”Jeneng cai cara
bedogol” Yang dimaksud adalah sebuah patung yang berdiri di suatu tempat
sendirian, biasanya di perempatan, peteluan (pertigaan) di tengah jalan. Atau kadangkala
di tengah sawah ada sebuah tugu sering disebut bedugul sebagai pengulun
sawah. Bedogol juga digunakan untuk menyebutkan orang yang perawakannya pendek
gemuk.
Kalau jaman
dahulu banyak kita temukan bedogol di tengah perempatan, namun saat ini hanya
ada beberapa bedogol saja yang masih berdiri.
Semua ini akibat pengembangan infrastruktur jalan dan keramaian lalu lintas.
Sekarang bedogol dianggap sesuatu yang mengganggu lalu lintas jalan raya,
sehingga banyak bedogol yang digeser bahkan banyak bedogol yang dihilangkan. Padahal
para tetua Bali dalam menjalankan agamanya menempatkan perempatan dan
bedogolnya sebagai salah satu kiblat dan tempat menjalankan ritual keagamaan.
Bedogol yang berada di tengah perempatan
atau pertigaan adalah sebagai tugu peringatan bahwa di tempat itu merupakan tempat
suci. Bedogol itu merupakan titik pusat dari kawasan itu. Sebagai tempat yang
angker, tempat dimana tersimpan aura kesucian sekaligus kekeramatan, sehingga
disimbolkan dengan bedogol (patung raksasa) sebagai kekuatan Dewa ya Bhuta ya. Artinya di sana adalah
tempat memohon dan melepas. Memohon maksudnya adalah melakukan ritual tertentu
kehadapan penguasa alam semesta atau kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa untuk
memohon anugrah tertentu. Sedangkan melepas maksudnya adalah mengembalikan
sesuatu yang tak diinginkan atau sesuatu yang tak baik agar kembali ke alamnya
masing-masing. Tempat itu adalah titik
pusat atau titik nol kilometer wilayah tersebut. Sehingga banyak orang melakukan
ritual di perempatan. Ada
ritual pemanggilan roh saat orang ngulapin
atau ritual melepas mala ketika
ditimpa marabahaya. Artinya di sana
merupakan tempat pelepasan dan pemanggilan. Pempatan tersebut merupakan titik
temu antara ruang dan waktu, antara kekuatan bhuta dan dewa. Di sana adalah pusat, di sana adalah titik nol dari alam semesta.
Segala macam
ritual bisa dilakukan di pempatan, seperti Tawur Kesanga yang dilakukan di catuspata (pempatan agung), dalam ruang
lingkup provinsi, catuspata kabupaten, catuspata desa, dan banjar. Catuspata
merupakan pusat dari wewidangan tersebut. Perempatan agung merupakan titik
pusat cakra dunia. Catuspata merupakan simbul dari tapak dara sebagai penyederhanaan dari suastika. Catuspata merupakan titik pusat dari kekuatan dewata nawa sanga, caturloka pala. Catuspata merupakan titik pertemuan sebelas Rudra
(Eka dasa Rudra), manisfestasi Siwa yang berwujud menyeramkan. Catuspata adalah
titik pusat dari padma buana. Di
catus pata merupakan windu (titik
nol) dari alam semesta.
Catuspata merupakan
titik temu antar kekuatan Anggapati, Prajapati, Banaspati, Banaspatiraja.
Pempatan merupakan titik temu dari kekuatan bhuta dan kala yang disimbolkan
dengan bedogol, sebagai sebuah peringatan kepada manusia akan kekuatan niskala
dari pempatan. Perempatan diibaratklan sebagai samudara yang luas, diibaratkan
angkasa raya maha luas atau diibaratkan alam semesta alam. Oleh karenanya, apa
saja ada di sana, dan apa saja bisa dilakukan di sana.
Ritual yang dilakukan
di perempatan seperti: 1) mebanten saiban/rarapan/canang
setiap hari sebagai permohonan kehadapan Ida Sanghyang Whidi Wasa dalam prabawa
sebagai dewa pempatan untuk memberikan kesejahteraan dan keselamatan kepada
umat manusia 2) Ngulapin yakni ritual
permohonan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa agar beliau berkenan
mengembalikan energi seseorang yang terpancar secara tak disadari saat
mengalami kecelakaan. Ngulapin juga dimaksudkan sebagai ritual penjemputan roh
seseorang yang telah meninggal ketika akan diaben. Hal ini dilakukan apabila
jasad yang bersangkutan tak ditemukan, atau jasadnya dikubur di luar daerah
sehingga tak memungkinkan untuk membawa jasadnya kembali. 3) Melakukan ritual pecaruan dalam rangka Kesanga untuk mengharmoniskan alam semesta. 4)
Mepiteh prasawya atau berputar di perempatan
pada saat upacara ngaben adalah sebagai permakluman kehadapan Hyang Betara di perempatan
sekaligus memohon petunjuk dan penerangan jalan menuju ke sunialoka 5) Membuang
segala sesuatu yang bersifat negatif di perempatan seperti ritual ruatan/ penglukatan atau nebusin di perempatan 6)
Melakukan upacara melancaran dan di setiap
perempatan melakukan mesolah dihaturkan sesaji dengan harapan Ida Betara yang
diiring melancaran berkenan turun ke dunia memberikan pemberkatan kepada alam
semesta. 7) Dalam upacara karya di sebuah Pura Kayangan Tiga, maka setelah
upacara berakhir dilakukan upacara nyenuk
yang artinya upacara meajar-ajar atau beranjangsana keliling desa melewati
beberapa pempatan di wilayah itu untuk memberikan anugrah kehadapan masyarakat karena
telah melaksanakan upacara tersebut dengan tulus iklas. 8) Upacara pemasupatian atupun ngerehang juga dilakukan di perempatan. 9) Sarana pecaruan atau juga durmanggala (banten utuk pembersihan dari segala mala atau keletehan atau kekotoran secara niskala) setelah dilakukan upacara
juga dibuang ke perempatan sebagai tempat yang terdekat. Selain itu juga
dibuang ke sungai atau ke laut. Namu ke pempatanlah yang paling dekat.
Banyak dan seringnya
dilakukan upacara menandakan bahwa amat pentingnya perempatan dalam kehidupan
manusia Bali. Artinya catuspata memiliki nilai
religious yang sangat tinggi dan memiliki aura yang niskala yang sangat kental.
Manusia Hindu Bali pasti mengatakan bahwa perempatan adalah salah satu tempat
yang suci sekaligus angker selain kuburan.
Dalam
perkembangan sekarang ini, perempatan agung tak banyak mendapat perhatian. Demi
kepentingan praktis, maka banyak pempatan dengan bedogolnya diabaikan begitu
saja. Artinya sikap religius masayarat sekitarnya mengenai perempatan sudah
semakin meluntur. Dengan demikian menyebabkan aura perempatan menjadi tak harmonis
lagi, dan sudah pasti mengakibatkan sesuatu yang tak harmonis juga di lingkungan
tersebut. Misalnya menyebabkan banyak kecelakaan, adanya perkelahian atau
kericuhan lainnya, dll. Karena tak banyak dilakukan proses penyucian maka aura
tersebut menjadi bersifat negatif, atau sifat bhuta yang menonjol. Keadaan ini sudah
pasti menyebabkan terjadinya sifat-sifat bhuta yang mengganggu.
Mengingat
pentingnya catuspata dalam kehidupan manusia Bali, maka sudah barang tentu mulai
saat ini perempatan mesti dipelihara dan dilestarikan keberadaannya sebagai
sebuah kawasan suci, sebagai kawasan religius. Perempatan adalah stana Ida
Betara Dalem (Siwa) dalam prabawa beliau sebagai “dewan pempatan” yang disebut
dengan Ida Sanghyang Catur Bhuana, dan aspek bhuta dari kekuatan dewata dari
pempatan bergelar Sang Buta Kala Dengen.
Perempatan
dipercaya sebagai sumbu cakra dunia.
Artinya dengan melakukan ritual di perempatan maka manusia berusaha memelihara
perputaran cakra dunia agar tak terhenti. Apabila perputaran cakra dunia berhenti,
maka proses kehidupan di dunia juga akan terhenti. Ini artinya dengan melakukan
yadnya secara berkesinambungan di catuspata maka manusia telah memelihara
perputaran cakra. Artinya, dengan yadnya yang dilakukan tersebut manusia telah
memelihara alam semesta.
Perputaran cakra
yang secara terus terus-menerus melalui yadnya tersebut menyebabkan kehidupan
terus berlangsung. Perputaran cakra ke arah yang positif tersebut bagaikan
perputaran Gunung Mandara yang akan mengeluarkan “amerta” untuk kehidupan
manusia. Keluarya amerta inilah yang akan dinikmati manusia dalam bentuk
perputaran kehidupan, perputaran ekonomi, dan limpahan bahan makanan sandang serta
ketentraman.
Kembali ke masalah
bedogol yang sudah hampir tak ada, segenap lapisan masyarakat, pemerintah
semuanya mesti memusatkan perhatian kepada bedogol sebagai sebuah simbol titik
nol kehidupan, sebagai simbol alam raya, sebagai simbol pemutaran cakra dunia,
bedogol sebagai pusering jagad. Oleh karenanya bedogol mesti kembali dipasang.
Bedogol mesti ditempatkan di setiap perempatan dalam rangka memutar kembali
cakra dunia untuk memperkuat pancaran taksu
alam semesta khususnya tanah Bali.
Bedogol adalah
patung tak berbunyi, tak bergerak. Ia sendirian berada di tengah perempatan. Si
bedogol itu memberi peringatan kepada manusia yang lewat di sana bahwa kita sedang berada di persimpangan.
Artinya bedogol ingin mengatakan “tempuhlah jalan yang semestinya agar tak
tersesat, dan hati-hatilah”. Mungkin begitu ingin ia katakan kepada setiap
manusia yang lewat di sana. Namun karena perkembangan jaman, banyak yang
mengabaikan keberadaan bedogol di perempatn jalan, bahkan sudah tak ada lagi. Masyarakat
banyak melakukan ritual di pinggir jalan dan bukan di tengah perempatan karena
keramaian jalan dan kawatir terserempet lalu lintas. Maka banyaklah manusia
yang tersesat dan berada di persimpangan jalan.
Mengingat dari
semua itu maka apapun alasannya, yang namanya bedogol dan perempatan mesti
dipelihara dengan baik kesucian dengan segala aspek ritualnya. Masyarakat harus
tetap memelihara agar ada ruang melakukan ritual di tengah perempatan yang
disebut dengan catuspata. Akan lebih
terasa auranya kalau sebuah pempatan dipasang bedogol (patung berbentuk raksasa) yang kecil dengan segala
aktivitas ritualnya, dibandingkan dengan memajang patung adipura yang besar
namun kering makna. (inks)
No comments:
Post a Comment