Suatu hari berjalan di sore hari,
terdengar alunan suara tri sandya yang begitu keras dari sebuah corong yang terpasang
di sebuah bale kukul bale banjar di Denpasar. Di beberapa daerah di luar Denpasar
juga kerapkali terdengar hal yang sama. Penulis pun pernah mendapat kiriman SMS
agar mengumandangkan tri sandya di banjar dengan pengeras suara. Juga penulis
banyak mendapat ajakan untuk memasang pengeras suara untuk mengumandangkan puja
tri sandya dengan berbagai alaasan. Beberapa alasan yang dikemukakan adalah
1.
Untuk
mensosialisasikan atau membiasakan umat untuk melakukan puja trisandya.
2.
Alasan
berikutnya dikemukan bahwa umat lain berkoar-koar mengumandangkan seruan
tertentu dengan menggunakan pengeras suara pagi sang, sore dan malam, kenapa
kita tidak? Mereka itu tak pernah mengerti dengan situasi dan kondisi
masyarakaat sehingga suasana menjadi berisik, bising, dan cukup mengganggu. Yah
biar sama-sama, mari kita pasang “pengalo” (corong pengeras suara).
3.
Ini
dilakukan demi menjaga ekssistensi Hindu di tanah Bali dari kepungan kaum …..
Demikian katanya.
4.
Dan
beberapa alasan lainnya.
Dari sekian banyak realitas yang
ditemukan penulis di lapangan, dikaitkan dengan berbagai alasan yang dikemukan,
kita mencoba untuk melakukan penelahaan dan perenungan. Apa sebenarnya yang
sedang terjadi? Nah dari sini kemudian muncul tulian ini.
Sejatinya di atas muka bumi ini sedang
terjadi pergulatan keyakinan yang begitu dasyat yang hampir mencapai titik
puncak. Dimana-mana terjadi perdebatan tak henti-hentinya mengenai keyakinan
atau agama yang dianut, dimana mereka dengan sengaja membuka keterbatasan,
kekurangan, kesalahan, atau membuka sejarah kelam masa lalu, yang membangkitkan
rasa ego, dendam, benci, dan permusuhan di kalangan para pendebat agama di
seluruh dunia. Termasuk di Indonesai. Lebih-lebih di media sosial, perdebatan
dan penghujatan antara agama setiap detik berlangsung dengan mengedepankan
kebaikan sepihak serta memunculkan kejelekan di pihak lain. Dengan ungkapan
rasa, bahasa, serta gambar-gambar yang menurut kami sangat seronok, propokatif,
yang mesti dikontrol dan bila perlu dihentikan. Semua ingin di depan, semua
ingin di atas, semua ingin mengungguli. Sungguh mengerikan jika hal ini meledak
menjadi perang terbuka, karena semuanya sudah terbakar emosi, terbakar ego, serta
terprovokasi oleh pihak provokator. Maka hancurlah peradaban ini…. Ini adalah situasi global
yang terjadi.
Lalu kembali ke masalah pengeras suara yang
dikumandangkan dari setiap tempat ibadah dengan volume yang penuh setiap hari,
sejatinya adalah suatu hal yang membisingkan, suatu hal yang memang mengganggu.
Panggilan itu dilontarkan setiap hari, seolah olah setiap saat umat di ingatkan
serta dipanggil untuk bersembahyang. Padahal sejatinya umat mesti dengan
sukarela serta dengan ketulusan hati untuk melakukan ibadah, tanpa di
suruh-suruh, dibujuk-bujuk atau dipanggil-panggil. Di sisi lain muncul
penilaian dari masyarakat umum mengatakan bahwa hal ini adalah sebuah egoisme
spiritual, tidak mengindahkan norma kewilayahan dimana bumi dipijak di sana
langit dijunjung. Bahkan dari kalangan umat seiman pun banyak yang mulai
mengkritik penggunaan pengeras suara di tempat dibadah yang menurut mereke
seenddiri sudah perlu dikontrol karena bising. Dunia sudah bising dibikin
bising lagi, demikian kata mereka. Apalagi misalnya tempat ibadah tersebut
beerada di lingkungan yang majemuk.
Terus, mengenai ajakan untuk
mengumandangkan puja Tri Sandya lewat pengeras suara, sepertinya perlu
dipertimbangkan hal sebagai berikut:
1.
Jika
hal ini dilakukan secara tulus untuk menghimbau umat untuk melaksanakan tri sandya,
hal itu sangat positif. Ajakan tersebut mesti disampaikan dengan menggunakan bahasa
sendiri. Ajakan atau himbauan tersebut misalnya berbunyi “om suastyastu, karena
sudah pukul …., mari melakukan puja tri sandya, untuk kedamaian dunia. Om santi
santi santi”. Atau mungkin dalam bahasa Bali “ngiring sareng sami ngerastiti
bakti ring Ida Sanghyang Widhi Wasa mejalaran antuk nguncarang puja Trisandya”,
atau bahasa yang lainnya. Bukan dengan menyetel kaset puja trisandya dengan
volume penuh. Sebab mantram puja trisandya adalah mantra suci dan sacral. Tidak
disetel begitu saja, lalu ditinggal. Mantra puja trisandya itu mesti diucapkan dengan
pikiran bersih, hati suci, serta dengan tulus iklas, serta dengan sikap yang
sudah digariskan dalam ajaran agama Hindu. Agar jangan malah dengan cara ini,
kita justru menempatkan mantra puja tri sandya tidak pada tempatnya.
2.
Perlu
diketahui pula bahwa alunan kumandang di tempat ibadah umat non Hindu tersebut
bukanlah alunan doa, tetapi seruan untuk melakukan ibadah. Sedangkan doa mereka
ucapkan ketika mereka melakukan ibadah. Artinya jangan salah kaprah dan jangan
terkecoh, serta ikut ikut tak menentu, apalagi didasari atas niat persaingan, maka
hal ini akan menambah ego masing masing, serta semakin mambuat bising dunia
ini.
3.
Anehnya
lagi, kalau memang kumandang dari tempat ibadah umat tertentu dianggap suatu
hal yang berisik, bising dan kurang baik, kenapa justru iku-ikutan meniru
sesuatu yang menurut kita kurang baik. Kan tambah runyam! Yang perlu dilakukan
di dalam hal ini adalah komunikasi antar umat, sehingga penggunaan pengeras
suara yang berisik tersebut dapat dikurangi, diminimalisir, atau bila perlu
ditiadakan. Artinya penggunaan pengeras suara tersebut sebatas intern tempat
ibadah itu, tidak diarahkan keluar.
4.
Oleh
karena itu, coba kita renungkan kembali apakah harus kita meniru sesuatu yang
kita anggap kurang pas? Dan sekali lagi ketahuilah bahwa puja tri sandya adalah
mantram suci, sehingga tak perlu diobral seperti itu. Puja Tri Sandya merupakan
gabungan mantram yang disusun oleh para sulinggih Bali di masa lalu. Rangkaian
puja ini tak dikenal di India. Para sulinggih di masa lalu menggabungkan enam
bait mantram suci menjadi satu rangkaian. Bait pertama mengagungkan ibu dari
segala mantra yakni Gayatri Mantra yang bersumber dari Rg.Weda III.62.10. Bait
kedua diambil dari Narayana Upanisad. Mantram ini ada dalam rangkaian Catur
Weda Sirah, empat mantra yang diambil dari Rg Weda, Yajur Weda, Sama Weda dan
Atharwa Weda. Dimana bagian terakhir dari Yajur Weda ini dipakai sebagai bait
kedua Puja Tri Sandhya. Bait ketiga ketiga berasal dari satu sloka Siwa Stawa.
Sedangkan bait keempat, kelima dan keenam berasal dari Ksama Mahadewastuti yang
terdapat dalam kitab Weda Parikrama. Demikian mantram Puja Tri Sandya disusun
sebagai mantram suci dan sakral.
5.
Bisa
dibayangkan, kalu misalnya semua pura, semua merajan, atau semua banjar
mengumandangkan puja Tri Sandya, alangkah bisingnya. Ramai di kuping, semarak
dimata, namun tak menyentuh nurani, justru memunculkan ego, maka hal itu
hanyalah sia-sia. “air beriak tanda tak dalam” Ketahuilah pula bahwa jalan
dharma adalah jalan kedamaian, jalan ketenangan, jalan ketulusan. Heneng, Hening, Henung. Tenang, sunyi,
konsentrasi. Satyam, siwam, sundaram. Menurut saya demikian.
Bagus sekali, matur suksma
ReplyDelete