Di sebuah selebaran
tertempel di tiang listrik tersurat tulisan “saksikan pagelaran wayang ceng
blonk di art centre”. Kemudian di tempat lain di lain waktu juga terpampang
selebaran bertuliskan “pembukaan acara ini itu, dimeriahkan oleh Wayang Joblar”.
Melihat
dari selebaran tersebut, rupanya kedua dalang yang memiliki gaya
yang sama ini sangat digandrungi para penggemar wayang di Bali.
Kedua dalang ini mampu memberikan warna baru dan darah segar bagi iklim pewayangan
di Bali yang sejak beberapa tahun kemarin mengalami sediki kemerosotan terutama
di perkotaan. Kecuali wayang tersebut digelar ketika hari odalan atau karya
tertentu.
Dengan
gemerlapanya pertunjukan wayang, glamor dan energiknya pertunjukan wayang tersebut
membuat penonton menjadi semakin semangat, dengan menuangkan ide baru dengan
menampilakn laser, pakem yang sedikit dimodifikasi, serta mengedepankan tokoh Nang Klenceng (ceng) dan Nang Eblong (blong) mampu menghidupkann
suasana. Bagi masyarakat yang baru memahami pewayangan mungkin mengira bahwa
tokoh ini diciptakan oleh dalang ini. Padahal tidak demikian halnya. Kedua
tokoh wayang ini sudah ada sejak jaman dahulu, namun si dalang inilah yang mampu
menghidupkan kembali tokoh tersebut sehingga dikenal dengan wayang ceng blong.
Setiap
pertunjukan kedua dalang ini, untuk saat ini hampir tak pernah sepi dari penonton.
Penonton berjubel untuk dapat menikmati permainan wayang kolaborasi dengan
lampu-lampu laser yang warna-warni, serta pola gerakan wayang yang semakin
energik sebagai tanda adanya sebuah pembaharuan dalam dunia pewayangan Bali. Selama
pertunjukkan, para penonton dihibur dengan lelucon yang mengocok perut, dengan
kritikan-kritikan tajam dan aktual mengenai kehidupan sosial budaya Bali saat
ini. Selingan lagu-lagu berbaur dengan suara gerong (sinden) menjadikan pertunjukan menjadi semakin kolosal.
Apalagi salah satu dalang ini kemudian menggunakan kolaborasi pedalangan,
gambelan dan musik dangdut untuk menghibur penonton. Hal itu sah-sah saja dalam
pasar penonton.
Kalau
Joblar masih berkutat pada hal sosial yang kadangkala dibumbui dengan hal yang
berbau cabul (bukan porno), sedangkan ceng blongk lebih intelek, lebih tajam,
dan lebih kritis menyorot pola kehidupan sosial masayarakat terutama tingkah laku
para pejabat saat ini. Sehingga keduanya memiliki daya sedot penonton yang
cukup tinggi.
Atas
ketenaran kedua dalang ini, mereka juga menebar pertunjukkan ke rumah-rumah, ke
kamar-kamar penggemarnya melalui CD atau DVD yang dapat di beli di kaki lima yang secara kasat
mata banyak dibajak oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.
Nah
kembali ke masalah pewayangan yang sedang tumbuh berkembang dan mekar di Bali,
yang mengembirakan bahwa ketertarikan generasi muda Bali
akan wayang kulit. Syukur, cerik-cerik Bali
mau tertarik dengan pewayangan. Kalau masalah wayang, ditanya, maka mereka akan
menyebut nama Ceng Blong atau Joblar. Tak pernah mereka menyebut yanglain. Karena
itulah yang mereka tahu untuk saat ini.
Penulis mencoba menggali informasi dan menanyakan
mengenai wayang. Pertanyaannya adalah sekitar siapa tokoh-tokoh wayang yang
diketahui. Jawaban yang didapat cukup mencengangkan, ternyata si penggemar
wayang Ceng Blong dan Joblar tersebut tak menyebut nama tokoh wayang, apalagi
kalau misalnya dibedakan tokoh Ramayana, dan tokoh Mahabarata. Mereka menjadi
sedikit klingang-klingeng kebingungan. Yang ia tahu adalah Ceng dan Blong. Mereka
memang menonton wayang bukanlah mendengar alur ceritanya, tetapi mendengar
lawakan yang dikeluarkan oleh dalang ketika memainkan tokoh Nang Klenceng dan Nang
Eblong atau mendengar kritik tajam dari para dalang. Mereka tertarik dengan
pola pertempuran (siat) yang rame dalam wayang. Tapi mereka tak mengetahui
cerita apa yang sedang dimainkan, mereka tak tahu dan mereka acuh tak acuh
entah menggunakan cerita apa, yang penting lawakannya.
Dari sana kemudian penulis
sedikit terkejut dengan apa yang disampaikan beberapa responden tersebut, dan
memang benar bahwa yang dicari dan dikejar adalah lawakannya. Bahkan ketika mereka
menyetel video di rumah, mereka hanya mencari bagian dari Ceng dan Blong alias bagian
yang lucu saja, sedangkan yang lainnya lewat begitu saja.
Dari sini kita mencoba
untuk melihat apakah memang benar masyarakat Bali terutama generasi muda
benar-benar menggemari wayang, atau sekedar mencari alternatif hiburan lawakan.
Dan apakah sang dalang bisa dikatakan berhasil dalam menjalan dharma pawayangan ?
Padahal dalam
pertunjukan wayang terdapat dua cerita pokok yakni Mahabarata dan Ramayana yang
merupakan epos, bagian dari Weda. Di dalamnya mengandung unsur fisafat
kehidupan, filsafat ketuhanan, upacara, budi pekerti, yang menjadi kewajiban
dari para dalang untuk mengadakan transfer nilai kepada masyarakat penonton.
Anehnya
lagi bahwa para penonton yang kesana-kesini mengejar pertunjukan Wayang Ceng Blong,
ternyata sama sekali tak mengenal cerita pewayangan. Aneh sekali, pertunjukan
yang begitu glamor akan terlewati begitu saja tanpa makna, orang mengejar
karena lucu saja. Kalau saja ceng blong dan joblar menginabobokan penonton
dengan suguhan lelucon saja, maka sayang sekali upaya yang sudah sukses menggaet
penonton, namun gagal dalam mentransfer inti pokok dari nilai wayang yakni
menyebarluaskan cerita Ramayana dan Mahabarata yang nota bene adalah ajaran Weda.
Sesuai
dengan prinsip wayang adalah lawat atau bayangan atau cermin dari kehiduan.
Dari wayang manusia diharapkan bercermin mengenai kebaikan dan keburukan yang
ditampilkan dalam setiap tokoh yang dimainkan dan di sana terdapat banyak ajaran kehidupan.
Jadi
harapan dari para tetua penggemar wayang adalah bagaimana agar wayang tetap
menjadi tontonan yang menarik, bagaimana dalam bisa mengarahkan pikiran
penonton untuk mengikuti alur cerita sehingga bisa mengetahui cerita dan
memahami maknanya yang terkandung di dalamnya. Yang penting lagi adalah
kreatifitas dan inovasi sang dalang tentunya tak menjauhkan penonton dengan
cerita pokok dari wayang tersebut. Sayang sekali misalnya nanti terjadi bahwa
perunjukan wayang yang meriah namun kering akan makna.
Berbeda
dengan penonton wayang Jawa. Kalau Wayang Jawa menampilkan cerita secara utuh,
guyonan yang proporsional, sehingga penonton benar-benar mengetahui atau
memahami cerita wayang dengan falsafah kehidupan yang termuat di dalamnya. Dengan
demikian, secara filsafat bahwa orang Jawa lebih memahami cerita Ramayana dan Mahabarata.
Sangat berbeda dengan di Bali, bahwa cerita yang diangkat hanya sekelumit atau
sebagian kecil kejadian yang terjadi dalam cerita yang sangat panjang tersebut.
Menyebabkan orang Bali mengetahui cerita
Ramayana atau Mahabarata terpotong-potong alias tidak utuh. Apalagi dalam
cerita yang singkat tersebut sebagian waktu dipakai untuk menghibur penonton
dengan lelucon-lelucon, kritik-kritik sosial. Alangkah
baiknya kalau pertunjukan wayang yang penuh dengan kreasi dan inovasi tersebut
yang mampu menyedot banyak penonton, kemudian diimbangi dengan keutuhan cerita,
memberikan pemahaman, serta menggiring penonton untuk mengetahui lebih utuh cerita
pewayangan. Harapannya adalah agar masyarakat Bali menjadi masyarakat yang
utuh, yakni masyarakat yang mengetahui akar budaya, mengetahui filsafat
agamanya, kemudian menjalankan adatnya sesuai dengan perkembangan jaman, serta
berbhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, serta menjalankan proses hidup sesuai
dengan konsep Tri Hita Karana. (inguh).
No comments:
Post a Comment