Dulu,
sebelum tahun delapan puluhan, manusia Bali yang beragama Hindu masih lugu,
hanya menjalankan ritual agama secara gugon
tuwon turun temurun dan mule keto.
Secara turun melakukan itu-itu saja secara tulus iklas, tanpa pernah banyak
tahu tentang apa yang melandasi dari semua ritual yang ia lakukan. Mereka hanya
tahu bahwa kalau tak melakukan semua yang telah diwariskan oleh leluhur maka
akan dimarahi oleh Betara dan leluhur, akan mengalami kesakitan, kesisipan,
kepongor, dl. Kita bersembahyang
hanya enam bulan sekali di pura tertentu (sembahyang hanya saat odalam saja). Kalau
di desa ada kayangan tiga ditambah dengan odalan di sanggah dan di pura
kawitan, maka dalam kurun waktu enam bulan hanya bersembahyang lima kali, dan
setahun hanya sembahyang sepuluh kali. Demikian juga dengan tata kehidupan saat
itu, tak banyak manusia Bali yang membaca kitab agama karena khawatir dengan hukum
aja wera, bisa berakibat buduh/gila. Tak banyak orang Bali berpuasa,
orang Bali tak bisa tri sandya, tak
ada yang vegetarian, orang Bali makan segalanya entah itu sapi, babi, ayam,
itik, ikan, dll.
Sekitar
awal tahun Sembilan puluhan ada sebuah tabloid terbitan Jawa Timur menyentil tentang
kehidupan manusia Bali dengan ritual agamanya yang dikatakan sebagai
ritual buta. Maksudnya ritual yang
meriah dilakukan tersebut hanyalah sebatas rutinitas, dan tak didasari atas
filosofi yang jelas. Demikian kata tabloid tersebut yang menyulut kemarahan
orang Bali Hindu yang pada waktu itu dimotori oleh mahasiswa di Jawa dan Bali.
Kritikan
di tabloid tersebut disatu sisi bernilai positif, dimana terjadi kebangkitan
umat untuk menggali kekayaan filsafat agamanya. Mulai orang melakukan diskusi-diskusi,
melakukan darmawacana (tadinya sama
sekali tak dikenal), dharma tula, lalu banyak ditulis dan diterbitkan buku-buku
Hindu yang tadinya tabu untuk dituliskan. Banyaklah kemudian manusia Bali Hindu
bangkit bahkan ada yang fanatik akan ajarannya.
Pura-pura
mulai dipugar, sembahyang-sembahyang mulai diaktifkan dan ucapan salam om suastyastu pun sudah lumrah. Orang-orang
Hindu mulai menunjukkan jati dirinya, tirthayatra
pun marak. Kajian dan analisis tentang agama Hindu dan ritual serta kehidupan sosial
agama Hindu semakin diintensifkan. Pokoknya umat Hindu saat itu seperti sedang
baru bangun dari tidurnya yang panjang sejak lima ratus tahun yang lalu, sejak
jaman Majapahit.
Semaraklah
kehidupan beragama Hindu saat ini, tri sandya tiga kali sehari, sembahyang panca
sembah setiap purnama tilem, rerahinan, dan bahkan steiap hari. Ada
yang tak mau makan daging sapi, bahkan ada yang lebih ekstrim tak makan daging
alias vegetarian. Tampilan spiritual saat ini memang semarak, dengan atribut-atribut
spiritual sebagai orang suci, atau sebagai seorang yang rajin bersembahyang.
Pakaian orang ke pura sekarang serba putih dari atas sampai ke bawah, padahal
dahulu hanya untuk orang suci saja yang mengenakan kain putih. Anehnya lagi
kini banyak orang ingin menjadi orang suci, atau semua berpenampilan seperti
orang suci. Jadi jaman sekarang sangat saru
mana seorang mangku, sulinggih atau orang biasa. Semuanya memakai atribut yang
hampir sama. Semua pura dikejar, sampai ke pelosok nusantara bahkan ke luar
negeri. Walau memang hal tersebut tak salah, namun mesti dilakukan secara
wajar, sungguh-sungguh, dan lascarya.
Tak hanya sekedar sebuah gagah-gahan atau suci-sucian.
Nah
berkenaan dengan maraknya persembahyangan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa di
kalangan umat Hindu, ada sebuah cerita terselip dari kebangkitan Hindu ini. Kisahnya
begini: ada seseorang sebut saja namanya Nyoman Alu Poleng. Ia sangat rajin
sembahyang, ia sudah menjelajahi dan bersembahyang di banyak pura di Bali, ke Jawa
bahkan sampai ke Lombok. Sudah banyak ia melakukan melukat kesana kemari, bahkan ia suka mendatangi orang pintar untuk
nunas sesuatu (maklum ia juga senang
dengan jimat-jimatan). Pokoknya bersembahyang dengan orang banyak atau
sendirian, waktu siang atau malam, semuanya sudah ia lakukan. Hebat,….hebat
memang hebat….. I Nyoman Alu Poleng. Ia menjadi anak yang bhakti.
Hal
tersebut berlangsung kira-kira lima tahun. Setelah itu, lama I Nyoman Alu
Poleng tak kelihatan di pura. Satu hari Tut Lasan Mueg bertanya “kenapa tak
pernah ke pura?” Jawaban I Nyoman Alu Poleng cukup mencengangkan ”pahhhh, sube
ileh-ileh nunasica nu gen kene. Sing ada perubahan, sing ngelah apa, sakit
payu, lacur payu, dll” (sudah bersembahyang kemana-mana, namun tetap saja
begini, tak ada perubahan, tak punya apa-apa, sering sakit, tetap aja miskin).
I Ketut Lasan Mueg yang tak begitu rajin sembahyang menjadi kaget. Ia berpikir
juga dan mencoba memikirkan, kenapa I Nyoman Alu Poleng member jawaban ketus
begitu.
Jawaban
tersebut menyiratkan adanya suatu kejenuhan, keputusasaan atau keprustrasian
dari seorang Nyoman Alu Poleng terhadap apa yang ia harapkan dari sembahyang
yang sering ia lakukan sebelumnya. Demikian pikiran I Ketut Lasan Mueg.
Kini
berbeda ceritanya dengan Nyoman Alu Poleng. Namanya Nang Bocok di daerah Badung
Selatan. Ia adalah seorang yang dikenal rajin bersembahyang dan ngayah di pura,
baik kayangan tiga, kayangan jagat, pura kawitan maupun di merajannya, dan siwa-nya
di Grya. Tak ada yang lebih rajin dari Nang Bocok. Atas kerajinannya tersebut
lalu pihak keluarganya mendaulat ia untuk dijadikan juru canang (istilah di sana, sama dengan mangku) di merajannya. Ia
pun melakoninya beberapa tahun.
Namun
belakangan Nang Bocok tak pernah kelihatan di sanggah. Dikira ia sibuk atau
sakit. Ternyata tidak, ketika ditelusuri ia berdiam diri di rumah. Hal ini
terjadi karena beberapa dari anggota keluarganya jatuh sakit dan meninggal. Kemudian
ia sendiri masih berjuang secara ekonomi, sampai akhirnya ia merenungi dirinya.
Mulai mengobat-abit Ida Betara. Ia merasa selama ini sudah rajin bersembahyang
dan nunasica, kok sampai saat ini ia tak menemui kebahagiaan, dan
kesejahteraan. Seolah-olah sembahyang yang ia lakukan selama ini tak ada hasilnya.
Lebih-lebih ia membandingkan dirinya dengan I Gede Tabuan Ugug, tak pernah ke
pura sembahyang, tetap saja sehat, tak susah, dan banyak uangnya. Inilah yang
kemudian menyebabkan Nang Bocok tak lagi ke pura. Karena banyak orang bertanya-tanya,
akhirnya ia menjelaskan alasannya tak lagi ke pura kepada saudara-saudaranya
yang satu sanggah dan satu dadia.
Dalam
keprustrasiannya tersebut, Nang Bocok tak menghentikan ritual agamanya. Ia
mencoba untuk mencari jalan lain. Ia menempuh jalan kewisesan untuk menjalankan keyakinannya. Entah ada yang mengajak
atau karena niatnya sendiri. Ia mulai sering terlihat secara samar-samar oleh
tetangga pergi keluar malam, bahkan ia sering kepergok pergi ke setra untuk
melakukan ritual tertentu pada tengah malam. Entah apa yang dilakukan oleh Nang
Bocok di setra, tak banyak yang tahu dan tak ada yang berani bertanya. Kasak
kusuk di masyarakat sudah bisa dipastikan bahwa Nang Bocok melajah ngeleak (belajar ilmu hitam). Tujuannya tak lain adalah
untuk membuat sesuatu yang jelek, membuat orang sakit, meninggal, atau usaha
bangkrut, dll. Dengan ajian leak yang dimilikinya, Nang Bocok bisa melampiaskan
dendamnya kepada siapa saja. Demikian kasak kusuk di masyarakat.
Kasak
kusuk tersebut semakin menjadi jadi ketika di depan rumahnya ada sebuah batu,
dimana di dekat batu tersebut sering ada orang jatuh tabrakan, semakin membuat
orang percaya bahwa Nang Bocok memasang sesuatu yang sifatnya niskala untuk
mencelakiai orang. Banyak yang menduga bahwa Nang Bocok suka menghaturkan atma untuk dijadikan tumbal
dalam ilmu hitamnya.
Konon
tetangganya sering melihat kelebatan bayangan di depan rumah Nang Bocok.
Semakin jadilah tanggapan orang bahwa Nang Bocok bisa ngeleak dan mulai menjadi
momok masyarakat.
I
Made Godogan Mepantig tak mau termakan opini masyarakat begitu saja. Ia mencoba
untuk mencerna permasalahan tersebut secara pelan-pelan dan hati hati. Waktu
itu I Made Godogan Mepantig sedang berbincang dengan I Putu Dongkang Kipe. Made
Godogan mencoba menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Nang Bocok ini
menandakan bahwa ia sedang mengalami pergolakan yang tajam di dalam nuraninya.
Ia sedang mengalami semacam frustasi dalam kaitan spiritual. Sesuatu yang
diharapkannya sejak dahulu tatkala bersembahyang belum ia rasakan secara nyata
hasilnya. Artinya Nang Bocok selama ini memang rajin bersembahyang untuk
mendapatkan sesuatu yang bersifat nyata. Boleh dikata doanya sangat pamrih.
Memang hal itu tak salah karena manusia patut memuja memohon anugrah dan
lindungan dari Ida Betara.
Namun
Nang Bocok atau siapa saja mesti menyadari bahwa dalam hidup ini manusia terikat
dengan hukum karmapala. Kelahiran manusia di dunia ini adalah akibat dari hukum
ilahi, hukum kekal, yang bernama “karmapala”.
Hukum ini melingkupi masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang.
Semua ini saling mempengaruhi.
I Made Godogan berkata bahwa apa yang dialami
oleh I Nyoman Alu Poleng dan Nang Bocok sebenarnya merupakan hasil perbuatan di
masa lalu. Artinya kesialan yang dialami sekarang adalah buah dari perbuatan
yang kurang baik pada masa kehidupan masa lalu yang harus diterima pada kehidupan
sekarang yang disebut sancita karmapala.
Mau tak mau harus diterima dan dilakoni. Sedangkan kebaikan yang diperbuat seperti
rajin sembahyang sudah pasti akan mendapatkan pahala kebaikan dan kebahagiaan. Hukum
karma akan mengaturnya, apakah layak diterima pada kehidupan ini ataukah pada
kehidupan yang akan datang. Yang bisa dipastikan bahwa hasil dari kebaikan akan
diterima dalam bentuk kebaikan. Artinya tak ada kebaikan yang tak mendapatkan
pahala kebaikan. Nah inilah yang belum dipahami oleh I Nyoman Alu Poleng dan
Nang Bocok, sehingga tampak ia frustasi menghadapi segala hasil perbuatannya
terdahulu.
Bisa
jadi mereka selama ini bersembahyang dengan perasaan sangat pamrih, sehingga
pikirannya sangat terikat dengan berkah yang nyata. Permintaannya macam macam
seperti: agar dagangan laris, agar dapat lotre, mohon agar dapat untung besar,
dll. Dan semua itu adalah sah-sah saja. Padahal sejatinya bersembahyang adalah ritual
berpasrah diri, memohon kerahayuan manusia dan alam semesta. Sebab tak mungkin
bisa seseorang menjadi rahayu dan senang, sedangkan lingkungan atau orang lain
sakit semua. Mana bisa manusia sehat
kalau alamnya sedang mengamuk. Jadi yang diharapkan mesti kerahyuan dalam
bentuk pikiran yang baik, sadar dan tabah. Tak harus dalam bentuk materi.
Bagaimana misalnya kalau seseorang berlimpah materi namun ia selalu stress dan
kawatir kalau hartanya akan hilang dan habis. Malah akan menjadi beban dan tak
pernah rahayu. Atau misalnya seseorang berlimpah
harta, namun setiap hari bolak balik rumah sakit.
Inilah
yang mesti disadari oleh para hamba Tuhan. Mohonlah kerahayuan jagat. Kalaupun
toh ada masalah atau cobaan yang mesti diterima, maka semua itu akan dihadapi
dengan pikiran rahayu, dengan kekuatan mental dan kesadaran penuh, bahwa itu
adalah akibat dari karma yang pernah dilakukan pada masa lalu. Tak boleh
mengatakan bahwa Tuhan marah, Tuhan menghukum. Yang perlu ditanam dan dipupuk
dalam nurani bahwa Tuhan iutu maha pemurah, maha pemberi. Tak ada satu doapun
yang terabaikan oleh Tuhan, Tak ada satu doapun yang tak diberi anugrah.
Anugrah itu akan datang dengan sendirinya, setiap saat. Anugrah hanya dapat
dirasakan nyata oleh orang-orang yang bersyukur kepada Tuhan. Bukan sebaliknya
mencacimaki Tuhan karena merasa Tuhan tak mengabulkan permintaannya. Itu salah
besar. Demikian percakapan I Made Godogan dengan I Putu Dongkang Kipe.
Sedang
asiknya mereka berdua berbincang, tiba-tiba Nang Bocok datang menghampiri
mereka. Kontan saja I Made Godogan bertanya mengenai situasi spiritual yang
sedang dihadapinya saat ini. Dengan terus terang Nang Bocok mengatakan bahwa ia
datang ke kuburan sebenarnya untuk menenangkan hatinya, serta untuk menentramkan
jiwanya yang sedang labil karena diguncang prahara rumah tangga karena diterpa
musibah bertubi-tubi. Konon ia mencoba untuk mencari jawaban di setra. Mudah-mudahan
Hyang Betari bekenan memberikan jawaban atas semua ini. Demikian Nang Bocok.
Mendengar
semua itu I Made Godogan Mepantig dan I Putu Dongkang Kipe menjadi terkejut.
Rupa-rupanya di setra juga ada ketenangan, kerahayuan, serta jawaban atas
kehidupan. Nah inilah kebesaran Hyang Maha Pemurah. Panjelasan Nang Bocok
sekaligus memberi klarifikasi bahwa ia ke setra bukan untuk mencelakai orang
lain atau belajar ngeleak.
Masih beruntung Nang Bocok mencari jawaban ke
setra dengan memegang keyakinan leluhur, daripada ia mencari jawaban dengan
pindah keyakinan. Itu baru gawat. Waduuhhh jangan !!!! (Ki Buyut)
No comments:
Post a Comment