Tuesday, August 29, 2017

“RUMAH BESAR HINDU NUSANTARA”


Berteduh di bawah "Payung Leluhur"

Terharu dengan perjuangan teman - teman Sunda Wiwitan untuk mendapatkan status sebagai agama yang diakui secara resmi di negeri ini. Hal itu tidaklah salah dan hak sebagai warga negara. Lebih - lebih keyakinan ini telah ada jauh sebelum negeri ini merdeka.
Hal ini mirip seperti perjuangan komponen masyarakat penganut keyakinan leluhur nusantara pada masa awal kemerdekaan, sekitar tahun 1950-an, seperti Agama Bali, Agama Tirtha, Ajaran Dharma, Agama Siwa - Buda, Kejawen, serta ajaran spiritual leluhur dari berbagai daerah di nusantara. Nama Hindu tak popular kala itu, namun bersifat universal, maka nama Hindu dimunculkan untuk menyatukan semua itu, dan dapat diterima oleh semua pihak.
Semenjak itu Hindu menjadi “Rumah Besar” bagi para penganut keyakinan leluhur nusantara. Walaupun dipelopori oleh tokoh – tokoh Bali, namun Hindu nusantara bukanlah Hindu Bali saja. Tetapi mencakup semua adat istiadat, keyakinan, dan budaya leluhur nusantara yang bersendikan lima hal yakni: (1) percaya adanya Tuhan / Sanghyang Sangkan Paraning Dumadi / Sanghyang Widhi, atau sebutan lain dengan berbagai manifestasinya. (2) Meyakini keberadaan atma / roh dari setiap mahluk. (3) Meyakini akan kekekalan hukum alam / hukum Tuhan / karmapala sebagai hukum sebab akibat. (4) Meyakini akan perputaran kehidupan dan kematian yang disebut dumadi / reinkarnasi / punarbawa. (5) Meyakini penyatuan dengan kesunyatan / moksa / kebebasan abadi. Sebagai implementasi dari keharmonisan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam lingkungan.
Semua keyakinan pusaka nusantara ini memiliki dasar yang sama yang tertuang dalam berbagai ajaran, kepercayaan, pesan leluhur, kitab – kitab leluhur, kearifan lokal, dll. Atas dasar inilah, secara teologi (konsep keyakinan) dan sosial budaya, semua komponen kepercayaan di nusantara dapat menerima “Rumah Besar Hindu Nusantara” ini. Di rumah besar ini semuanya dapat menjalankan tradisi, budaya, dan keyakinan leluhur tanpa ditambah dikurangai, tanpa diarah – arahkan, apalagi dilarang – larang. “Rumah Besar Hindu Nusantara” adalah rumah sejati bagi penganut Animisme, Dinamisme, Bhairawa, Tantrayana, Siwa, Buda, Waisnawa, aliran kepercayaan, adat tradisi budaya leluhur nusantara, dll.
Mohon maaf… tanpa mengurangi apresiasi terhadap perjuangan teman – teman Sunda Wiwitan, sudi kiranya secara bersama – sama bernaung di dalam “Rumah Besar Hindu Nusantara” bersama teman - teman Kejawen, Kaharingan, Toraja, Karo, Halmahera, dll, yang tersebar dari Aceh sampai Papua. Sekali lagi mohon maaf, semua ini tak bermaksud sebagai “konversi” (alih agama). Tidak...! Hanyalah mengajak berteduh bersama di bawah “payung leluhur” untuk menjalankan keyakinan nusantara sesuai adat, tradisi, serta budaya masing-masing, yang sudah tentunya secara kebangsaan bernaung dibawah NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Kembali ke “Rumah Besar Hindu Nusantara” berarti kembali ke rumah tua, kembali ke pangkuan leluhur, kembali ke budi pekerti leluhur nusantara. “Rumah Besar Hindu Nusantara” adalah rumah sejati kita.
Mohon ampun kehadapan para Danghyang Tanah Nusantara. Sujud bakti kami persembahkan, semoga berkenan memberikan tuntunan. Ampura. Rahayu.
#RumahBesarHinduNusantara #PusakaLeluhur #PancaSrada
OriginalArtikelByKandukSupatra. kanduksupatra.blogspot.com

Monday, August 21, 2017

INDONESIA – MALAYSIA Konfrontasi berkelanjutan




“Ganyang Malaysia” demikian kalimat konfrontasi terbuka yang muncuat dari bibir Presiden Sukarno, yang menggema sejak tahun 60-an sampai saat ini, teriring dengan pasang surutnya hubungan emosional antara Negara Malaysia dengan Indonesia. Konon bangsa serumpun, namun bukan rumpun bambu, tapi rumpun keladi. Menggenitkan, menggatalkan, dan menggeramkan, ketika sekian kali “saudara serumpun” itu berulah terhadap kedaulatan Negara Indonesia.
Ada apa sebenarnya ?
Persetujuan Manila antara FilipinaFederasi Malaya dan Indonesia pada 1961, dimana Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni InggrisSarawak dan Sabah. Inggris kemudian mencoba menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia. Presiden Sukarno berpendapat bahwa Malaysia hanya boneka Inggris. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Pemimpin pemberonta ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia setuju pembentukan Federasi Malaysia asalkan diadakan referendum yang difasilitasi oleh PBB. Tetapi Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa turut campur orang luar. Tetapi Indonesia melihat hal ini sebagai pelanggaran Persetujuan Manila.
Semenjak itu terjadi demo anti Indonesia di Malaysia. Demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek – robek foto Sukarno, membawa lambing Negara Garuda Pancasila kehadapan Tuanku Abdul Rahman, perdana mentri Malaysia saat itu dan memaksanya untuk menginjak Garuda Pancasila. Amarah Sukarno pun meledak. Demo itu berlangsung di Kuala Lumpur  17 September 1963. Presiden Sukarno yang melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia dan mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang menginjak-injak lambang negara Indonesia. Sukarno ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan “GANYANG MALAYSIA” melalui pidatonya yang bersejarah.

Pada 12 April 1964, sukarelawan Indonesia mulai memasuki arawak dan Sabah untuk menyebar propaganda. Tanggal 3 Mei1964 di rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
-          Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
-          Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng - "ganyang Malaysia". Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia. Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para perusuh membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang terdiri dari unsure kesatuan dari KKO, AURI, RPKAD. Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, MuarJohor.
Di luar pertempuran, ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap, Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Sukarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di SenayanJakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di AsiaAfrikaEropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari Malaysia. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalui perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk secara rahasia (Operasi Claret).
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North Borneo Armed Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
Sedang konsentrasinya pasukan Indonesia menyerang Sabah, tiba tiba peristiwa besar terjadi di tanah air yakni peristiwa 30 September 1965. Indonesia tertikam dari belakang. Seandainya saja hal itu tak terjadi, bisa jadi Kalimantan seutuhnya menjadi bagian Indonesia, demikian juga semenanjung Malaya jadi Pangkuan Ibu Pertiwi Nusantara. (KandukSupatra/Dari berbagai sumber).

Sunday, August 13, 2017

PATUNG… Patung… patung….





Ia hanyalah benda mati. Kadang posisinya berdiri, duduk, jongkok, tidur, kadang nungging,dll
Berbahan batu, beton, kayu, besi, emas, perak, fiber maupun plastik.
Benda bisu, kaku, tak bisa berbuat apa - apa…..

Tapi……. !!
Ia adalah ekspresi jiwa dari kehidupan
Ia adalah wujud daya cipta manusia berbudaya
Ia adalah tumpahan rasa dan karsa dalam kematangan jiwa
Ia adalah cermin kearifan dan kebijaksanaan budi pekerti
Ia adalah serat kehalusan dan ketulusan
Ia adalah warisan tradisi dan norma kemuliaan
Ia adalah karya rupa keteguhan spirit kemanusiaan
Ia adalah curahan kekuatan dan kemapanan harmoni rasa
Ia adalah cetusan emosi dan humor manusia berkepribadian
Ia adalah kebanggaan dan kejayaan keluhuran budi
Ia adalah saksi sejarah peradaban
Ia adalah lambang kemuliaan, norma, tata nilai dan keadilan
Ia adalah ikon suatu daerah berkarakter
Ia adalah refleksi dari kepribadian dan jati diri bangsa
Ia adalah warna budaya masyarakat
Ia adalah suasana hati dan perasaan manusia
Ia adalah Benda Mati simbol Kehidupan.

Jadi…. dalam kebudayaan, patung adalah puncak – puncak dari peradaban.
Lalu… ketika ada rasa kekawatiran akan sesosok patung, semoga itu bukanlah kebencian. Bisa jadi itu hanyalah cerminan kecemburuan peradaban.  Ampura.
#Patung #Budaya #Peradaban #EkspresiJiwa.  kanduksupatra.blogspot.com

Thursday, August 10, 2017

ADUK SERE AJI KETENG

 
Ketika orang – orang sedang giat bekerja, ketika pamong negeri sibuk menata kehidupan sosial ekonomi, ketika para panglima kesatrya negeri sedang getol membenahi alat pertahanan, ketika para seniman sedang bersukacita berkarya, ketika para atlet sedang berjuang merebut medali dan unjuk prestasi, ketika para mahasiswa dan pelajar konsentrasi belajar, ketika para teknokrat bergulat membenahi ketertinggalan infrastruktur, ketika para ekonom berjibaku menggenjot pertumbuhan ekonomi, …….

Tiba-tiba situasi diramaikan oleh kehadiran para penebar kebencian, tuduh sana tuduh sini, provokasi kanan kiri, bicaranya ngawur, ini tak boleh itu tak boleh, ini salah itu salah, ini harus bongkar itu harus dibongkar. Sepertinya tak ada yang benar di negeri ini. Konon atas dasar keimanan.

Ketentraman masyarakat terusik, masyarakat terbelah, keutuhan negeri terancam. Masyarakat yang “paras paros” (bersatu) kini jadi “poros porosan” (terbelah). Negeri ini sedang direpotkan oleh segerombolan “jelema punyah” yang sedang mabuk ideologi, mabuk keyakinan, mabuk kebenaran, mabuk surga. “Nyapa Kadi Aku” – maunya sendiri.

Para tetua Bali menyebut “Aduk Sere Aji Keteng” – ketentraman orang banyak dikacaukan oleh segelintir orang yang tak benar, tapi merasa diri paling benar.

Lebih mending “punyah tuak” daripada punyah di atas. Karena “tuak adalah nyawa” hahaha….. Ampura.
kanduksupatra.blogspot.com #AdukSereAjiKeteng #FilosofiBali #BudayaBali #KiBuyutDalu