hari membawa lampu, obor atau yang
lain di petak-petak sawah tanaman padi yang berair. Kalau musim belut atau
musim nyundih, di areal persawahan
ketika malam tiba, maka banyak masayrakat yang pergi ke sawah malam hari.
Kerlipan lampu atau obor banyak berjalan atau bergerak seiring dengan perjalanan
orang-orang di pematang sawah. Ada
yang nyundih sebentar, ada juga yang
suka sampai tengah malam.
Bicara
tentang nyuluh atau nyundih, I Wayan Jarna memiliki cerita tersendiri mengenai pengalamannya nyundih di sawah sampai larut malam. Pada
suatu malam I Wayan Jarna yang biasa disapa Nang Bukit mencari belut ke sawah.
Sejak sore ia mempersiapkan segala sesuatunya seperti lampu sentir, sepit dan dungki (tempat ikan) bersama
teman-temannya. Malampun tiba, dia beserta teman-temannya bergegas pergi ke
sawah. Dengan hati penuh harap Nang Bukit menelusuri pematang sawah. Maklum,
penduduk desa masih banyak yang menggantungkan hidupnya dari hasil nyuluh baik untuk dikonsumsi sendiri
maupun dijual di pasar.
Tidak seperti
biasanya, malam itu memang hari keberuntungan Nang Bukit sekaligus menjadi
pengalaman yang tak terlupakan seumur hidupnya. Bagaimana tidak hasil tangkapan
belut pada saat itu sangat banyak, tidak seperti hari-hari biasanya. Saking
asiknya menangkap belut Nang Bukit lupa waktu sudah larut malam. Ia terus
menelusuri petak-petak sawah sambil memunggut belut-belut yang keluar pada
malam hari. Dungki yang ia bawa juga semakin sarat dengan belut yang semakin
banyak. Ia terus berjalan semakin jauh, sampai akhirnya ia berada di dekat
sebuah pura. Teman-teman dan orang-orang yang tadinya banyak di sawah satu per
satu sudah pulang dengan bawaan yang cukup. Sedangkan ia sendiri terus mencari
belut. Ia pun tahu kalau ia sendiri di tengah sawah.
Di dekat pura
tersebut ia kemudian melihat seseorang sedang berjalan mendekat membawa lampu
sentir (suluh). Nang Bukit pun merasa agak lega, berarti ia tidak sendirian di
tengah sawah sampai larut malam. Nang Bukit beranjak mendekati orang yang
nyundih itu. Nang Bukit bertanya kepada orang itu “napi jero polih” (apa yang didapat). Orang itu menjawab “dadua”.
Pertanyannya diulang terus, dan jawabannya juga tetap sama. Nang Bukit tak
pernah memperhatikan siapa yang diajak bicara dan bagaimana rupanya. Soalnya
saat itu suasana sangat gelap.
Dalam beberapa
saat kemudian, lampu yang dibawa oleh orang tersebut tampak mengecil, meredup,
dan mati. Dan tiba-tiba saja orang tersebut tak tampak, yang justru berdiri di
depan Nang Bukit adalah seekor kambing. Eeeekkk….. eeeekkk… Anehnya lagi bahwa lampu yang dibawa oleh
Nang Bukit juga tiba-tiba padam. Nah saat itu barulah Nang Bukit merasa takut,
bahwa yang ada di depannya itu bukan manusia biasa. Ia berpikir bahwa ia sudah
berhadapan dengan ane ngelah peteng
(penguasa malam/mahluk gaib) atau mungkin saja orang yang sedang menjalankan
ilmu leak menjadi kambing. Dengan rasa takut yang amat sangat, Nang Bukit
mencoba untuk menjauh dan lari. Namun apa daya, ketika membalikkan kaki untuk
berlari, tiba-tiba kambing tersebut sudah mengembek di hadapannya. Ketika
berbalik ke arah yang berlawanan, tetap saja kambing tersebut mengembek di
hadapannya. Eeeekkkk….. eeeeekkk….
Dalam
ketakutannya itu, rupanya Nang Bukit masih ingat dengan Widhi (Ida Sanghyang
Widhi). Dalam hatinya ia memohon nunas
iwang atas kesalahan yang telah diperbuat dan nunasica agar bisa keluar dari sergapan kambing malam tersebut.
Entah darimana datangnya kekuatan Nang Bukit, tiba-tiba saja ia mampu menerobos
kambing tersebut dan berlari tunggang langgang di tengah sawah. Tak lagi ia
melihat kanan dan kiri, pokoknya kenceng langkah seribu. Tak ingat dia dengan
dungkinya yang penuh dengan belut entah jatuh dimana. Tak peduli, yang penting
bisa keluar dari sergapan kambing itu. Entah kambing itu tadinya mengejar
dirinya atau tidak, yang jelas kambing tersebut sudah tak tampak di hadapannya.
Dengan bayu ngangsur dan runtag (terengah-engah dan panik), akhirnya sampailah ia di jaba
pura Dalem. Nang Bukit berusaha untuk menenangkan dirinya dalam ketakutan. Ia
segera pulang di kegelapan malam. Ia tak
membawa apa-apa. Padahal tadinya dungkinya penuh berisi lindung yang bisa
dimasak di rumah bahkan sisinya bisa dijual di pasar.
Keesokan harinya
ia bercerita kepada keluarganya di rumah. Salah seorang saudaranya nyeletuk, to madan loba drawaka, bang bedik nagih
liyu. Itu namanya rakus, diberi sedikit selalu minta banyak. Yah akibatnya
si penjaga sawah yang mengawasi lindung-lindung di sawah mengingatkan Nang
Bukit agar meminta atau mencari sesuatu di sawah jangan terlalu loba.
Tapi dari cerita
itu ada yang nyeletuk lain ”Nang Bukit memang belog (bodo), belut ditukar sama kambing tidak mau. Kan lebih enak daging
kambing, ha ha ha …….”
Semenjak itu
Nang Bukit tak pernah lagi nyundih sampai larut malam, dan tak berani jauh-jauh
lagi ke tengah sawah. Termask juga ia hanya mengambil secukupnya dari
belut-belut yang ada di sawah.
No comments:
Post a Comment