“Lawar”, entah darimana istilah ini
muncul, sampai sekarang belum ada yang bisa memaknai secara definitif. Bisa
jadi kata lawar berasal dari kisah pewayangan ketika penyamaran Pandawa di
negeri Wirata, kususnya Bima yang menyamar menjadi juru masak (tukang ebat)
yang bernama Sang Belawa. Dimana hasil olahan tukang ebat tersebut disebut
dengan Be Lawa, yang kemudian menjadi Be Lawar.
Mebat adalah kegiatan membuat olahan
daging menjadi lawar dan olahan lainnya seperti komoh, ares, jejeruk, be
genyol, srapah, sate, dll. Apakah kegiatan masak biasa bisa dikatakan sebagai
mebat ?. Sudah tentu tidak. Kegiatan mebat lebih pada kegiatan masak mengolah
daging mentah (entah didahului dengan nampah atau menyembelih) hewan yang akan
dimasak, menjadi olahan tertentu. Prosesnya meliputi memotong hewan, merebus,
mencincang, dan terakhir adanya adonan tradisional Bali. Dimana di dalamnya
menggunakan bumbu-bumbu khas, daging mentah, daging matang, serta darah mentah.
Olahan yang dibuat pun digolongkan
menjadi tiga bagian yakni:
1.
Olahan
Kering meliputi sate, urutan, gegorengan.
2.
Olahan
Basah / lembab meliputi: Lawar (lawar tulen, lawar biasa, penyon, petak,
pepahit / gegode), tum, timbungan, oret, semuuk, bebontot, brengkes, lemped,
gubah
3.
Olahan
cair: komoh, ares
Selain
itu ada pula olahan makanan khas Bali yang diolah dengan cara dimatangkan dalam
bentuk yang utuh dengan cara di-tutu seperti ayam tutu, bebek tutu. Atau dengan
cara diguling seperti babi guling.
Berbicara mengenai jenis sate, juga ada
beberapa macam yakni: sate lembat, sate empol, sate letlet, sate kablet, sate
asem, srapah, sate pusut, sate orob.
Jenis lawar ada beberapa macam yakni lawar tulen yakni lawar yang lebih
banyak dagingnya daripada nangkanya. Lawar
biasa adalah lawar yang perbandingan antara daging dan nangkanya seimbang. Lawar barak atau urab barak adalah lawar
yang berwarna merah karena dilengkapi dengan darah segar. Lawar putih atau urab putih adalah lawar yang berwarna putih atau tanpa
diisi dengan darah segar. Lawar gadang
atau urab gadang adalah lawar yang berwarna gadang atau hijau. Lawar ini lebih
banyak diisi dedaunan seperti daun belimbing. Lawar ini lebih dikenal dengan “gegode”.
Di dalam masyarakat, sudah tentu ada
variasi selera terhadap lawar. Berikut ini ada tiga kategori selera terhadap
rasa lawar, yakni:
1.
LAWAR
BIMA KRODA : rasa lawar dengan
menonjolkan rasa pedas cabe.
2.
LAWAR
SANGUT DEKAH : rasa lawar dengan
menonjolkan pedas merica
3.
LAWAR
RANGDA NGELUR : rasa lawar dengan
menonjolka rasa asin
Bertitik tolak dari gambaran singkat di
atas, sepertinya kegiatan mebat atau ngelawar adalah kegiatan mengolah daging
menjadi sajian-sajian khas, yang sudah tentu dengan aroma, cita rasa, serta
perbumbuan yang khas pula. Termasuk peralatan yang digunakan juga khas seperti
menggunakan blakas, talenan, jambangan, lesung batu, pemabat sate, dll.
Sehingga mebat atau ngelawar adalah sebuah kegiatan yang khas pula, tak bisa
disamakan dengan kegiatan memasak biasa.
Kalau di telaah secara lebih dalam, maka
proses ngelawar sejatinya memiliki filosofi yang jelas tentang perjalanan
spiritual manusia yang mengambil jalan melalui praktek Bhairawa Tantra. Sebab
di dalam proses ngelawar tersebut ada proses-proses yang sejatinya adalah suatu
bentuk penyiksaan atau suatu bentuk kekerasan, seperti nadah : menyembelih binatang, ngintuk
: menumbuk bumbu atau menumbuk daging, nektek:
mencincang bumbu dan daging, ngulet:
mengaduk adonan sate dan lawar, ngelablab
: merebus dengan mengan, memanggang
atau membakar sate. Semua proses tersebut terdapat di dalam proses ngelawar.
Sebuah proses yang penuh dengan sesualitas perasaan yang sejatinya penuh dengan
kekerasan.
Apabila konsep ini kemudian dituangkan
dalam proses pendakian spiritual bagi pengikut Bhairawa Tantra, maka akan
menjadi suatu hal yang menarik bila dikaitkan dengan para pengawal atau pasukan
Sanghyang Yamadipati yang tak lain adalah penguasa kematian dengan mengerahkan
para bala-bala yang disebut dengan Cikrabala Sanghyang Yama.
Rangkaian ceritanya mungkin seperti di
bawah ini:
-
Sang
Jogormanik ngintuk base dan ngintuk be (menumbuk daging dan bumbu), simbolisasi
dari hukuman tumbuk bagi para atma
-
Sang
Kinkarabala nadah celeng (menyembelih babi atau binatang lainnya untuk olahan)
simbolisasi dari pedihnya hukuman yang meenyayat hati.
-
Sang
Mahakala Ngulet Sate (mengaduk sate), simbolisasi hukuman dalam bentuk cambuk
serta jambakan bagi para atma yang berbuat di luar garis kebenaran.
-
Sang
Cikrabala ngelablab be di jambangan (merebus daging di panci besar).
Simbolisasi dari panasnya kawah candradimuka, dimana para atma akan meregang
kepanasan
-
Sang
Dorakala Nektek be (mencincang daging). Simbolisasi dari para atama yang
mendapatkan hukuman cincang, hukuman pancung di neraka.
-
Sang
Kala Bala manggang sate. Simbolisasi dari para atma yang mendapatakan hukuman
merasakan panasnya api neraka.
-
Sedangkan
Sang Suratma bertugas mencicipi hasil olahan sebagai simbolisasi selalu
mencatat siapa, berapa, kapan, serta apa yang dilakukan.
Ngelawar adalah proses pembelajaran
pemaknaan kehidupan di dunia berdasarkan dharma dan kewisesan, sesuai dengan
konsep bhairawa tantra yakni mencapai kemuliaan, kebenaran, dan dharma sambil
menikmati sensasi spiritual berupa kewisesan atau kemampuan untuk melakukan
sesuatu yang menakjubkan yang hanya bisa dicapai melalui proses oleh batin
serta persembahan-persembahan ritual. Atau lebih dikenal ddengan proses untuk
menjadi orang sakti, yakni memperoleh berkah kekuatan supranatural karean
memuja Dewi Sakti. Perpaduan antara kebenaran (dharma) dan sesansi kehidupan
(kewisesan inilah jalan yang ditemppuh oleh sebagian besar masyarakat Bali
dalam menjalankan agama Hindu Bali yang lebih condong kepada praktek Bhairawa Tantra.
Proses ngelawar adalah pemaknaan
kehidupan dalam melatih spiritual untuk memahami segala aspek kehidupan termasuk
menerima resiko perbuatan ketika nanti memasuki alam sunia yang meliputi dunia
suka dan duka. Dunia suka akan disebut dengan suarga, sedangkan dunia duka disebut
neraka. Jika menikmati keindahan dan kebaikan, maka tak perlu latihan. Namun
yang perlu dilatih adalah menerima kenyataan hukuman nanti di dunia neraka yang
dipenuhi dengan berbagai macam hukuman. Seperti yang digambarkan dalam
simbolisasi ngelawar dengan pengandaian para Bala-bala Sanghyang Yamadipati.
Dengan harapan bahwa manusia di dunia akan sadar akan pedihnya hukuman yang
akan diterima apabila melakukan perbuatan yang diluar dari kebenaran.
No comments:
Post a Comment