Wednesday, June 28, 2017

BHUTA SASAB WALANGKRIK dan BHUTA SAJER, Anak Bayi Mesti Natab ke Bale Agung



Dalam keyakinan Siwa Bhairawa di Bali dikisahkan pertemuan antara Hyang Rudra (Siwa Rudra) dengan sakti beliau Dewi Durga. Hyang Rudra dalam pemurtian beliau berwujud Sang Kala Jyotisrana, sedangkan Dewi Durga memurti berwujud Sang Hyang Kalika Maya. Beliau berkedudukan di Bale Agung. Pertemuan tersebut melahirkan Catur Bhuta Wisesa. Antara lain I Bhuta Sajer diperintahkan menyebarkan wabah penyakit pada anak-anak yang baru menginjak dewasa. Sedangkan I Bhuta Sasab Walangkrik diberi kewenangan untuk mengganggu anak-anak yang belum “meketus” (tanggal gigi).
Agar anak-anak tidak mendapatkan halangan dan gangguan oleh kekuatan I Bhuta Sajer dan I Bhuta Sasab Walangkrik, maka ketika otonan dilakukan upacara penebusan di bale Agung. Itulah sebabnya kenapa ketika otonan dalam tradisi Hindu Bali dilakukan natab ke Bale Agung. Selain menghaturkan penebusan kehadapan Beliau Hyang Maha Sakti Siwa Rudra dan Dewi Durga agar para ancangan beliau tak menggoda si anak, namun sebaliknya agar diayomi. kanduksupatra.blogspot.com
Natab di Bale Agung secara adat juga merupakan permakluman kehadapan Ida Betara Bagawan Penyarikan, manisfestasi Sanghyang Siwa yang berkedudukan di pura Bale Agung sebagai pengayom masyarakat dan pengayom desa. Kepada beliau dipermaklumkan bahwa telah lahir sesosok manusia yang akan menjadi warga masyarakat di desa, serta kepada beliau memohon kerahayuan, ditandai dengan menghaturkan pekeling di Bale Agung serta diakhiri dengan nepak kulkul (kentongan), sebagai permakluman kepada masyarakat desa bahwa ada warga baru telah lahir.
Acara ini dilanjutkan dengan menjalan prosesi “ngangkid” untuk mengangkat semua karmawasana untuk menyatukan secara sempurna dan harmonis di dalam jiwa raga si anak, agar kehidupannya menjadi harmonis, tidak “memiut”. Setelah itu natab oton memohon anugrah keselamatan dan kesentausaan kehadapan Para Leluhur serta yang utama kehadapan Sanghyang Sankan Paraning Dumadi, beliau Hyang Maha Suci yang menciptakan kehidupan di dunia ini.
Dengan natab ke Bale Agung diharapkan si anak akan dapat tumbuh dengan baik, tentram, sehat, tanpa gangguan sekala niskala serta nantinya bebakti kepada Leluhur, Dewa Dewi, serta mengabdi kepada masyarakat. Demikian para leluhur mewarisi keyakinan ini. Kura - kura demikian. Ampura.
#GamaBali #HinduBali #GamaTirtha #OtonanBaleAgung #BhutaSasabWalangKrik #IdaBagawanPenyarikan #Ngangkid
#OriginalArtikel kanduksupatra.blogspot.com

Thursday, June 15, 2017

SOSOK KERA PUTIH dan DEWA BERKEPALA GAJAH, Aku Juga Menyembah Patung, Batu, Pohon, ……


Aku menyembah di hadapan sosok Patung Kera Putih. Budi pekertiku menyebutnya Dewa Anoman / Bayusuta / Maruti, perwujudan Sanghyang Bayu, manifestasi Batara Guru sebagai Sanghyang Tunggal. Dia mengajarkanku tentang keteguhan hati, kesetiaan, serta Budi pekerti luhur.
Aku menyembah di hadapan patung manusia berkepala gajah. Budi Pekertiku menyebutnya Sanghyang Ganapati / Dewa Ganesa, perwujudan Batara Guru, manifestasi Sanghyang Tunggal. Dia mengajarkanku nilai - nilai persaudaraan, kepahlawanan, serta filosofi kehidupan, menuju keluhuran budi.
Aku menyembah di hadapan sosok berkepala empat bertangan banyak. Budi pekertiku menyebutnya Sanghyang Catur Muka, perwujudan Dewa Brahma, manifestasi Sanghyang Tunggal. Dia pencipta alam semesta. Dari dia aku berasal.
Aku menyembah di hadapan sosok berkepala dan bertangan seribu. Budi pekertiku menyebutnya Sanghyang Wisnu Murti, manisfestasi Sanghyang Tunggal. Dia pemelihara dan pelindung alam semesta. Dia pelindungku.
Aku menyembah di hadapan sosok berdebu, rambut diprucut, beralaskan kulit harimau, bekalung ular. Budi pekertiku menyebutnya Sanghyang Maha Pralina, perwujudan Siwa Mahadewa, manifestasi Sanghyang Tunggal. Kepadanyalah seluruh alam semesta akan kembali. Kepadanya aku akan pergi nanti. kanduksupatra.blogspot.com
Aku menyembah di hadapan sosok ilahi dengan berbagai “rupa” dan “swarupa”. Budi pekertiku menyatakan Dia para dewa pujaan, perwujudan Batara Guru, manifestasi Sanghyang Tunggal. Kepada rupa dan swarupa itulah aku menyembah, memuja, dan memohon .
Aku menyembah di hadapan patung berwujud seram dan menakutkan. Budi pekertiku menyebutnya Sanghyang Kala / kekuatan Dewata / Sakti / Ratu Ayu / Ratu Gede. Perwujudan “Kekuatan Dewa” dalam fungsi sebagai pelindung dan pengayom umat manusia dan alam semesta. Semua itu manifestasi kekuatan Sanghyang Tunggal di alam semesta.
Aku menyembah di hadapan pohon bersarung kotak kotak / “saput poleng”. Budi pekertiku menyebut “Tenget” / angker. Budi pekertiku meyakini bahwa kekuatan Sanghyang Kala / Sakti hadir di sana dalam berbagai wujud, disertai para “ancangan” (pengawal) berwujud “niskala” (tak nyata). Di sana pula aku memuja kekuatan ilahi sebagai perwujudan Sanghyang Embang / Sanghyang Tunggal.
Aku menyembah di hadapan batu “berselimut” kain. Budi pekertiku menyebutnya sebagai Pralingga / stana Para Hyang / Batara / Dewa. Di sini aku memuja dan memohon berkah Para Hyang sebagai perwujudan Sanghyang Tunggal.
Jadi…. dimana aku memuja, berwujud apa yang aku puja, semuanya akan bermuara kepada yang satu, Sanghyang Tunggal / Sanghyang Maha Esa / Tuhan Yang Maha Esa.
Patung, kayu, kain, pohon, gundukan tanah, saput poleng, batu, semuanya benda tak bergerak alias benda mati. Iutlah sebabnya temanku memandangnya dengan sebelah mata. Mereka mungkin berpikir “apa yang bisa diharap dari menyembah benda-benda mati itu?. Benda itu tak bisa memberi makanan, tak bisa memberi kekayaan, tak bisa mengabulkan permohonan, tak bisa menghantarkan ke surga, dll”. kanduksupatra.blogspot.com
Mendengar itu, aku pun memakluminya. Karena mereka masih jauh dari kesejatian ini.
Benda - benda itu memang tak bisa bicara, tetapi kerapkali ia membisiki telinga dan hati nuraniku untuk mengendalikan egoku dan selalu berbudi pekerti.
Benda - benda itu memang tak bertenaga, tetapi ia dapat menggetarkan jiwaku tatkala bersujud di hadapannya.
Benda itu tak memiliki hati dan perasaan, tetapi aku merasakan kehadiran kekuatan dewata sakti dalam benda itu.
Benda - benda itu tak bisa mendengar, tetapi budi pekertiku meyakini bahwa doaku selalu disampaikan olehnya kepada Hyang Maha Tunggal.
Benda itu tak bisa memberikan makanan dan kekayaan, tetapi berkah selalu kudapat dari Hyang Kuasa dengan memanjatkan doa - doa pujian dan permohonan di hadapan benda - benda mati itu. kanduksupatra.blogspot.com
Benda itu tak dapat menghantarkan ke surga, tetapi kekuatan spirit dari benda itu menuntun nuraniku untuk berbudi pekerti, yang suatu saat nanti budi pekerti ini menghantarku ke surga atau tempat yang lebih jauh dari surga.
Benda – benda itu diam seribu basa, tak pernah menyusahkan orang, tak pernah mengejek teman, tak pernah menghina orang, tak pernah curang, tak pernah ingkar, tak pernah mencuri, dll. Ia kukuh dalam janjinya kepada alam. Ia kuat dalam kodratnya. Ia setia akan kedudukannya. Pendek kata ……. di balik diam dan bisunya benda benda itu, terdapat kekuatan yang dapat menghidupkan insan - insan duniawi, membangkitkan jiwa - jiwa yang terpuruk menuju jati diri dan budi pekerti. kanduksupatra.blogspot.com
Aku jadi malu ketika menproklamirkan diri sebagai manusia yang konon kelebihannya memiliki kecerdasan pikiran yang disebut “idep” dengan tri premananya yakni “bayu sabda idep”. Namun yang aku rasakan malah manusia selalu membuat masalah di dunia dengan segala kepentingan dan keakuannya. Aku merasa diriku bukan memiliki “bayu sabda idep”, tetapi “bayu sabda ego”. Itulah aku. Sehingga aku harus belajar dari benda - benda diam itu untuk mengikis egoku untuk menuju yang namanya “idep”… Nurani Sejati.
Itulah aku si penyembah benda - benda mati, penyembah segala rupa dan swarupa Hyang Maha Tunggal. Terserah teman - teman tetangga mau menyebut apa.Inilah kesejatian leluhur nusantara sejak lampau, tak semua orang paham dan tak semua mau memahami. Ampura.
#BudiPekertiNusantara #DewaAnoman #DewaGanesa #DewaTriMurti #SanghyangTunggal
kanduksupatra.blogspot.com
#AkuPribadiNusantara

Wednesday, June 7, 2017

BALIAN TENUNG, Kratak krotok kapas kapuk …



            
 Ada tuturan satua anak menyama ajaka dadua, ane kelihan madan I Raga, ane cerikan madan I Sarira. I Sarira ngelah kone ya sampi lua berag aukud. Sedek dina anu I Sarira ngangon di tegalan. Kacarita I Raga anak mayus tur corah pesan. Ditu lantas pesu kenehne tan rahayu. Kene kenehne “deweke tusing payu mabelanja, melahan sampin adine tendasne paling”. Ditu lantas I Raga mamaling sampin I Sarirane, tur engkebanga di sungane kaja-kangin.
            Caritayang jani I Sarira nelokin sampine, dapetanga tusing ada di pategulan. Ditu lantas ia mulih, morahan teken belinne ”beh beli, icang negulang sampi di tegale, itunian mara delokin icang laut ilang. Tegarang ja beli nenungin!”. Ditu lantas mesaut I Raga “nah kema adi ngae katipat gong, teken daksina, pipis satak seket, mabaas akelo tengah!”.
            Caritayang jani suba pragat daksinane, lantas baanga belinne. Caritayang jani I Raga masee ngarepin daksina. Kene saseene ”kratak-krotok kapas kapuk raga ngemasin lara pati”. Lantas matengkem I Raga ngae-ngae  ngengsap “bapa lembu tua, apa tunasang bapa teken nira jero taksu?”. Lantas matur I Sarira “inggih jero taksu, tiang nunasang sampin tiange ical ditu”. Buin masee jero taksu “kratak-krotok kapas kapuk raga ngemasin lara pati”. Lantas matengkem jero taksu, tur ngandika “bapa lembu tua, sampin bapane kaja-kangin sig sungane”. Ditu lantas I Sarira nunas mapamit teken jero taksu. kanduksupatra.blogspot.com
            Caritayang jani I Raga suud masee, kenel atine maan baas akelo tengah, ketipat gong, teken pipis satak seket, sawireh anak mula mayus tur corah.
            Kacarita jani I Sarira, ngalih sampinne di sungane, sajan tepukina ditu. Lantas dandana abana mulih. Sasubanne neked di jalan, saget ada parekan Anak Agung lakar ngalih balian. Lantas matakon parekane “jero nandan sampi, dija ada balian tenung?”. Masaut I Sarira “tiang ngelah nyama madan I Raga, ipun dadi balian tenung tur sidi pesan”. Sampin tiange ilang ya nenungin”. Ditu lantas i parekan kumah I Raga. Suba neked ditu, dapetanga I Raga sedek negak. Lantas matakon I Raga teken i parekan “ih parekan apa cai kalih mai?”. Ditu lantas i parekan matur “inggih Jero Balian, “tiang nikanga ngarereh balian ring Ida Anak Agung. Ida Anake Agung kicalan ali-ali, jerone kapangandikayang nenungin, ngiring sane mangkin parek ka puri!”. Masaut I Raga ”nah lamun keto jalan tiang ngiring”.
            Gelising satua, majalan I Raga ka purin Anake Agung, lakar matenung, nanging kenehne jejeh, sawireh iya tusing balian ngaku balian.
            Kacarita jani suba neked di puri, dapetanga Anake Agung sedek malinggih, lantas Ida ngandika “ih jerone ane oranga dadi balian tenung?”. Matur I Raga “inggih titiang ratu Anak Agung”. Buin ngandika Anake Agung ”nah Jero Balian, jani jerone nenungin ali-alin panak nirane!” kanduksupatra.blogspot.com
            Caritayang jani Anake Agung ngandikaang panyeroane ngae banten, daksina telung soroh, ketipat gong, muah asaupakaran anake matenung. Panjake ne muani kapangandikaang ngae panggungan lakar tongos balinae masee, tur beten panggungane kandikang ngae gembong. Pakayunan Anake Agung, yan tusing bakat baana nenungin teken I Balian, I Balian lakar tuludanga mangdenne mati.
            Kacarita I Raga jani menek ka panggunganne, muanne barak biing tur masebeng jejeh, sawireh tusing balian ngaku balian, tur kene papinehne “jani sinah deweke lakar mati, tuludanga teken Anake Agung di gembonge, sig apine manilap sawireh i dewek belog mabet ririh”. Suud I Raga mapikeneh keto, lantas teka panyeroane ngajangin banten ka panggunge.
            Caritayang ada panyeroane corah ane mamaling alin-alin putran Anake Agung. Ditu ya keweh pesan kenehne, sawireh ada balian lakar menungin. Nuju padidine, i panyeroan lantas ngenggalang ya menek ka panggungane matur teken jero balian “inggih jero balian, tiang nawegang pisan ring jerone, punika ali-alin putran Anake Agung tiang sane mamaling. Nanging sampunan tiang aturanga mamaling, mangda jerone ngaturang taksun jerune sane nyelang!”. Keto atur panyeroane, tur kabaang lantas baliane ali-aline. Ditu lantas I Raga masalin semunne, mulana ucem dadi jenar. kanduksupatra.blogspot.com
            Caritayang jani I Raga masee di panggungane, kene saseene ”kratak-krotok kapas kapuk raga ngemasin lara pati”. Lantas matengkem jero balian “bapa lembu tua, apa tunasang bapa teken nira jero taksu!”. Lantas matur Anake Agung “inggih titiang nunasang ali-alin panak titiange ical”. Ngandika jero taksu ”ali-alin panak bapane taksun nirane nyelang”. Lantas edenganga ali-aline, tur ambila teken Anake Agung. Ditu lantas Anake Agung ledang pesan.
            Caritayang jani I Raga suud masee, liu maan kakalapan tur kaicen buin pipis teken Anake Agung. Gelising tuturan satua, lantas sugih kone I Raga ulian mapi-mapi dadi balian tenung.
#SatuaBali #BalianTenung #BudayaBali #MistikBali
Original-kanduksupatra.blogspot.com Karikatur:Wayan Sada / Sompret



Monday, June 5, 2017

“NYEN NGEMANG NAWANG ?” , Bahasa Bali Anak-anak Kian Rancu


Bila diperhatikan bahasa Bali anak-anak saat ini, pastilah ada hal yang menggelitik lucu (mungkin juga rancu). Anak-anak berbahasa Bali seadanya, karena belajar sendiri dengan tata bahasa terbatas. Contoh: untuk menyampaikan sebuah pertanyaan “siapa memberitahu tahu?”. Mereka menggunakan kalimat “nyen ngemang nawang?”. Mereka menerjemahkan bahasa Indonesia mentah-mentah ke dalam bahasa Bali. Mestinya kalimat itu menjadi “Nyen ngorahin?”.
Contoh lain lagi, “cang sing bisa teka!” untuk mengatakan bahwa “Aku tak bisa datang“. Semestinya adalah “cang sing nyidang teka”. Namun di lain hal anak-anak berkata “Cang sing nyidang komputer”, terjemahan dari “saya tak paham komputer”. Semestinya kalimatnya adalah “cang sing bisa computer”. Artinya bahwa penempatan kata “nyidang” dan “bisa” masih rancu.
Seorang anak menangis. Lalu kakaknya yang ABG mengadu kepada orang tuanya “ia ngidih mulih !”. Maksud ABG tersebut melapor kepada orang tuanya bahwa adiknya menangis karena adiknya minta pulang. Mestinya kalimat yang diucapkan adalah “ia nagih mulih”. Kerancuan dalam penggunaan kata “nagih” dan “ngidih” untuk menggungkapkan kata “minta”.
Seorang anak ingin meyakinkan perkataan temannya dengan ucapan “beneran ni?” diterjemahkan ke dalam bahasa Bali menjadi “benehan nae?”. Semestinya adalah “seken ne?”
Seorang murid SMA menyuruh temannya mencium bau busuk dari benda yang dibawanya dengan ucapan “coba bonin”, semestinya adalah “coba adekin” atau “tegarang adekin”. Anak ini menterjemahkan mentah mentah kata “bau” yang dalam bahasa Balinya sama dengan “bon”.
Hal sebaliknya terjadi ketika seorang anak menerjemahkan bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia. Pada suatu hari ada acara kematian di salah satu rumah. Salah seorang ABG berseru kepada teman-temannya agar tidak ribut karena ada orang berduka karena ada orang meninggal. Maksud ABG tersebut menyampaikan pesan orang tua bahwa “de uyut ada nak sing nu”. Anak tersebut lalu berkata “diam jangan ribut ada orang tidak masih”. Kontan saja hal ini menjadi suatu hal lucu.
Sekali waktu anak anak ABG berbicara tentang seutas tali. Ia mengatakan kepada temannya “getep tali to apang endep”. Maksudnya adalah potong tali itu agar pendek. Semestinya si sanak mengatakan “getep tali to apang bawak”. Sebaliknya anak itu berkata “awak ci bawak” maksudnya mengatakan “Awak ci endep” sebagai kalimat untuk mengatakan “badanmu pendek”. Artinya terjadi kerancuan dalam pengertian kata “endep” dan “bawak”
Contoh di atas adalah sekelumit dari sekian banyak kerancuan anak – anak dalam berbahasa Bali. Ini akibat dari pergeseran budaya mendidik anak, dimana anak-anak lebih dahulu diajarkan Bahasa Indonesia (untuk kepentingan pendidikan di sekolah), dibandingkan dengan bahasa Bali. Anak-anak Bali justru baru mulai belajar Bahasa Bali ketika mereka mulai menginjak remaja.
Bias dalam pemakaian kata sudah tentu menyebabkan pergeseran makna, kesalahan persepsi dalam sebuah maksud, serta kesalahan berantai lainnya.
Anak-anak perlu diajarkan bahasa Bali yang baik dan benar, termasuk aksara Bali, satua-satua Bali yang memiliki nilai budi pekerti luhur, sastra Bali yang memuat tentang ajaran agama Hindu, sejarah dll. Termasuk juga di dalamnya penggunaan “sor singgih basa” (penggunaan bahasa dalam tatakrama sosial) sebagai bagian dari kebudayaan Bali.
Bahasa Bali bukan saja sebagai alat komunikasi, juga sebagai bahasa kebudayaan, bahasa agama “bahasa Dewa”, bahasa peradaban, bahasa budi pekerti, bahasa seni, bahasa adat. Bahasa Bali memiliki “taksu” / kekuatan magis. Artinya bahasa Bali adalah kebudayaan Bali itu sendiri. Oleh sebab itu, semua komponen masyarakat Bali mesti memperkuat keajegan Bahasa Bali, serta mengembalikan Bahasa Bali sebagai Bahasa Ibu orang Bali. Astungkara. - original artikel by kanduksupatra.blogspot.com -
#LestarikanBahasaBali #TataBahasaBali #BudayaBali

Friday, June 2, 2017

BUDE – BASUR – BATUR – BRADAH, Antara Dharma dan Kewisesan





Sederetan nama yang diawali dengan huruf B di atas tak asing lagi di dalam dunia kewisesan (ilmu kedigjayaan) di tanah Bali. Mereka (beliau-beliau) itu menguasai ilmu kedigjayaan tingkat tinggi yang membuat geger kehidupan masyarakat pada jamannya, dan melegenda sampai saat ini.
BUDE KECAPI, di dalam sastra kewisesan nama ini sudah tak asing lagi. Dikenal sebagai sosok digjaya yang menjalani dewasraya di setra gandamayu, membuat Ida Betara Siwa berkenan lalu memerintahkan Dewi Durga untuk memenuhi permintaannya. Dianugrahkanlah ilmu kewisesan “tan paingen” (tanpa tanding), serta ilmu pengobatan penyakit oleh Betari Durga. Jadilah Sang Bude Kecapi seorang yang tak terkalahkan dalam kedigjayaan, serta ahli dalam pengobatan penyakit. Banyak yang berguru kepadanya. Ilmu yang dimilikinya lalu ditulis dalam lontar sebagai acuan ilmu kedigjayaan dan ilmu pengobatan sampai saat ini, seperti lontar Bude Kecapi, Lontar Usada, dan Lontar Kanda Pat. Sosok Bude Kecapi dianggap sebagai peletak dasar dunia usada di Bali. kanduksupatra.blogspot.com
BASUR, dikenal dalam kisah rakyat I Gede Basur. Seorang lelaki kaya berpengaruh serta memiliki ilmu kedigjayaan tinggi di desanya pada jamannya. Kedigjayaan yang ia miliki digunakan untuk memenuhi hasrat asmara anaknya yang hendak menyunting Ni Soka Asti. Pangerahan ilmu kawisesan oleh I Gede Basur pun diperagakan untuk menundukkan Ni Soka Asti. Namun apa daya, Ni Soka Asti masih dilindungi oleh karmanya, sehingga kekuatan kewisesan I Gede Basur tak dapat membinasakannya. Justru kewisesan I Gede Basur dikalahkan oleh Pekak Kolok yang menjalankan Dharma Sadhu. Kisah ini sangat terkenal dan mengisi panggung pertunjukan magis di tanah Bali sampai saat ini.
BATUR, adalah nama singkat dari Ki Balian Batur yang memang aslinya berasal dari Tampurhyang / Desa Batur. Ia mendapatkan ilmu kewisesan tingkat tinggi ketika menjalankan Dewasraya di Pura Ulundanu Batur. Kisahnya bermula dari sakit hatinya ketika anaknya yang berjualan nasi difitnah menjual “lawar jelema”. Ia ingin membalaskan sakit hatinya kepada rakyat Mengwi yang telah menghinanya. Semua kesaktiannya dikerahkan untuk menciptakan “grubug” di Mengwi bersama para sisya-sisyanya. Ki Balian Batur yang diserbu Laskar Baladika Bata Batu secara sekala dan niskala, tak dapat dikalahkan oleh laskar Mengwi. Raja Mengwi lalu meminta bantuan ke Semarapura Klungkung. Ki Balian Batur yang berwujud Garuda Emas dapat dilumpuhkan dengan senjata pusaka kerajaan Klungkung yang bernama Kinarantaka Ki Selisik. Setelah itu, belakangan barulah terkuak misteri kedigajyaan dari Ki Balian Batur yang danugrahkan oleh Dewi Danu bertujuan untuk menyatukan kerajaan Mengwi dengan Kerajaan Klungkung yang tadinya berseteru. kanduksupatra.blogspot.com
BRADAH, tak lain adalah Mpu Bradah yang terkenal dalam kisah Calonarang. Sebagai seorang Maha Mpu beliau selain menguasai ilmu kepanditaan, beliau juga menguasai ilmu kewisesan. Inilah kombinasi yang sangat ideal yang dimiliki Sang Maha Mpu menguasai dua sisi yakni Dharma Mawisesa. Dengan kewisesannya, Mpu Bradah dapat mengendalikan emosi dan ambisi dari iparnya sendiri yakni Walunateng Dirah / Ni Calonarang yang telah membuat kekacauan dan penyakit ilmu hitam di Kerajaan Kediri, Jawa Timur. Kisah ini melegenda sampai saat ini dalam drama pertunjukan Calonarang.
Tradisi “kewisesan” dan “pengusadan” di tanah Bali sampai saat ini masih diwariskan dan bahkan semakin lestari di tengah - tengah kemajuan teknologi informasi dan ilmu kedokteran. Banyak tokoh yang menjadi penerus dari ilmu kedigjayaan para tokoh di atas. Rupanya aji kewisesan semakin subur di tanah Bali dari jaman ke jaman. Artinya tanah Bali akan tetap terasa magis “metaksu”, karena energi-energi kosmik alam semesta senantiasa terpelihara. Artinya pula, peradaban nusantara akan kembali berjaya ketika masyarakat nusantara kembali kepada jati dirinya dalam mengemban dan memelihara warisan leluhur. Lestarilah ilmu kewisesan di Bali dan di  nusantara. #TokohKewisesan #DarmaWisesa #MistikBali #AjegNusantara  
Original Artikel by kanduksupatra.blogspot.com.