Friday, April 29, 2016

Prof. Dr. Ida Bagus Mantra "Sang Budayawan" 4 #Berbeda Menuju Satu#





         Dasar  dari susila agama Hindu yang dikekalkan di dalam weda-weda adalah “pengakuan bahwa hanya ada satu jiwa yang memenuhi dunia seluruhnya, berada dimana-mana (wyapaka) dan menjadi dasar hidup makhluk seluruhnya di dunia ini. Inilah ajaran yang tinggi mutunya mengajarkan sifat kasih dengan tiada di batasi oleh sekte atau agama lainnya. Inilah dasar hidup yang harmonis, harga-menghargai, hormat-menghormati. Demikian Prof. Mantra dalam tulisannya berjudul “Kedudukan Agama Hindu di dalam menghadapi ilmu Pengetahuan” (1956).
         Lebih lanjut dinyatakan bahwa upacara para Maha Resi kita seperti Aham Brahma-asmi, Tat-twam, Ayam Atma Brahma, adalah menyiratkan adanya kesadaran jiwa manusia bersatu dengan Jiwa Besar (Sang Hyang Widhi). Ketiga ucapan ini menunjukkan dua prinsip yang ada hubungannya. Kedua prinsip ini adalah yang satu Brahman (Sang Hyang Widhi) yang dipandang dari sudut ontology adalah berada dibelakang penghidupan di dunia ini (physical life). Prinsip yang kedua adalah jiwatma yang berkedudukan di belakang penghidupan mental (mental life) dari makhluk. Dan persatuan dari kedua prinsip ini adalah dipandang Satu (tunggal) di dalam Weda-Weda. Jadi ucapan ini adalah suatu tanda kesadaran jiwa manusia akan tunggalnya dengan Jiwa Besar (Sang Hyang Widhi).
         Apakah akibat dari ajaran tersebut ? Akibatnya ialah : pengakuan bahwa corak yang bermaca-macam di dunia ini baikpun agama apa saja, hanya lain rupa dan pakiannya, tetapi jalannya di dalam menuju Satu. Inilah berarti bahwa tiap-tiap corak atau jalan mempunyai cara tersendiri untuk mengembangkan jiwanya. Menganggap yang Satu lebih rendah dari yang lainnya berarti merendahkan diri sendiri, karena itu adalah bertentangan dengan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Marilah kita ulangi disini mantra yang dikenal oleh berjuta-juta umat Hindu, yang dikekalkan di dalam kitab sucinya :
          “Sebagai bermacam-macam sungai yang mempunyai sumber di berbagai-bagai tempat, semua menuju dan bertemu serta bersatu di Laut, begitulah,O, Hyang Widdhi, bermacam-macam jalan yang ditempuh oleh berbagai-bagai golongan berdasarkan pandangannya sendiri, meskipun berbeda-beda tampaknya langsung atau tak langsung semuanya menuju Engkau”. Pun di dalam kitab suci Bhagawadgita, Sri Kresna meninggalkan pesannya kepada Arjuna sebagai berikut : Siapa saja yang datang kepadaKu (Brahman), dengan rupa apa saja, Aku ketemui dia ;semua orang berjuang melalui bermacam-macam jalan yang ada akhirnya menuju kepadaKu (Brahman).
          Akibat dari ucapa-ucapan yang ditaati oleh oleh umat Hindu itu, memberi pandangan lain tersendiri coraknya didalam menghadapi hidup yang berbeda-beda ini. Jika kita dengan hati-hati membaca dengan ucapan-ucapan tersebut diatas, maka kita segera dapat mengambil kesimpulan bahwa agama Hindu menerima keadaanya di dalam berbeda-beda menuju yang Satu. Menerima keadaan yang berbeda-beda berarti menghormati masing-masing ciptaan manusia yang dipengaruhi oleh alam sekelilingnya. Di sini pembaca akan segera dapat melihatnya bahwa kepercayaan Hindu tak memakai istilah toleransi, tetapi sebaliknya menerima suatu keadaan yang berbeda-beda menuju yang Satu. Perbedaan kedua kata itu adalah besar sekali memberi pengaruh pada jiwa manusia. Perkataan toleransi adalah setingkat lebih tinggi dari “permusuhan”, dan lebih tinggi dari toleransi adalah “menghormati”. Dan jika kita lebih mendalam lagi maka, Menghormati adalah mendekati kearah ajaran-ajaran Agama didalam kitab-kitab suci, yaitu “Kasih”.
          Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa pandangan menerima dalam agama hindu adalah lebih tegas di dalam penghargaan dan menghormati sati dengan yang lainya, sedangkan toleransi adalah kabur didalam pandangan pergaulan sehari-hari, karena selalu memberi jalan untuk merendahkan satu dengan yang lain. Menerima, bukan berarti statis dan masing-masing harus terputus hubungannya dengan yang lain, bahkan sebaliknya bersifat dinamis, untukpergaulan yang harmonis. Toleransi adalah sebaliknya statis karena penyebabnya perhubungan syak-wasangka pada manusia, dan tegang satu dengan yang lainnya. Pandangan  menerima adalah berjiwa menghargai dan menghormati tiap-tiap pandangan hidup suatu golongan di mana tiap-tiap individu diberi kesempatan untuk mengembangkan jiwanya menurut alam tadi dengan tiada gangguan dari luar yang memandang kepunyaannya lebih tinggi. Jika Jiwa menerima ini menjadi golongan yang mempunyai kebudayaan berbeda, maka terjadi pertumbuhan saling mengerti dan menghilangkan rasa curiga satu sama lain. Ini disebabkan karena sikap menerima adalah bersifat menghargai pribadi manusia yang mana adalah dasarnya demokrasi yaitu tiap-tiap golongan yang mewakili satu corak hidup harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mempertinggi corak hidup mereka dengan tiada mengganggu kemajuan golongan yang lain. Tiap golongan yang berada didalam proses riwayat yang sama adalah sifatnya tersendiri dan spesifik dan mempunyai suatu harga diri dan susila yang tertinggi di dalam hidup kita adalah bahwa kita harus menghormati individu. Atas dasar menerima dan menghormati, hilangkan perasaan syak wasangka, sesudah itu sifat dinamis akan timbul atas kesadaran diri sendiri, dan pertukaran kebudayaan satu dengan yang lain akan berlangsung dengan subur. (Ki Bu/Kand/dbs)




















Prof. Dr. I B Mantra "Sang Budayawan" 3. #SENI BAGI MANUSIA#





          Ketika berbicara tentang “Seni dan Waktu”, Prof. Mantra menguraikan sesuatu yang sangat penting kita catat. “Kedua unsur ini, yakni seni dan waktu sangat penting. Bila hanya karya seni semata-mata perhitungannya adalah ekonomi dan pembuatannya sangat cepat dan lalu komersial sukses, hal ini sudah bertentangan dengan dasar-dasar dari konsep kebudayaan. Karena karya budaya tidak bisa masuk dalam karya massal yang lebih menekankan pada kuantitas dari pada kualitas. Tiap-tiap benda budaya mempunyai keunikannya. Dengan dasar-dasar tadi maka peranan individu dalam keseimbangannya telah ditempatkan secara sadar untuk membina integritas para siniman serta hasil-hasil karyanya yang bermutu.
        Pernyataan tersebut di atas telah menegaskan tentang pandangan Prof. Mantra tentang kualitas seni itu sendiri, tetapi juga pandangan beliau tentang hubungan seni dan teknologi. Sebuah perumpamaan disampaikan: ilmu pengetahuan dan teknologi adalah dapat diumpamakan sebagai pedal-gas, dan seni budaya sebagai roda. Orang tidak bisa demikian menjalankan mobil tanpa kedua-duannya. Roda memberi arah dan pedal gas memberi dorongan untuk maju. Jadi keduanya diperlukan untuk berkembang.
        Demikian pandangan Prof. Mantra tentang kualitas seni, hubungan seni dengan waktu, seni dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pandangan dengan visi yang jauh ke depan. Maka dengan demikian kita pun mulai menangkap apa yang menjadi latar belakang diselenggarakannya Pesta Kesenian Bali, yang ternyata tidak semata-mata dalam hubungannya dengan dunia kepariwisataan.
        Berbicara khusus tentang seni budaya Bali, dinyatakannya bahwa seni budaya Bali telah hidup kembali dengan penuh kesadaran dan berkembang dengan suburnya dengan penuh jiwa yang dinamis penuh kreativitas. Ia telah mengatasi unsur-unsur yang melemahkan kreativitas dan merosotnya mutu akibat dari keadaan ekonomi tahun-tahun sebelumnya yaitu saat mulai pelita tahun 1969. “Sekarang orang tidak lagi merasa pesimis menghadapi perkembangan-perkembangan perubahan masyarakat karena seni akan mampu mengatasinya dan sebaliknya, akan memanfaatkan kemajuan yang telah dicapai dan ini berkat dinamik serta kreativitas yang tinggi dari masyarakat sendiri. Orang-orang luar negeri yang biasanya sangat pesimis melihat Bali dijadikan pusat pengembangan pariwisata yang akan membawa malapetaka akan kehidupan kebudayaan Bali, akhirnya hormat dan mengakui bahwa Bali memiliki potensi dan kemampuan yang sangat besar”.
        Sampai di sini kita teringat dengan landasan-landasan yang mendalam yang mendasari kebudayaan Bali: 1) Agama Hindu adalah sumber inspirasi dari seni budaya. Seni sacral sebagai akibat dari ini sangat mendalam dan meresap jiwa umatnya 2) seni adalah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya, ia adalah satu. Oleh karena itu nilai estetik, keindahan adalah sangat kuat dalam masyarakat Bali. Sangat tinggi kesadaran seninya. Antara seniman dan masyarakat penontonnya terdapat komunikasi yang hidup 3) seni mempunyai fungsi dalam masyarakat dan mempunyai kedudukan sosial yang dihormati. Seperti wayang, ketekok jago, dll, ia dipentaskan / dipertunjukkan pada waktu upacara-upacara tertentu 4) seni dilihat sebagai unsur yang dapat menumbuhkan rasa kemuliaan dalam hidup.
        Landasan-landasan tersebut kiranya mengandung nilai-nilai universal bagi mansuia. Bahwa seni sesungguhnya tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, bahwa seni dapat mengangkat “derajat” manusia, dapat menumbuhkan rasa religiusitas, dapat menumbuhkan kehalusan rasa, rasa kemulian dalam hidup.

Prof. Dr. IB Mantra "Sang Budayawan" 2. Pengagas Pesta Kesenian Bali





          Langkah monumental yang dilakukan oleh Prof. Mantra adalah diselenggarakannya “Pesta Kesenian Bali”. Sejak pertama kali menduduki jabatan sebagai Gubernur Bali, Pesta Kesenian Bali digelar di hari libur sekolah selama sebulan. Maka kitapun menduga ada proses transmisi budaya di sini, penerusan nilai-nilai budaya kepada masyarakat, khususnya kepada para pelajar kita.
         Suatu kali Presiden Soeharto menyatakan. “Saya membuka Pesta Kesenian Bali di lapangan puputan Badung, Denpasar. Di depan ribuan seniman dan masyarakat Denpasar itu, saya tegaskan pembangunan bangsa yang mengabaikan kebudayaannya akan melemahkan sendi kehidupan bangsa itu sendiri. Karena itu sejak semula bangsa Indonesia bertekad membangun masa depannya yang kuat dengan berpijak di atas kepribadian dan tumbuh di atas nilai-nilai budayanya sendiri. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang miskin budaya. Karena itu kewajiban kita semua untuk memelihara dan mengembangkan kesenian tradisional atau kesenian daerah itu sama sekali bukan pemborosan. Ia mempunyai nilai investasi kultural yang sangat penting. Bukan saja bagi kehidupan sosial budaya iti sendiri, tetapi juga buat kehidupan sosial ekonomi bangsa kita”.
          Jelas sekali apa yang dinyatakan oleh Presiden Soeharto, bahwa aktivitas Pesta Kesenian Bali paling tidak mempunyai nilai ganda, nilai budaya sendiri, tetapi juga nilai sosial ekonomi. Dalam yang terakhir itu, orang pun segera mengaitkan Pesta Kesenian Bali dengan kepariwisataan.
         Prof. Dr Selo Sumarjan seorang ahli ilmu sosial yang ternama memberi penilaian sebagai berikut : “Sebagai Gubernur yang berpandangan luas maka Prof. Mantra berjasa menciptakan sarana-sarana modern di Bali yang dapat mengembangkan kepariwisataannya. Untuk menggairahkan para budayawan dan seniman Bali, Prof. Mantra waktu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan berpendapat bahwa diperlukan suatu tempat di mana hasil seni yang terbaik dari pulau Bali mendapat kehormatan untuk dipamerkan kepada umum. Kemudian atas usahanya didirikan suatu pusat kebudayaan (Werdhi Budhaya) di Denpasar. Sekarang tempat itu menjadi impian setiap seniman Bali agar hasil karyanya dapat terpilih untuk dipajang di sana. Kesempatan untuk pentas di Pusat Kebudayaan itu dianggap sebagai pengakuan dan kehormatan yang amat tinggi”.
          Memang antara Pesta Kesenian Bali, Pusat Kebudayaan Bali dan kepariwisataan di Bali adalah suatu jalinan. Pusat Kebudayaan telah menjadi salah satu obyek wisata yang potensial di Bali. Tetapi Pesta Kesenian Bali, Werdi Budaya bukanlah semata-mata sebuah obyek wisata, tetapi lebih dari itu. Di sini daya cipta daya kreativitas ditumbuhkan, di sini transmisi dan tranformasi budaya dilakukan.

Thursday, April 28, 2016

PROF.DR.IDA BAGUS MANTRA "Sang Budayawan" (1)





Prof.Dr.Ida Bagus Mantra lahir di Denpasar, Bali tanggal 8 Mei 1928. Mulai mengikuti pendidikan Dasar (HIS) di Denpasar tahun 1940, Pendidikan Menengah (Tyogakko) di Singaraja tahun 1944, dan pendidikan Menengah Atas (AMS) di Makasar, Sulawesi Selatan tahun 1949. Pendidikan Tinggi diikuti di Visva-Bharati Universitas Santiniketan, India pada tahun 1950-1956 memperoleh gelar BA, MA, dan Ph.D.
Sebagai dosen dilakukannya sejak tahun 1956 di Universitas Indonesia, Jakarta. Mulai akhir tahun 1958 dipercaya sebagai anggota DEPARNAS dan sejak awal tahun 1961 hingga 1962 menjabat sebagai sekretaris Fakultas Sastra Udayana Denpasar. Tahun 1962-1965 dipercaya menduduki jabatan Dekan Fakultas Sastra Universitas Udayana Denpasar. Sebelum berakhir sebagai Dekan diangkat pula sebagai Rektor Universitas Udayana yaitu pada tahun 1964-1968.
Sejak tahun 1968 jabatan yang diemban berkaitan langsung dengan masyarakat dan pemerintahan. Jabatan dimaksud berturut-turut adalah Anggota DPRGR RI (1968), Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI (1968-1978), Gubernur Kepala Daerah Tk.I Bali 1978-1988 (dua kali masa jabatan), Duta Besar Luar Biasa berkuasa penuh di India (1989-1992).
Puluhan tanda penghargaan telah diberikan kepada beliau baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Bintang Maha Putra Utama RI adalah tanda penghargaan yang diterima dari pemerintahan Republik Indonesia pada tahun 1987, dari Pemda Bali beliau juga menerima penghargaan Dharma Kusuma. Dari luar negeri penghargaan antara lain diterima dari pemerintah Filipina, Belgia, Korea, Yugoslavia, Jordania, Prancis, Venezuela,dll.
Prof. Dr. Ida Bagus Mantra dikenal luas sebagai seorang yang senantiasa memikirkan kesejahteraan, kebudayaan dan kedalaman rokhani masyarakat. Dan beliau berkeyakinan hal itu dapat dicapai dengan “menemui diri sendiri”. “menemui diri sendiri adalah sumber kreativitas dan kesejahteraan hidup”, demikian motto yang pernah beliau lontarkan. Motto yang bermuatan nilai filosofis.
Disamping disertasi berjudul “Hindu Literature and Religion in Indonesia”(1955), beliau juga menulis buku Darsana Bali, Tata Susila Hindu Dharma, Bhagawad Gita, History of Ancient Balinese Art, Ancient Indonesian Literature,dll. Beberapa buku yang dipersembahkan kepada beliau oleh para pakar dalam bidang kebudayaan masing-masing berjudul : Puspanjali (1988) dan Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa (1993). (bersambung ke bagian....."Manusia dan Seni" & "Pesta Kesenian Bali" 

Wednesday, April 27, 2016

Teriakan Menyembuhkan Bisul.




Pernah bisul? Atau paling tidak pernah melihat orang bisul? Bagi yang pernah mengalami bisul, mungkin membayangkannya saja sudah perih rasanya (maaf) pantat ini. Bisul biasanya muncul di pantat. Bisul itu penyakit yang pintar. Ia mengambil tempat di pantat dengan harapan cepat meletus ketika orang duduk. Bisul yang bentuknya seperti gunung, tujuan akhirnya cuma satu, yakni meletus. Dengan meletus, berarti semua material keluar, dan habislah tekanan dari dalam, serta rasa sakit akan berkurang. Kayaknya sih seperti itu kalau dianalogikan dengan gunung berapi.
Omong-omong tentang bisul, ada sebuah cerita ringan yang menimpa Ida Bagus Kadek Ole Ole dari Griya Lembaga Pemasyarakatan, Kerobokan. Suatu hari Gus Kadek, demikian panggilannya, merasa pantatnya agak kenyat dan sakit. Ia meraba pantatnya, dan terasa memang agak katos. Namun, ia tak tahu apa yang terjadi dengan pantatnya yang mulai terasa sakit tersebut. Ia mencoba untuk melihat dengan menggunakan cermin. Ia masuk ke dalam kamarnya, membuka cd-nya, lalu nungging dan melihat-melihat kondisi pantatnya di cermin. Alangkah kagetnya Gus Kadek Ole Ole saat itu. Bukannya bisul yang bikin kaget, melainkan ia kaget melihat anunya dengan rambut yang lebat bergelantungan bagaikan rambut orang Timor Leste (maaf, cuman pengandaian). Ketika melihat itu, ia lupa dengan penyakit bisulnya. Rupanya pemandangan aneh dan langka tersebut telah membuat rasa sakit bisulnya sirna sekejap. Ketika itu ia tidak dapat melihat jelas kondisi pantatnya yang bisul.
Tidak puas pakai cermin, kemudian ia memanggil ibunya untuk memeriksa pantatnya yang ia perkirakan bisul. Gus Kadek dengan santai membuka celananya di hadapan ibunya. Hal yang terjadi kemudian, ibunya kaget melihat Gus Kadek telanjang bulat di hadapannya. Sang ibu tak menyangka kalau anu anaknya sebesar itu, ditambah lagi dengan rambut lebat di sekelilingnya. Ibunya terperangah, seperti tak sadarkan diri, dan akhirnya ia sadar bahwa itu adalah anaknya yang menyuruhnya untuk memeriksa bisul pada pantatnya. Ibunya berkata dalam hati “anakku sudah dewasa”.
Ibunya memeriksa pantat Gus Kadek Ole Ole, dan ibunya meyakinkan bahwa pantatnya memang bisul. Ibunya menyarankan untuk membuat boreh agar bisul itu cepat masak, dan meletus. Namun, setelah beberapa hari dibuatkan ramuan, kok bisulnya tidak ngencah alias meletus? Mulailah Gus Kadek khawatir. Ia kemudian datang ke seorang balian yang sebenarnya adalah balian urut. Gus Kadek bermaksud untuk menyuruh si balian memijat bisulnya agar bisa meledak. Konon katanya kalau sudah meledak akan cepat sembuh.
Sebelum ke rumah balian, ia menelepon balian tersebut untuk membuat janji. Maklumlah mereka sudah saling kenal. Ia janji besok sore, karena hari ini sang balian sedang sibuk mau pergi ke luar kota mengobati pasien – pasien sekarat..
Diceritakan pagi keesokan harinya, Gus Kadek Ole Ole bangun pagi-pagi, karena tak tahan dengan pantatnya yang sakit dan gerakannya terasa kaku. Ia berjalan ingkrig-ingkrig, sambil mengerang kesakitan. Ia menuju bale delod untuk duduk di sambil ngopi. Ia berjalan pelan dan hati-hati. Sesampainya di sana, ia duduk di atas tikar pandan. Entah apa yang dirasakan oleh Gus Kadek, tiba-tiba saja ia berteriak, “Adduuuuhhhhhh….”.  Teriakan itu menghentak seisi griya. Tangan dan badannya gemetar karena saking sakitnya. Ibu dan orang orang yang ada di griya mengira Gus Ole Ole kerauhan. Ia duduk disertai kejang kejang sambil berteriak. Spontan ibunya mengambil arak berem dan “nunasang” / bertanya, betara siapa gerangan yang tedun rauh ke griya pagi-pagi.   Gus Ole Ole tak menjawab, ia masih berteriak mengerang kesakitan. Sedangkan ibunya terus saj yeroscos nunas baos.
Setelah beberapa saat, Gus Ole Ole sedikit tenang. Ia lalu memegang pantatnya. Ia merasakan ada sesuatu masuk ke dalam pantatnya yang bisul. Ketika diraba, terasa basah, sedikit bau, dan berwarna kuning kemerahan. Ibunya bergegas memeriksa pantatnya. Apakah yang sebenarnya terjadi? Ternyata sebatang bambu tusuk sate telah menembus bisulnya sedalam kira-kira tiga sentimeter, yang menyebabkan bisulnya langsung meledak mengeluarkan nanah dan darah. “Hahaaa….pantas saja Gus Kadek berteriak kesakitan”, kata seorang parekan-nya. Dikira Gus Kadek Ole Ole kerauhan.
Tusukan tersebut cukup dalam dan lebar sampai ke pusat bisul, menyebabkan semua kotoran yang ada dalam bisul tersebut keluar. Dengan keluarnya kotoran tersebut, menyebabkan bisulnya yang tadinya sangat sakit, kaku, dan berat menjadi berkurang sakitnya dan terasa ringan. Menjelang sore, bisulnya sudah tidak begitu sakit lagi. Gus Kadek kemudian menelepon balian-nya untuk membatalkan janji, karena bisulnya sudah disembuhkan oleh katik sate yang dibuang oleh adiknya tadi malam setelah makan sate ayam.
Peh, ada-ada dogen…. bisul disembuhkan oleh Betara Katek Sate“, demikian Kak Baglug “si balian sakti" tersenyum sambil menerima telepon dari Gus Kadek Ole Ole.
Ternyata memang benar,  penyembuhan memiliki proses yang bermacam-macam. (ki buyut / kanduk).