Hidup ini sejatinya diikat oleh hukum sekala - niskala. Yang nyata adalah hukum negara yang mengatur kehidupan berbangsa. Yang tak nyata hukum karmapala, hukum Tuhan yang tak terbantahkan, bersifat adil, rinci, menyangkut masa lalu, masa kini, dan masa akan datang. Dan yang ketiga adalah hukum kawitan, norma yang mengikat antara manusia (pretisentana) dengan para leluhurnya.
Yang menarik dan spesial adalah "hukum kawitan". Manusia yang hidup saat ini tak terlepas dari para pendahulunya yang disebut leluhur / kawitan. Hubungan secara lahiriah mungkin sudah terputus, tetapi hubungan secara bhatiniah tetap terjalin, walaupun keduanya berada dalam dunia yang berbeda yakni mercapada dan sunialoka. Baik buruk perilaku pretisentana di dunia fana akan mempengaruhi leluhur di sunialoka. Ketika pretisentana dapat menjalankan kewajiban hidup dengan baik, harmonis dengan keluarga, menjaga warisan leluhur, kukuh menjalankan tradisi leluhur, maka para leluhur merasakan kebahagiaan serta berkenan menerangi hidup para keturunan. Demikian pula sebaliknya, ketika para leluhur di alam sana tidak merasakan ketentraman, akan berpengaruh pula pada kehidupan pretisentana di dunia. Ada semacam hubungan sebab akibat. Itulah sebabnya kenapa manusia Hindu berkepentingan untuk senantiasa menjaga hubungan batiniah yang harmonis dengan leluhur. kanduksupatra.blogspot.com
Semua hukum kawitan tertuang dalam "bhisama" (pesan / petuah / amanat) yang tertuang dalam "prasasti, lelintihan, pabancangah", dll. Bhisama mengandung amanat, nasehat, hukum, sekaligus sangsi. Sangsi itu pun tak dapat dibayar dengan hukum kurungan atau denda material, namun bersifat niskala. Sebagai contoh, kutipan bisama sbb:
“…….. jika kamu lupa dengan kawitanmu, akibatnya kamu cekcok dalam keluarga, tidak henti-hentinya menemui kesengsaraan, selalu bersengketa dalam keluarga, banyak bekerja kurang pangan, ……”
Melalui bisama, para leluhur mengingatkan para pretisentana agar menjadi orang yang baik, memegang teguh ajaran dharma, hidup dalam kesucian, selalu ingat dan sujud bhakti kepada leluhur dan Dewa-dewa, memelihara perahyangan beliau, dll. Diingatkan pula akibat bila melanggar bisama, maka akan selalu cekcok dalam keluarga tanpa sebab yang jelas, tak harmonis, didera sakit yang tak jelas penyebabnya, kesengsaraan, siang malam bekerja namun tak ada hasil, dll.
Sangsi niskala ini bagaikan sebuah “kutukan”. Jika sudah terjerembab dalam hukum ini, maka harus menunggu sampai masa akhir kutukan itu. Secara ritual mungkin dilakukan dengan menghaturkan “guru piduka” sebagai pernyataan mohon ampun atas segala kelalaian. Namun hal tersebut tak membatalkan akibat dari kelalaian yang telah berlangsung selama ini. Guru piduka mungkin akan mempercepat proses penyelesaian.
Hidup tanpa memuja kawitan bagaikan berjalan di kegelapan, hidup tak terberkati, tak terayomi, terasa hampa. Oleh sebab itu, di dalam tradisi leluhur Hindu, memuja kawitan adalah kewajiban utama (paramadharma)
Lalu timbul pertanyaan, kenapa hanya orang Hindu saja yang terkena hukum kawitan?
Sejatinya tidak demikian…! Hukum kawitan layaknya hukum karma. Dipercaya atau tidak, hukum kawitan mengikat bagi semua keturunan, agama apapun dia. Cuman .. di dalam Hindu hubungan manusia dengan leluhur sangatlah terasa dekat, sehingga keberadaan hukum ini terasa nyata. Bagi mereka yang non Hindu secara pasti terikat hukum kawitan, cuman mereka tak menyadari. Ketika mereka didera hukum kawitan, maka mereka akan menilai sebagai hukum Tuhan.
Asapunika minab. Ampura tiang nasikin segara. Dumogi rahayu.
#HukumKarma #HukumKawitan #Kepongor #SalahangDewa
kanduksupatra.blogspot.com
No comments:
Post a Comment