“Ganyang
Malaysia” demikian kalimat konfrontasi terbuka yang muncuat dari bibir Presiden
Sukarno, yang menggema sejak tahun 60-an sampai saat ini, teriring dengan
pasang surutnya hubungan emosional antara Negara Malaysia dengan Indonesia. Konon
bangsa serumpun, namun bukan rumpun bambu, tapi rumpun keladi. Menggenitkan,
menggatalkan, dan menggeramkan, ketika sekian kali “saudara serumpun” itu
berulah terhadap kedaulatan Negara Indonesia.
Ada
apa sebenarnya ?
Persetujuan Manila antara Filipina, Federasi
Malaya dan Indonesia
pada 1961,
dimana Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan,
sebuah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah
Kerajaan Brunei dan
dua koloni Inggris, Sarawak dan Sabah. Inggris kemudian mencoba
menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya dengan membentuk Federasi
Malaysia.
Rencana
ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia. Presiden Sukarno berpendapat
bahwa Malaysia hanya boneka Inggris. Filipina juga
membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki hubungan sejarah
dengan Filipina melalui Kesultanan
Sulu.
Di
Brunei, Tentara
Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember 1962. Mereka mencoba
menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang
Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Pemimpin pemberonta
ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia setuju
pembentukan Federasi Malaysia asalkan diadakan
referendum yang difasilitasi oleh PBB. Tetapi Malaysia melihat pembentukan federasi ini sebagai
masalah dalam negeri, tanpa turut campur orang luar. Tetapi Indonesia melihat
hal ini sebagai pelanggaran Persetujuan Manila.
Semenjak
itu terjadi demo anti Indonesia di Malaysia. Demonstran menyerbu gedung KBRI,
merobek – robek foto Sukarno, membawa lambing Negara Garuda Pancasila kehadapan
Tuanku Abdul Rahman, perdana mentri Malaysia saat itu dan memaksanya untuk menginjak
Garuda Pancasila. Amarah Sukarno pun meledak. Demo itu berlangsung di Kuala Lumpur
17 September 1963. Presiden Sukarno yang melancarkan konfrontasi terhadap
Malaysia dan mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia yang
menginjak-injak lambang negara Indonesia. Sukarno ingin
melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan “GANYANG
MALAYSIA” melalui pidatonya yang bersejarah.
Pada
12 April 1964, sukarelawan Indonesia mulai memasuki arawak dan Sabah untuk
menyebar propaganda. Tanggal 3 Mei1964 di rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden
Sukarno mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
-
Pertinggi ketahanan revolusi
Indonesia
-
Bantu perjuangan revolusioner rakyat
Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli,
Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng - "ganyang Malaysia". Pada 16
Agustus, pasukan dari Rejimen Askar
Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan
Indonesia. Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan
hubungan diplomatik dengan Malaysia.
Federasi
Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak
bergabung dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan
berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para perusuh
membakar kedutaan Britania di Jakarta.
Beberapa ratus perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah
diplomat Singapura. Di Malaysia, agen Indonesia ditangkap dan massa menyerang
kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Pada 1964 pasukan
Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya.
Di bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengoordinasi kegiatan
perang terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah
menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga) yang terdiri dari unsure kesatuan dari
KKO, AURI, RPKAD. Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat
di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2
September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29
Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di
perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar
Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan
menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu
20, Muar, Johor.
Di
luar pertempuran, ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap,
Sukarno menarik Indonesia dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba
membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo)
sebagai alternatif.
Sebagai
tandingan Olimpiade, Sukarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games
of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22 November 1963. Pesta olahraga ini
diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika
Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada
Januari 1965, Australia setuju
untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah menerima banyak permintaan dari
Malaysia. Secara resmi, pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti
penyerang melalui perbatasan Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun
Australia, masuk secara rahasia (Operasi
Claret).
Pada
pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28 Juni,
mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau, Sabah dan
berhadapan dengan Resimen Askar
Melayu Di Raja dan Kepolisian
North Borneo Armed Constabulary.
Pada
1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang
melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna.
Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal.
Peristiwa ini dikenal dengan "Pengepungan 68 Hari"
oleh warga Malaysia.
Sedang
konsentrasinya pasukan Indonesia menyerang Sabah, tiba tiba peristiwa besar
terjadi di tanah air yakni peristiwa 30 September 1965. Indonesia tertikam dari
belakang. Seandainya saja hal itu tak terjadi, bisa jadi Kalimantan seutuhnya
menjadi bagian Indonesia, demikian juga semenanjung Malaya jadi Pangkuan Ibu
Pertiwi Nusantara. (KandukSupatra/Dari berbagai sumber).
No comments:
Post a Comment