Monday, February 26, 2018

Mengapa disebut Rerainan BUDA CEMENG ?

Pakem Gama Tirtha

Buda Cemeng Ukir, Buda Cemeng Warigadean (selikur galungan), Buda Cemeng Langkir, Buda Cemeng Merakih, Buda Cemeng Menail, Buda Cemeng Klau. Pertemuan antara sapta wara (buda) dengan panca wara (wage) disebut dengan Buda Wage (Buda Cemeng). Hari ini disebut rerahinan (hari suci), karena pada hari ini payogan Sanghyang Manik Galih. Beliau turun ke dunia muncul dari Sanghyang Ongkara Merta. Pada hari ini “sang gama tirtha” (umat sedharma) maprakerti / melakukan pemujaan kehadapan Sanghyang Sri dengan menghaturkan canang sari di sanggah / merajan, di “luhuring aturu” (di atas tempat tidur / plangkiran tempat tidur), dan di lumbung, memohon kehadapan Sanghyang Sri / Sanghyang Manik Galih / Sanghyang Sri Sedana / Sanghyang Rambut Sedana agar menganugrahkan kesuburan dan kesejahteraan di dunia.
Demikian pula Sang Pandita dan para wikan / widnyana / penekun spiritual, hari ini adalah hari yang baik untuk melakukan yoga samadi untuk mendapatkan yang namanya “budi utama suksma jati hening”. Yoga samadi dilakukan pada “malam hari” / peteng / cemeng. Itulah sebabnya mengapa Buda Wage juga disebut Buda Cemeng (cemeng = ireng = peteng = gelap = malam = hitam). Bude Cemeng = Buda Ireng.
Itulah sebabnya mengapa pada hari Buda Cemeng (buda wage) banyak dijadikan sebagai “tegak” / hari odalan di pura – pura maupun sanggah / merajan.
Demikian adanya di Cakepan Gama Tirtha, Sapta Gama dan Sunar Igama. Ampura. I Jugul Punggung Mabet Ririh. Si Dungu yang sok tahu.
#GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #BudaCemeng #BudaWage #SanghyangManikGalih #SanghyangSri #BudiUtama #KiBuyutDalu kanduksupatra.blogspot.com

Thursday, February 22, 2018

TUMPEK WAYANG, Pakem Gama Tirtha





Saniscara Keliwon wuku Wayang disebut Tumpek Wayang. Hari ini adalah patirthan Ida Sanghyang Iswara / Sanghyang Samirana.
Sebelum Tumpek Wayang, pada hari redite wage wuku wayang adalah pertemuan antara Sang Sinta dan Sang Watugunung. Hari ini dinyatakan sebagai hari “leteh” / kotor, tidak baik untuk  penyucian.
Sehari sebelum Tumpek Wayang, sukra wage wuku wayang disebut “ala paksa” / “kala paksa”. Karena pada hari ini Sanghyang Kala sedang berada di bumi. Hari ini dikatakan “dina ala” hari tidak baik. Itulah sebabnya Sang Gama Tirtha (umat sedarma) pada hari jumat wage memasang “sesuwuk” yakni potongan daun pandan duri diolesi “apuh” / kapur sirih (bentuk tapak dara). Masang sesuwuk juga disebut “meselat” / “meselet”. Daun pandan diselipkan di setiap bangunan rumah dan pelinggih. Demikian juga, pada setiap orang mengoleskan kapur sirih di hulu hati (dada) berbentuk tapak dara.
Keesokan harinya, pada hari Tumpek Wayang, pagi - pagi sesuwuk dipunggut dikumpulkan dalam satu wadah berupa “sidi” (ayakan), diikat dengan benang tridatu. Sesuwuk yang sudah diikat ditaruh di “lebuh” / depan rumah, disertai segehan, api takep, “tri ketuka” (mesui, kesuna, jangu), disertai “payas pebersihan”. Mesui kesuna jangu kadangkala digantikan dengan “lulun pabuan” yakni perlengkapan menginang seperti sirih, mako, buah pinang, pamor, gambir.
Pandan duri adalah simbol permohonan kekuatan Sanghyang Wisesa. Kapur sirih adalah simbol permohonan kekuatan Sanghyang Darma. Bentuk “tapak dara” sebagai simbol permohonan kesucian. Benang tridatu sebagai simbol permohonan kekuatan bayu sabda idep serta mohon perlindungan kepada Sanghyang Tri Sakti. Api takep simbol permohonan perlindungan Sanghyang Brahma. Sidi (ayakan) simbol permohonan “ke-sidi-an” / kekuatan Sanghyang Maha Wisesa. Segehan sebagai sarana “nyupat” / “nyomia” kekuatan kala menjadi dewa. “Tri ketuka” (mesui, kesuna dan jangu) simbol kekuatan untuk menolak bala.  
Semua sarana itu merupakan wujud permohonan perlindungan kepada Sanghyang Maha Wisesa terhadap pengaruh negatif Kala. Juga sebagai sarana penyupatan kekuatan negatif di bhuana alit dan buana agung agar menjadi “somia” dan “nirmala”, bebas dari bahaya, bencana, penyakit, serta untuk mendapatkan “prayascita” / penyucian, di hari Tumpek Wayang.
Karena adanya unsur kekuatan Batara Kala dan pernak pernik penolak bala, inilah yang menyebabkan hari Tumpek Wayang sangat kental dengan nuansa magis, dibandingkan dengan tumpek yang lainnya.
Pada hari Tumpek Wayang, Sang Gama Tirtha maprakerti menghaturkan canang wangi - wangian di sanggah dan di atas tempat tidur, dilengkapi dengan segehan. Memuja Sanghyang Iswara memohon keselamatan, kerahayuan, serta kesucian.
Sang Gama Tirtha yang memiliki sarwa tetabuhan, gong, gender, gambang, pratima, “ringgit” / wayang, maprakerti menghaturkan suci, peras, ajengan ulam itik putih, sedah woh, canang raka, pesucian, dll. mengayat Sanghyang Iswara / Siwa. Sedangkan Sang Dalang maprakerti kepada dirinya sendiri natab sesayut, tumpeng guru, prayascita, penyeneng, mengayat Sanghyang Samirana / Siwa dalam prabawa sebagai pengayom para dalang.
Demikian dalam cakepan Pakem Gama Tirtha, Sapta Gama, dan Sunar Igama. Ampura. “Ngajahin bebek ngelangi”. Mengajari bebek berenang, tentulah tak ada gunanya.
#TumpekWayang #GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #SanghyangSiwa #SanghyangIswara #SanghyangSamirana #Sesuwuk #AlaPaksa #KalaPaksa #Ringgit #TriKetuka #Sidi #KiBuyutDalu kanduksupatra.blogspot.com  

TUMPEK, Pakem Gama Tirtha


Pertemuan antara Saptawara (saniscara) dengan pancawara (kliwon) disebut dengan Saniscara Kliwon. Hari ini adalah hari suci / rerainan yang disebut “Tumpek”. Disebut Tumpek, karena hari ini adalah puncak atau tonggak “pituduh” (perintah / peringatan) kepada seluruh umat manusia agar senantiasa "eling" kehadapan Sanghyang Maha Wisesa. Karena pada hari Saniscara Kliwon Sanghyang Mahawisesa turun ke dunia memberikan waranugraha kepada umat manusia dan alam semesta dengan segala isinya.
Oleh karena itu Sang Gama Tirtha (umat sedarma) mesti maprakerti / melakukan pemujaan dan widiwidana dengan menghaturkan sarwa wangi - wangian dan pasucian di sanggar dan di “luhuring aturu” (di atas tempat tidur).
Pada malam harinya diharapkan tidak melakukan kegiatan kerja, namum patut melaksanakan “hening adnyana nirmala” mengheningkan pikiran memuja Sanghyang Darma serta memahami ajaran sastra utama.
Karena merupakan pertemuan antara saptawara dan pancawara, maka Tumpek datangnya setiap satu bulan sekali (satu bulan Bali / 35 hari), yakni Tumpek Landep, Tumpek Wariga (tumpek bubuh), Tumpek Kuningan (hari Raya Kuningan), Tumpek Krulut, Tumpek Uye (tumpek andang / kandang), dan Tumpek Wayang. Masing - masing tumpek adalah tonggak dari pituduh Hyang Wisesa untuk memuliakan isi alam semesta, dengan segala prakerti dan widiwidana masing masing.
Demikian dalam cakepan Gama Tirtha, Sapta Gama, Sunar Igama. Ampura. Iseng manyurat ring gook malong.
#Tumpek #GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #KiBuyutDalu
kanduksupatra.blogspot.com

Monday, February 12, 2018

Pakem Gama Tirtha RERAINAN BUDA KLION


Lain halnya dengan Kajeng Klion. Buda Klion (Kliwon) adalah pertemuan antara sapta wara (buda / rebo) dengan panca wara (kliwon) melahirkan Buda Kliwon. Datangnya setiap satu bulan Bali (35 hari). Hari ini disebut juga dengan rerahinan / hari suci, karena pada hari ini adalah payogan Ida Sanghyang Hayu ketika beliau berwujud Sanghyang Mami Nirmala Jati.
Pada hari Buda Kliwon, “Sang Gama Tirtha” (umat sedarma) patut meprakerti / melaksanakan pemujaan dengan menghaturkan canang, wangi - wangian, kembang payas, di sanggah / merajan dan di atas tempat tidur. Memuja Sanghyang Nirmala Jati memohon anugrah kerahayuan “tri mandala”. Tri mandala di sini maksudnya adalah tiga tingkatan yakni kerahayuan para leluhur, kerahayuan kita semua, serta kerahayuan para pertisentana / anak cucu keturunan.
Itulah sebabnya mengapa “Sang Gama Tirtha” menghaturkan canang pada hari Buda Kliwon. Serta hari ini banyak dipakai sebagai “tegak odalan” baik di pura maupun sanggah, seperti pada hari Buda Kliwon Sinta (Pagerwesi), Buda Kliwon Gumbreg, Buda Kliwon Dungulan (Galungan), Buda Kliwon Paang (pegatwakan), Buda Kliwon Matal, Buda Kliwon Ugu.
Demikian tersurat dalam cakepan “Pakem Gama Tirtha”. Ampura. Titiang Ngemangsinin Guak. Memberi warna hitam pada burung gagak yang sudah hitam. Memberitahu orang yang sudah mengetahui. Sudah tentu sia - sia.
#BudaKliwon #SunarIgama #GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #SanghyangHayu #SanghyangMamiNirmalaJati #KiBuyutDalu kanduksupatra.blogspot.com

Friday, February 9, 2018

Mengapa Masegeh Saat Kajeng Kliwon?


Kajeng Kliwon, hari pertemuan tri wara “kajeng” dengan Pancawara “kliwon”. Datangnya setiap 15 hari sekali. Kajeng Kliwon adalah "rerainan" yakni hari payogan Sang Hyang Durga Dewi / Bhatari Durga diiringi oleh para bala – bala, rencang - rencang beliau yakni “sarwa buta kala”. Inilah yang sebabnya mengapa pada Kajeng Kliwon aura magisnya sangat kental. Beliau Hyang Durga Dewi sebagai sumber dari segala kesaktian dan kekuatan magis. Sehingga banyak orang yang melakukan ritual magis pada hari kajeng klion.
Pada hari Kajeng Kliwon, “sang gama tirtha” (umat sedharma) melaksanakan prakerti menghaturkan canang wangi – wangian, pengayatan ditujukan kehadapan Hyang Durga Dewi. Sedangkan di natah sanggah, natah pekarangan dan di lebuh, dihaturkan “segehan” tetabuhan arak berem, ditujukan kepada Sang Tiga Bhucari (Bhuta Bucari, Kala Bucari, Durga Bucari), Sang Adi Kala / Sang Bhuta Raja, dan para bala-balanya yang merupakan para pengiring Hyang Durga Dewi.
Pada hari Kajeng Kliwon, “sang gama tirtha” ngastawa serta menghaturkan sembah bakti kehadapan Hyang Durga Dewi memohon kerahayuan.
Apabila tak pernah menghaturkan segehan, maka Sang Tiga Bhucari akan meminta ijin kepada Hyang Durga Dewi untuk “ngrebeda” mengganggu para penghuni rumah. Mereka menciptakan “gering” (penyakit), mengundang desti, teluh, menyuruh kekuatan hitam dan mahluk gaib seperti tonye, memedi, dll memasuki pekarangan rumah. Sang Bhuta Tiga juga akan menggelar pemunah / pengalah yang menyebabkan situasi rumah menjadi “cemer” tidak suci, muram, tidak nyaman, yang menyebabkan para Betara dan Leluhur tak berkenan lagi “mehyang” di pekarangan itu, lalu kembali ke kayangan. Rumah dan pekarangan menjadi tak terberkati, suwung mangmung. Penghuni rumah menjadi tak nyaman, pikiran kalut, sering sakit, sering mengalami hal aneh, mudah marah, sering salah lihat, sering salah dengar yang menyebabkan salah sangka, salah paham, yang kemudian menjadi sumber dari perselisihan dan pertengkaran. dll.
Demikian juga sebaliknya, apabila sang gama tirtha menjalankan prakerti kajeng kliwon sebagaimana mestinya serta dilandasi rasa bakti dan lascarya, astungkara akan mendapatkan anugrah kerahayuan dari Hyang Durga Dewi, serta selalu akan mendapatkan kawalan perlindungan dari Sang Tiga Bucari And The Gang. Hehe…..
Demikiaan tersurat di dalam Cakepan Pakem Gama Tirtha. Ampura. Edisi ngajahin bebek ngelangi.
#GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #KajengKliwon #DurgaDewi #Segehan #TigaBucari #SangAdiKala #SangButaRaja #Bhairawa kanduksupatra.blogspot.com

Tuesday, February 6, 2018

Cakra Semesta Tanah Blambangan


Titah Sanghyang Tuduh (perintah Sang Pencipta). Pituduh Sanghyang Titah (ketetapan Hyang Kuasa). Bahwa ajaran budi pekerti leluhur adalah langgeng (sanatana dharma). Hanya saja terkadang terbawa arus, tergulung ombak, terhempas di pantai, namun akan berdiri kembali saat badai mereda. Ia tak pernah melawan arus, ia tak pernah menerjang ombak, ia tak pernah menembus badai, ia pun tak akan pernah menabrak batu karang. Sanatana dharma senantiasa mencari celah dalam ruang dan waktu. Ia telah hidup mengarungi badai dalam keabadiannya di nusantara ini.
Salah satunya adalah peradaban Tanah Blambangan. Leluhur Blambangan dalam sejarahnya memang otonum. Sejak jaman Mataram Kuno, lalu Majapahit konon tak sepenuhnya dapat menguasai Blambangan. Ketika jaman Mataram Baru pun Blambangan tak tersentuh. Melanjut ke jaman kolonial, Belanda juga tak bisa menguasai Blambangan secara penuh.
Proteksi diri yang kuat melahirkan sebutan Suku Osing (suku yang tak menerima peradaban baru). Osing = tidak. Blambangan hanya bisa dikuasai oleh dirinya sendiri. Blambangan hanya bisa dibujuk oleh keyakinannya sendiri. Blambangan tak pernah melepaskan pekerti leluhur. Blambangan senantiasa memelihara situs - situs peradaban.
Sampai kini Blambangan menyimpan situs magis nusantara masa lampau. Ketika leluhur terdesak, di timur (purwo) / Blambangan mereka merasakan kenyamanan, dibawah lindungan leluhur, alam, niskala dan lindungan para Danghyang.
Sejatinya peradaban leluhur masih terpelihara baik di sini. Cuman disamarkan oleh insan - insan bijak agar tidak menonjol apalagi norak. Kini, tak ada hujan tak ada angin, tak ada badai, pekerti leluhur secara pelan menggeliat. Bagaikan angin sepoi menghampiri insan – insane tanah Blambangan. Angin semilir membisiki pesan leluhur ke dalam setiap nurani pewaris Blambangan. Antara ada dan tiada, samar-samar tapi ada, para Danghyang mengingatkan sentana tanah Jawa. Ia terjaga dalam sepi. Terbangun tanpa propaganda, bergulir tanpa intimidasi. Berjalan senyap tanpa riuh apalagi gaduh. Tak banyak publikasi, promosi, apalagi “selfi”. Ia muncul tak menghiraukan jaman. Mungkin sudah ketetapan Sanghyang Tuduh.
Kantong - kantong peradaban tak semua terjamah oleh keyakinan baru. Ia disembunyikan oleh waktu. Titik - titik spiritual pelan berdiri di pinggir pantai seperti Pura Candi Purwo, Pura Tawang Alun. Di hutan meliputi Pura Giri Selaka Alas Purwo, dan pura di sekitarnya. Di Lereng Gunung Raung berdiri Petilasan Gumuk Kancil, Pura Sandya Darma, Pura Natarsari, Pura Anantabhoga, Pura Banyu Bening, Pura Sugih Waras, Pura Kawasan Rowo Bayu, Pura Tirto Jati. Di kawasan lain berdiri Pura Sunia Loka Gunung Srawet, Pura Puja Dharma, Pura Giri Wiseso, Pura Giri Nata, Pura Purwo Katon, dan banyak lagi. Sedangkan yang menjadi titik sentral (panataran) adalah Pura Agung Blambangan.
Sebaran situs spiritual ini meliputi pantai, hutan, pemukiman, sungai, danau, dan gunung. Konsep SEGARA - GUNUNG terwujud di Tanah Blambangan. Kekuatan purusa (gunung) dan predana (laut) bertemu di panataran Pura Agung Blambangan.
Segara – Giri (kekuatan kaja – kelod – kangin - kauh / lor – kidul – wetan - kulon / utara – selatan – timur – barat) membentuk TAPAK DARA, membentang menjadi SWASTIKA, bergerak PURWA DAKSINA menjadi CAKRA SEMESTA yang akan memancarkan vibrasi pekerti luhur untuk keharmonisan dan kerahayuan Jagat Blambangan, Jagat Nusantara, dan Jagat Semesta. Semoga rahayu, rahayu, rahayu ……. Begitu juga di tempat lain di tanah nusantara ini. Ampura.
#SegaraGiri #SegaraWanaGiri #HinduNusantara #TanahLuhurBlambangan #TapakDara #Swastika #CakraSemesta #kibuyutdalu kanduksupatra.blogspot.com