Memang unik kedengarannya di
telinga tentang nama pura ini. Pura Mekah, begitulah namanya sesuai dengan yang
terpampang dalam candi pamedalan pura tersebut. Melihat dan mendengar nama
tersebut membuat kita menjadi ingin tahu mengenai keberadaan tempat suci
tersebut. Berikut hasil penelusuran tentang keberadaan pura tersebut.
Pura Mekah berada di kawasan
Denpasar, tepatnya di Banjar Binoh Kaja, desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar
Barat. Di sebelah selatan jalan Tohjaya,
Denpasar. Pura ini terletak di pemukiman penduduk, pengemongnya yang berjumlah
kurang lebih 25 KK. Pura Mekah ini tidaklah terlalu luas, namun memiliki
jeroan dan jaba pura. Di bagian jeroan terdapat pelinggih gedong Hyang, gedong
Ratu Gede, penglurah, tajuk pepelik, bale pawedan, dll. Pintu masuk ke jeroan
pura adalah sebuah candi kurung yang memang sedikit unik, dimana di bagian
atasnya berbentuk kejawen.
Seorang penglingsir keluarga
pengempon menceritakan hal ikwal pura Mekah. Namun ia secara jujur mengakui
tidak banyak yang dapat ia ceritakan mengenai keberadaan pura tersebut. Ia
sudah mewarisi apa yang mereka lakukan selama ini. “Saya tidak tahu banyak
tentang nama Mekah sebagai nama pura tersebut. Yang jelas bukan berarti kiblat“. Demikian kata seorang penglingsir pura
tersebut. Namun narasumber yang dapat menjelaskan keberadaan pura ini sudah
tidak ada lagi, ditambah dengan tidak adanya sumber tertulis yang memuat kisah
tersebut, maka ia mencoba untuk menanyakan hal tersebut kepada orang pintar.
Dan didapat sebuah bawos atau penika bahwa pura tersebut konon
bukan mekah tetapi megah atau megeh yang artinya besar
atau tinggi. Hanya sampai di situ saja. Dan didapat pula bahwa pura tersebut
adalah penyungsungan dari warga keturunan Arya Kepakisan.
Dengan adanya bawos
tersebut, pihak keluarga dari pengemong sampai saat ini belum juga mendapatkan
keyakinan yang penuh dengan hal tersebut. Sehingga pihak keluarga berencana
untuk nuur dan ngewacen prasasti yang memang sudah ada sejak dahulu. “Dahulu
ketika saya kecil, prasasti ini memang sudah pernah dibaca, namun ketika itu
saya tidak runggu. Sehingga sampai sekarang informasi dan cerita menjadi
terputus. Akhirnya kami menjadi kelimpungan tidak tahu apa, siapa kami dan
bagaimana pura Mekah itu sebenarnya “. Demikian kata seorang pengemong.
“Sampai akhirnya beberapa
kejadian menimpa kami seperti kesakitan, yang membuat kami mencoba untuk
menelusuri ke orang pintar. Didapat pula bahwa penika suba ngelah baju, nguda sing anggo.
Sudah punya baju kok tidak dipakai. Yang menurut saya itu berarti bahwa sudah
ada yang dipakai untuk menelusuri, dan juga sudah punya prasasti kenapa tidak
dibaca. Demikian penuturan dari I Made Kerti salah seorang penua di keluarga
tersebut.
Lebih lanjut kemudian Made Kerti didampingi
keponakannya I Ketut Murnia bercerita. Ada sesuatu yang unik memang di keluarga
kami. Hampir setiap KK ada saja salah seorang yang mengalami sakit gangguan
perkencingan yakni lubang kencingnya kecil, sehingga menyulitkan untuk membuang
air seni. Akhirnya kemudian dilakukan operasi pemotongan kulit alat kelamin
alias sunat. Dan setelah itu normal kembali. Ada pula yang unik di sini
adalah setiap rerahinan atau piodalan di pura Mekah, maka semua haturan atau
sesaji pantang menggunakan ulam bawi atau daging babi. Entah ini ada kaitannya
dengan nama pura Mekah dengan daging babi. Saya tidak mengetahui hal tersebut.
Yang unik lagi bahwa setiap odalan yang jatuh pada Wraspati Kliwon Warigadean
dilakukan upacara sebagaimana mestinya, termasuk pemuspan. Namun setelah
prosesi piodalan berakhir, maka dilanjutkan dengan ngaturang idangan
yang terdiri dari berbagai jenis jaja cacalan dan raka-raka atau
buah. Diringgi dengan puja astawa dari pemangku. Diringi dengan mengitari banten
hidangan tersebut sambil membawa tumbak dan kadutan. Namun yang
lain dari pada yang lain adalah prosesi nganteb atau mengayat tersebut
mengahdap ke Barat. Konon menurut I Made Kerti, bahwa pengayatan tersebut
dilakukan ke Jawi atau Jawa sebagai asal dari para leluhur mereka. Ada yang
konon mengatakan dari Jawa, dari Solo, dan bahkan ada yang mengatakan dari
Madura. Yang jelas kiblat mereka menghaturkan hidangan tersebut adalah
menghadap ke Barat “.
Dari keunikan yang ada
tersebut, kemudian ada yang mencoba untuk berspekulasi bahwa pantaslah pura
tersebut di bernama pura Mekah. Mengingat ada kejadian penyakit yang menimpa
keluarga yakni penyempitaan kulit
kelamin sehingga harus di sunat. Adanya pantangan untuk tidak menggunakan
daging babi sebagai haturan. Ditambah lagi dengan mengayat ke barat. Demikian
spekulasi orang-orang sekitarnya.
Spekulasi boleh saja, namun
yang jelas I Made Kerti dan keluarga besarnya hanya menjalankan semua itu
sebagai warisan dari leluhurnya. Yang semuanya itu didasari atas keyakinan
Hindu Bali. Tidak ada hal selain Hindu yang kami lakukan di pura Mekah. Dan
kami bersyukur atas suecan atau anugrah dari betara sesuwunan di sana, karena kami dapat menikmati
kesejahteraan sampai saat ini. Semoga sampai kepada keturunan nanti. Demikian I
Made Kerti seorang pensiunan guru, yang
juga mantan klian dinas di banjar Binoh Kaja. (inks)
No comments:
Post a Comment