Dalam
Tutur Kanda Pat disebutkan ketika sang ibu dan sang ayah dalam pandangan
matanya berkeinginan untuk melakukan senggama, maka pada saat itu benih janin
sejatinya sudah terbentuk. Ketika bersengama terjadi pertemuan antara “kama bang” (benih wanita) dan “kama petak” (benih laki-laki) di dalam
rahim sang ibu. Setelah delapan bulan dilakukan upacara “magedong-gedongan” memohon anugrah agar jabang bayi berkembang dan
lahir dengan baik. kanduksupatra.blogspot.com
Ketika
bayi lahir disambut dengan banten “bu”
(banten baru lahir). Beberapa hari kemudian “kepus pungsed”, dibuatkan banten kepus pungsed suguhan kepada sang
catur sanak. Ketika umur satu bulan tujuh hari dibuatkan upacara “bulan pitung dina” untuk membersihkan
jiwa raga si bayi dan orang tua, serta untuk memuliakan sang catur sanak (nyama
papat). Berlanjut kemudian “telu bulanan”
(sambutan) melepas sang catur sanak kembali ke asalnya, sedangkan si bayi akan
diemban oleh Sanghyang Kumara. Lalu otonan sebagai peringatan hari kelahiran,
juga melaksanakan penebusan di Bale Agung dilengkapi dengan upacara “ngangkid” sebagai upaya penyempurnaan
penyatuan antara jiwa raga si bayi dengan karmawasananya yang secara simbolis dilakukan di laut dan di sungai.
Saat
sudah akil balik, bagi yang perempuan dibuatkan upacara “raja sewala” dan laki-laki upacara ”raja singa” sebagai permohonan kehadapan Sanghyang Semara Ratih
agar si anak dapat menjalankan masa remajanya dengan baik. Selanjutnya upacara “mepandes / metatah” / potong gigi memohon
agar diberi kekuatan untuk mengendalikan sifat “sad ripu” dalam diri. Setelah itu barulah upacara “pawiwahan” / pernikahan. Bahkan ada yang
melanjutkan dengan upacara “neteg pulu”
untuk memantapkan pernikahan dan kehidupan rumah tangga. kanduksupatra.blogspot.com
Sampai
akhirnya “lampus” (meninggal)
dilakukan penguburan atau diaben untuk mengembalikan unsur - unsur panca maha
bhuta pembentuk tubuh ke asalnya. Berlanjut dengan “memukur / meligia / ngeroras” untuk mengembalikan unsur-unsur
pembentuk badan astral serta menyucikan rohnya, untuk kemudian dilinggihkan di
Kemulan dalam status sebagai Dewa Hyang, disembah oleh para “sentana” / keturunan / sanak saudara.
Para leluhur yang telah meninggal lalu “numitis”
/ bereinkarnasi kembali sesuai dengan karmanya. Demikian rangkaian
kehidupan manusia Bali (manusia Hindu) yang terus berputar.
Manusia
Bali (manusia Hindu) sejak dalam kandungan, lahir, kanak kanak, remaja, dan
sampai meninggal senantiasa menjalani upacara penyucian dan pasupati. Dimohonkan
keselamatan dan kesucian jasmani rohani bersaranakan banten, sastra, mantra, yantra,
kidung-kidung, dll. kanduksupatra.blogspot.com
Manusia
Bali (Manusia Hindu) sejatinya adalah manusia yang telah di “pasupati” sejak di dalam kandungan. Manusia Bali (manusia Hindu) menjadi tenget. Ada yang merasa pusing ketika melewati
bawah jemuran, atau ada pula pusing jika makan daging sapi, dll. Karena dalam
diri manusia Bali dari sejak lahir sudah ditempatkan sastra-sastra, mantra-mantra
magis, gambar magis (rerajahan), dll. yang tiada lain adalah menempatkan simbol
dewa-dewa dalam diri manusia. Belum lagi manusia Bali (manjusia Hindu) yang
menekuni dunia spiritual yang melakukan prosesi mewinten, baik “pewintenan saraswati”, pewintenan
mangku, atau pewintenan khusus lainnya. Bahkan yang paling tinggi adalah
prosesi “mediksa“ untuk menjadi
seorang sulinggih. Sehingga pada saat kematian semua kekuatan dan simbol-simbol
ini mesti dikembalikan terlebih dahulu dengan “tirtha panembak” dan “tirtha pengentas”. Demikian seterusnya.
Ini
artinya manusia Bali (manusia Hindu) telah menjadikan dirinya tempat bersemayam
kekuatan suci dewa dewa. Semoga manusia Bali (manusia Bali) senantiasa dapat
menjaga kesucian sastra, mantra, yantra, dan simbol-simbol dewata lainnya yang
telah tertanam dalam diri sejak lahir. Kurang lebih demikian. Semoga berkenan. Ampura.
#GamaBali
#HinduBali #GamaTirtha #BudayaBali #AdatBali #MisteriBali #KiBuyutDaluNasikinSegara.
#OriginalArtikel by kanduksupatra.blogspot.com.
No comments:
Post a Comment