Sunday, January 29, 2017

MANUSIA BALI (MANUSIA HINDU) “MANUSIA PASUPATI”





Dalam Tutur Kanda Pat disebutkan ketika sang ibu dan sang ayah dalam pandangan matanya berkeinginan untuk melakukan senggama, maka pada saat itu benih janin sejatinya sudah terbentuk. Ketika bersengama terjadi pertemuan antara “kama bang” (benih wanita) dan “kama petak” (benih laki-laki) di dalam rahim sang ibu. Setelah delapan bulan dilakukan upacara “magedong-gedongan” memohon anugrah agar jabang bayi berkembang dan lahir dengan baik. kanduksupatra.blogspot.com
Ketika bayi lahir disambut dengan banten “bu” (banten baru lahir). Beberapa hari kemudian “kepus pungsed”, dibuatkan banten kepus pungsed suguhan kepada sang catur sanak. Ketika umur satu bulan tujuh hari dibuatkan upacara “bulan pitung dina” untuk membersihkan jiwa raga si bayi dan orang tua, serta untuk memuliakan sang catur sanak (nyama papat). Berlanjut kemudian “telu bulanan” (sambutan) melepas sang catur sanak kembali ke asalnya, sedangkan si bayi akan diemban oleh Sanghyang Kumara. Lalu otonan sebagai peringatan hari kelahiran, juga melaksanakan penebusan di Bale Agung dilengkapi dengan upacara “ngangkid” sebagai upaya penyempurnaan penyatuan antara jiwa raga si bayi dengan karmawasananya yang secara  simbolis dilakukan di laut dan di sungai.
Saat sudah akil balik, bagi yang perempuan dibuatkan upacara “raja sewala” dan laki-laki upacara ”raja singa” sebagai permohonan kehadapan Sanghyang Semara Ratih agar si anak dapat menjalankan masa remajanya dengan baik. Selanjutnya upacara “mepandes / metatah” / potong gigi memohon agar diberi kekuatan untuk mengendalikan sifat “sad ripu” dalam diri. Setelah itu barulah upacara “pawiwahan” / pernikahan. Bahkan ada yang melanjutkan dengan upacara “neteg pulu” untuk memantapkan pernikahan dan kehidupan rumah tangga. kanduksupatra.blogspot.com
Sampai akhirnya “lampus” (meninggal) dilakukan penguburan atau diaben untuk mengembalikan unsur - unsur panca maha bhuta pembentuk tubuh ke asalnya. Berlanjut dengan “memukur / meligia / ngeroras” untuk mengembalikan unsur-unsur pembentuk badan astral serta menyucikan rohnya, untuk kemudian dilinggihkan di Kemulan dalam status sebagai Dewa Hyang, disembah oleh para “sentana” / keturunan / sanak saudara. Para leluhur yang telah meninggal lalu “numitis” / bereinkarnasi kembali sesuai dengan karmanya. Demikian rangkaian kehidupan manusia Bali (manusia Hindu) yang terus berputar.
Manusia Bali (manusia Hindu) sejak dalam kandungan, lahir, kanak kanak, remaja, dan sampai meninggal senantiasa menjalani upacara penyucian dan pasupati. Dimohonkan keselamatan dan kesucian jasmani rohani bersaranakan banten, sastra, mantra, yantra, kidung-kidung, dll. kanduksupatra.blogspot.com
Manusia Bali (Manusia Hindu) sejatinya adalah manusia yang telah di “pasupati” sejak di dalam kandungan. Manusia Bali (manusia Hindu) menjadi tenget. Ada yang merasa pusing ketika melewati bawah jemuran, atau ada pula pusing jika makan daging sapi, dll. Karena dalam diri manusia Bali dari sejak lahir sudah ditempatkan sastra-sastra, mantra-mantra magis, gambar magis (rerajahan), dll. yang tiada lain adalah menempatkan simbol dewa-dewa dalam diri manusia. Belum lagi manusia Bali (manjusia Hindu) yang menekuni dunia spiritual yang melakukan prosesi mewinten, baik “pewintenan saraswati”, pewintenan mangku, atau pewintenan khusus lainnya. Bahkan yang paling tinggi adalah prosesi “mediksa“ untuk menjadi seorang sulinggih. Sehingga pada saat kematian semua kekuatan dan simbol-simbol ini mesti dikembalikan terlebih dahulu dengan “tirtha panembak” dan “tirtha pengentas”. Demikian seterusnya.
Ini artinya manusia Bali (manusia Hindu) telah menjadikan dirinya tempat bersemayam kekuatan suci dewa dewa. Semoga manusia Bali (manusia Bali) senantiasa dapat menjaga kesucian sastra, mantra, yantra, dan simbol-simbol dewata lainnya yang telah tertanam dalam diri sejak lahir. Kurang lebih demikian. Semoga berkenan. Ampura.
#GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #BudayaBali #AdatBali #MisteriBali #KiBuyutDaluNasikinSegara. #OriginalArtikel by kanduksupatra.blogspot.com.

Monday, January 23, 2017

Pura Tunggul Besi, Pancer Jagat di Lereng Gunung Agung




 Pura Tunggul Besi memang belum banyak dikenal umat. Pura ini berada di lereng Gunung Agung, pada ketinggian 1.330 dpl, termasuk wilayah Desa Pakraman Temukus, Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Untuk mencapai pura ini dapat melalui dua jalan yakni dari jurusan Desa Rendang, di jembatan rendang belok kiri naik ke atas menuju Desa Batusesa, belok ke kanan menyusuri jalan kecil pegunungan ke arah utara atau atas, sampai di Desa Temukus. Jalan lain yang bisa ditempuh adalah lewat Pura Besakih, yakni jalan menuju ke Pura Kiduling Kreteg. Disebelah Pura Kiduling Kreteg menuju ke atas belok kanan, lalu menyusuri jalan kecil pegunungan, menuruni lembah, lalu naik ke perbukitan, sampai jalan mentok di pinggir kali disebuah lembah di lereng Gunung Agung. Dari sini menapaki jalan setapak menanjak ke perbukitan dengan hamparan rumput gajah. Dalam perjalanan menuju ke atas, kerap bertemu masyarakat yang sedang menyabit rumput. Mereka bisa ditanya atau dimintai tolong untuk mengantar menuju Pura Tunggul Besi. kanduksupatra.blogspot.com

Setelah menapaki bebukitan, ternyata di atas bukit ini terhampar tanah yang luas dan datar. Seperti hamparan padang pengembalaan. Mungkin ini yang oleh tetua disebut dengan Gunung Rata, hamparan tanah datar yang terdapat di pegunungan. Hamparan tanaman Padang Kasna yang memutih, serta hamparan kebun bunga mitir menguning. Hamparan gunung rata itu tampak putih kuning, lambang kesucian dan kebijaksanaan.
Setelah terhenyak menyaksikan pemandangan alam yang menakjubkan, baru kemudian teringat dengan tujuan utama ke pura Tunggul Besi. Pura itu tidaklah semegah yang kita bayangkan. Pura ini benar-benar hanyalah sebuah tunggul / tongkat penanda berupa gumuk. Hanya ada satu pelingih yang sangat sederhana dan sisanya adalah gegumuk. Mungkin keberadaannya dulu bagus, namun karena termakan usia, serta mungkin faktor alam seperti letusan Gunung Agung yang menyebbakan pura menjadi rusak. kanduksupatra.blogspot.com
Melihat posisi tanah dan hamparan luas yang datar di ketinggian, bisa jadi dulu tempat ini adalah ppemukiman penduduk yang ramai. Namun karena kondisi alam, menyebabakan penduduknya meningglkan tempat ini. Bisa diterima akal. Bahwa di kawasan ini banyak terdapat pura selain Pura Tunggul Besi, seperti Pura Payasan, Pura Sinarata, Pura Luwih, Pura Sekar, Pura Majapahit, dan Pura Kayoan Dedari.
Keberadaan pura - pura tersebut disungsung secara turun-temurun. Tahun 1963, ketika Gunung Agung meletus, sebagian kawasan pura ditutupi pasir. “Sebagian besar penduduk memilih mengungsi ke daerah lain serta membawa harta benda yang bisa diselamatkan termasuk lontar warisan leluhur yang di antaranya mengisahkan keberadaan Pura Tunggul Besi.  kanduksupatra.blogspot.com

Prasasti Asah Duren 
Keberadaan Pura Tunggul Besi tersurat dalam prasasti yang ada di Banjar Temukus, Desa Asah Duren, Pekutatan, Jembrana. Prasasti ini sampai di sini, kemungkinan terjadinya migrasi penduduk Temukus di lereng Gunung Agung ketika terjadi letusan. Secara garis besar isinya menyatakan bahwa I Pasek Gelgel ditempatkan di Temukus oleh Ida Dalem (raja saat itu) dan diberikan pasukan yang terdiri dari 8 desa, yakni Temukus, Banjar Tengah, Kesimpar, Pura, Kedampal, Lebih, Telun Bhuwana, dan Badeg (di Kabupaten Karangasem). I Pasek Gelgel diberikan kuasa atas desa-desa tersebut, serta kewenangan untuk mengatur segala tata upakara-upacara di Pura Puseh, Dalem, dan Bale Agung. Juga ditugaskan pula untuk menjaga Pura Luwih, Pura Sekar, Pura Singharata dan Pura Tunggul Besi. Keempat pura tersebut ditandai dengan batas-batas : wates klod, di Cangkeng, kangin di Tukad Lebih, kauh di Kayoan Kampek, dan kaler di Jabayan Pura Payasan. Piodalan di Pura Tunggul Besi dilaksanakan enam bulan sekali, yakni setiap rerainan Tumpek Landep. Piodalan di Pura Luwih setiap Saniscara Kliwon, Kuningan. Di Pura Sekar, dina Anggara Kliwon, Medangsia. Dan di Pura Singharata, pada dina Saniscara Kliwon, Krulut. 
Ada informasi mengenai keberadaan keempat pura ini. Dikatakan Prabu Marakata Pangkaja, seorang putra dari Prabu Udayana, selain Prabu Erlangga dan Prabu Wungsu (Anak Wungsu). Pada masa pemerintahan Prabu Marakata, Tutur Gong Besi itu dideklarasikan sebagai uger-uger desa dresta – maka pagwaning desa dresta, pada masa Bali Kuna. Pada masa itu tanah Bali dinamakan Bali Kadewatan. kanduksupatra.blogspot.com
Balai Arkeologi yang melakukan survei, menarik kesimpulan atas peninggalan arkeologi di sejumlah pura di Desa Temukus, Karangasem. Pertama, bahwasannya kawasan lereng Gunung Agung merupakan kawasan cukup penting yang diperhitungkan pada masa lalu. Seperti tersurat dalam prasasti Bila II berangka tahun 955 Caka yang menyebutkan Raja Marakata dimakamkan di sebuah tempat di Bukit Cemara Gunung Agung. Tidak terkecuali juga kawasan di sekitarnya seperti kawasan Desa Temukus ditemukan bangunan suci berupa padma yang diyakini berumur tua. Mengamati arsitektur bangunan padma bagian depan, diduga didasari konsepsi pada waktu kedatangan Danghyang Nirarta. Beliau memetik bunga dan memegang bunga teratai di depan dada. Kuatnya pengaruh konsepsi padma dalam perkembangan arsitektur tatkala masa kejayaan Raja Dalem Waturenggong pada abad ke-16, diduga pula bangunan ini berasal dari masa abad ke-16/17, karena bangunan pemujaan yang ditemukan di kawasan ini sebagian besar berbentuk padma. Diduga keberadaan bangunan padma di Pura Temukus berasal pada masa kejayaan Dalem Waturenggong. Tinggalan genta perunggu yang ditemukan di Temukus diduga dibuat di Bali, mengingat tradisi pembuatan genta perunggu sudah dikenal sejak lama. Namun konsepsi pembuatan tidak terlepas dari pengaruh luar (Jawa Hindu). Memperhatikan tipe hiasannya, maka genta ini cenderung mengarah pada langgam Jawa Timur yang diperkirakan berasal dari abad 16. Dugaan ini didasari atas perbandingan dengan sejumlah koleksi genta pendeta koleksi Sono Budoyo yang berasal dari abad 15-16. Pada ujung genta berhiaskan vajra. Genta ini diduga memiliki makna dan diduga dipergunakan untuk pemujaan Dewa Iswara.
Diperkirakan bahwa Pura Tunggul Besi dibangun pada zaman Raja Bali tahun  999 Icaka sebagai  stana Ida Hyang Putran Jaya yang dikenal umat Hindhu  berstana di Gunung Tolangkir. Sesuai Prasasti  Gunung Biau, dengan mengambil hari Piodalan pada hari  Tumpek Landep. Ditijau dari nama Pura, masyarakat  mengenalnya sebagai Pura Pancer Jagat yang sebelumnya pernah diketahui terdapat pancer menyerupai pancer besi.
#GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #PuraBali#KiBuyutDalu #Origin #kanduksupatra.blogspot.com
 

Thursday, January 19, 2017

ADUK SERE AJI KETENG dan PISUNA LAWAR JELEMA


Jadi teringat dengan salah satu bagain cerita Ki Balian Batur. Ketika ketentraman masyarakat terusik oleh kehadiran seseorang yang tak jelas juntrungnya, tiba tiba meneriakkan “lawar jelema”. Orang ini menuduh Ni Made Wali anak Ki Balian Batur telah menjual lawar jelema (daging manusia). Kontan saja masyarakat terperangah dan mencaci maki si pedagang. Orang - orang termakan isu dan fitnah dari si pemabuk ini. Belum lagi tingkah polahnya tak beradab, kencing sana kencing sini, teriak sana teriak sini, makan tak bayar, dll. Suasana jadi kacau. Akibat yang lebih parah adalah pembalasan Ki Balian Batur yang memakan banyak korban dengan kekuatan ilmu hitamnya.
Ketika orang – orang sedang giat-giatnya bekerja, ketika pamong negeri sedang bahu-membahu menata kehidupan sosial ekonomi, ketika para panglima kesatrya negeri sedang getol-getolnya membenahi alutsista, ketika masyarakat sedang bersukacita menyanyi dan menari, ketika para atlet sedang semangatnya mempersembahkan medali dan prestasi untuk negeri, ketika para mahasiswa dan pelajar sedang berkonsentrasi untuk menyerap ilmu pengetahuan, tiba-tiba situasi diramaikan oleh kehadiran orang yang menebar fitnah, menebar kebencian dimana-mana, kesana ke sini memprovokasi, bicaranya ngawur. Ketenangan masyarakat terusik, konsentrasi pemerintah kurang fokus, masyarakat terbelah dalam dua kubu, keutuhan negeri terancam. Masyarakat yang sudah “paras paros” (bersatu seiya sekata) kini menjadi “poros porosan” (terbelah dalam kubu – kubuan). Negeri ini sedang direpotkan oleh segerombolan “jelema punyah”. Mabuk Ideologi. Mabuk keyakinan. Mabuk kebenaran. Mabuk surga. “Nyapa Kadi Aku” – maunya sendiri. “Aduk Sere Aji Keteng” – ketentraman orang banyak terusik oleh segelintir orang.
Kalau dipikir-pikir, sepertinya lebih mending punyah tuak daripada punyah di atas. Dumogi sareng sami Paras Paros Sarpanaya Gilik Seguluk Selunglung Sebayantaka. Ampura.
#BhinekaTunggalIka #ParasParos #TuakBaliJiwaLaki #Orig #kanduksupatra.blogspot.com

Friday, January 13, 2017

ENGKIK… ENGKIK… ENGKIRR…. Misteri burung KEDASIH menjelang Sasih KEDASA




 kanduksupatra.blogspot.com. Pernah mendengar suara burung yang menjerit rada - rada sedih memelas di kejauhan, berbunyi engkikkk… engkkiiikkk…. Engkkiiiiirrrrrr…..? Suaranya mengundang rasa iba. Kadangkala di siang hari, pagi hari bahkan pada malam hari. Burung ini dalam bahasa Indonesianya disebut Burung Kedasih.
            Rupa dari burung ini mirip seperti burung crukcuk. Biasanya burung ini muncul ketika angin barat berhembus kencang dan membawa hujan. Kurang lebih sekitar Februari, Maret, atau April. Bahkan bagi tetua Bali, terdengarnya suara burung ini, pertanda Sasih Kedasa suddah tiba. Sasih yang baik untuk melakukan upacara. kanduksupatra.blogspot.com
Kemunculannya yang misterius setiap setahun ini melahirkan berbagai mitos yang menyertai burung ini. Konon burung ini sedang bersedih tatkala melahirkan anaknya. Karena si anak akan lahir lewat dada si induk. Dada si induk terbelah dan mati. Si burung Kedasih bersedih meninggalkan anaknya yang baru lahir, tak tahu siapa yang akan mengasuh. Kedatangan kematiannya inilah yang diratapi burung Kedasih dengan alunan suara yang sedih, engkikkkk…  engkiikk… engkkiiiiiirrrrrrr……….
            Misteri lain mengisahkan bahwa burung ini adalah penjelmaan dari atma kesasar (roh-roh gentayangan). Roh-roh ini tak tahu dimana dirinya, mereka kebingungan, ketakutan, dan sedih. Jeritan rintih pedih atma kesasar tersebut terdengar dalam suara burung Kedasih. Engkikk… Engkikkk… Engkirrrr…….
            Kuatnya mitos yang menyelimuti suara burung Kedasih ini, membuat orang yang mendengarkan suara burung itu menjadi terbawa-bawa angannya ke hal-hal yang bersifat seram, ngeri, kesedihan roh-roh gentayangan, dll. Inilah yang menyebabkan kehadiran suara burung ini menjadi misteri, ditambah lagi burungnya jarang terlihat. kanduksupatra.blogspot.com
 Terlepas dari mitos yang berkembang secara turun temurun di masyarakat, bagaimana sebenarnya burung ini?. Burung ini adalah burung biasa dengan suara yang khas. Postur tubuhnya sangat mirip dengan burung crukcuk, warnanya abu-abu. Hidupnya bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain mengikuti arus hujan dan angin barat. Kemunculannya Indonesia biasanya bulan Maret - April, dimana pada sat itu masih musim hujan, namun cuaca sudah mulai hangat. Pada bulan ini masanya untuk berkembang biak. Sayangnya burung ini tak punya ketrampilan membuat sarang. Ketika bertelur, burung ini akan mencari sarang burung crukcuk atau burung kepicitan atau burung cinglar yang sedang bertelur. Ketika pemilik sarang tak ada, burung ini akan bertelur di sarang burung lain. Agar perbuatannya tak kentara, maka burung Kedasih akan menjatuhkan telur burung pemilik sarang. Ketika datang, burung pemilik sarang tak tahu kalau telurnya sudah ditukar.  Burung crukcuk (pemilik sarang) mengira bahwa ia telah mengerami telurnya sendiri. Sedangkan burung Kedasih akan mengawasi tidak jauh dari sarang itu. Itulah sebabnya kenapa di sekitar burung Kedasih berbunyi, selalu ada burung crukcuk atau burung lainnya yang sedang bersarang. Setelah menetas, burung crukcuk (atau burung lainnya) akan mengasuh anak dari burung Kedasih. Setelah memastikan anaknya yang lahir sudah ada yang mengasuh, maka “si Kedasih yang licik” ini meninggalkan daerah itu, untuk nanti kembali lagi tahun depan.      
           Itulah kehidupan biologis dari burung Kedasih si “Engkik Engkik Engkir”. Ia mengorbankan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Ia memperdaya orang lain untuk kenikmatan dirinya. Si Kedasih telah menipu. Si Kedasih yang egois yang malas dan tidak trampil, serta tak bertanggungjawab kepada anak. kanduksupatra.blogspot.com
Lengkingan sauara burung Kedasih terdengar nyaring san lantang dari pucuk pepohonan yang tinggi. Sehingga alunan sedihnya terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Rintihan pedih Burung Kedasih menandai Sasih Kedasa telah datang. Entah benar atau salah, konon kabarnya sejak turun temurun Ida Cokorda di Puri Pemecutan (Badung) menggunakan suara kedis Engkik… engkik… engkir sebagai pertanda bahwa Sasih Kedasa datang, dalam rangka odalan di Pura Tambangan Badung yang dikenal dengan istilah Ngedasa di Pura Tambangan Badung. Konon beliau berkeyakinan bahwa sebelum terdengar suara burung tersebut, maka sasih belum Sasih Kedasa, walaupun di kalender telah tertera Sasih Kedasa. #OriginalArtikelByKanduk
Demikian kabarnya misteri Kedasih si Engkik-engkik Engkir. Semoga berkenan. Ampura. #GamaBali #BudayaBali #AdatBali #MisteriBali. #OriginalArtikel. kanduksupatra.blogspot.com.

   

Thursday, January 5, 2017

Asal Mula nama TAINSIAT, TAMPAK GANGSUL, dan KALIUNGU







            kanduksupatra.blogspot.com. Dikisahkan Raja Mengwi bukan kepalang kesal hatinya karena daerah kekuasaannya direbut oleh I Gusti Ngurah Pemecutan dijadikan Kerajaan Badung. Raja Mengwi lalu meminta bantuan kepada Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Panji Sakti. Beliau menyanggupi sambil berkata sedikit sesumbar “Apa itu kerajaan Badung hanya sebesar sarang ayam. Hanya dengan mengibaskan kancut pasti hancur olehku”.
            Singkat cerita, pada suatu hari berangkatlah Pasukan Goak (Laskar  I Gusti Ngurah Panji Sakti) menuju Kerajaan Badung. Sesampai di areal persawahan di sebelah timur laut Puri Pemecutan pasukan itu berhenti. Raja Badung yang mendengar bahwa wilayahnya diserang oleh Buleleng lalu memerintahkan Sikep (Laskar Badung) untuk menghadapi Goak Buleleng. Terjadilah perang antara Goak Buleleng dengan Sikep Badung. Sikep Badung terdesak dan banyak yang gugur. Darahnya mengalir bersama aliran air parit. Sikep Badung sementara mundur untuk menghadap raja ke Puri. Setelah beberapa langkah dari arena pertempuran, ternayat Raja Badung telah berangkat menuju tempat pertempuran. Raja Badung memerintahkan kembali berteempur. Diperintahkan agar para Sikep turun ke “nyarangan” (petak sawah yang siap ditanami padi), mengambil lumpur untuk dilemparkan ke mata Goak. Atas perintah tersebut, Laskar Sikep berbalik bersemangat kembali menuju medan perang. Pertempuran semakin dasyat, dimana Pasukan Sikep Badung melempari Goak Buleleng dengan lumpur. kanduksupatra.blogspot.com.
            Pasukan Goak terdesak lalu mundur. Pada saat bersamaan muncullah I Gusti Ngurah Panji Sakti. Perang tanding pun terjadi antara Raja Buleleng dengan Raja Badung. Pertarungan sangat dasyat, sama-sama sakti, sama-sama lihai dan hebat bersenjatakan pedang, tombak dan keris. Sama-sama tak tergores sedikitpun oleh senjata. Sama-sama kebal.
            Pertempuran yang begitu dasyat, tak ada yang kalah tak ada yang menang. Keduanya merasa kepayahan. Dalam kelelahan mereka di pertempuran, tiba-tiba ada sabda Betara Batur. “Hai anakku I Gusti Ngurah Panji Sakti dan I Gusti Ngurah Pemecutan, janganlah dilanjutkan pertempuran ini. Biar sampai setahun berperang, tidak akan ada yang kalah dan menang, karena kamu mempunyai anugerah yang sama dari Aku Betara Batur. Jadi, engkau mempunyai kekuatan dan kekebalan yang sama pula. Sebaiknya kamu mulai saat ini bersaudara, berteman akrab saling menolong satu dengan yang lain”. kanduksupatra.blogspot.com.
            Ketika mendengar sabda itu lalu pertempuran dihentikan. Kedua belah pihak sama-sama berhenti berperang. I Gusti Ngurah Panji Sakti berkata, “Hai adikku I Gusti Ngurah Pemecutan kita disarankan oleh Betara Batur untuk tidak berperang satu sama lain karena anugerah sama. Mulai saat ini saya tidak akan berani kepada dinda, demikian pula dinda tidak berani kepada saya. Antara Buleleng dan Badung tidak boleh ada perang lagi. Oleh karena itu aku I Gusti Ngurah Panji Sakti, mulai saat ini dinda saya beri nama I Gusti Ngurah Pemecutan Sakti. Demikianlah untuk diingat seterusnya. Sekarang saya berpamitan akan kembali ke Den Bukit, semoga dinda selamat”. kanduksupatra.blogspot.com.
            Raja Badung menyetujui dan mengucapkan selamat jalan kepada I Gusti Ngurah Panji Sakti. Setelah ditinggalkan oleh I Gusti Ngurah Panji Sakti bersama pasukan Goak, maka Raja Badung kembali bersama para Sikep. Namun sebelum kembali beliau berkata, “Oleh karena di tempat ini terjadi perang (siat), maka mulai saat ini tempat ini dinamai “Taensiat” (taen berarti  pernah, “siat” berarti perang), kini menjadi TAINSIAT. Demikian pula parit tempat darah para sikep bercampur air parit itu mengalir karena airnya berwarna ungu. Untuk selanjutnya areal parit tersebut dinamai “KALIUNGU”. kanduksupatra.blogspot.com.
            Selanjutnya raja dan Pasukan Sikep berjalan menuju arah puri ke arah barat daya. Pada suatu tempat beliau ingat kembali dan berkata, “Oleh karena di tempat ini Laskar Sikep mau berbalik ke medan perang kembali untuk selanjutnya tempat ini diberi nama “Tampak Wangsul” (tampak, ‘tapak’, wangsul ‘kembali). Dalam perkembangannya menjadi “TAMPAK GANGSUL”. Demikian untuk selanjutnya agar diingat”.
            Setelah berkata demikian, maka raja beserta para sikep melanjutkan perjalanan ke puri.
Demikian dikisahkan. Ampura. #SejarahBali #BudayaBali #AdatBali #MisteriBali #MitosBali #TaksuBali #kanduksupatra.blogspot.com #kibuyutdalu #PongahjuariMituturin #OriginalArtikelByKanduk