Banjar adalah lembaga yang merupakan
kumpulan dari beberapa orang di wilayah tertentu, yang terikat dalam norma tertentu,
serta hidup dalam kebersamaan didasari atas kegotongroyongan. Mereka bisa
berasal dari berbagai macam strata atau tingkatan sosial, dari berbagai macam
soroh/klan, namun mereka ada dalam satu kesatuan, dalam ikatan sosial, adat,
budaya, dan keamanan. Pada hakekatnya banjar adalah tempat untuk bersosialisasi,
untuk berlindung dalam sebuah kesatuan keamanan, banjar sebagai tempat untuk
belajar agama, adat, budaya, dan seni.
Sebagai lembaga, sudah tentu banjar
terdiri dari orang-orang yang terikat dalam sebuah norma tertentu. Sebagai
tempat maka ia memiliki wilayah tertentu, diatur oleh norma-norma/awig-awig baik
yang tertulis maupun tak tertulis yang mengikat semua krama. Sebagai pusat kegiatan
krama banjar, dibuatlah sebuah tempat yang disebut dengan bale banjar, yang berfungsi
sebagai tempat melakukan pertemuan dan kegiatan lainnya. Di bale banjar itu
sendiri terdapat sebuah bangunan pelinggih sebagai unsur parahyang banjar tersebut
yakni Linggih Ratu Gede Penyarikan, yang merupakan manifestasi dari Ida Betara
Siwa sebagai pengayom, dari sebuah organisai. Selain itu di beberapa tempat, di
banjar juga dilengkapi dengan pelinggih lainnya, sepertri linggih Ratu Ayu,
sesuai dengan situasi dan kondisi di wilayah masing-masing. Namun yang pokok
adalah linggih dari Ida Ratu Gede Penyarikan, sebagai sungsungan dari krama
banjar bersangkutan.
Kembali ke masalah bale banjar, dalam
sejarahnya sangatlah fungsional. Artinya bahwa bale banjar sebagai sebuah pusat
kegiatan sangat memegang peranan penting dalam perjalanan lembaga banjar. Semua
orang berkiblat ke banjar. Banjar sebagai sentral masyarakat. Semua orang senang
ke banjar. Dulu di Bali kita lihat banyak masyarakat yang suka di banjar, entah
itu untuk ngobrol, untuk magecel,
untuk kegiatan sosial lainnya setelah istirahat dari pekerjaan di sawah. Bahkan
sampai malam hari kegiatan itu belangsung. Kalau dulu banyak masyarakat yang
datang ke banjar hanya untuk tidur-tiduran, sebagai tempat istirahat yang konon
katanya lebih nyaman. Kemudian banjar sebagai tempat linggih Ida Betara Bhagawan
Penyarikan, dan juga milik krama bersama, maka banjar sekaligus sebagai tempat
yang disakralkan atau dikramatkan. Tak banyak orang yang berani berkata
macam-macam di banjar. bahkan menurut cerita orang pintar bahwa leak pun tak
berani naik ke banjar. Karena di banjar terdapat linggih dari Ida Penyarikan.
Kemudian banjar juga adalah sebagai tempat orang banyak, apabila nanti ketahuan
seseorang ngeliak di banjar, maka ia akan berurusan dengan orang banyak dan
awig-awig banjar. Sehingga untuk ngeliak, orang akan berpikir. Banjar adalah
sebagai tempat yang cukup aman pada jaman dahulu.
Kesederhanaan kehidupan terdahulu, ditandai
pula dengan kesederhanaan dari bentuk banjar yang diciptakan. Di Balik
kesederhanaan tersbeut tersimpan karisma karena dibangun atas dasar nilai
kebersamaan yang tinggi serta memiliki kesakralan tertentu. Yang menyebabkan
banjar adalah merupakan sebuah kebutuhan dari orang-orang yang bermukim di
sekitarnya. Para krama berlomba untuk dapat
ikut ngayah atau berbuat sesuatu sebagai tanda bhakti dan pengabdian kepada
banjar, yang dilakukan secara tulus iklas.
Demikian perjalanan panjang banjar sejak
jaman dahulu. Sampai akhirnya sekarang keberadaan banjar masih sangat penting
kalau ditinjau dari segi tatanan kepemerintahan. Banjar dipakai sebagai objek
pembangunan, dan sekaligus subjek pembangunan. Lembaga banjar sangatlah memegang
peranan penting dalam pemerintahan di Bali
saat ini, yang tak ada di tempat lain di Indonesia. Dengan system banjar,
program KB yang dicanangkan oleh pemerintah pada masa lalu dinyatakan paling
berhasil di tingkat nasional dan dunia. Demikian juga system pengerahan masa,
dengan memanfaatkan institusi banjar akan semakin mudah.
Sejalan dengan perkembangan jaman serta
perkembangan perekonomian masyarakat, banyak bale banjar yang mengalami
renovasi sesuai dengan perkembangan jaman, termasuk juga dari desain bentuknya,
banyak yang mengalami pergeseran. Banyak banjar yang ditingkatkan menjadi
lantai dua dan bahkan ada yang memakai lantai tiga. Konstruksi pun sudah
berubah dari konstruksi tradisional beratap alang-alang menjadi atap genteng,
kemudian lantai keramik, serta konstruksi beton, dengan berbagai ornamen yang
menunjukkan adanya perubahan atau pergeseran dalam model desain bangunan bale
banjar.
Banyak bale banjar yang kemudian berubah
fungsi sesuai dengan perkembangan jaman. Ada yang dibuat model seperti ruko
untuk dikontrakkan sebagai lahan pemasukan finansial bagi banjar, ada banjar
yang digunakan sebagai garase kontrakan, dll. Dari sini terkesan bahwa pembangunan
bale banjar orientasinya adalah finansial. Sedangkan fungsi sosialnya seperti
tempat rapat, tempat untuk berkesenian, belajar agama, tempat bersosialisasi
dan sebagainya sudah bergeser, ada yang dipersempit, bahkan ada yang digeser ke
atas, bahkan ada yang ditiadakan.
Jadi banjar tak lagi memiliki fungsi
sosial yang sebenarnnya namun banjar lebih merupakan sebuah lembaga atau tempat
untuk menghimpun dana atau lembaga finansial, untuk menghimpun dana
sebanyak-banyak. Prestasi seorang kelian banjar sekarang tidak diukur dari sejauhmana ia dapat menjalankan
tugasnya dengan baik, membina masyarakat serta menyatukan unsur tri hita karana
dalam kehidupan banjar, melainkan seberapa banyak dana yang dapat dikumpulkan,
atau seberapa banyak penambahan kas yang dicapai oleh masa kepengurusan kelian tersebut. Jadi hitungannya adalah
finansial. Kalau sudah kas banyak berarti bagus, walaupun harus mengorbankan
banjar untuk dikontrakkkan dan sebagainya yang justru hal tersebut telah
melanggar dan merusak tatanan kehidupan banjar yang berlandaskan tri hita
karana.
Dalam perkembangan selanjutnya, banjar banyak
yang berkembang ke arah modern. Dari segi perhyangan, bangunan pelinggih banjar
sangatlah bagus, berukir, dan bahkan diperada, kemudian dilakukan upacara
pemlaspas dengan mengadakan upacara ngenteg linggih yang meriah yang dihadiri
para penggede daerah. Namun setelah itu kegiatan keagamaan menjadi kosong,
karena tak ada satupun yang mebhakti ke banjar ketika rerahinan atau purnama
tilem. Demikian pula dengan kgiatan keagamaan lainnya tak terhiraukan, semuanya
sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Dalam hal pawongan juga demikian banyak
masyarakat yang tersibukkan dengan kegiatan dan pekerjaan sehari-hari menyebabkan
mereka jarang ke banjar. Tak seperti terdahulu. Bahkan ada banjar yang dibuat
dengan sangat megah sekali, namun sayang sekali, sama sekali tak orang yang
naik ke banjar. Jadi apa gunanya bale banjar megah, tapi hanya dipakai untuk pamer
bahwa banjar tersebut banyak punya uang, sedangkan masyarakatnya tak senang di
banjar alias banjarnya bagus tapi tak pernah ada orang di banjar. Alias kegiatan
dari banjar tersebut minus, kalau mungkin diistilahkan dengan banjar luwung kewala suwung Bale banjar
bagus tapi sepi. Bahkan ada celotehan dari seseorang mengatakan bahwa banjar
bagus hanya disediakan bagi kuluk
untuk ngenceh dan meju, atau untuk dagang sapu dan keset
beristirahat siang.
Ada hal lain lagi,
secara pawongan semakin hari semain banyak jumlah penduduk dan anggota banjar.
Karena saking sibuk atau karena memang jaman sudah berubah serta model pergaulan
manusia Bali sudah berubah menyebabkan ada
beberapa dari krama banjar saling tak mengenal, karena kurangnya terjadi
sosialisasi diantara mereka. Bahkan diantara kalangan anak muda di banjar yang
tergabung dalam sekaa truna tak saling tak mengenal satu sama lainnya. Hubungan
antara karma banjar menjadi sangat formal. Ada banyak banjar yang ngereneb, mengkilat, namun setelah diamati ternyata dalam seminggu
belum tentu ada krama yang datang atau naik ke banjar. Berbeda dengan sebua
banjar di pinggir kota atau di pedesaan, banjarnya kecil sederhana, namun setiap
hari ada saja orang yang datang, duduk, bahkan tidur-tiduran di banjar,
termasuk sekaa terunanya masih saling paras
paros sarpanaya, gilik seguluk selunglung sebayantaka.
Nah kalau sudah begini apa yang mesti
dilakukan. Bagaimana mengembalikan fungsi banjar tersebut secara parahyangan,
palemahan dan pawongan. Apa yang harus dilakukan. Mesti ada upaya-upaya serius
ke arah tersebut. Yang pertama tentu disadarkan masyarakat mengenai kebutuhan manusia
Bali ke depan kalau ingin menjadi manusia Bali seutuhnya. Bahwa manusia Bali yang luhur saat ini yang merupakan warisan nenek
moyang adalah muncul atau tumbuh berkembang dari proses sosialisasi yang
panjang, dengan semangat kebersamaan dan kegotong royongan, dilandasi atas Ajaran
Hindu, serta ajaran leluhur, berlandaskan adat. Bukannya tercipta dari sifat
individualistis, meterialistik dan formalitas.
Artinya faktor penumbuh tersebut mesti
di kembangkan. Mestinya kegiatan keagamaan atau perahyangan senantiasa
diintensifkan dengan melakukan pertemuan yang lebih rutin entah itu
persembahyangan bersama, atau kegiatan lain seperti sekaa kidung, sekaa kawin,
dll. Kemudian ada sekaa gong, sekaa sekaa yang lainnya untuk lebih membuat
lebih seringnya diantara krama banjar untuk bertemu, sehingga terjadi interaksi
sosial yang akan menyebabkan tumbuhnya rasa solidaritas yang semakin tinggi diantara
karma banjar.
Untuk menjadikan banjar sebagai sebuah
wahana dari manusia Hindu Bali yang sejati, semestinya orientasi kehidupan
banjar serta orientasi dari manajemen banjar yang sudah menjadi dari hakekat
yang sejatinya perlu untuk dikembalikan. Mengembalikan hakekat orientasi manajeman
banjar yang hanya mengumpulkan dana banjar sebanyak-banyaknya menjadi orientasi
yang lebih mengedepankan kepada terselengaranya keharmonisan hubungan antar krama
banjar dengan karma banjar, antar krama banjar dengan banjar tetangga dalam
bentuk pasewitran banjar, krama banjar dengan sesuhunan di banjar, krama banjar
dengan alam lingkungannya. Walaupun terwujud dalam bentuk yang lebih modern
yang disesuaikan dengan jaman sekarang, Bukan berarti kita kembali ke jaman
terdahulu yakni harus ngelawar dengan
menggunakan sengkui, menggunakan klangsah dan sebagainya, tetapi roh dari
kebersamaan tersebut masih dapat terjaga dalam wujud yang lebih baru, dengan
tetap menjunjung tinggi asas para tetua Bali yakni paras-paros.
Akan lebih indah terlihat kehidupan
banjar dalam kondisi yang sederhana namun penuh dengan kebersamaan, dipenuhi
oleh roh sejati dari banjar tersebut, dibanding dengan kemegahan dalam
kesepian. Banjar luwung kewala suwung.
(Inks).
terimakasih,
ReplyDeletemenarik dan perlu pemahaman seperti ini supaya mengerti makna Bale banjar yang sesungguhnya.
Sumbernya dari mana niki
ReplyDelete