Delapan
organisasi keagamaan di Bali tanggal 26 Juni 1958 mengadakan pertemuan membahas
usulan kepada pemerintah. Organisasi tersebut yakni : Satya Hindu Dharma ( I
Gusti Ananda Kusuma), Yayasan Dwijendra (Ida Bagus Wayan Gede), Partai Nasional
Agama Hindu (Ida I Dewa Agung Geg), Majelis Hinduisme (Ida Bagus Tugur),
Paruman Para Pandita (Pedanda Made Kemenuh), Panti Agama Hindu Bali (I Ketut
Kandia), Angkatan Muda Hindu Bali (Ida Bagus Gede Doster), dan Eka Adnyana (Ida
Bagus Gede Manuaba). Hasil pertemuan tersebut adalah kepada pemerintah
Indonesia yang berisikan :
- Tetap menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mendudukkan agama Hindu Bali sejajar dengan agama-agama lainnya dalam struktur kementrian Agama Republik Indonesia
- Menuntut agar diadakan perubahan dalam peraturan mentri Agama Republik Indonesia N0. 9 th. 1952, yaitu agar Agama Hindu Bali dimasukkan dalam pasal III sebagai bagian.
- Mendesak kepada pemerintah Daerah Bali agar tetap mempertahankan Dinas Agama Otonom Daerah Bali yang dibentuk dengan surat Keputusan DPR Daerah Bali tanggal 24 Maret 1953, N0.2/S.K./DPRD.
Usulan ini
disampaikan kepada Presiden RI, perdana mentri, Mentri Agama, Mentri Dalam
Negeri, Ketua Parlemen, Ketua Dewan Nasional, Penguasa Perang Pusat, Penguasa
Perang Daswati I NusaTenggara di Denpasar, Gubernur Provinsi Nusa Tenggara,
Kepala Daerah Bali, Ketua DPRD Bali, Anggota Parlemen yang berasal dari Bali,
Anggota Dewan Nasional dari Bali ( I Gusti Bagus Sugriwa) dan pers.
Tanggal 29 Juni
1958, lima orang utusan organisasi agama menghadap Presiden RI di Tampaksiring.
Diantar oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan Bali, I Gusti Putu
Mertha. Kelima perwakilan tersebut adalah Ida Pedanda Made Kemenuh, I Gusti
Ananda Kusuma, Ida Bagus Wayan Gede, Ida Bagus Dosther, dan I Ketut Kandia.
Mengusulkan agar Kementrian Agama RI ada bagian Agama Hindu Bali, sebagaimana
yang telah diperoleh oleh Islam, Katolik, dan Kristen. Permohonan itu
dikabulkan dan tanggal 5 September 1958 dibentuk Bagian Agama Hindu Bali pada
Kementrian Agama Republik Indonesia, dengan ketua I Gusti Gede Raka.
Perjuangan
dilanjutkan membentuk Dewan Agama Hindu Bali atau badan Keagamaan Hindu Bali.
Karena keluarnya Undang-Undang tentang penghapusan Swapraja di Indonesia, dan
dipecahnya Propinsi Administrasi Nusa Tenggara menjadi tiga propinsi yang
otonom yakni Bali, NTB, dan NTT. Swapraja yang dulunya dikepala oleh raja dan
sekaligus sebagai pimpinan agama Hindu Bali dan adat, maka kini dihapuskan.
Maka timbul keinginan membentuk badan keagamaan yang dapat menggantikan peran
raja.
Tanggal 7
Oktober 1958 di Balai Masyarakat Denpasar diadakan pertemuan Pemerintah Daerah
Bali dengan Pimpinan Organisasi Keagamaan Bali. Dibentuklah panitia untuk
persiapan pembentukan Dewan Agama Hindu Bali. Panitianya adalah Paruman Para
Pandita, Panti Agama Hindu Bali, dan Angkatan Muda Hindu Bali (Dr. Ida Bagus
Mantra dan I Gusti Bagus Sugriwa). Tanggal 6 Desember 1958 panitia mengadakan
rapat di Pesanggrahan Bedugul dengan hasil bahwa Hindu Bali Sabha akan diadakan
di Denpasar bulan Januari 1959.
Hindu Bali
Sabha (Pesamuhan Agung Hindu Bali) yang kemudian dikenal dengan Sidang
Pembukaan Parisada Dharma Hindu Bali, 21-23 Februari 1959 di Fakultas Sastra
Denpasar. Sidang ini melahirkan Piagam Parisada. Ditandatangani oleh 20 orang.
Delapan dari delegasi pemerintah dan 12 dari organisasi keagamaan Bali seperti
Perhimpunan Buddhis Indonesia Bali Dharma Yadnya, Partai Nasional Agama Hindu
Bali, Majelis Hinduisme, Wiwada Sastra, Sabha Satya Hindu Dharma, Perhimpunan
Hidup Ketuhanan, Angkatan Muda Hindu Bali Kumara Bhuwana, Yayasan Dwijendra,
Eka Adnyana Dharma, Persatuan Keluarga Bujangga Waisanawa, dan Paruman Pandita.
Sidang tersebut juga menetapkan personalia Pesamuhan Sulinggih (11 orang)
Pesamuhan Walaka (22 orang) dan pengurus harian terdiri atas ketua Ida Pedanda
Wayan Sidemen, Wakil ketua I Gusti Bagus Oka, dan sekretaris Dr. Ida Bagus
Mantra.
Piagam Parisada
berisikan: Bentuk lembaga ini adalah Parisada, bersifat keagamaan Hindu Bali,
berkedudukan dimana pimpinan berada. Fungsi lembaga ini adalah koordinasi
segala kegiatan keagamaan Umat Hindu Bali dengan tugas, mengatur, memupuk dan
memperkembangkan Agama Hindu Bali. Tujuannya adalah mempertinggi kesadaran
hidup keagamaan dan kemasyarakatan Umat Hindu Bali. Keanggotaan terdiri dari
para sulinggih dan walaka yang dipandang ahli atau mempunyai pengetahuan
mendalam soal keagamaan Hindu Bali, sehingga susunan Parisada terdiri dari
Pasamuhan Para Sulinggih dan Pasamuhan Para Walaka, yang keduanya dalam kepaniteraan
bersama. Usaha lembaga ini meliputi penelitian, pendidikan, penerangan, dan
kesejahteraan masyarakat.
Tanggal 17-23
Nop. 1961 di Campuhan Ubud diadakan paruman (dharma asrama) para pandita dan
walaka yang diprakarsai Parisada Dharma Hindu Bali. Ketika itu dibicarakan
mengenai dharma agama dan dharma negara. Dharma agama adalah bagaimana umat
Hindu bisa menjalankan ajaran dharma lewat kerangka dasar agama yakni tattwa,
susila, dan upacara. Dharma negara lebih menitikberatkan hubungan umat sebagai
warga negara NKRI dalam memposisikan diri untuk berperan aktif dalam kegiatan
kebangsaan /kenegaraan serta selalu menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 1945.
Piagam
Parisada 23 Februari 1959 hanya menjangkau wilayah Bali, karena namanya
Parisada Dharma Hindu Bali. Sabha Hindu Bali I, 7-10 Oktober 1964 menetapkan
anggaran Dasar Parisada dengan Piagam Parisada terdahulu sebagai dasarnya,
dengan perubahan yakni mengganti nama menjadi Parisada Hindu Dharma. Sabha Hindu Bali II (mahasabha II) 2-5
Desember 1968 di Denpasar, resmi menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Kepengurusan
Parisada 1959/1968 dipimpin oleh Ida Pedanda Gede Wayan Sidemen. 1968/1980: Ida
Pedanda Putra Kemenuh. 1980/1986: Ida Pedanda Gede Made Pidada Keniten.
1986/1991: Ida Pedanda Ngurah Bajing. 1991/1996: Ida Pedanda Putra Telaga.
1996/2001: Ida Pedanda Gede Telaga. Pada akhir dari masa pengurusan ini
diadakan Maha Sabha VIII di Denpasar, menghasilkan keputusan yakni: Sabha
Pandita merupakan unsur tertinggi dari Parisada dan berwenang mengambil keputusan
serta menetapkan Bhisama. Sabha Walaka merupakan perumus bahan masukan untuk
pesamuhan sabha pandita dan sebagai badan pertimbangan pengurus harian.
Pengurus harian merupakan badan eksekutif dan pelaksana keputusan mahasabha dan
sabha pandita. Dalam mahasabha ini kemudian terjadi perpecahan PHDI Bali
menjadi PHDI versi Besakih yang diakui PHDI Pusat dan PHDI versi Campuhan yang
tidak diakui Pusat. Tahun 2001/2006 diketuai oleh I Nyoman Swanda, SH. Pada
masa ini keluar tiga bishama mengenai dana punia, sadhaka, dan pengamalan catur
warna.
Menurut Ida
Pedanda Putra Telaga, salah satu pendiri Parisada dan mantan Ketua Umum
Parisada Pusat pernah mengatakan bahwa parisada hendaknya bagaikan cincin
permata yang melingkari jari tangan. Permata yang bercahaya adalah para
sulinggih. Emas yang menyangga permata adalah para walaka. Keduanya adalah satu
kesatuan yang harmonis. Secara harfiah Parisada artinya Perkumpulan dari
orang-orang suci atau lembaganya orang suci atau yang disucikan. Untuk
Indonesia yang berkiblat pada Hindu Bali, yang diakui sebagai orang suci adalah
para sulinggih. Karena parisada pada dasarnya adalah lembaganya para sulinggih
(pandita) maka sudah sepatutnya pucuk pimpinan Parisada dipegang oleh
Sulinggih. Sabha Pandita adalah lembaga tertinggi dan sakral dalam PHDI.
Sedangkan Sabha Walaka berkedudukan sebagai pengabih (pendamping atau
pembantu) terutama masalah bukan agama. Seperti berkaitan dengan kenegaraan,
pemerintahan, hukum, politik, penggalian dana, pertanggungjawaban keuangan, dsb.
Kedudukan dan tugas masing-masing serta tanggung jawab dapat diatur dalam
AD/ART PHDI.
No comments:
Post a Comment