Sulinggih
adalah orang yang telah mendapatkan penyucian melalui upacara yang disebut madiksa.
Seorang walaka yang telah didiksa mendapatkan kedudukan sebagai sulinggih
atau sadhaka. Sulinggih berasal dari kata Su artinya utama/mulia,
linggih berarti kedudukan. Sulinggih artinya mendapat kedudukan yang
utama/mulia di masyarakat. Mendapatkan kedudukan tinggi karena beliau telah
mencapai kesucian lahir batin dalam tingkatan dwijati. Dwijati artinya
lahir dua kali. Lahir pertama adalah dari rahim ibu. Lahir kedua adalah lahir
dari weda. Lahir kedua, sebagai manusia suci tanpa cacat/cela.
Sebagai seorang
dwijati, maka wujud, status, sesana yang lalu (walaka), karma wasana walakanya
dianggap tidak ada atau sudah mati. Beliau lahir kembali dalam lembaran hidup
baru. Sehingga wujud (penampilan), nama, status, sesana, dan karma wasana yang
baru. Sehingga untuk itu dalam diksa pariksa (pemeriksaan calon
sulinggih/diksawan) terlebih dahulu dinyatakan tidak cedaangga (tidak cacat),
bebas masalah hukum pidana maupun perdata.
Upacara dwijati
atau diksa adalah puncak pendakian spiritual seorang walaka (manusia
biasa). Seseorang yang telah didiksa atau dwijati disebut Pandita atau
Brahmana, Sulinggih, tanpa membedakan keturunan. Pada tingkat ini seorang
sulinggih dapat melakukan ngolakapalasraya. Diikat oleh brata pokok yang
disebut catur bandana brata (sasana kawikon) yakni Amari Aran
yakni berganti nama (diberi nama abhiseka). Amari Wesa berganti tingkah
laku, penampilan dan atribut. Amari busana berganti tata busana, dan Amari
Wisaya yakni mengubah tingkah kehidupan dan kesenangan.
Proses amari
aran maka sulinggih yang suci tan cedaangga, tan keneng
ujar ala, tan wenang adol-atuku, tan keneng pattita. Tan cedaangga artinya
tanpa cacat, cela fisik dan mental. Bebas dari masalah hukum. Sulinggih tidak
boleh lagi misalnya mengendarai mobil atau sepeda motor. Hal ini untuk
mengindari terhjadinya permasalahan hukum ketika terjadi permasalahan. Tan
Wenang adol-atuku, bahwa sang sulinggih tidak lagi terikat dengan urusan pamrih
material seperti jual-beli. Atas dasar tersebut sulinggih bebas dari tugas
sosial seperti ayahan banjar, ayahan desa, dan pekerjaan yang sifatnya fisik.
Sulinggih tidak terkena cuntaka, kecuali sulinggih wanita pada saat haid.
Beliau juga tidak nyuntakain (tidak menyebabkan cuntaka) karena beliau telah
suci. Sehingga sulinggih ketika lebar (meninggal) boleh diupacarai
jenasahnya tidak dikuburan.
Berdasarkan uger-uger
kawikon, maka seorang sulinggih harus selalu dinyatakan jujur oleh seorang
walaka. Harus dinyatakan benar oleh seorang walaka. Tidak boleh seorang walaka
menyatakan seorang sulinggih salah, tidak baik, atau berbohong. Hanya sang nabe
sajalah yang berhak menilai. Atau kalau sang nabe lepas tangan, maka paruman
sulinggih yang berhak mempattita seorang sulinggih.
Umat wajib
menjaga kesucian Sulinggih agar tidak leteh (kotor), ujar ala
(disalahkan, dicaci maki, diumpat, dituduh). Sulinggih tidak boleh didebat oleh
walaka. Umat hanya boleh mendengar, bertanya dan mohon petunjuk sulinggih.
Hidangan makanan hendaknya sukla (bersih secara sekala/niskala).
Sulinggih tidak boleh dituntun untuk makan di rumah makan, acara makan jalan
bersama, apalagi magibung.
Sulinggih
dituntut keteguhan menjalankan dharmaning kawikon dan sasana kawikon,
serta menerapkan dasadharma kapanditaan. Sulinggih yang melanggar
sesananya, akan berakibat fatal ( asing angelung sasana angewetaken sanghara
bhumi). Dalam Tutur Kasuksman, sulinggih adalah paragan
(perwujudan) Sang Hyang Dharma. Beliau lambang kebenaran dan beliaulah penegak
dharma di dunia. Beliau membawa tongkat (teteken) sebagai lambang dhandastra
(senjata dewa Brahma). Juga sebagai simbol ketuaan dalam arti telah
meninggalkan kehidupan grhasta yang penuh dengan dinamika duniawi.
Fungsi seorang
sulinggih yang diketahui secara umum adalah muput karya. Masih ada
fungsi lainnya yakni Ngelokapalasraya, membimbing umat mencapai
kebahagiaan rohani (sebagai guru loka). Sulinggih menjadikan diri beliau
sebagai sandaran umat untuk bertanya tentang kerohanian, tuntunan rohani,
petunjuk, dan muput karya yadnya atas permintaan masyarakat (menurut sesana
kawikon, wiku tidak boleh meminta untuk muput karya, kalau tidak diminta).
Sesuai fungsi tersebut, sulinggih (wiku) dituntut sebagai wiku pradnyan.
Paham tentang weda, puja, japa, mantra, stuti dan stawa, tutur, indik, wariga,
sastrawan dan mungkin mistis. Memahami weda sruti, smerti, upanisad,
dharmasastra, itihasa, purana, darsana, dll. Ada tiga macam sulinggih di
masyarakat:
1. Sulinggih Acarya yakni
sulinggih yang benar-benar melaksanakan semua fungsi di atas. Beliau seorang sulinggih
pradnyan atau disebut wiku wibhuh yakni wiku utama di masyarakat.
Selain ngelokaplasraya, juga membimbing umat ke arah kemuliaan.
2. Sulinggih Lokapalasraya
saja yakni sulinggih yang mempunyai kemampuan muput karya saja, tidak
menjalankan fungsi lainnya.
3. Sulinggih ngeraga yakni
sulinggih yang hanya menyucikan diri. Jadi sifatnya individual. Tida
ngelokapalasraya dan kurang menjalankan fungsi yang lainya. Beliau hanya
berorientasi ngetut yasa.
Tugas dari
seorang sulinggih adalah melaksanakan dharma agama dan dharma negara.
Sulinggih senantiasa ngerastityang jagat, sehingga tercipta kehidupan
jagadhita. Dalam ketetapan Sabha Parisada Hindu Dharma II dikatakan bahwa yang
disebut sulinggih/wiku/pandita adalah Pedanda, bhujangga, Resi, Bagawan,
Empu, Dukuh.
ketika sudah menjadi sulinggih, apakah dibenarkan untuk memiliki anak (sulinggih istri hamil) ?
ReplyDeleteDrr3tg4
ReplyDelete