Tuesday, February 6, 2018

Cakra Semesta Tanah Blambangan


Titah Sanghyang Tuduh (perintah Sang Pencipta). Pituduh Sanghyang Titah (ketetapan Hyang Kuasa). Bahwa ajaran budi pekerti leluhur adalah langgeng (sanatana dharma). Hanya saja terkadang terbawa arus, tergulung ombak, terhempas di pantai, namun akan berdiri kembali saat badai mereda. Ia tak pernah melawan arus, ia tak pernah menerjang ombak, ia tak pernah menembus badai, ia pun tak akan pernah menabrak batu karang. Sanatana dharma senantiasa mencari celah dalam ruang dan waktu. Ia telah hidup mengarungi badai dalam keabadiannya di nusantara ini.
Salah satunya adalah peradaban Tanah Blambangan. Leluhur Blambangan dalam sejarahnya memang otonum. Sejak jaman Mataram Kuno, lalu Majapahit konon tak sepenuhnya dapat menguasai Blambangan. Ketika jaman Mataram Baru pun Blambangan tak tersentuh. Melanjut ke jaman kolonial, Belanda juga tak bisa menguasai Blambangan secara penuh.
Proteksi diri yang kuat melahirkan sebutan Suku Osing (suku yang tak menerima peradaban baru). Osing = tidak. Blambangan hanya bisa dikuasai oleh dirinya sendiri. Blambangan hanya bisa dibujuk oleh keyakinannya sendiri. Blambangan tak pernah melepaskan pekerti leluhur. Blambangan senantiasa memelihara situs - situs peradaban.
Sampai kini Blambangan menyimpan situs magis nusantara masa lampau. Ketika leluhur terdesak, di timur (purwo) / Blambangan mereka merasakan kenyamanan, dibawah lindungan leluhur, alam, niskala dan lindungan para Danghyang.
Sejatinya peradaban leluhur masih terpelihara baik di sini. Cuman disamarkan oleh insan - insan bijak agar tidak menonjol apalagi norak. Kini, tak ada hujan tak ada angin, tak ada badai, pekerti leluhur secara pelan menggeliat. Bagaikan angin sepoi menghampiri insan – insane tanah Blambangan. Angin semilir membisiki pesan leluhur ke dalam setiap nurani pewaris Blambangan. Antara ada dan tiada, samar-samar tapi ada, para Danghyang mengingatkan sentana tanah Jawa. Ia terjaga dalam sepi. Terbangun tanpa propaganda, bergulir tanpa intimidasi. Berjalan senyap tanpa riuh apalagi gaduh. Tak banyak publikasi, promosi, apalagi “selfi”. Ia muncul tak menghiraukan jaman. Mungkin sudah ketetapan Sanghyang Tuduh.
Kantong - kantong peradaban tak semua terjamah oleh keyakinan baru. Ia disembunyikan oleh waktu. Titik - titik spiritual pelan berdiri di pinggir pantai seperti Pura Candi Purwo, Pura Tawang Alun. Di hutan meliputi Pura Giri Selaka Alas Purwo, dan pura di sekitarnya. Di Lereng Gunung Raung berdiri Petilasan Gumuk Kancil, Pura Sandya Darma, Pura Natarsari, Pura Anantabhoga, Pura Banyu Bening, Pura Sugih Waras, Pura Kawasan Rowo Bayu, Pura Tirto Jati. Di kawasan lain berdiri Pura Sunia Loka Gunung Srawet, Pura Puja Dharma, Pura Giri Wiseso, Pura Giri Nata, Pura Purwo Katon, dan banyak lagi. Sedangkan yang menjadi titik sentral (panataran) adalah Pura Agung Blambangan.
Sebaran situs spiritual ini meliputi pantai, hutan, pemukiman, sungai, danau, dan gunung. Konsep SEGARA - GUNUNG terwujud di Tanah Blambangan. Kekuatan purusa (gunung) dan predana (laut) bertemu di panataran Pura Agung Blambangan.
Segara – Giri (kekuatan kaja – kelod – kangin - kauh / lor – kidul – wetan - kulon / utara – selatan – timur – barat) membentuk TAPAK DARA, membentang menjadi SWASTIKA, bergerak PURWA DAKSINA menjadi CAKRA SEMESTA yang akan memancarkan vibrasi pekerti luhur untuk keharmonisan dan kerahayuan Jagat Blambangan, Jagat Nusantara, dan Jagat Semesta. Semoga rahayu, rahayu, rahayu ……. Begitu juga di tempat lain di tanah nusantara ini. Ampura.
#SegaraGiri #SegaraWanaGiri #HinduNusantara #TanahLuhurBlambangan #TapakDara #Swastika #CakraSemesta #kibuyutdalu kanduksupatra.blogspot.com

No comments:

Post a Comment