Sunday, August 30, 2015

Katak Hitam di Pura Telaga Sawang





Setelah menceritakan mengenai keberadaan Katak Emas di Pura Telaga Mas, Lempuyang, kini cerita sampai di Pura Telaga Sawang. Pura ini terletak di sisi selatam Gunung Lempuyang. Pura Telaga Sawang adalah pura sebagai Pura Beji atau petirtan dari Betara Mpu Genijaya yang berstana di Pura Lempuyang Madya. Pura Telaga Sawang merupakan pancoran yang berasal dari rembesan air dari puncak Gunung Lempuyang yang menuju ke arah selatan. Air tersebut berupa pancuran, lalu ditampung dalam sebuah telaga sebagai tempat petirtan atau permandian.
Pura Telaga Sawang adalah tempat membersihkan diri atau menyucikan diri sebelum bersembahyang menuju ke pura Lempuyang Madya. Di pura tersebut terdapat pelinggih berupa dua buah tajuk, dimana yang satunya adalah tajuk Menjangan Seluang, sebagai symbol dari pengayatan kehadapan Hyang Panca Pandita (lima pendeta Mpu) yakni Betara Empu Gnijaya, Mpu Kuturan, Mpu Semeru, Mpu Gana, dan Mpu Bradah.
Air pancoran di Pura Telaga Sawang tak pernah kering sepanjang tahun, walaupun musim kemarau. Hal ini disebabkan karena masih menghijuanya hutan di lereng Gunung Lempuyang. Inilah menjadi keutamaan dari pancoran Pura Telaga Sawang yang tak pernah kering. Dengan demikian ikan di Telaga Sawang tak pernah kekeringan. Demikian juga dengan keberadaan dari katak yang ada di telaga. Seperti halnya katak yang ada di Pura Telaga Mas, maka di telaga sawang juga terdapat katak yang ukuran dan bentuk badannya kurang lebih sama,  namun warnanya lebih gelap yakni kehitaman.
Katak ini hidup secara berkelompok di kolam dan di sekitar kolam yang ada airnya. Hidup di sela-sela tanaman biah-biah (eceng gondok), berbunyi saling bersahutan, terdengar  nyaring seperti suara burung dari kejauhan.
Selain keberadaan katak-katak mungil, di Pura Telaga Sawang juga dihuni beberapa kawanan kera yang perlu diwaspadai oleh para pemedek. Sebab kera-kera tersebut sering bertindak iseng yang menyebabkan para pemedek menjadi terkejut, ketakutan, dll. Demikian dikatakan oleh Jero Mangku Telaga, salah seorang pemangku yang ngayah di Pura Telaga Sawang.
Setelah melakukan persembahyangan di Pura Telaga Sawang, barulah kemudian persembahyangan dilanjutkan ke Pura Lempuyang Madya yang berada di sebelahnya. (Ki Buyut).

Katak Emas di Pura Telaga Mas Lempuyang




Gunung Lempuyang adalah salah satu kawasan suci di Bali. Bahkan dalam pengider buana tanah Bali, Lempuyang merupakan salah satu kayangan utama atau sad kayangan. Gunung Lempuyang memiliki sejarah panjang dan sangat penting dalam kaitannya dengan peradaban tanah Bali serta manusia Bali yang mendiaminya. Dari kaki sampai ke puncak gunung banyak terdapat pura-pura sebagai tempat menghubungkan diri kehadapan sang maha pencipta. Hal ini menandakan bahwa Gunung Lempuyang sejak jaman dahulu merupakan tempat melakukan pertapaan.
Untuk melakukan persembahyangan di Gunung Lempuyang, maka ada banyak jalur menuju pura Lempuyang. Yang banyak ditempuh saat ini adalah jalur Purwa Ayu yangmana melalui jalur ini akan didahului dengan perembahyangan di Pura Penataran Luhur Lempuyang yang sangat megah, terbuat dari batu paras putih. Setelah melakukan persembahyangan di sini, pemedek yang ingin ke Lempuyang Luhur bisa melanjutkan perjalanan dengan beberapa tahap persembahyangan. Yakni yang pertama akan menuju ke Pura Telaga Mas. Setelah sembahyang di Pura Telaga Mas, kemudian pemedek biasanya menuju ke Pura Lempuyang Madya. Namun sebelum mencapai Pura Lempuyang Madya, pemedek akan melewati beberapa buah pura yakni Pura Pesaraman Dukuh yang terletak dekat dengan Telaga Mas. Lalu beberapa saat kemudian melewati pura dari kelompok keluarga atau soroh Sang Bagus (Ngakan).
Dari sini perjalanan melanjut ke Pura Telaga Sawang. Di sini para pemedek akan melakukan peersembahayangan sebelum melakukan persembahyangan di Pura Lempuyang Madya. Dari Lempuyang Madya kemudian melanjutkan persembahyangan ke Pura Bukit Bisbis. Dari bukit Bisbis  menuju ke Pura Pasar Agung dan selanjutnya menuju ke Pura Lempuyang Luhur. Dalam perjalanan menyusuri Gunung Lempuyang, umat paling tidak akan melakukan persembahnyang di tujuh tempat yakni Pura Penataran, Pura Telaga Mas, Pura Telaga Sawang, Pura Lempuyang Madya, Pura Bukit Bisbis, Pura Pasar Agung, dan Pura Lempuyang Luhur.
Dalam tulisan kali ini saya secara khusus akan membicarakan tentang Pura Telaga Mas. Pura ini adalah pura paling awal ditemui ketika akan menuju Puncak Lempuyang. Pura ini adalah sebagai pura Beji atau Pura Petirtan dari Ida Betara di Lempuyang Luhur. Menurut penuturan Jero Mangku Buncing (salah seorang pemangku yang ngayah di pura ini), Pura ini adalah awalnya merupakan sebuah pancuran dari rembesan air Gunung Lempuyang yang membentuk sebuah pancuran air atau telaga. Di tempat ini terdapat pelinggih yakni padma capah sebagai linggih dari Ida Betara Gangga. Di sampingnya dilengkapi dengan sebuah bale piyasan atau bale tajuk sebagai tempat berstana Ida Betara ketika Ida Betara mehias dan mesuci.
Tentang air pancuran atau rembesan dari puncak Gunung Lempuyang memang tak pernah kering sepanjang tahun. Air rembesan tersebut membentuk sebuah telaga yang dilengkapi dengan tunjung / teratai dan ikan. Selain sebagai petirtan dari Ida Betara Lempuyang Luhur, pura ini juga sebagai tempat penglukatan atau penyucian bagi pemedek yang akan menuju ke Lempuyang Luhur. Dan mengenai odalan di pura ini bersamaan dengan petirtan Ida Betara di Lempuyang Luhur yakni pada hari Umanis Galungan.
Pada saat bersembahyang di Pura Telaga Mas, maka pemedek akan disambut oleh suara merdu bagaikan kicauan burung begitu ramai. Dari kejauhan terdengar seperti gemericik air pancuran yang jatuh di atas batu. Namun sejatinya bukan kicauan, burung tetapi suara dari sekawanan katak penghuni telaga mas yang jumlahnya ratusan. Mereka saling bersahutan menyerupai suara burung berkicau. Katak tersebut memang hanya ada di telaga mas Gunung Lempuyang. Ukurannya kecil, berwarna keemasan, sehingga penulis menyebutnya sebagai katak emas. Katak-katak emas ini hanya tinggal di pura telaga mas, mengisi hari-harinya dengan bersukaria dengan kawanannya sambil menyayi-nyanyi di atas daun tunjung.
Bagi pemedek yang tangkil ke Lempuyang, mesti menyempatkan diri untuk melihat keindahan katak emas Lempuyang, sambil mendengar merdunya suara para katak unen-unen Ida Betara Lempuyang. Untuk tulisan selanjutnya, saya masih akan mengangkat tentang keunikan katak penghuni kolam di Pura Telaga Sawang. Masih dari Gunung Lempuyang. (Kanduk).

Friday, August 21, 2015

Sarana Penerangan Uyak Meng



 Kalau orang Bali punya gawe tanpa bumbu mistik, maka tak sedap rasanya, tak mantap kesannya. Coba saja…. Setiap orang Bali punya karya, apakah itu panca yadnya, dll, pastilah kental dengan dunia mistik, dunia gaib. Bagaimana tidak, baru ketika merencanakan sebuah yadnya, yang dipertimbangkan pertama adalah hari baik, baru kemudian mempertimbangkan situasi seperti keamanan, hujan, dan sebagainya. Si Mpu Gawe (yang punya hajatan) mulai merancang agar karya yadnya mereka tak mendapat banyak halangan. Apalagi misalnya seseorang yang merasa dirinya ada yang menaruh iri hati, tak disukai, atau disinyalir banyak yang ewer alias iseng, suka mengganggu guna menggagalkan yadnya yang digelar.
Dari pola pikir seperti itu, bisa dikatakan orang Bali selalu dihantui pikirannya oleh sesuatu yang berbau mistik, sesuatu yang menyeramkan, menakutkan dan fatal ketika menyelenggarakan karya yadnya. Rupanya rasa iklas, rasa pasrah, atau mungkin tak percaya dengan kekuatan Ida Betara di sanggah dan Ida Betara Sesuhunan, sehingga seseorang yang menyelenggarakan karya yadnya selalu mencari yang namanya pengabih. Yang namanya penjaga karya, pengabih waaaahhh…. heebbaaaatttt…… seseorang dengan keyakinan dan kekuatannya berani tampil di rumah seseorang untuk menjaga keselamatan karya yadnya seseorang.  Apa kira-kira kekuatan yang dimiliki oleh orang tersebut?.
Apakah mereka hanya berbekal manik-manik sebagai jimat yang meyakinkan mereka? Ataukah mereka memang mengetahui medan gaib sehingga ia bisa memperhitungkan kekuatan lawan jika ia nanti mendapat serangan gaib. Entahlah, yang jelas yang namanya pengabih dengan still yakin mereka menjajal suatu kawasan, bahwa kawasan itu adalah dibawah kendalinya secara gaib. Entah apa yang membuat mereka begitu yaknin dengan sesuatu yang tak kelihatan.
Bicara tentang pengabih, ada baiknya berkaca dari I Balian Sengap (bukan nama sebenarnya). Sesuai namanya Balian Sengap memang krosokan, alias tak bisa diam, dengan kata yang agak sesumbar mengenai hal yang berbau gaib. Kalau urusan gaib, ia selalu menyatakan diri paling depan, nomor satu, paling senior, dan berpengalaman dalam dan luar negeri. Mungkin kalau ada pengalaman yang lebih hebat, ia akan bilang punya pengalaman luar angkasa di atas angin. Demikian sesumbar dari I Balian Sengap.
Pada suatu hari ia dimintai tolong menjaga secara gaib di rumah I Ketut Bagus Raos Lemuh (bukan nama aslinya). Waktu itu ada acara metatah anaknya. Undangan pagi-pagi sudah banyak yang datang, karena I Ketut Bagus Raos Lemuh rajin menyama braya. I Balian Sengap sedari kemarin malam sudah menetralisir, membersihkan areal upacara dengan keuatan gaib yang ia miliki. Ia sudah matur pakeling di tugu dan di sanggah yang punya gawe.  Ia sudah mempersiapkan sarana pekakas pelindung dan penyengker gaib di sela-sela bagian atas tempat metatah, berupa bebuntilan. Termasuk juga di sanggah ia telah menyiapkan sarana untuk nerang ujan. Menurut Ketut Nyanyad ia mempersiapkan dua buah sarana penerangan berupa jun (tempayan) berisi air, yang satunya berupa tabia (cabe) yang ditusuk-tusuk. Pokoknya malam itu sudah bersih dan sudah beres. Tinggal menunggu hari H.
Diceritakan keesokan harinya pada hari H para tamu sudah banyak yang datang. I Balian Sengap tampil mentereng sebagai pengabih karya. Pakaiannya khusus, jeriji tangan penuh dengan bungkung (cincin sakti). Ia duduk di dekat dengan tempat orang metatah. Ia mencoba mengontrol situasi. Sebagian undangan bertanya, siapa gerangan orang ini. Dan sebagian lagi bisa menebak bahwa orang ini adalah pengabih karya. Prosesi metatah pun berjalan hidmat, tanpa ada keraguan dan rasa was-was dari penyelenggara karya akan adanya gangguan gaib. Sebab boleh dikata Balian Sengap terkenal memiliki kemampuan tinggi di bidang itu.
Pada saat acara metatah berlangsung, sangging (tukang tatah) dan para pendamping dikejutkan dengan sebuah benda berbentuk bebuntilan terjatuh dari atas orang metatah, lalu mengenai yang metatah. Kontan saja yang metatah dan sangging serta keluarga terkejut keheranan. Benda apa itu? Kenapa terjatuh saat metatah. Jangan-jangan ada yang berniat tak baik dan membahayakan bagi yang metatah. Pada waktu itu memang di atas ada seekor bikul yang sedang melintas. Mungkin saja bikul itu yang mendorong atau menggigit bebuntilan yang diselipkan di atas. I Ketut Bagus yang punya gawe segera untuk memunggut dan menyelamatakan benda bebuntilan tersebut, karena ia yang menaruh bebuntilan tersebut saat tengah malam kemarin atas perintah dari Balian Sengap, yang tujuannya untuk melindungi.
Balian Sengap mengetahui bebuntilannya terjatuh, ia sedikit panik dan segera mengambilnya dari Ketut Bagus, sambil dalam hati berkata “sialan, kok barang ini bisa terjatuh” demikia ia kesel dalam hatinya. Ia sedikit kawatir juga, jangan-jangan ada serangan gaib menyerang. Sedangkan bebuntilannya sudah jatuh. Ia mencoba menlindungi orang yang metatah dengan mengerahkan semua kekuatan batinnya, sampai-sampai ia kelihatan peluh pidit, panas tak karuan. Padahal undangan yang lainnya sejuk-sejuk saja. Pemandangan itu memang dilihat oleh undangan yang lainnya.
Setelah aman dengan situasi tersebut, I Balian Sengap sedikit merasa nyaman di tempat duduknya. Namun tiba-tiba saja kembali ia dikejutkan oleh bisikan dari seseorang yang ditugaskan untuk menjaga banten penerangan di sanggah. Jun (tempayan) yang ditempatkan di bawah sanggah kemulan berisi air dan bunga pucuk bang tersebut terjatuh ditabrak meng buang (kucing birahi) yang berkejar-kejaran. Ia kembali panik, masalahnya hari itu memang agak mendung musim hujan. Betul saja hujan mulai gerimis, ketika sarana penerangannya uyak meng. Ia kembali peluh pidit mengerahkan kekuatan batinnya nunasica kehadapan Ida Betara agar hujan terhenti sejenak, sambil ia menyiapkan sarana penerangan yang kedua berupa tabia (cabe ditusuk) dan banten. Ia menyelinap ke tugu di sanggah, dengan segala ritualnya untuk memohon penerangan. Suasana menjadi terang kembali. I Balian Sengap kembali ke tempat duduknya, sambil sedikit kesal dengan ulah kucing birahi tadi.
Setelah beberapa saat berlangsung, tiba-tiba saja di langit, awannya terasa semakin tebal, hampir gerimis. I Balian Sengap mencoba untuk menyelinap kembali ke sanggah, kembali ia kaget melihat sarana penerangannya berupa tabia sedang di-gotol-gotol (dipatuk) oleh ayam dan benten penerangannya di-kehkeh (dikorek-korek) oleh ayam-ayam tersebut.  Sedangkan yang disuruh menjaga banten sedang kencing. Waduh kembali I Balian Sengap panik dan semakin kesal, sebab sudah sekian kali ia mengalami gangguan. Hujan gerimispun mulai turun, walau tak lebat. Dengan kemampuan seadanya, dengan canang sari yang tersisa I Balian Sengap mencoba nunasica agar diberikan terang cuaca.  Tapi karena saking jengkelnya dengan binatang-binatang tadi, akhinrya konsentrasi mulai buyar, akhirnya hujan lebat pun mengguyur. Para tamu yang tadinya di natah duduk rapi menjadi berhamburan mencari tempat teduh.
Ia kesal setengah mati dengan binatang-bianatang yang mencoba mengganggu menggagalkan upaya nyengker karya. Tapi ada hal yang lain yang terjadi. Bahwa orang yang ada di samping I Balian Sengap selalu tersenyum sedari pagi. Orang itu sebenarnya bukan orang biasa, tetapi sejatinya ia memiliki kewisesan (ilmu tinggi) yang tinggi. Orang itulah yang mencoba dengan kekuatan batinnya menggiring tikus yang kebetulan lewat untuk nomplok gegemet yang dipasang oleh I Balian Sengap. Demikian juga dengan meng (kucing) yang nabrak jun, serta ayam-ayam merusak sarana penerangannya. Orang itu mungkin berkata dalam hatinya “pang tawange asane, (biar tahu rasa). Berani-berani menjajal daerah kekuasanku”.
Mungkin orang itu bukan mengganggu karya yadnya, tetapi hanya ngencanin (ngerjain) Balian Sengap yang ngaku hebat. “Pang pesu yeh jitne nerang (biar sampai mencret ia nerang)”, atau “pang pesu peluh gidatne nyaga (biar keringatan dia menjaga)”.
Yah…begitulah kisah I Balian Sengap yang mungkin agak apes ketika menjalankan tugas niskala. Selama ini ia belum pernah mengalami hal aneh seperti ini. Ia belum pernah kalah dengan ilmu manusia sakti, justru ia dibuat kesal oleh binatang-binatang yang membuat semua pekerjaannya menjadi buyar.
Berarti yang lebih hebat dan sakti itu adalah binatang tadi….  Demikian tamu yang sedari pagi itu senyum-senyum berkata dalam hati.
Setelah karya tersebut, I Balian Sengap jarang kelihatan. Konon ia terbaring di rumah tak enak badan. Ia sakit bukan karena kalah sakti, tetapi tensinya naik akibat emosi dan sangat kesal dengan ulah binatang-binatang yang mengganggunya dalam acara tersebut. Akibat ulah binatang itu, reputasi I Balian Sengap menjadi jatuh dan tercoreng. Padahal I Balian Sengap sendiri yang salah. Pasalnya pelinggih dimana ia menempatkan banten penerangan, adalah dulunya tempat bertelurnya ayam tuan rumah. Mungkin saja banten penerangan I Balian Sengap dikira bengbengan alias sarang tempat bertelur ayam tersebut. Sial…. Sial, memang sial I Balian Sengap. Tapi apa boleh buat. 
Berita ini menjadi heboh sekaligus menjadi lelucon di kalangan masyarakat umum. I Made Mangku Suastika berkomentar “Aaahhhh, mestinya binatang tak perlu disalahkan, mereka tak punya pikiran dan mereka tak peduli apa itu banten, apa itu gegemet, apa itu upacara metatah…. Mereka tak peduli. Masalah hujan atau tidak, itu sudah kehendak alam, mentang-mentang ngatur alam. Kalau sudah pemanasan global seperti sekarang ini siapa yang tanggung jawab.
Dek Dung, ngomong masalah kesaktian, yaah…. semua ada batasnya dan semua ada penudane (penempurnya)” Orang tua bilang, de sesumbar, de ajum-ajuman, malajah keririhan dadi, yan dadi baan ngidih de merasa paling ririhe. Sawireh nu mecunguh arep tuwun. Jangan sesumbar, jangan main-main. Belajar kanuragan boleh namun jangan merasa diri paling hebat. Sebab hidung masih menghadap ke bawah…. Artinya masih menjadi manusa matah yang masih serba lemah dan banyak kekuarangannya. Demikian Tut Dung sambil lewat. (Ki Buyut /Inks).



Bangkal Ngamah Tepung




          Ada kisah berbau mistis di pedesaan Buleleng Barat, tepatnya di salah satu banjar di Desa Bengkel. Diceritakan ada seorang kakek (sebut saja namanya Kak Gaul) dikenal oleh masyarakat memiliki kewisesan (ilmu magik) yang tinggi. Cuman orang-orang tak pernah tahu persis ilmu apa yang dimiliki dan seberapa tinggi ilmu sang kakek, apakah imu pengiwa atau penengen. Yang jelas pergunjingan di masyarakat dikatakan bahwa sang kakek (Kak Gaul) memiliki ilmu tinggi dan sering menunjukkan kebolehan, bahkan sering menjahili orang alias ugig. Demikian cerita awalnya.
          Sejalan dengan usianya yang sudah lingsir (tua), Kak Gaul kemudian meningal dunia. Santer terdengar kabar bahwa Kak Gaul meninggal karena kalah mesiat (perang ilmu hitam). Dengan meninggalnya Kak Gaul, maka persiapan upacarapun dipersiapkan. Namun ada hal yang mengganjal, sebab dewasa tidak mengijinkan Kak Gaul diaben dalam waktu yang cepat, sehingga harus menunggu agak lama, sekitar sebulan ia dibaringkan di rumahnya menunggu dewasa yang baik.
          Selama sebulan para kerabat dan krama banjaran setiap malam magebagan (jaga) di rumah Kak Gaul yang dikenal sakti tapi ugig. Bisa dibayangkan situasi saat itu. Suasana desa yang sunyi, malam dengan penerangan seadanya, dingin, ditambah lagi yang meninggal adalah orang sakti ugig di desanya. Pastilah akan memberikan suasana lain yang berbau mistik selama masa magebagan. Mungkin saja teman-teman Kak Gaul berkunung pada malam hari dengan berbagai bentuk leak sebagai ucapan bela sungkawa, atau mungkin musuh-musuhnya banyak yang datang pada malam hari dengan berbagai wujud mistik sebagai ejekan kepadanya. Tetapi selama magebagan tersebut tak ada yang mengalami hal tersebut. Mungkin saja yang magebagan tidak merasakan atau memang ketika kehadirannya, para leak biasanya memasang penyengker agar aksinya tak ketahuan. Bisa saja, orang namanya ilmu mistik. Yang jelas proses magebagan jalan seperti biasa.
          Diceritakan kemudian menjelang hari pengabenan Kak Gaul, banyak kerabat dan krama banjar yang datang nguopin (membantu) persiapan upacara. Terutama para istri (perempuan) menyiapkan sarana upacara, dibantu oleh lelaki. Pada suatu siang tampak kerumunn para istri nguopin di rumah sang kakek. Tiba-tiba ada seorang ibu geleh (berteriak) berkata  celuluk…..celuluk….. celuluk…… yang menyebabkan para istri kaget dan berhamburan, padahal ibu-ibu yang lain tak melihat. Perempuan yang melihat celuluk tersebut nyelek ati alias pingsan, mungkin saking kaget dan takut. Padahal itu siang hari. Bisa saja salah satu teman dari si kakek datang ikut membantu persiapan upacara. Kalau celuluk itu luh (cewek) bisa saja itu dedeman dari Kak Gaul ketika masih hiup, alias selingkuhannya, ha…ha…
          Keesokan harinya, ibu-ibu dan bapak-bapak secara biasa nguopin ke rumah si kakek. Percakapan saat itu diwarnai oleh kejadian mistik kemarin siang. Sedang asiknya mereka bersenda gurau sambil menyiapkan sarana upacara, tiba-tiba ada salah seorang ibu-ibu dari mereka yang kembali geleh berterak mengatakan ada bangkal (celeng) ngamah (makan) tepung. Ada celeng ngamah tepung….. ada celeng ngamah tepung….sambil menunjuk ke arah tertentu. Kembali mereka kaget dan berhamburan ingin tahu kejadian tersebut. Sayang sekali, yang menyaksikan bangkal tersebut keburu pingsan. Sedangkan yang lainnya tak melihat apa-apa.
          Suasana menjadi gaduh berbau mistik ketika acara pengabenan Kak Gaul yang memiliki ilmu mistik ketika masih hidup. Kasak-kusuk di antara masyarakatpun ramai, merambah ke kampung sebelah.
          Salah seorang warga kampung, I Kumis Jempe berkata “leak-leak yang terlihat di siang bolong tersebut mungkin saja adalah teman-teman atau murid dari pekak sakti. Mungkin muridnya lupa menaruh sabuk pengleakannya di rumah, atau ia tak tahu kalau sabuk pengeleakan yang ia kenakan tersebut masih on alias masih aktif, alias belum di shut down sehingga di bawa ke tempat orang nguopin dan ngelekas di siang bolong”. I Kumis Jempe kembali berkata “Kak Gaul boleh meninggal, tetapi sabuk dan ilmunya masih hidup, serta pengikutnya masih banyak. Pastilah ia akan mencari pewaris ilmunya”.
          Teman I Kumis, yakni I Kales berkata “aku salut dengan Kak Gaul, ia banyak punya teman, banyak punya pengikut, banyak punya simpatisan. Kalau saja Kak Gaul jadi caleg dengan sistem tarung bebas pastilah ia akan menang dan menjadi wakil rakyat dari partai leak sakti”. I Kales menambahkan ”kalau di TV ada lagu Bali berjudul Bangkung ngamah Gula, nanti aku mau bikin lagu berjudul Bangkal Ngamah Tepung ha…ha….”
          Ah.. cai ada ada dogenan, siepang ibane….” Demikian I Kumis Jempe menutup pembicaraan dengan dengan logat Buleleng yang sangat kental. (Ki Buyut/ Inks)