Lanjut ke bagian 3……. Pementasan tari Gandrung
di Pura Majapahit dilaksanakan pada hari ketiga setelah odalan. Pada hari itu pemangku
menghaturkan pengilen penganyaran, pedatengan, pemendakan, dan pekeling akan
mesolah. Di lain pihak penari Gandrung sibuk berhias. Tiga penari perempuan dan
satu penari laki-laki siap untuk ngayah.
Sekitar pukul 21.00 Wita, pemangku
mempersilakan penari menuju ke natar pura untuk ngaturang sembah bakti, matur pekeling
akan ngayah mesolah Gandrung. Gambelan Gandrung di jaba pura sudah mulai dengan
tabuh “petegak” sebagai pembuka. Diawali
dengan mapang barong nyolahang Barong
Pelawatan Pura Majapahit. Setelah mesolah, barong dilinggihkan di jaba sebagai
simbolisasi Beliau Sesuhunan Pura Majapahit “nodia” (menyaksikan) pementasan Gandrung.
Setelah barong, dipentaskan Legong Kraton.
Belum selesai tari Legong Kraton menari, Sanghyang Taksu telah tedun yang
membuat penari Legong Kraton “kerauhan”.
Tari pun diakhiri, penari dipapah ke jeroan pura, nunas “wangsuhpada”, lalu “ngeluwur” - sadar kembali.
Barulah kemudian Tari Gandrung. Tampil
pertama penarinya seorang perempuan. Tari Gandrung dengan pakem pelegongan
sangat indah diiringi tabuh “gegrantangan”
yang mempesona, membuat malam menjadi makin marak. Lemah gemulai tari gandrung,
membuat penonton kegandrungan ingin menari bersama (ngibing). Bahkan karena saking gandrungnya para pengibing, seolah –
olah ingin memeluk dan mencium penari gandrung. Tak disadari, pengibing itu sudah
“kerauhan taksu gandrung” dan akhirnya dipapah ke jeroan pura, diperciki tirtha
wangsuhpada, lalu ngeluwur (sadar). Semua pengibing berikutnya kerauhan, sampai
akhirnya si penari Gandrung sendiri juga kerauhan.
Selanjutnya penari Gandrung kedua tampil.
Penarinya adalah laki-laki yakni I Komang Wahyu. Ia menari lemah gemulai dihinggapi
“taksu gandrung”. Ia menjadi bintang malam itu, banyak penonton kegandrungan ingin
menari bersamanya “ngibing”, banyak yang kecantol, kasmaran dengan sosok penari
ini. Banyak yang masuk arena untuk ngibing dan bercengkrama. Tak disadari lalu
kerauhan. Demikian seterusnya, setiap pengibing akan kerauhan, sampai akhirnya
si penari sendiri kerauhan.
Inilah keunikan dari Tari Gandrung di
Pura Majalahit. Nuansa kesucian, unik, nuansa magis, dan nuansa sakralnya
sangat terasa dan menyatu.
Setelah semua pementasan berakhir, pelawatan
Ratu Gede (Barong Ket) di Pura Majapahit kembali ke jeroan pura. Bersamaan
dengan itu para pemangku menyiratkan tirtha wangsuhpada Ida Betara sebagai simbol
waranugraha Ida Betara Sesuhunan menganugrahkan kemakmuran, keselamatan, kerahayuan.
Selanjutnya dihaturkan penyamblehan lalu
katuran mesineb. Rangkaian pementasan pun berakhir. Demikian laporan singkat pandangan
mata. Ampura. Tabik. (Des. 2016, kanduksupatra)
#TariGandrung
#PuraMajapahit #Kerauhan #Pengibing #TabuhGegrantangan #BudayaBali #GamaBali
#HinduBali #GamaTirtha kanduksupatra.blogspot.com
No comments:
Post a Comment