Kalau orang Bali
punya gawe tanpa bumbu mistik, maka tak sedap rasanya, tak mantap kesannya.
Coba saja…. Setiap orang Bali punya karya, apakah itu panca yadnya, dll,
pastilah kental dengan dunia mistik, dunia gaib. Bagaimana tidak, baru ketika
merencanakan sebuah yadnya, yang dipertimbangkan pertama adalah hari baik, baru
kemudian mempertimbangkan situasi seperti keamanan, hujan, dan sebagainya. Si
Mpu Gawe (yang punya hajatan) mulai merancang agar karya yadnya mereka tak mendapat
banyak halangan. Apalagi misalnya seseorang yang merasa dirinya ada yang
menaruh iri hati, tak disukai, atau disinyalir banyak yang ewer alias iseng, suka mengganggu guna menggagalkan yadnya yang
digelar.
Dari pola pikir
seperti itu, bisa dikatakan orang Bali selalu dihantui pikirannya oleh sesuatu
yang berbau mistik, sesuatu yang menyeramkan, menakutkan dan fatal ketika
menyelenggarakan karya yadnya. Rupanya rasa iklas, rasa pasrah, atau mungkin
tak percaya dengan kekuatan Ida Betara di sanggah dan Ida Betara Sesuhunan,
sehingga seseorang yang menyelenggarakan karya yadnya selalu mencari yang
namanya pengabih. Yang namanya
penjaga karya, pengabih waaaahhh…. heebbaaaatttt…… seseorang dengan keyakinan
dan kekuatannya berani tampil di rumah seseorang untuk menjaga keselamatan
karya yadnya seseorang. Apa kira-kira
kekuatan yang dimiliki oleh orang tersebut?.
Apakah mereka
hanya berbekal manik-manik sebagai
jimat yang meyakinkan mereka? Ataukah mereka memang mengetahui medan gaib
sehingga ia bisa memperhitungkan kekuatan lawan jika ia nanti mendapat serangan
gaib. Entahlah, yang jelas yang namanya pengabih dengan still yakin mereka
menjajal suatu kawasan, bahwa kawasan itu adalah dibawah kendalinya secara
gaib. Entah apa yang membuat mereka begitu yaknin dengan sesuatu yang tak
kelihatan.
Bicara tentang
pengabih, ada baiknya berkaca dari I Balian Sengap (bukan nama sebenarnya).
Sesuai namanya Balian Sengap memang krosokan, alias tak bisa diam, dengan kata
yang agak sesumbar mengenai hal yang berbau gaib. Kalau urusan gaib, ia selalu
menyatakan diri paling depan, nomor satu, paling senior, dan berpengalaman
dalam dan luar negeri. Mungkin kalau ada pengalaman yang lebih hebat, ia akan
bilang punya pengalaman luar angkasa di atas angin. Demikian sesumbar dari I Balian
Sengap.
Pada suatu hari
ia dimintai tolong menjaga secara gaib di rumah I Ketut Bagus Raos Lemuh (bukan
nama aslinya). Waktu itu ada acara metatah anaknya. Undangan pagi-pagi sudah
banyak yang datang, karena I Ketut Bagus Raos Lemuh rajin menyama braya. I
Balian Sengap sedari kemarin malam sudah menetralisir, membersihkan areal
upacara dengan keuatan gaib yang ia miliki. Ia sudah matur pakeling di tugu dan
di sanggah yang punya gawe. Ia sudah
mempersiapkan sarana pekakas
pelindung dan penyengker gaib di sela-sela bagian atas tempat metatah, berupa
bebuntilan. Termasuk juga di sanggah ia telah menyiapkan sarana untuk nerang ujan. Menurut Ketut Nyanyad ia
mempersiapkan dua buah sarana penerangan berupa jun (tempayan) berisi air, yang satunya berupa tabia (cabe) yang ditusuk-tusuk. Pokoknya malam itu sudah bersih
dan sudah beres. Tinggal menunggu hari H.
Diceritakan
keesokan harinya pada hari H para tamu sudah banyak yang datang. I Balian
Sengap tampil mentereng sebagai pengabih karya. Pakaiannya khusus, jeriji
tangan penuh dengan bungkung (cincin sakti). Ia duduk di dekat dengan tempat
orang metatah. Ia mencoba mengontrol situasi. Sebagian undangan bertanya, siapa
gerangan orang ini. Dan sebagian lagi bisa menebak bahwa orang ini adalah
pengabih karya. Prosesi metatah pun berjalan hidmat, tanpa ada keraguan dan
rasa was-was dari penyelenggara karya akan adanya gangguan gaib. Sebab boleh
dikata Balian Sengap terkenal memiliki kemampuan tinggi di bidang itu.
Pada saat acara
metatah berlangsung, sangging (tukang
tatah) dan para pendamping dikejutkan dengan sebuah benda berbentuk bebuntilan terjatuh dari atas orang
metatah, lalu mengenai yang metatah. Kontan saja yang metatah dan sangging
serta keluarga terkejut keheranan. Benda apa itu? Kenapa terjatuh saat metatah.
Jangan-jangan ada yang berniat tak baik dan membahayakan bagi yang metatah.
Pada waktu itu memang di atas ada seekor bikul yang sedang melintas. Mungkin
saja bikul itu yang mendorong atau menggigit bebuntilan yang diselipkan di atas. I Ketut Bagus yang punya gawe
segera untuk memunggut dan menyelamatakan benda bebuntilan tersebut, karena ia
yang menaruh bebuntilan tersebut saat tengah malam kemarin atas perintah dari
Balian Sengap, yang tujuannya untuk melindungi.
Balian Sengap
mengetahui bebuntilannya terjatuh, ia sedikit panik dan segera mengambilnya
dari Ketut Bagus, sambil dalam hati berkata “sialan, kok barang ini bisa
terjatuh” demikia ia kesel dalam hatinya. Ia sedikit kawatir juga,
jangan-jangan ada serangan gaib menyerang. Sedangkan bebuntilannya sudah jatuh.
Ia mencoba menlindungi orang yang metatah dengan mengerahkan semua kekuatan
batinnya, sampai-sampai ia kelihatan peluh
pidit, panas tak karuan. Padahal undangan yang lainnya sejuk-sejuk saja.
Pemandangan itu memang dilihat oleh undangan yang lainnya.
Setelah aman
dengan situasi tersebut, I Balian Sengap sedikit merasa nyaman di tempat
duduknya. Namun tiba-tiba saja kembali ia dikejutkan oleh bisikan dari
seseorang yang ditugaskan untuk menjaga banten penerangan di sanggah. Jun (tempayan) yang ditempatkan di bawah
sanggah kemulan berisi air dan bunga pucuk bang tersebut terjatuh ditabrak meng buang
(kucing birahi) yang berkejar-kejaran. Ia kembali panik, masalahnya hari itu
memang agak mendung musim hujan. Betul saja hujan mulai gerimis, ketika sarana
penerangannya uyak meng. Ia kembali peluh pidit mengerahkan kekuatan
batinnya nunasica kehadapan Ida Betara agar hujan terhenti sejenak, sambil ia
menyiapkan sarana penerangan yang kedua berupa tabia (cabe ditusuk) dan banten. Ia menyelinap ke tugu di sanggah,
dengan segala ritualnya untuk memohon penerangan. Suasana menjadi terang
kembali. I Balian Sengap kembali ke tempat duduknya, sambil sedikit kesal
dengan ulah kucing birahi tadi.
Setelah beberapa
saat berlangsung, tiba-tiba saja di langit, awannya terasa semakin tebal,
hampir gerimis. I Balian Sengap mencoba untuk menyelinap kembali ke sanggah,
kembali ia kaget melihat sarana penerangannya berupa tabia sedang di-gotol-gotol
(dipatuk) oleh ayam dan benten penerangannya di-kehkeh (dikorek-korek) oleh ayam-ayam tersebut. Sedangkan yang disuruh menjaga banten sedang
kencing. Waduh kembali I Balian Sengap panik dan semakin kesal, sebab sudah
sekian kali ia mengalami gangguan. Hujan gerimispun mulai turun, walau tak
lebat. Dengan kemampuan seadanya, dengan canang sari yang tersisa I Balian
Sengap mencoba nunasica agar diberikan terang cuaca. Tapi karena saking jengkelnya dengan
binatang-binatang tadi, akhinrya konsentrasi mulai buyar, akhirnya hujan lebat
pun mengguyur. Para tamu yang tadinya di natah
duduk rapi menjadi berhamburan mencari tempat teduh.
Ia kesal
setengah mati dengan binatang-bianatang yang mencoba mengganggu menggagalkan
upaya nyengker karya. Tapi ada hal
yang lain yang terjadi. Bahwa orang yang ada di samping I Balian Sengap selalu
tersenyum sedari pagi. Orang itu sebenarnya bukan orang biasa, tetapi sejatinya
ia memiliki kewisesan (ilmu tinggi)
yang tinggi. Orang itulah yang mencoba dengan kekuatan batinnya menggiring
tikus yang kebetulan lewat untuk nomplok
gegemet yang dipasang oleh I Balian Sengap. Demikian juga dengan meng (kucing) yang nabrak jun, serta
ayam-ayam merusak sarana penerangannya. Orang itu mungkin berkata dalam hatinya
“pang tawange asane, (biar tahu rasa). Berani-berani menjajal daerah
kekuasanku”.
Mungkin orang
itu bukan mengganggu karya yadnya, tetapi hanya ngencanin (ngerjain) Balian Sengap yang ngaku hebat. “Pang pesu yeh
jitne nerang (biar sampai mencret ia nerang)”, atau “pang pesu peluh gidatne
nyaga (biar keringatan dia menjaga)”.
Yah…begitulah
kisah I Balian Sengap yang mungkin agak apes ketika menjalankan tugas niskala.
Selama ini ia belum pernah mengalami hal aneh seperti ini. Ia belum pernah
kalah dengan ilmu manusia sakti, justru ia dibuat kesal oleh binatang-binatang
yang membuat semua pekerjaannya menjadi buyar.
Berarti yang
lebih hebat dan sakti itu adalah binatang tadi…. Demikian tamu yang sedari pagi itu
senyum-senyum berkata dalam hati.
Setelah karya
tersebut, I Balian Sengap jarang kelihatan. Konon ia terbaring di rumah tak
enak badan. Ia sakit bukan karena kalah sakti, tetapi tensinya naik akibat
emosi dan sangat kesal dengan ulah binatang-binatang yang mengganggunya dalam
acara tersebut. Akibat ulah binatang itu, reputasi I Balian Sengap menjadi
jatuh dan tercoreng. Padahal I Balian Sengap sendiri yang salah. Pasalnya
pelinggih dimana ia menempatkan banten penerangan, adalah dulunya tempat
bertelurnya ayam tuan rumah. Mungkin saja banten penerangan I Balian Sengap
dikira bengbengan alias sarang tempat
bertelur ayam tersebut. Sial…. Sial, memang sial I Balian Sengap. Tapi apa
boleh buat.
Berita ini
menjadi heboh sekaligus menjadi lelucon di kalangan masyarakat umum. I Made
Mangku Suastika berkomentar “Aaahhhh, mestinya binatang tak perlu disalahkan,
mereka tak punya pikiran dan mereka tak peduli apa itu banten, apa itu gegemet,
apa itu upacara metatah…. Mereka tak peduli. Masalah hujan atau tidak, itu
sudah kehendak alam, mentang-mentang ngatur alam. Kalau sudah pemanasan global
seperti sekarang ini siapa yang tanggung jawab.
Dek Dung,
ngomong masalah kesaktian, yaah…. semua ada batasnya dan semua ada penudane (penempurnya)” Orang tua
bilang, de sesumbar, de ajum-ajuman, malajah keririhan dadi, yan dadi baan
ngidih de merasa paling ririhe. Sawireh nu mecunguh arep tuwun. Jangan sesumbar,
jangan main-main. Belajar kanuragan boleh namun jangan merasa diri paling
hebat. Sebab hidung masih menghadap ke bawah…. Artinya masih menjadi manusa
matah yang masih serba lemah dan banyak kekuarangannya. Demikian Tut Dung
sambil lewat. (Ki Buyut /Inks).