Seputar sastra bali modern, geguritan, cerpen, ulasan,
artikel, dan drama bali modern
Dari Geguritan ke Novel
Oleh
IBW Widiasa Keniten
Geguritan
Basur hasil cipta Ki Dalang Tangsub telah menggugah seniman –
seniman lain. Baik seni dramatari, khususnya arja, seni pencalonarangan dengan
lakon Basur. Tokoh Basur terkesan mistis dalam setiap pementasan.
Basur identik dengan dunia pangeleakan yang ada di Bali. Basur
merupakan tokoh hidup yang mewakili dunia mistis. Setiap membicarakan
tentang pangeleakan, Basur selalu hadir. Inilah salah satu
kehebatan dari Ki Dalang Tangsub yang mampu menghidupkan tokoh.
Tokoh
Basur tidak berasal dari tokoh – tokoh yang berlatar belakang istana, seperti
layaknya cerita klasik. Ia berasal dari rakyat jelata hanya dikatakan
perekonomiannya di atas rata - rata dibandingkan dengan masyarakat
yang ada di desa Karangsari.Cuma di antara masyarakat Karangsari, Basur dikenal
menguasai pangeleakan.
Hal
– hal di atas tampaknya menggugah para pengarang untuk mengabadikan
tokoh Basur dalam karya – karyanya. Salah satunya karya novel dari Kanduk
Supatra, Ki Gede Basur antara Asmara dan Ilmu Hitam. Buku ini dicetak oleh
Panakom.
Kanduk
Supatra jelas – jelas mengatakan bahwa ia mengambil sumber dari Geguritan I
Gede Basur yang ditransliterasikan oleh Made Sanggra. Ada perbedaan antara
Geguritan Basur dalam Kidung Prembon dengan Geguritan I Gede Basur karya Ki
Dalang Tangsub yang transliterasi oleh Made Sanggra ada penambahan tokoh Ni
Garu yang mengalahkan I Basur.
Dalam Kidung Prembon, tokoh Basur tidak dikalahkan. Basur
disadarkan oleh Ki Balian. Tidak ada kalah dan menang. Keduanya menyatakan diri
berjalan sesuai dengan swadarmanya ( tugas dan kewajibannya masing- masing),
Dharma Sadhu dan Dharma Weci. Dualisme yang selalu
bertentangan. Dalam novel Ki Gede Basur antara Asmara dan
Ilmu Hitam, Ni Garu yang mengalami penyadaran. Kedua tokoh yang menguasai ilmu
hitam Basur dan Ni Garu (pria dan perempuan) disadarkan oleh Ki Balian Sadhu.
Kanduk
Supatra melakukan penggubahan dari Geguritan menuju Novel. Konsekwensi dari
penggubahan ini akan ada perubahan – perubahan bahasa,
bentuk, isi, dan budaya yang ingin diungkapkan oleh pengarang novel.
Interfrensi Bahasa
Interfrensi bahasa
terjadi dari bahasa Bali ke dalam bahasa Indonesia. Interfrensi ini digunakan
untuk menambah kekentalan cerita dan juga terdapat beberapa kata – kata yang tidak
ada padanannya di dalam bahasa Indonesia secara tepat, misalnya, pangeleakan,
ngaben, buratwangi, lengawangi, canang sekar, bale dauh dan
sebagainya. Masuknya kosakata bahasa Bali ke dalam novel berbahasa Indonesia
sebenarnya juga dilakukan oleh Putu Wijaya dan juga Oka Rusmini. Ini sebagai
penanda bahwa bahasa ibu bisa digunakan untuk menambah suasana dan penggambaran
cerita agar semakin dekat dengan masyarakat pendukungnya.
Bahasa
Bali yang memiliki kekhasan tersendiri, tentulah tidak semuanya dapat dialihkan
ke dalam bahasa Indonesia. Ia meski tetap dipertahankan selama tidak mengganggu
alur, suasana cerita yang digambarkan oleh penulis dalam hal ini oleh Kanduk
Supatra.
Bahasa Bali tidak serta merta akan mengganggu cerita yang
ditulis bahkan justru bisa sebagai memperkuat cerita. Hanya saja tidak diberi
penjelasan oleh Kanduk Supatra kata – kata bahasa Bali yang dipilihnya. Novel
ini memang akan menyulitkan jika tidak berlatar belakang dari budaya Bali. Meski
diakui beberapa kosakata bahasa Bali susah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, misalnya ngaben yang sering dimaknaai
upacara pembakaran mayat. Padahal, banyak prosesi yang berkaitan dengan ngaben
bukan hanya pembakaran mayat saja.
Pengarang novel,
Kanduk Supatra menjadi dwibahasawan (bahasa Bali dan bahasa Indonesia) baik
pasif maupun aktif. Tidak akan menjadi novel yang bagus jika tidak memahami
kedua bahasa Bali dan Indonesia, tetapi dalam kenyataannya Kanduk Supatra mampu
menggunakan kedua bahasa itu dengan baik.
Pengalihan Bentuk
Geguritan dimaknai cerita dalam bentuk puisi yang dapat
dinyayikan (Kamus Bali Indonesia, 2005 : 289). Geguritan Basur yang berupa
puisi tradisional dapat dinyayikan dalam hal ini memakai tembang ginada. Ciri
karya geguritan, terikat dengan aturan – aturan, seperti jumlah suku
kata dalam setiap larik; jumlah larik dalam setiap baik; persamaan bunyi yang
mengakhiri larik atau baris. Bait – bait yang dikenal dengan pada dalam
aturan penulisan geguritan tidak bisa diubah. Aturan – aturan dalam geguritan
bersifat baku sebagai ciri khas sebuah geguritan. Bentuk geguritan diubah
menjadi bentuk yang cair seperti prosa. Jika dalam geguritan, bait – bait itu
bisa dinyanyikan setelah menjadi sebuah novel tidak bisa karena ia sudah
memasuki dunia tersendiri. Karya tradisional memasuki wadah baru berbentuk
novel. Ia mesti mengikuti aturan – aturan novel yang tidak terikat pada aturan
– aturan tertentu.
Pengarang novel
mendapatkan kebebasannya dalam mengolah cerita. Ia tidak lagi terpaku pada
aturan – aturan yang sifatnya mengikat. Kebebasan dalam
berkreativitas teruji di samping kemampuannya menambahkan hal – hal
lain yang tidak ada dalam geguritan, misalnya deskripsi tentang rumah I Gede
Basur, deskripsi desa Karangsari. Deskripsi tempat, tokoh, dan suasana desa.
Dalam
novel I Gede Basur pun, tidak ada kutipan geguritan berpupuh ginada. Jika
kita lihat pada Ronggeng Dukuh Paruk, karya Ahmad Tohari masih mengutip
beberapa tembang yang mampu menambah suasana alam desa. Jika ditambahkan
misalnya tembang saat Basur membawa sajen ke kuburan yang berkaitan dengan
perubahan wujud, akan menambah suasana mistis dalam
novel. Misalnya, mangkin reké sandikala,I Gede Basur ia
pedih, ka sétra mangaba canang, maduluran sanggah cucuk , maebésiap biying
brahma,buratwangi, daluwang marajah Dhurgha ( Geguritan I Gede Basur,
2006: 13). Artinya, sekarang sudah senjakala, I Gede Basur ia marah, ke kuburan
membawa sajen, disertai sanggah cucuk, lauknya ayam merah
brahma, buratwangi ( nama sajen), kertas bergambarkan
Dewi Dhurga.
Pengembangan Isi
Alur cerita yang ada dalam geguritan Basur dikembangkan lagi
sesuai dengan kemampuan si penulis. Geguritan Basur hanya sampai meninggalnya I
Gede Basur setelah kalah bertanding dengan Ni Garu. Dalam novel I Gede Basur
tokoh Ni Garu disadarkan oleh Ki Balian Sadhu. Seakan –akan Kanduk
Supatra ingin menyampaikan bahwa kebenaran pasti akan menang atau
Dharma mengalahkan Adharma.
Penambahan
tokoh – tokoh pun dilakukan oleh Kanduk Supatra. Misalnya, Ni Rumanis yang
dinikahi oleh I Tigaron yang bertemankan I Nyoman Lawe. Pernikahan
Tigaron yang dibantu oleh Jero Made Polos. Ni Codet yang juga menjadi pengikut
Ni Garu. Ki Balian Sadhu dalam novel sebagai pengganti Ki Balian
dalam geguritan.
Penambahan
tokoh dalam novel tidak mengganggu alur cerita yang sudah ada dalam geguritan
selama narasi dan pendeskripsiannya terukur dan
sistematis sehingga pembaca lebih memahami karakter dari masing – masing
tokohnya.
Degresi
– degresi (lanturan) yang ditulis Kanduk Supatra memperjelas suasana
alam pedesaan saat Bali masih kental dengan suasana mistis tentang pangeleakan. Digambarkan
pedagang Ni Codet yang mempelajari ilmu pangeleakan untuk
menarik pembeli. Dalam artian, telah terjadi persaingan ekonomi yang kurang
sehat. Manajemen dalam perdagangan belum berjalan maksimal.
Manusia
Bali yang masih sempat berkumpul – kumpul saat sore menjelang malam. Anak –
anak yang bermain di sungai. Petani yang mengolah sawahnya dengan beragam jenis
padi. Semua gambaran di atas hanya sebagai kenangan saja untuk masa – masa
sekarang.
Mendekatkan suasana Bali yang masih kental dengan suasana
pedesaan yang mistis bukanlah pekerjaan mudah karena mengharuskan seorang
pengarang novel melakukan pengamatan, membaca sumber –
sumber yang dekat dengan suasana Bali, alam pedesaannya yang masih asri jika
dibandingkan dengan suasana Bali pada saat sekarang yang telah banyak berubah.
Ini suatu tantangan yang menarik bagi seorang pengarang.
Sosial Budaya Bali
Tempo Dulu
Suasana
sosial masyarakat Bali tempo dulu yang diungkapkan oleh Kanduk
Supatra. Jiwa welas asih, semangat kegotongroyongan, saling membantu masih
teramat jelas bisa dilhat dalam novel I Gede Basur. Tetangga yang sakit ramai –
ramai dibantu meski saat itu sudah malam. Dalam jiwa manusia
Bali masih tumbuh semangat kebersamaan. Individualismenya tampaknya
belum terlalu banyak tumbuh.
Jika
ada tetangga yang punya kerja bersedia untuk membantunya, tidak ada terbersit
untuk memikirkan keuntungan saat memantu sesama. Kesediaan
menolong memang benar – benar tulus.
Budaya
masyarakat Bali diungkapkan masih percayanya pada ilmu hitam yang dapat
mempengaruhi perjalanan seseorang. Kepercayaan pada hal – hal yang sifatnya
supranatural masih kental. Misalnya, Made Polos sebagai pawang
hujan mampu menghalau hujan.
Subak
masih hidup dengan pengaturan tataair yang sistematis. Sekaa manyi (
kelompok pengetam) masih berjalan. Sekaa nandur ( kelompok
menanam benih padi) masih dilaksanakan. Tidak ada yang menyewa tukang tanam
padi. Membajak masih menggunakan sapi belum ada traktor.
Budaya
pernikahan ala Bali yang dituturkan lewat pernikahan I Tigaron dengan Ni
Rumanis juga ditulis dengan cukup apik juga preosesi ngaben yang ada
di Bali . Bahkan ditambahkan dengan nilai – nilai agama Hindu.
Hubungan
sosial budaya seperti di atas hanya sekilas saja ditulis dalam geguritan I Gede
Basur. Artinya, melalui novel I Gede Basur antara Asmara dan Ilmu Hitam, sosial
budaya masyarakat Bali tempo dulu dapat dinarasikan cukup
apik oleh Kanduk Supatra.
Penekanan pada
Kesadaran
Geguritan
Basur dengan jelas mengungkapkan Basur dikalahkan oleh Ni Garu . Kekalahan
Basur karena ilmunya di bawah dibandingkan dengan ilmu Ni Garu. Basur tidak
mengalami kesadaran. Ia meninggal dalam mempertahankan diri dan menjaga
martabatnya sebagai seorang tokoh ilmu hitam. Ada ego di dalamnya. Basur dan Ni
Garu sama – sama mengisi egonya untuk menang. Tidak ada penyadaran diri. Mati
dengan membawa rasa dendam bukan kedamaian.
Dalam novel terjadi sebaliknya, Ni Garu dan Ni Codet
disadarkan oleh Ki Balian Sadhu. Ki Balian Sadhu mampu membuat Ni Garu dan Ni
Codet dalam titik kosong : Pekak memang sengaja memusnahkan
segala kewisesan yang engkau miliki. Itupun atas restu dari hyang Betari yang
menganugerahi engkau. … semua kewisesan yang engkau miliki tersebut tidak
didasari atas hati yang bersih dan suci. Engkau belum mampu mengendalikan
amarah yang ada dalam dirimu, belum mampu mengendalikan hawa nafsu dan juga
rasa keakuanyang bersemayam dalam pikiranmu. Engkau cenderung
mengumbar segala indriamu ( hal. 140).
Ni Garu dan Ni Codet sampai lupa akan segala
ilmunya dan kembali kepada ajaran Dharma.Secara tersirat novel ini ingin
menggambarkan sejahat apa pun manusia itu pasti bisa kembali ke jalan yang
benar selama di dalam dirinya timbul kesadaran baru.Hal ini diistilahkan dengan
Sadhu Dharma dan Dharma Sadhu.
Menggubah geguritan menjadi sebuah novel memerlukan
keterampilan, kreativitas, daya imajinasi, dan penguasaan bahasa. Pengarang
mesti menguasai kedua bahasa baik pasif maupun aktif. Perubahan –
perubahan itu menyangkut bahasa, bentuk, isi, dan sosial budaya
masyarakat yang ingin diungkapkan pengarang. Email:
ibw.keniten@yahoo.co.id
Saya suka dengan buku ini saya sering membacanya:)
ReplyDeleteSaya suka dengan buku ini saya sering membacanya saya punya ini buku
ReplyDelete