Makam kramat Raden Ayu Siti Kotijah
alias Raden Ayu Pemecutan alias Gusti Ayu Made Rai berada di tengah setra
Badung, tepatnya di jalan Gunung Batukaru sekarang. Di bawah sebuah pohon kepuh
yang besar, ada sebuah kuburan yang khusus untuk salah seorang keluarga Puri
Pemecutan yang bernama Gusti Ayu Made Rai atau Raden Ayu Siti Kothijah.
Bagaimana bisa terjadi adanya sebuah makam kramat tersebut ?. Ikuti penuturan
dari Jero Mangku I Made Puger.
Tersebutlah seorang raja di Puri Pemecutan
yang bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Salah seorang putri beliau bernama
Gusti Ayu Made Rai. Sang putri ketika menginjak dewasa ditimpa penyakit keras
dan menahun yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk
menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula. Sang raja
ketika itu mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di
merajan puri. Dari sana
beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang raja hendaknya mengadakan sabda
pandita ratu atau sayembara.
Sang raja kemudian mengeluarkan sabda “barang
siapa yang bisa menyembuhkan penyakit
anak saya, kalau perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kalau
laki-laki, kalau memang jodohnya akan dinikahkan dengan putri raja“. Sabda
Pandita Ratu tersebut kemudian menyebar ke seluruh jagat, dan sampai ke daerah Jawa,
yang didengar oleh seorang syeh dari Yogyakarta.
Syeh ini mempunyai seorang murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat
IV dari Bangkalan Madura. Pangeran kemudian dipanggil oleh gurunya, agar
mengikuti sayembara tersebut ke puri Pemecutan Bali. Maka berangkatlah Pangeran
Cakraningrat ke Bali diiringi oleh empat puluh
orang pengikutnya.
Singkat ceritanya, pangeran
Cakraningrat mengikuti sayembara. Sakit tuan putri dapat disembuhkan secara
total oleh Pangeran Cakraningrat. Sesuai dengan janji sang raja, maka Gusti Ayu
Made Rai dinikahkan dengan Pangeran Cakraningrat, ikut ke Bangkalan Madura.
Gusti Made Rai pun kemudian mengikuti kepercayaan Sang Pangeran, dan memeluk
Agama Islam. Berganti nama menjadi Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti
Khotijah.
Setelah sekian lama di Madura, Raden
Ayu merindukan kampung halamannya di Pemecutan. Suatu hari ketika ada suatu upacara
Meligia di Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat
kelahirannya. Pada suatu hari saat magrib di puri, Raden Ayu Siti Khotijah
menjalankan sholat di puri dengan
mengenakan mukena. Ketika itu salah seorang patih di puri melihat
hal tersebut, disangka Raden Ayu sedang mempraktekkan ilmu hitam atau ngeleak.
Ketika itu orang Bali awam dengan cara
sembahyang orang islam. Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai
penganut aliran ilmu hitam.
Kejadian tersebut dilaporkan kepada
sang raja. Dan Sang raja menjadi murka. Diperintahkan kemudian untuk membunuh
Raden Ayu Siti Kothijah. Raden Siti Khotijah dibawa ke kuburan Badung. Sesampai
di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku
sudah punya firasat sebelumya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah
raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa bahwa aku ketika itu
sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan islam, tidak ada maksud jahat
apalagi ngeleak “. Demikian kata Raden Ayu.
Raden Ayu berpesan kepada Sang patih “
jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam. Bunuhlah aku dengan
menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih (lekesan, Bali). Tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka
dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah
aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat
suci yang disebut kramat “.
Setelah meninggalnya Raden Ayu,
ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Perasaan dari para patih dan
pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat
menyesal dengan keputusan beliau. Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat
tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan
permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut,
ditunjukklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di
Puri Pemecutan.
Pada suatu hari gegumuk (kuburan)
Raden Ayu tumbuh sebuah pohon tepat di tengah-tengah kuburan tersebut. Pohon tersebut membuat kuburan engkag atau
terbelah. Pohon tersebut dicabut oleh Sedahan Moning, istri dari sedahan
Gelogor, dan kemudian tumbuh lagi. Sampai akhirnya yang ketiga kalinya, pohon
tersebut tumbuh kembali. Jero Sedahan Gelogor bersama Sedahan Moning kemudian
bersemedi di hadapan makam tersebut, didapatkan petunjuk agar pohon yang tumbuh
di atas kuburan beliau agar dipelihara. Karena melalui pohon tersebut beliau
akan memberikan mukjijat kepada umat yang bersembahyang di tempat tersebut. Pohon
tersebut konon tumbuh dari rambut Raden Ayu. Sampai sekarang pohon tersebut
tumbuh menjadi pohon besar yang tumbuh tepat di atas makam tersebut. Pohon itu
disebut taru rambut. Demikian Jero Mangku Made Puger menuturkan.
Ketika ditanya mengenai aci atau upacara
yang dipersembahkan di sana,
Jero Mangku Puger menjelaskan bahwa odalannya jatuh pada Redite wuku Pujut,
sebagai peringatan hari kelahiran beliau (otonan). Persembahan yang
dihaturkan adalah mengikuti cara kejawen yakni tumpeng putih kuning,
jajan, buah-buahan, lauk pauk tanpa daging babi.
Kini makam kramat tersebut banyak
dikunjungi oleh para peziarah warga muslim untuk nyekar maupun tirakat. Bahkan
sering dilaksanakan istighosah di
tempat tersebut.
Berkenaan dengan keberadaan beliau yang telah mencapai
alam kesunyatan, lalu terbersit sebuah pemikiran “mungkinkah terhadap arwah
beliau dilaksanakan upacara penyucian seperti layaknya keluarga Puri Pemecutan
yakni upacara pelebon, meligya, lalu dilinggihkan di merajan? Sehingga dengan
demikian beliau akan menyatu dengan kesunyatan, amor ing acintya” Lalu di tempat sekarang di buat sebuah tugu capah
sebagai “pinget”. Sehingga beliau tidak menjadi objek kunjungan dan menjadi monumen
sejarah kelam masa lalu. Sekaligus keturunan sekarang dapat menuntaskan kesalahan
di masa lalu. Demikian kira-kira. Tapi mungkinkah….? Ini adalah pemikiran pribadi. Mohon ampun bila tak berkenan. (inks)
No comments:
Post a Comment